ARTIKEL Goenawan Mohamad (GM)
Kita
ketemu lagi, Martin. Dan mungkin ini bukan pertemuan terakhir.
Sangat boleh jadi akan ada pertemuan berikutnya, selama anda anggap Goenawan
Mohamad demikian penting (dan demikian “evil”) hingga harus ada usaha
terus menerus untuk meringkusnya.
Terhadap
serangan anda saya siap merespons, bila perlu. Meskipun dengan menyesali
bahwa yang anda kemukakan tidak jauh dari ad hominem. Saya
biasa bersabar — dan makin tua makin demikian — karena saya menyadari pada
akhirnya bukan anda (juga bukan saya) yang memutuskan keburukan atau kebaikan
Goenawan Mohamad dan hasil kerjanya.
Maka
jika saya menjawab di sini, saya tak bermaksud memberi kata akhir tentang
Goenawan Mohamad, yang kebetulan adalah saya sendiri. Saya juga tak
bermaksud membuat anda jatuh cinta kepada saya — meskipun, kata seorang yang
menulis buku tentang “ideologi kebencian”, sebenarnya tak ada cinta yang hilang
di dalam kebencian.
***
Tujuan
saya yang terpenting adalah menceritakan detail sejarah yang anda
abaikan, (atau diabaikan oleh buku yang anda kutip), tentang sebuah masa,
sebuah tempat. Detail itu berupa cerita hidup manusia dalam konteksnya — dua
hal yang sangat kurang pada tulisan anda.
Detail
itu sangat, sangat perlu. Kita perlu belajar dari Agatha Christie: bila
seseorang mengemukakan sebuah dakwaan, maka tiap dakwaan yang tepat perlu
disertai kerja detektif yang baik, dan kerja detektif yang baik terletak dalam
detail – bukan dalam konklusi atau teori. “Everything must be
taken into account”, kata Hercule Poirot dalam bab ke-5 The Mysterious
Affair at Styles. “If the fact will not fit the theory—let the theory go.”
**
Martin
yang baik tapi tak menyukai saya.
Tujuan
lain tulisan ini adalah membawa percakapan kita lebih jauh. Saya tak
ingin menyinggung apa yang sudah jelas merupakan kelemahan sikap anda –
sikap yang tak memberi sebuah sasaran (dalam hal ini Goenawan Mohamad,
dalam hal ini saya) apa yang disebut “the benefit of the doubt“.
Tujuan saya dengan tulisan ini adalah menyajikan sebuah perdebatan yang
bermanfaat bagi orang yang tak sekedar mau bersorak-sorai menonton sebuah
perkelahian.
Salah
satu manfaat yang saya harap dapat diperoleh adalah informasi sejarah masa
lalu. Antara saya dan anda (juga orang-orang lain yang seusia
dan lebih muda), perbedaan generasi mengandung perbedaan isi gudang data
masa lalu. Saya mengalami apa yang tidak anda alami: masa pergolakan
pikiran dan politik sebelum Orde Baru. Masa itu umumnya tidak
ditelaah para penulis sekarang. Masa itu adalah masa ketika ide dan
kekuatan politik komunisme dan segala yang berhubungan dengan itu masih
berjaya. Masa itu oleh historiografi Orde Baru didistiorsikan, hingga
menimbulkan reaksi yang sebaliknya: masa itu diingat dengan distorsi pula,
meskipun dengan penilaian yang berlawanan.
Terhadap
itu, saya menawarkan sebuah cerita pengalaman.
Pengalaman,
dalam pengertian saya, adalah apa yang oleh Lefebvre disebut sebagai la vie
quotidienne. Dalam la vie quotidienne itu pula
diekspresikan dan dipenuhi (saya kutip versi Inggrisnya) “those relations
which bring into play the totality of the real, albeit in a certain manner
which is always partial and incomplete: friendship, comradeship, love, the need
to communicate, play, etc.”
Pendek
kata, saya merasa perlu bicara tentang orang, waktu, tempat, dan gagasan, dalam
proses.
***
Tulisan
ini akan terdiri dari tiga bagian.
Bagian
Pertama tentang sebuah sosok yang banyak disebut, Ivan Kats. Bagian Kedua
tentang Congress for Cultural Freedom. Bagian Ketiga tentang Albert Camus
dan tinjauan saya mengenai pemikiran dia — sebab anda membahasnya,
mengaitkannya dengan kepentingan saya, meskipun dengan kesimpulan yang
meleset.
Bagian
Pertama akan saya pasang lebih dahulu dalam Blog saya (goenawanmohamad@com)
dan, jika disetujui, dalam Jurnal IndoProgress. Bagian kedua akan
menyusul.
Silakan
para peminat mengikutinya.
—————————————————–
BAGIAN
SATU: Ivan Kats.
Di
kantor Congress for Cultural Freedom di Paris, Ivan Kats bertugas mengurus
distribusi majalah dan buku yang disponsori Congress for Cultural
Freedom. Saya selalu melihatnya sibuk menyusun nama dan alamat para penerima —
dan menyiapkan pengirimannya. Kantornya di sebuah sudut yang sesak.
Saya
menemuinya dan berkenalan dengannya pertama kali menjelang musim gugur 1965.
Waktu
itu, di kantor Congress for Cultural Freedom (CCF) tokoh
kepada siapa saya dikenalkan adalah Pierre Emmanuel. Ia penyair Prancis
yang kemudian jadi anggota anggota Académie française di tahun 1968 dan
Presiden PEN International antara 1969 and 1971. Kats
memperkenalkan saya kepada Emmanuel — dalam pertemuan yang tak
lebih dari 30 menit. Sang penyair ramah tapi tak punya cukup waktu
untuk Kats dan saya, anak muda 24 tahun dari negeri yang tak pernah jadi
perhatiannya.
Usia
Kats sekitar 40 waktu itu. Tubuhnya tak tinggi, agak gempal, tapi tak
buncit. Ia bicara cepat. Ia bicara banyak.
Ia
bukan penulis. Ia mungkin seseorang yang seumur hidupnya ingin jadi penulis dan
macet. Sebagai alternatifnya ia punya semangat tinggi dengan segala hal
yang bertautan dengan buku. Ratusan buku disusun sekenanya di kantor dan
rumahnya — meskipun yang sering dibacanya (kadang-kadang dengan keras)
adalah puisi Prancis abad ke-19 dan sajak-sajak Inggris abad ke-17. Saya
tak pernah mendengarnya bicara filsafat, dan kalau bicara tentang itu,
pengetahuannya tak mendalam.
Kats
lahir dan dibesarkan di Belgia. Ia keturunan Yahudi yang kemudian jadi warga
AS, pernah ikut bertempur sebentar dalam Perang Dunia ke-II, dan
bertahun-tahun tinggal di Rue Pasteur 2 di Marly-le-Roi, kota kecil di
luar Paris di dekat hutan. Bahasa Inggrisnya beraksen Belanda tapi bahasa
Perancis ia kuasai penuh seperti bahasa ibu. Hampir tiap kali
saya berlibur dari kuliah di Bruges, Belgia, saya tinggal beberapa hari dengan
dia dan keluarganya, untuk memperbaiki bahasa Prancis saya.
Isterinya,
Evelina, seorang Amerika, seorang pelukis. Mereka beranak empat, semuanya
lelaki, dua dari yang empat itu bisu tuli. Tapi Ivan dan Evelina
penuh perhatian mengurus mereka, terutama yang cacat. Salah satu kenangan
tentang adegan di rumah tua di Rue Pasteur 2 itu: di senja
hari, Evelina mengajar anaknya mendengar dan memahami kata, dengan susah
payah.
Saya
mengenal nama Ivan pertama kalinya dari P.K. Ojong, wartawan majalah Star
Weekly (kemudian pendiri Kompas) yang di tahun-tahun
“Demokrasi Terpimpin” dibungkam oleh penguasa. Bagaimana kedua orang itu buat pertama
kalinya berhubungan tak jelas bagi saya; sangat mungkin Ojong menghubungi Kats
untuk memperoleh buku-buku yang terbit di Eropa Barat.
Di
pertengahan 1960-an itu buku-buku dari Barat tak bisa beredar di Indonesia.
Yang beredar adalah buku dari Moskow dan Beijing, baik buku tentang Marxisme
dan buku sastra (secara terbatas). Mungkin sebab itu Ojong mendapatkan
Ivan Kats sebagai sumber. Yang saya tahu, Ojong meneruskan buku-buku itu
ke beberapa orang yang disekap dalam tahanan rezim waktu itu: antara lain
Mochtar Lubis dan mantan Menteri Luar Negeri Mohammad Roem.
Saya
pernah ikut Ojong mengantar sebuah karya Ignazio Silone ke rumah Mochtar di
Jalan Blitar: rumah itu sepi. Yang menemui kami seorang anak perempuan yang
ketakutan melihat orang luar — anak perempuan Mochtar Lubis, anak dari seorang
ayah yang beberapa tahun disingkirkan. Seingat saya, sembilan tahun lamanya
Mochtar menjalani hukuman penjara. Korannya, Harian Indonesia Raya, yang
pernah membongkar perkawinan rahasia Bung Karno dengan Hartini, ditutup.
Ivan
Kats sangat mengagumi Mochtar Lubis. Mochtar waktu itu jadi lambang suara
kebebasan yang dibungkam penguasa. Buku-bukunya (misalnya Senja di
Jakarta) diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan bantuan CCF.
Pada
suatu hari di koridor kantor Kats saya diperkenalkannya
kepada Seán MacBride, tokoh Amnesty International yang di tahun
1964 mempromosikan Mochtar Lubis (seperti halnya Pramoedya Ananta Toer di tahun
1969) sebagai “Prisoner of Conscience”. Ini usaha publisitas Amnesty
International untuk menggerakkan perhatian dunia kepada tahanan politik itu.
Saya
tak tahu kapan Kats bertemu Mochtar pertama kali. Di masa itu, tak saya
bayangkan mereka bisa sering berhubungan. Baginya Mochtar entah ada di penjara
mana. Tapi Kats tak mudah berhenti bicara dengan bergelora tentang
sastrawan-wartawan ini – tokoh yang waktu itu, karena di
penjara, malah belum saya kenal sama sekali secara pribadi.
Kats
mengagumi orang yang berani, tapi ia mudah jatuh hati kepada seorang yang
“melayani”. Beberapa kali ia bercerita tentang seorang temannya,
seorang aristokrat, yang hidup sederhana dan bekerja untuk orang banyak,
mengikuti semboyan yang tertulis dalam lencana keluarganya: Je sers.
(Aku melayani).
Itu
sebabnya ia menganggap P.K. Ojong, yang tak banyak bicara dan mau bekerja jadi
pengantar buku itu, sebagai saudara. Ia sering menyamakan
Ojong dengan Horatio dalam lakon Hamlet: seorang sahabat yang setia yang
hadir di atas panggung, pendamping seorang tokoh yang lebih besar.
Kats
juga sangat sayang kepada Arief Budiman. Arief datang ke Eropa
sekitar setahun lebih dahulu ketimbang saya, dan ia beberapa minggu
tinggal di rumah Kats. Dari cerita Kats, saya simpulkan Arief cocok
dengan ia dan isterinya: dekat ke alam, menyukai blusukan di
hutan, dan tak enggan minum air sungai. Ivan dan Evelina
merasakan kemurnian dalam pribadi pengarang muda yang tak peduli dengan pakaian
dan makanan ini.
Pada
dasarnya Kats suami-isteri jenis orang yang tak menyukai apa yang mencorong
dari “kemajuan”. Melewati etalase toko pakaian yang mentereng ia
pernah bersungut-sungut: “Gila, ribuan dollar dihabiskan orang hanya
untuk tutup tubuh”. Dalam sebuah trekking di hutan Marly ia
mengatakan bayangannya tentang Indonesia yang waktu itu belum pernah
dilihatnya: sebuah negeri yang indah karena alamnya masih utuh.
Terhadap
saya, Kats dan Evelina bersikap berbeda. Jika kami jalan bersama berburu buku,
mereka lihat saya suka menatap etalase toko busana jika berjalan
sepanjang trotoar sekitar Boulevard de Haussman. Ketika saya tampak menyukai
blazer yang ia pinjamkan (yang agak terlalu longgar, tapi enak buat melindungi
badan dari dingin), Kats mengejek tertawa: “You got a nekolim feeling”.
Waktu itu ia sudah mengenal dan menyukai kata “nekolim”, “neo-kolonialisme”,
dari apa yang diketahuinya tentang bahasa politik Indonesia.
Satu-satunya
kesukaan saya yang menyenangkan Kats, terutama Evelina: main bola dengan
anak-anak mereka di tepi hutan, bila saya datang berlibur. Beberapa tahun
kemudian, kami makin jadi akrab. Ivan dan Evelina bahkan pernah ikut
saya, isteri, dan anak saya ketika kami bepergian naik mobil yang kami sewa
dari Budapest ke Romania (seingat saya di musim panas 1990, setelah Ceaucescu
mati pada Desember 1989). Sebuah sajak, “Doa Persembunyian”, yang saya tulis
setelah kami menemukan satu gereja dusun di pedalaman Romania, saya peruntukkan
buat mereka berdua.
Selain
melukis, Evelina mencurahkan seluruh dirinya untuk keempat anaknya. Saya tak
pernah melihat ia pergi shopping. Ia pernah marah sekali ketika pada
suatu hari singgah seorang tamu dari Indonesia, Girindro Pringgodigdo, yang —
dengan maksud baik, tapi dengan cara salah — memberi dua
putra Kats masing-masing satu lembaran dollar. Girindro, sarjana UI
yang waktu itu dalam perjalanan ke Den Haag, mungkin memakai adat orang dewasa
di Jawa dalam memberi “hadiah” kepada anak kecil. Tapi Evelina tentu saja tak
mengerti.
Dalam
pelbagai hal, Kats tidak bisa setegas istrinya, yang berasal dari keluarga
orang kaya Amerika. Ivan perasa, sedikit pemalu, dan kurang percaya diri.
Di
celah-celah itu, persahabatan kami berlanjut. Juga setelah Kats tak
lagi bekerja di CCF. Saya tak tahu alasannya mengapa ia tak di kantor itu lagi.
Di
awal atau pertengahan tahun itu ada sebuah berita di The New York
Times, kalau tak salah, yang mengungkapkan hubungan CIA dengan CCF — yang
kemudian jadi berita besar.
Pagi
itu, begitu ia membaca berita itu, Ivan menelepon saya dari Paris ke
Bruges. Ia terkejut. Katanya: “Apa ini bukan kegilaan?” Tapi
tampaknya ia tak tahu betapa jauhnya bantuan CIA di dalam CCF. Ia yakin kerja
yang dilakukannya di kantornya penuh dengan niat baik. Maka ia tak menyangka
informasi itu kelak akan menjadi skandal besar. Waktu itu media memang
sedang ramai dengan berita Perang Vietnam, makin lama makin panas.
Kemudian
Ivan pindah ke Clinton, di Connecticut, AS, 35 km dari Yale. Kebetulan,
rumahnya tak seberapa jauh dari rumah Philip Yampolsky, etnomusikolog
yang menelaah musik-musik Nusantara, bersama isterinya, Tinuk, yang kemudian
dikenal menulis novel tentang 1965, Candik Ala. Mereka sahabat
saya di New Haven. Ketika Umar Kayam tinggal di sekitar Yale
University, dan saya dari Harvard mengunjunginya, kami beberapa kali
menengok Ivan.
Di
sana Ivan juga bersahabat dengan James Scott, penulis The
Weapons of the Weak. Seperti Scott, Ivan dan Evelina menyukai
kehidupan dusun. Rumah mereka berhalaman luas, dengan belukar dan
pohon-pohon tua. Ada keledai, kuda, kolam ikan. Satu-satunya yang tampak
baru adalah studio lukis Evelina. Seperti yang di Marly-le-Roi, rumah yang
mereka tempati bukan bangunan modern yang praktis dan necis. Agak
merepotkan. Dan tentu saja dengan unggunan buku.
Tapi
seperti saya katakan tadi, dari semua buku, Kats lebih suka puisi ketimbang
filsafat. Ia sebenarnya tak memahami eksistensialisme ataupun
Camus. Kats tak biasa berpikir analitis, sistematis, dan terfokus;
kalimatnya terkadang cemerlang tapi sering tak jelas sambungannya. Ia tampak
jeri bila orang berdebat filsafat di dekatnya. Saya kira jika ia memesan
saya dan yang lain-lain untuk menerjemahkan Camus (satu hal yang sampai hari
ini tidak pernah saya kerjakan), sebab yang ia ketahui tetang Camus
adalah bahwa pengarang ini sebuah suara anti totalitarianisme. Kats,
sebagaimana banyak orang di zamannya, masih punya trauma dengan horor
Naziisme dan sedang merasa terancam oleh Stalinisme dan pendukung-pendukungnya.
Juga
mungkin karena Kats tahu, Camus bukan nama asing bagi kami. Camus adalah
idola Arief Budiman.
Dari
generasi kami, Arief yang paling menguasai filsafat Prancis. Ketika saya pindah
ke Jakarta untuk kuliah, dan kemudian mengenal Arief pertama kali, (waktu itu
ia mahasiswa baru di Fakultas Psikologi UI dengan nama Soe Hok Djin), ia
sudah menerjemahkan satu bab dari l’Étranger. Ketika itu umurnya belum
lagi 20 tahun. Mungkin sekali ia tertarik akan Camus
setelah membaca tulisan Asrul Sani di Majalah Zenith tentang
perjalanannya di Eropa di tahun 1950-an dan menyebut selintas bagaimana memukaunya
tulisan Camus. Asrul pula yang kemudian menerjemahkan lakon Caligula.
Saya
ingat bagaimana Kats, dalam percakapan di antara kami bertiga, mengolok-olok
Arief yang bisa bicara banyak tentang filsafat dalam bahasa Prancis tapi tak
mampu menceritakan bagaimana membuat omelet dalam bahasa Prancis. Saat itu
Arief tak tertarik dengan omelet. Ia lebih tertarik dengan Being and
Nothingness.
Saya,
yang baru saja meninggalkan Batang, Jawa Tengah dan ke Jakarta untuk
kuliah di tahun 1960, belum kenal semua itu. Di tahun-tahun awal kuliah
di Fakultas Psikologi UI, saya hanya membaca Freud dan sedikit-sedikit
fenomenologi. Di luar kuliah, bersama Bur Rasuanto (sastrawan yang
mula-mula dikenal karena cerpennya tentang buruh minyak) kami sibuk dengan Marx.
Baru melalui persahabatan dengan Arief saya menyukai Camus. Kami bisa berdebat
lama sekali tentang tokoh-tokoh dalam Caligula. Buku The Myth of
Sisyphus yang kini masih dalam perpustakaan saya adalah miliknya; di sana
ada beberapa kalimat yang digaris-bawahi Arief dengan pensil.
Arief
pernah mengatakan, ada persamaan antara dirinya dengan pengarang Prancis
itu: seperti Camus, ia pasien TBC. Semasa kuliah, ia pernah dirawat
di sebuah sanatorium.
Arief
kemudian menerjemahkan lakon Camus, Les Justes (ia beri judul
“Teroris”) tentang sekelompok kaum revolusioner Rusia sebelum Lenin. Ia
menyukai tokoh Yanek atau Kaliayev, yang ditugasi melemparkan bom untuk
membunuh Kaisar tapi batal karena dilihatnya ada seorang anak kecil di
samping sang calon korban. Baru kemudian Kaliayev berhasil — dan
tertangkap, dan dihukum gantung. Teman seperjuangannya meneruskan
pembangkangan….
Arief
terutama menyukai pandangan Camus yang melihat sejarah manusia seperti
Sisiphus: tiap kali berhasil, manusia harus kembali menempuh perjuangan
– seperti orang yang hendak meraih kaki langit, horison, yang
tampak jelas di depan tapi tak pernah tercapai; dan sebab itu harus
berjuang kembali.
Kegemaran
Arief kepada filsafat Prancis zaman Camus tampak sekali ketika di sebuah malam
api unggun perploncian ia, mahasiswa baru yang sedang diplonco, dipaksa
berpidato. Yang lain berpidato tentang pengalaman yang lucu. Arief
berpidato tentang eksistensialisme….
Tak
hanya itu. Di akhir kuliahnya di Fakultas Psikologi UI ia membuat skripsi yang
tak lazim bagi jurusan ini: membahas Chairil Anwar sebagai eksistensialis —
sementara skripsi mahasiswa lain akan memakai statistik dan mengutip buku-buku
tentang psikologi Gestalt.
***
Arief,
saya, dan Kats makin akrab. Saya rasa Ivan makin lebih dekat kepada kami
yang lebih muda ketimbang kepada Mochtar Lubis dan orang-orang segenerasinya,
karena di dekat mereka, orang Amerika yang tak pernah berhasil jadi penulis ini
merasa gentar. Ide-idenya tentang penerbitan pernah
dianggap crackpot — tak realistis dan tak praktis — oleh
Soedjatmoko, dengan siapa ia pernah mempresentasikan gagasannya. Hanya dengan
P.K. Ojong ia merasa tidak “intimidated“.
Setelah
ia tak lagi di CCF, dari “kantor”nya di rumahnya di Clinton, Ivan
meneruskan semangatnya dan keyakinannya tentang buku dan bacaan.
Tiga puluh tahun yang lalu ia pernah bercerita, ia berhasil
melaksanakan cita-citanya di Pakistan. Saya tak tahu bagaimana keadaannya
di sana. Di Jakarta, Yayasan Obor adalah hasil gagasannya yang didukung
penuh Mochtar Lubis dan P.K. Ojong. Saya, Ignas Kleden, Tuty Heraty, dan
Marianne Katoppo pernah ikut membantu.
Dalam
website Yayasan Obor tak ada nama Kats sebagai pendiri. Hanya dalam
daftar relasi terdapat “Obor, Inc”, Di sana bisa ditemukan nama Ivan
Kats; juga bisa dilihat sedikit usahanya di perbukuan. Seingat saya ia
membantu tiap buku yang diterjemahkan dengan mengusahakan sponsorship
dari pelbagai sumber. Ia mendapatkan sejumlah persen dari dana yang ia
peroleh untuk ongkos perjalanan dan lain-lain. Saya tahu ia cukup
bersusah-payah dalam hal ini, sebab Ivan bukan tipe “salesman” yang pandai
membujuk. Selain agak pemalu, ia kaku dalam berbasa-basi.
Dan
dari Yayasan Obor pelbagai buku pun terbit, umumnya terjemahan dari
bermacam-macam khasanah — seperti yang dicita-citakan Kats. Esei-esei
Camus yang dikumpulkan dalam Krisis Kebebasan, yang saya beri kata
pengantar, dan terbit 1988, adalah salah satu hasilnya — meskipun yang dipilih,
dalam terjemahan Edhi Martono, bukanlah esei Camus yang terbaik. Tak ada
esei-esei liris tentang alam, matahari, dan laut Aljazair yang saya sukai.
Pada
perkembangannya, hubungan Kats dengan pengurus Obor Jakarta tak amat
baik. Ivan seorang pemimpi, yang impulsif, pada dasarnya orang yang sulit
bekerja untuk membangun organisasi. Seingat saya ia bentrok dengan Tuty
Heraty, dan kecewa dengan Mariana Katoppo. Akhirnya hanya nama
Mochtar dan Ojong yang tetap. Kemudian mereka meninggal.
Dan
ketika isterinya, Evelina, juga meninggal, saya yakin Kats
kehilangan tenaga hidupnya. Tinuk Yampolsky, penulis novel Candik Ala,
yang tinggal di dekat rumah keluarga Kats, kemudian memberi kabar sedih
selanjutnya: Ivan pergi selama-lamanya. Saya dan Arief tak bisa
mengunjungi pemakaman sahabat kami itu.
Oh,
ya, satu lagi: setelah dengan panjang lebar memaparkan soal — dalam bahasa
Martin– “liberalisme borongan: cicilan $50″ sebagai upah dari Kats untuk
menerjemahkan Camus, Martin malah mengabaikan fakta sederhana sekaligus
benderang: saya tak pernah menerjemahkan karya Albert
Sumber dan bacaan selengkapnya :
http://goenawanmohamad.com/2013/12/10/jawaban-untuk-martin-bagian-pertama/#more-869
Tidak ada komentar:
Posting Komentar