Rabu, 30 Mei 2018

Lembata Kabupaten Pariwisata, Ini Kata Bupati Lembata

Penulis : Benjamin Tukan


JURNALTIMUR,COM,- Pemerintah Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) kian gencar mempromosikan potensi pariwisata. Sejak menduduki jabatan Bupati lima tahun silam, Bupati Kabupaten Lembata Eliaser Yentji Sunur langsung mendengungkan Lembata sebagai kabupaten Pariwisata. Bahkan tidak tanggung-tanggung destinasi wisata Wakatoby yang terlanjur popular sering disandingkan dengan potensi Lembata.


Bukan berlebihan keinginan Bupati Lembata mengangkat Lembata dari segi pariwisata. Walau selama ini Lembata hanya dikenal dari perburuan ikan paus tradisional Lamalera, potensi lain cukup menjanjikan. Lanskap alam yang original, unik dan indah serta kekayaan budaya yang beranekaragam, memberi harapan bahwa kabupaten ini akan menjadi incaran perhatian banyak pihak melebihi kabupaten-kabupaten tetangganya.


Banyak pihak meragukan gagasan menjadikan Lembata kabupaten Pariwisata. Alasan sederhana, infrastruktur Lembata masih jauh tertinggal, ekonomi masyarakat pun masih menemukan sekian permasalahan yang tak bisa dijawab pemerintah dengan menghadirkan sektor pariwisata. Belum lagi tingkat melek masyarakat akan pariwisata yang masih rendah, hanya akan membuka pintu masuk bagi orang luar yang lebih mampu untuk mengekspolitasi keindahan Lembata.


Bagai berlayar sambil menambal perahu, Bupati Lembata tetap bersikukuh untuk mengenjot pariwisata. Infrastruktur tetap dibangun, tapi pembangunan pariwisata tidak harus menunggu berakhirnya pembangunan infrastruktruktur. Karenanya kerja keras adalah jawaban agar sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.


Senin 7 Mei 2018 kemarin, Pemerintah Kabupaten Lembata meluncurkan  Festival 3 Gunung (F3G) 2018 di di Graha Bhakti Pesona Kementerian Pariwisata RI di Jakarta. Puncak kegiatan  22-29 September 2018 dengan menghadirkan keunikan dari tiga gunung  yang ada di Lembata yakni Ile Lewotolok, Ile Batutara, dan Ile Werung. Kabarnya, kegiatan ini  menelan anggaran 15 miliyar.


Dalam sambutan pada acara peluncuran, Bupati Lembata Eliaser Yentji Sunur mengatakan Kabupaten Lembata merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang emiliki potensi besar di sektor pariwisata seperti lanskap alam yang original, unik dan indah.

"Kekayaan budaya yang memiliki keanekaragaman menarik dan spetakuler yang sangat berpotensi menjadi salah satu destinasi favorit," ujar Bupati dua periode ini.

Menurut Bupati Yentji, jika potensi ini dieksplor dan dikelola serta dimanfaatkan secara optimal dengan melakukan pembangunan dan pengembangan daya tarik wisata yang visitabel, dan marketable, maka kabupaten Lembata mampu menjadi daerah tujuan wisata yang eksotis, sesuai dengan respek pariwisata Lembata


Bupati berargumentasi, dalam rangka menjadikan Lembata destinasi wisata yang baru diperlukan keberanian dan inovasi kebijakan yang strategis, dan sinergis dengan kebijakan pariwisata secara nasional, dalam grand desaign arah pembangunan dan sebagainya serta penguatan perencanaan pembangunan yang integriti.


Dikatakannya, RPJMD Kabupaten Lembata tahun 2017 – 2022 menempatkan pariwisata sebagai sektor utama dengan dua pilar pembangunan kepariwisataan yaitu pembangunan pariwisata dan pengembangan pariwisata dengan portfolio pada prodak pariwisata yang berkonsep tiga A. yang terbagi dalam tiga wilayah pengembangan yang berfokus pada peningkatan pasar dan promosi, pengembangan destinasi serta industrialisasi dan investasi.


"Pemahaman konsep tiga wilayah pengembangan didasarkan pada sebaran potensi daya tarik wisata seperti bukit dan pegunungan, alam pantai, pesona taman laut dan budaya yang masing-masing memiliki karakter yang berbeda," katanya.


Menurutnya, kebijakan pariwisata kabupaten Lembata dilakukan melalui even berkelanjutan, yaitu festival tiga gunung sebagai upaya mengangkat citra pariwisata kabupaten Lembata dengan berbagai aktivitas yang beragam,  pariwisata desa atau travel village, sebagai vocal poin dengan hasteg ekplore rural Lembata serta penguatan struktur budaya dan pengembangan atraksi,” ujarnya.


Apa yang diungkapkan Bupati Lembata ini tentu menjadi catatan untuk berbagai pihak yang peduli dengan Lembata. Sebagus-bagusnya keinginan pemimpin untuk membawa keluar masyarakat dari kesulitan hidup, tetap saja harus kembali mendapat persetujuan masyarakat berupa partisipasi dan pengawasan.

Dua periode kepemimpinan Bupati Yentji akankah menjadi jalan yang baik untuk menata Lembata? Jawaban kembali pada Bupati dan masyarakat Lembata.


Di Larantuka, Tak Ada Hari Tanpa Pesta

Oleh : Benjamin Tukan


Larantuka, nama sebuah kota di ujung timur pulau Flores. Sebelum kota ini menjadi ibukota Kabupaten Flores Timur tahun 1958, kota ini sudah menjadi tempat pesinggahan orang-orang yang melintasi pulau Flores. Larantuka pun identik dengan kerajaan Larantuka, tempat tinggal raja Larantuka.


Dalam hubungan dengan perayaan, ada yang menarik dari kota kecil ini. Bukan berlebihan jika dikatakan bahwa di Larantuka, tidak ada hari tanpa pesta. Memang betul itu yang terjadi. Perayaan keagaamaan yang sudah menjadi tradisi bertahun-tahun mewariskan tindak laku masyarakatnya untuk merayakan setiap hari perayaan-perayaan kegerejaan. Jangankan Natal dan Paskah, pesta santo-santa bahkan pentabisan imam hingga perayaan perak emas imamat selalu dirayakan. Sembayang dan mengaji barangkali itu yang dilakukan, tapi di luar itu selalu ada yang bernuansa pesta.


Dari perayaan yang bernuansa kegerejaan, warga Larantuka dan sekitarnya memang terbiasa dengan kegiatan pesta-pesta. Jangankan pesta perkawinan dan sambut baru atau komuni pertama, untuk kegiatan seperti mendirikan rumah saja  selalu disertai dengan pesta. Bukan sekali, tapi beberapa kali. Misalnya, peletakan batu pertama dibuatkan pesta. Saat fondasi selesai diadakan pesta, lalu saat membangun atap dibuatkan pesta yang lebih lagi.Saat menempati rumah dibuat lagi pesta.  Singkat ceritra setiap tahapan pembangunan rumah selalu ada pesta.


Hal yang serupa juga bisa ditemukan dalam tradisi orang lamaholot suku terbesar di wilayah ini. Para penggarap ladang-ladang atau petani agraris terbiasa dengan pesta-pesta. Hampir setiap tahapan dari pembukaan kebun, menanam, menyiangi dan memanen dilalui dengan pesta.


Jika melaut dan sekali waktu memperoleh banyak ikan, maka di sana juga ada pesta. Nelayan yang lama tidak mendapatkan ikan yang banyak, sekali waktu m memperoleh kelimpahan ikan,akan dibuatkan pesta.  Yang biasa mendapatkan ikan kecil, sekali waktu mendapatkan ikan yang besar juga selalu dibuatkan pesta.



Benjamin Tukan
Dalam siklus hidup manusia pun tidak lepas dari pesta. Sejak dalam kandungan sudah dibuatkan pesta. Hari lahir, saat mulai bisa berjalan, hingga kematian diusia tua selalu ada waktu untuk dibuatkan pesta.

Waktu pertama anak masuk sekolah dibuatkan pesta, lalu wisuda juga dibuatkan pesta. Sembuh dari sakit dibuat pesta. Pergi merantau dan pulang merantau juga dibuatkan pesta. Berhasil di perantauan pulang harus buat pesta.  Pesta, pesta dan pesta hingga orang berkelakar bahwa di Larantuka semua peristiwa bisa dipestakan, bahkan kucing mati atau lahir pun dipestakan.


Untuk soal bentuk pesta bisa bermacam-macam. Pesta besar melibatkan seluruh warga kampung, dan sanak keluarga di Larantuka maupun di luar Larantuka yang datang saat pesta. Ada juga yang pesta-pesta kecil yang cuma dalam keluarga dan pertemanan terbatas. Hal yang ditekankan lebih pada suasana yang berbeda, ada yang diundang, makanan disiapkan lebih, dan ada kegembiraan yang terbantu oleh musik dan tari-tarian.


Apa yang ada dibalik tradisi pesta ini. Tidak lain adalah sikap untuk mensyukuri dan kesediaan untuk berbagi dari apa yang diperoleh. Walau demikian, kesediaan dan kerelaan berbagai ini lama-lama menjadi kewajiban. Tidak buat pesta, ketahuan tidak punya uang. Yang tak ada hubungan dengan peristiwa pun terlanjur mengharapkan dibuatkan pesta.


Pesta yang mentradisi itu, kemudian tak luput dari persaingan. Orang yang datang ke pesta, mudah tersinggung dan berkelahi. Nyawa manusia mati sia-sia dalam pesta. Orang mabuk yang membuat orang lain pergi pulang pesta selalu waspada ditabrak atau menabrak orang mabuk. Dalam pesta seringkali ada keributan dan percecokan. Sesama penyelenggara yang juga sesama saudara, sesama teman  bisa jadi biang keributan. Tamu yang datang pun tak luput untuk mencari keributan di tempat pesta. Tak jarang pesta diakhiri dengan konflik.


Dalam hal biaya pesta, juga sering menjadi sorotan. Sekalipun biaya pesta untuk beberapa kalangan terkesan mandiri, namun beberapa kalangan lain sering dikesankan sebagai besar pasak dari tiang, sering diungkapkan orang untuk memberi kesan pada sebuah pesta. Hidup keseharian boleh apa adanya, tapi pesta kalau boleh dibuatkan besar. Hutang dan pinjam sudah biasa yang penting bisa ramai semalam suntuk sampai matahari terbit.


Banyak yang bicara tentang ekses negatif dari pesta dan melupakan hal yang penting yakni perayaan syukur dan kerelaan berbagi. Padahal yang disebutkan terakhir inilah yang telah menyatu dalam hidup pribadi orang-orang Larantuka dan orang Lamaholot. Ada kebanggan di sana, juga ada "kesombongan" bagi mereka yang bisa merayakan pesta.


Jika perayaan itu perayaan kampung atau perayaan keluarga, maka tidak saja kerelaan membagikan kegembiraan pesta, tapi juga kesediaan semua pihak untuk iklas membantu biaya pesta. Tidak ada keluh kesah dalam memberi, walau kadang ada rasa kewajiban dengan waktu yang salah karena saat penyelenggaraan pesta "panen" belum juga datang,


Kalau demikian adanya, sebenarnya dalam hidup orang Larantuka dan orang Lamaholot  sangat merindukan untuk merayakan kegembiraan dalam kebersamaan dan punya kerendahan hati untuk selalu mensyukuri.  Jauh dari itu,  dalam pesta, orang pun terlibat untuk menghargai sebuah capaian. Sebab, pesta yang diselenggarakan tidak sekedar mengundang orang dengan menyediakan makanan yang berlebihan, tapi capaian itulah yang hendak dirayakan.


Di antara kegembiraan dan capaian, berhubungan dengan pesta sebenarnya masyarakat di wilayah ini bisa digolongkan masyarakat yang sangat menghargai nilai prestasi, kerja keras dan kebersamaan. Setiap capaian apa itu dilalui dengan kerja keras dan pengorbanan maka pesta adalah jawaban untuk berbagi dan mensyukuri.


Lain soal kalau sebagian masyarakat tidak memperhitungkan capaian dan hanya ikut-ikutan membuat pesta. Prestasi yang biasa-biasa saja dibuatkan pesta. Mengadakan pesta untuk bisa mendapatkan bantuan dan sumbangan. Pesta dibuat hanya untuk bersaing dan meninggalkan kebersamaan. Kemungkinan ini pun bisa terjadi dan di sini pesta hanya sekedar persoalan bisa makan enak untuk lari dari penderitaan karena  kemiskinan.


Di Larantuka, tidak ada hari tanpa pesta. Ini pun sebenarnya potensi awal bahwa merayakan pesta dan even bukan hal baru untuk masyarakat di sini. Inovasi yang sekarang banyak dibicarakan, ditambah terobosan-terobosan dalam penyelenggaran berbagai festival sebenarnya dapat dimulai dari tradisi masyarakat seperti ini. Sayangnya, begitu banyak pesta yang diadakan  belum mampu membuat pemerintahan wilayah ini menyusun suatu agenda tahunan tentang pesta. Untuk pesta-pesta yang tergolong besar karena melibatkan banyak orang pun, belum ada  terobosan yang berarti.


Di bidang kuliner misalnya, belum ada yang baru. Di bidang musik, masih banyak kelompok musik yang membutuhkan pelibatan dalam pesta. Sulit meyakinkan orang bahwa grup musik yang ada memang telah menyatu dalam kehidupan masyarakat yang punya tradisi pesta ini. Belum lagi beberapa soal yang berhubungan dengan pesta dan festival seperti panggung, promosi dan lain-lain masih jauh dari yang diharapkan.






Ada soal lain, bahwa beberapa perayaan yang tergolong besar yang menyedot dan melibatkan banyak orang, belum banyak yang mampu menyesuaikan dengan kebutuhan  kekinian. Pihak-pihak yang menyelenggarakan kegiatan itu lebih memilih bernostalgia ke masa lampau, dari pada membuka diri pada perbincangan tuntutan kebutuhan hari ini. Sangat minim diskusi, sangat miskin kreasi.


Pesta-pesta besar belum ditata secara baik untuk menjadi perayaan bersama yang lebih menarik dan menggembirakan. Pihak yang terlibat dalam penyelenggaran pun, masih berurusan dengan dirinya sendiri, untuk tidak mengatakan sibuk meminta pengakuan.


Perayaan-perayaan besar pun tetap saja menjadi kesibukan para penyelenggara tanpa melibatkan pihak lain. Tetap saja dalam keramaian pesta, hanya orang-orang tertentu saja yang menikmati. Orang luar hanya sekedar penonton, yang barangkali tidak boleh dan tidak mau diajak terlibat.


Di Larantuka, tidak ada hari tanpa pesta. Tapi ini juga pardoksnya, karena berkunjung ke Larantuka, memang selalu menemukan kota yang sepi. Melewati jalan-jalan di sore hari atau malam hari memang dijumpai sedikit keramaian pada tempat-tempat tertentu, tapi entalah keramaian itu tentang apa. Bagi yang baru  datang  berkunjng ke Larantuka, mereka tak pernah diberitahukan tentang tradisi masyarakat yang demikian.


Di Larantuka, tidak ada hari tanpa pesta. Potensi kreatif yang dapat mengundang hadirnya berbagai peluang tumbuhnya ekonomi kreatif belum banyak mendapatkan perhatian. Apalagi kalau para pengambil kebijakan memilih jalan aman untuk tidak membicarakan di tengah rumitnya persoalan antara tradisi dan komersialisasi.Bahkan potensi ini dibiarkan merana, kecuali mengharapkan ada bantuan seperti yang terjadi dibidang pengadaan infrastruktur jalan, bandara, dan sekolah,  


Tentu saja, masih banyak yang perlu dibicarakan dari pesta-pesta yang menjadi bagian dalam tradisi masyarakat ini, untuk memacu perkembangan kota ini. Termasuk di sini, inisiatif-inisiatif baru dari generasi baru masih tetap ditunggu dan keiklasan generasi tua untuk membuka ruang dialog sangat diharapkan.

Semua ini perlu ditata, dikemas untuk kepentingan banyak hal. Namun untuk kepentingan jangka pendek, Larantuka yang menjadi kota persinggahan itu, hendaknya tetap selalu menyuguhkan hal yang terbaik dan terindah bagi siapa saja, kendati cuma semalam.



Benjamin Tukan, Kreator dan Periset Media.

Cara Baca Buku, Jan Riberu di Mata Daniel Dhakidae dan Ignas Kleden

JURNALTIMUR.COM,- Tidak ada kebahagian dari seorang guru  kecuali dia tahu bahwa ada murid yang belajar dari sesuatu yang diberikan itu. Dan sekiranya apa yang diberikan itu,  diingat seumur hidup oleh muridnya maka itu merupakan kebahagian semur hidup dari seorang guru.


Pemikir Social Daniel Dhadikae mengatakan hal itu saat memberi kesaksian atas sosok pedagog Dr. Jan Riberu, dalam peluncuran buku "Pergulatan Pemikiran Dr. Jan Riberu: Pendidikan, Relasi Agama-Negara, dan Pancasila" yang  diluncurkan, di Jakarta, Sabtu (27/01/2018).


Menurut penulis buku “Cendikiawan dan Kekuasan ini”, selama menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero Flores, ia diajarkan oleh dosennya Dr. Jan Riberu tentang cara membaca buku.


“Saya ingat apa yang dikatakan Pak Yan waktu itu, bahwa jangan pernah membaca buku yang dimulai dari kata pertama sampai kata terakhir. Itu bacaan orang bodoh. Ada beberapa cara membaca. Pertama, membaca analitik, membaca sintesis dan kemudian menulisakan dalam kartu-kartu belajar. Itu yang saya ingat dari sejak itu sampai sekarang,” kata Daniel.


Menurutnya, pelajaran yang diberikan Jan Riberu itu ia praktikan sejak dari Ledalero, kemudian menjadi mahasiswa UGM dan mahasiswa di Universitas Cornel bahkan hingga hari ini. “Saya praktik hingga saat ini. Semua bawa buku saya tidak bawa apa-apa. Tetapi saya sudah membaca,” ujarnya.


Daniel mengatakan, tidak ada hadiah yang lebih hebat dari seorang murid seperti saya ini yang selalu mengingat apa yang dikatakan guru  seumur hidup.  “Saya bangga mempunyai guru seperti pak Jan ini, dan Pak Jan juga harus bangga ada seorang murid seperti saya ini, yang mengingatkan apa pun yang diberikan seumur hidup,” kata Daniel.


Yang Penting Penerapannya


Berbeda dengan Daniel Dhakidae, dalam kesempatan yang sama Sosiolog  Ignas Kleden mengatakan, guru yang hebat adalah guru yang membuat soal-soal yang sulit menjadi mudah dipahami bagi mereka yang belajar. 


“ Saya kira Pak Jan Riberu ini merupakan guru yang tidak saja membuat suatu yang mudah, tapi menarik. Tidak semua orang mempunyai bakat seperti itu,” kata Ignas Kleden yang juga murid Jan Riberu di Ledalero - Flores.


Ignas menjelaskan, untuk membuat orang melihat sesuatu dalam pengertian, bukan hanya penekanan pada apa yang dipahami tapi jauh dari itu adalah membuat orang menikmati apa yang dipahami.


“Kita selalu membuat suatu yang mudah menjadi sulit. Padahal yang seharusnya adalah membuat orang dengan cepat melihat sesuatu dengan mudah. Pengertian bukan hanya berurusan dengan apa yang dipahami, tetapi menikmati apa yang dipahami,” urai Ignas. 


Ignas menanggapi uraian Daniel Dahkidae sebelumnya tentang membaca analitik dan membaca sintetis, dengan mengatakan bahwa itu tema itu merupakan tema  yang besar dalam filsafat Hermenutika yakni bagaimana hubungan antara pembagian dan keseluruhan. 


“Dalam praktek, apakah untuk memahami suatu buku yang lengkap, saya harus memahami bab per bab supaya memahami keseluruhan buku, atau saya harus memahami keseluruhan buku secara teoritik , supaya bisa memahami setiap bab yang ditulis? Ini persoalan hermenuika yang cukup sulit,” kata Ignas.


 Ignas mengutip Filsuf Hermenutik Jerman Hans-Georg Gadamer yang menyebutkan tiga tahapan dalam pemahaman yakni substilitas intelegendi, substilitas explicandi,  dan substilitas applicandi


Substilitas intelegendi  merupakan tahapan dimana setiap orang menangkap keseluruhan yang punya makna. Tahap berikut yang dinamakan substilitas explicandi adalah keseluruhan yang harus dipecahkan dalam detail-detail yang merupakan bagian dari keseluruhan.


Dan terakhir adalah substilitas applicandi yakni detail yang terpecah itu diatur kembali, sehingga mencapai suatu konstruksi yang baru.


“Jadi apakah kita bergerak dari kesuluruhan menuju bagian-bagian atau bagian-bagian menuju keseluruhan akan terpecahkan dalam praktik. terpecahakan dalam aplikasi, dan terpecahkan dalam penerapan,” jelas Ignas.


Dalam kerangka diskusi tentang pendidikan dan Pancasila yang merupakan bagian dari peluncuran buku Jan Riberu, Ignas memberikan apresiasi atas pemikiran Jan Riberu tentang Pendidikan dan Pancasila.


Menurutnya, yang terpenting dari Pancasila adalah penerapannya. “Jadi bukan kita mengerti supaya bisa menerapkan, tapi kita menerapkan sehingga bisa mengerti. Kita harus berusaha menerapkan Pancasila secara serius sehingga dapat memahami,” kata Ignas.


Penulis : Benjamin Tukan


NTT Butuh Politisi, Tapi Siapa yang Pantas Jadi Gubernur?


Oleh : Benjamin Tukan


Kalau saja sempat membaca buku Pater Paul Budi Kleden, “Kampung, Bangsa dan Dunia: Merayakan 50 Tahun NTT”, di sana ditemukan satu refleksi tentang siapa yang diberi tugas menata dan mendorong kesatuan warga NTT?  


Pada halaman 31 buku itu, Pater Budi menulis sebagai berikut :
“NTT adalah sebuah kreasi politis dan sedang bertumbuh menjadi sebuah entitas sosial dari berbagai kelompok etnis dan religius. Tugas penting untuk menata dan mendorong kesatuan justru dipegang oleh para politisi. Tentu saja mereka tidak mungkin dan tidak boleh berusaha sendirian. Kendati demikian, mereka memainkan peran sentral. NTT sulit menemukan tokoh identifikasinya dalam sosok religius, kultural atau intelektual tertentu. Yang dapat mengambil peran seperti ini adalah seorang politisi. Agar para politisi sungguh memainkan perannya yang sentral ini, kontribusi aktif dan kritis seluruh masyarakat diperlukan."



Benjamin Tukan
Relevan dibaca kembali kutipan itu di saat NTT provinsi seribu pulau itu mulai menyiapkan diri memilih pemimpin dalam pilihan gubernur dan wakil gubernur 2018. Menariknya, tanpa berdiskusi terlalu panjang, jelang pilgub sudah muncul nama-nama bakal calon gubernur yang nota bene, semuanya dari politisi.  Benny K Harman (Demokrat), Viktor Laiskodat (Nasdem), Marianus Sae (PKB), dan Eston Fonay (Gerindra). Pertanyaan, apakah keempatnya pantas menjadi gubernur NTT lantaran berlatar belakang politisi?


Persiapan para kandidat menuju hari pemilihan masih cukup banyak waktu. dengan begitu masih juga ada waktu untuk masyarakat mengenal keempat sosok kandidat itu. Awalnya, saat disebut-sebut pasti maju dalam pencalonan, orang begitu terkagum-kagum, tapi oleh proses waktu semuanya akan diuji dalam ketenangan mengambil keputusan.


Agar para politisi sungguh memainkan perannya yang sentral ini, kontribusi aktif dan kritis seluruh masyarakat diperlukan. Ini sebuah ajakan bahwa kendati empat kandidat adalah politisi yang menjawabi kebutuhan NTT, tapi siapa diantara mereka tetap kembali kepada kedaulatan dan kecerdasan rakyat NTT sendiri. Jadi bukan sekadar politisi.

Setelah melewati berbagai pembelajaran politik dari pilkada ke pilkada, entah kabupaten maupun provinsi, ada optimisme bahwa pilkada pilkada ke depan, rakyat semakin lebih cerdas memilih siapa pemimpinnya. Ada kesadaran bahwa uang dan iming-iming yang diberikan calon dalam pilkada ternyata hanya membatasi ruang gerak warga saat kandidat terpilih. Semua sudah dibayar tunai, dan tidak boleh lagi ada permintaan-permintaan.


Kecerdasan untuk tidak tergiur dengan politik uang, politik iming-iming inilah yang kemudian sedikit membawa harapan bahwa pemilihan gubernur NTT nantinya jauh lebih baik dan hasilnya pun akan lebih baik.


Dalam hari-hari selanjutnya dari empat politisi bakal calon gubernur akan mendapat bagian untuk dikritisi oleh rakyat NTT. Dari pengenalan hingga penelusuran siapa politisi itu sebenarnya, itulah yang sering dinamakan penelusuran jejak rekam kandidat. Lagi-lagi inilah tanggung jawab pemilih bila hendak memanen gubernur yang berkualitas dan berintegritas menjawab kebutuhan NTT.  Bahwa tidak semua warga bisa melakukan itu, maka itu tugas para cerdik pandai untuk menjelaskan kepada rakyat.


Boleh saja orang berpandangan bahwa kesalahan masa lalu tidak bisa dijadikan ukuran, karena niat baik selalu ada dalam diri manusia, tapi kenyataan selalu menunjukkan bahwa dominan dalam setiap tindakan manusia adalah kebiasaan. Maka, perlu kiranya mengenal dan menelusuri jejak rekan dan sejarah hidup para kandidat tersebut.


Jika yang dituju adalah integritas diri dari calon-calon yang ada, maka perlu kiranya menelusuri setiap dugaan pelanggaran hukum yang pernah dilakukannya entah pidana, perdata ataupun hak asasi manusia.


Dalam soal gaya hidup calon juga perlu disimak, karena berhubungan sekali dengan kesederhanaan warga, juga kalau dikembangkan maka terbuka dugaan akan patronase bisnis yang mendanai karir sang politisi tersebut. Ini pun perlu serius untuk ditelusuri, karena bukan tidak mungkin di depan mata warga yang sederhana, kandidat menampilkan kesan yang begitu merakyat, tapi setelah jauh dari rakyat ia punya salera untuk memilih hotel-hotel berbintang untuk menjawabi gaya dan saleranya. Termasuk di sini, apakah kandidat tersebut sering terlibat dalam keanggotaan klub-klub tertentu yang elitis dan mahal, seperti klub golf, klub pecinta mobil antik, klub penyayang kuda, klub penggemar arung jeram dll?


Integritas finasial dan sumber pendapatan seorang politisi perlu dicari tahu.  Bisnis apa saja yang dijalankan baik dirinya  dan keluarganya?Apakah usaha bisnis itu dimiliki sebelum atau sesudah menjadi anggota dewan misalnya atau menduduki jabatan tertentu?Apakah bisnis tersebut berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan teknis/praktis tugas dan jabatan, misalnya catering, penyedia jasa peralatan rapat, suplayer barang-barang elektronik, suplayer kebutuhan rumah tangga, suplayer kebutuhan taman, komputer, memuluskan kontraktor untuk dapat proyek,  dll? Bagaimana perbandingan usaha bisnis (dalam hal jumlah dan kapasitas) sebelum dan sesudah menjadi politisi?


Dengan siapa saja kerjasama bisnis pernah dilakukan? Dengan pengusaha besar tertentu, dengan pejabat/lembaga pemerintah, dengan sekretariat DPR/D, dengan anggota DPR/D?Apakah pernah diberitakan menggunakan cara-cara kolusi dalam menjalankan bisnis-bisnis yang ada? Informasi seputar ini pun harus jelas diberitahu.


Tentang Konstituen. Bagaimana politisi itu memperhatikan konstituen? Apakah ia sering datang ke daerah-daerah untuk menemui konstituen? Apakah ia politisi yang menampung dan memperjuangkan aspirasi konstiuent berdasarkan tugas dan fungsinya? Apakah karena tugasnya sebagai politisi membawa program dan proyek pembangunan untuk rakyat, kemudian meminta balas jasa rakyat dengan memberi dukungan kepadanya? Apakah politisi itu asyik melobi sana-sini yang bukan tugasnya hanya demi menaikan citra diri, lalu diam seribu bahasa dalam rapat-rapat dewan yang menjadi tugasnya?


Bagaimana dengan kualitas diri dari calon? Penelusuran pada riwayat pendidikan adalah hal yang sangat penting.  Lalu bagaimana karirnya di partai politik? Bagaimana dia merintis karir di organisasi.


Jejak rekam kemudian berkolerasi dengan visi, misi dan janji kandidat.  Sulit dipercayai kandidat yang menjanjikan pemerintahannya bebas dari korupsi, kalau dari rekam jejaknya ditemukan usaha dalam menapaki karir politik dengan jalan-jalan yang tidak lazim.


Untuk soal visi misi maka tentu dia harus dicek akan pandangan terhadap isu-isu HAM, KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), pandangan terhadap Isu-isu reformasi hukum, isu-isu lingkungan, pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat, perempuan dan anak, akses orang miskin,  lapangan pekerjaan dan perdagangan manusia. Apakah program itu menjawabi kebutuhan dan gampang diaplikasi, atau mengawang dan hanya dia sendiri yang bisa melaksanakan?

Dari ucapan dan tindakan, apakah politisi ini memberdayakan rakyat atau justru membuat warga bergantung pada dirinya? Semuanya bisa ditelusuri dalam ucapan dan tindakan dalam hari-hari kedepan. Saat ini lewat pernyataan di media, maupun saat kampanye nanti.


Apa yang dibuat sebagai pilihan kritis rakyat ini tentu dimaksudkan untuk mencari pemimpin dan politisi yang dapat menjawab kebutuhan rakyat dan  bukan megaloman yang tersanjung dalam riuh reda tepuk tangan penggemar.


Maka, silakan dicermati dari empat sosok politisi yang tampil dalam pilkada NTT, mana sosok yang pantas untuk menjadi gubernur. Jadi kebutuhan akan politisi, tetap saja kembali pada politisi yang mana.

Untuk saat ini hanya satu yang menggembirakan, bahwa tampilnya empat politisi sedikit banyak membawa harapan bahwa isu-isu primordialisme tidak menjadi bahan kampanye dalam politik pilkada NTT. Karena memang tidak punya dasar. Apalagi di rana politik, yang dibicarakan adalah visi, misi dan program untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas, bukan  sukunya sendiri.


Kaluapun akhirnya kandidat dan tim suksesnya memainkan isu-isu primordial, politik uang hanya untuk memenangkan pemilihan, ada baiknya kandidat tersebut kembali ke partai politik belajar ulang untuk menjadi politisi.


Benjamin Tukan, Periset Media, Aktivis Sosial dan Direktur Penerbit Tollelegi


Lembata Bercerita : Diperlukan Buku Tentang Sejarah Perjuangan Otonomi Lembata

JURNALTIMUR.COM,- Kabupaten Lembata memiliki keunikan dalam memperjuangkan pemekaran menjadi kabupaten. Jauh sebelum terjadinya  pemekaran provinsi dan kabupaten di wilayah Indonesia, pada tahun 1954 masyarakat Lembata sudah mendeklarasikan otonomi untuk menjadi kabupaten sendiri.


Namun demikian, keunikan yang dimiliki Lembata ini dalam perjalanan kabupatennya sejak pemekaran dari kabupaten Flores Timur tahun 1999, tidak banyak memberikan perhatian pada sejarah perjuangan otonomi Lembata termasuk cita-cita yang pernah dirumuskan para pendahulu sepanjang sejarah perjuangan otonomi Lembata.  Akibatnya banyak generasi  Lembata yang tidak tahu sejarah, bahkan Lembata terancam tidak memiliki keunikan dibandingkan kabupaten dan wilayah lain.


Untuk mendorong hal itu, diperlukan adanya berbagai upaya termasuk membangun monumen 7 Maret, memberi nama jalan dengan nama-nama pejuang otonomi Lembata, dan penerbitan buku sejarah Lembata yang bisa dijadikan muatan lokal dalam pendidikan di sekolah.


Pendapat ini mengemuka dalam diskusi yang digelar Keluarga Besar Mahasiswa Pemuda Lembata Jabodetabek (Kemadabaja), di Tugu Proklamasi – Matraman Jakarta, Sabtu 11 November 2017. Diskusi menghadirkan nara sumber, sejahrawan Thomas Ata Ladjar dan Politisi Muda Partai Golkar Viktus Murin ini dihadiri hampir 50 peserta dari kalangan mahasiswa.


Thomas Ata Ladjar dalam paparannya menguraikan dengan sangat detail sejarah masyarakat Lembata sejak dari jaman pra sejarah hingga jaman reformasi saat ini. Sementara Viktus Murin sebagai mantan Aktivis Mahasiswa  yang sangat dikenal, juga terlibat dalam beberapa kegiatan politik memaparkan tentang peran dan kedudukan mahasiswa sebagai agen perubahan dalam masyarakat.


Hampir 23 bagian sejarah Lembata yang diuraikan Thomas Ata Ladjar, penulis beberapa buku sejarah termasuk sejarah Jakarta ini. Pembabakan sejarah Lembata yang diuraikan Thomas Ata Ladjar meliputi saman pra sejarah, masuknya Agama-agama Wahyu, jejak kolonial di Lembata, periode dua kerajaan Islam di Lembata, sejarah pendidikan, sejarah kebencanaan,  perjuangan otonomi Lembata, dan sejarah kebudayaan dan masyarakat Lembata .


Menurut Thomas Ata Ladjar, pengetahuan akan sejarah Lembata penting artinya untuk generasi saat ini dalam membangun Lembata ke depan. Sayangnya, kata Thomas pemerintah belum memberikan perhatian serius akan penerbitan-buku-buku tentang sejarah Lembata,


“Sebenarnya ada buku yang pernah diterbitkan, tetapi buku itu tidak lengkap dan masih dipenuhi dengan berbagai kutipan dengan sumber yang tidak jelas,” kata Thomas.


Dia mengatakan, saat ini kabupaten Lembata menamakan dirinya sebagai kabupaten Literasi, namun pada gilirannya kabupaten ini pun harus bisa menulis dan memberi perhatian pada sejarahnya sendiri, termasuk kegunaan praktis menjadi materi muatan lokal.


Dalam kesempatan itu, mantan wartawan dan salah satu penulis eksiklopedi Indonesia ini, memotivasi mahasiswa untuk berlatih menulis  dan mulai mempelajari sejarah agar dapat mempersiapkan masa depan yang lebih baik.


Sementara itu, Viktus Murin dalam paparannya mengingatkan mahasiswa tentang idealisme perjuangan mahasiswa yang tidak boleh terkooptasi dengan kepentingan politik apapun. Viktus menyadari bahwa banyak mahasiswa merupakan putra dari para birokrat dan politisi di Lembata, tapi hal itu tidak boleh menjadi beban dalam menyuarakan idealisme.


Sebagai mantan Sekjen GMNI di level nasional, uraian Viktus menukik pada kemampuan-kemampuan praktis yang harus dimiliki para mahasiswa. Selain kesediaan untuk berkolaborasi dan berjejaringan, kata Viktus, para mahasiswa juga perlu mengetahui berbagai regulasi yang ada sehingga program kerja lebih terarah. Para mahasiswa pun katanya, harus memastikan logistik dalam berorganisasi yang diperoleh dari dukungan masyarakat.

Mahasiswa Lembata foto bersama di Tugu Proklamasi usai diskusi

 Dalam hubungan dengan sejarah, Viktus yang juga mantan wartawan ini mengharapkan agar mahasiswa terlibat mendorong pemerintah untuk memberi  nama jalan di Lembata dengan nama-nama tokoh pejuang otonomi Lembata dan perlu membangun tugu peringatan pejuang otonomi Lembata.

“Siapaun yang ke Lembata pasti akan tersesat karena banyaknya jalan di Lembata yang tidak punya nama. Perlu memberi nama jalan itu dan nama-nama itu bisa diambil dari nama para pejuang Otonomi Lembata,” kata Viktus.


Ketua Umum Kemadabaja  Choky Askar Ratulela tuan rumah penyelenggaraan diskusi  mengharapkan agar  anak muda jangan sampai melupakan sejarah. Choki juga memberikan apresiasi atas kehadiran dua narasumber yang baginya sangat memberi informasi yang memadai tentang sejarah Lembata.


“Kita sebagai anak muda jangan menolak lupa pada sejarah. Sejarah merupakan identitas kita, dimana dari sanalah kita berasal,”kata Choky.


Sekertaris Umum Kemadabaja Efensianus D Jawang  berkomentar bahwa diskusi kecil ini  sangat menarik dan dirinya bisa dapat lebih mengetahui sejarah Lembata.


“Baru sekarang saya mengerti tentang sejarah otonomi Lembata. Mudah-mudahan ke depan ada buku dan terbitan yang memuat sejarah perjuangan otonomi Lembata, “ harapnya.


Choky di akhir diskusi menekan tiga hal yang akan dilakukan mahasiswa Lembata yakni, mengusulkan kepada Pemerintah Daerah Lembata agar menentukan nama nama pejuang Lembata pada  setiap sudut jalan di Lewoleba, ibukota Kabupaten Lembata,  dan selanjutnya pada tingkat Kecamatan Desa.



Kemuadian yang kedua, membangun tugu Statement 7 Maret sebagai monumen simbol sejarah persatuan Rakyat Lembata. Yang terakhir, kurikulum muatan lokal sekolah dasar sampai sekolah menengah atas harus ada sehingga putra/i daerah lebih paham akan sejarah mereka. (Ben)

In memoriam, Penyair Religius Pater John Dami Mukese

JURNALTIMUR.COM,- Mengagetkan berita pagi ini, Kamis, 26 Oktober 2017, Pater John Dami Mukese berpulang. Sosiolog Charles Beraf menulis di Status Facebooknya dengan menyebutkan sebagai kepergian yang mendadak.


John Dami Mukese meninggal dunia pagi dini hari Kamis ini pukul 02.15 witeng di RSUD Ende, Flores. dalam usia 67 tahun. Lahir pada 24 Maret 1950 di Menggol, Benteng Jawa, Manggarai Timur, Flores, NTT, John Dami Mukese adalah Imam Serikat Sabda Allah dan penyair terkemuka NTT yang menyumbangkan kekhasan puisi religius bagi kehidupan sastra nusantara.



Pater John Dami Mukese, SVD
John Dami Mukese dikenal luas sebagai penyair. Peneliti sastra Yohanes Sehandi menyebut John Dami Mukese sebagai penyair kebanggan NTT.  Suhendi dalam beberapa tulisan dan kajian sastra  menyebut  John Dami Mukese sebagai penyair produktif, penyair NTT generasi setelah Gerson Poyk.


Sebutan kepenyairan untuk John Dami Mukese memang demikian adanya. John Dami Mukese adalah puisi itu sendiri dalam kesan Gerald Bibang  melalui Puisi "Kredo Puisi" yang ditulis pagi ini.


Kepenyairan John Dami Mukese memang tidak diragukan lagi. Buku kumpulan puisinya seperti (1) Doa-Doa Semesta (Nusa Indah, Ende, 1983, 1989, 2015), (2) Puisi-Puisi Jelata (Nusa Indah, Ende, 1991), (3) Doa-Doa Rumah Kita (1996), (4) Kupanggil Namamu Madonna (Obor, Jakarta, 2004), dan (5) Puisi Anggur (2004),  Menjadi Manusia Kaya makna. Jakarta: Obor.( 2006) dicetak ulang beberapa kali.


Puisinya penuh inspirasi yang juga menjembatani pikiran-pikiran teologi yang rumit ke dalam bahasa dan rasa yang sederhana dalam konteks masyarakat Flores yang sederhana tempat ia menulis dan berefleksi. Puisinya bagai Doa Litani dan nyanyian mazmur dalam bentuk baru dan lebih membumi. Puisi  Natal seorang Petani, Natal Seorang Nelayan, Natal Buruh Kecil, adalah sebagian kecil refleksi John Dami Mukese akan soal-soal yang berhubungan dengan dimensi religiositas masyarakat.


Kendati titik berangkat puisi John Dami Mukese lebih bernuansa Katolik, kemampuan untuk memilih dan memilah kata dserta ketaatan pada struktur puisi menyebabkan puisinya dapat dinikmati oleh siapa saja dalam pengalaman religiositas yang beragam.


Barangkali ini alasan yang cukup masuk akal,  mengapa sajak-sajaknya berjudul Doa-Doa Semesta – yang terdiri dari beberapa bagian dimuat di  majalah sastra terkemuka HORISON di era tahun 1980-an.


Di luar puisi dan kepenyairan, John Dami Mukese adalah cendikiawan yang merayakan dunia tulis menulis sebagai tempat menumpahkan refleksi, menggugat dan memberikan apresiasi pada kompeleksnya kehidupan masyarakat.

Belajar di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Katolik Seminari Tinggi St Paulus Ledalero Flores 1980 dan CPAF,University of the Philippines, sejak mahasiswa John Dami Mukese telah menuangkan gagasan-gagasan dalam tulisan di Media FOX. Ia masuk dalam sedikit penulis yang menjanjikan masa depan kehidupan intelektual.


Dunia menulis juga keprihatinannya pada budaya literer  menempatkannya sebagai redaktur Media Mingguan Dian, dan Flores Pos. Ia juga editor untuk penerbit Nusa Indah Ende.


Sebagai penyair dan intelektual yang merekam kehidupan masyarakat dari bilik-bilik sunyi, John Dami Mukese adalah pencinta sejarah. Ia menjadi editor untuk buku "Indahnya  Kaki Mereka" yang bercerita tentang kehidupan misionaris tempo dulu dalam tiga seri buku.


Buku ini cukup menggambarkan minat dan keseriusan John Dami Mukese, karena disana ia tidak saja bertindak sebagai editor, tapi juga sebagai pewawancara sekaligus menuliskan kembali hasil wawancaranya. Perpektif sejarahnya dengan mudah dijumpai dalam pertanyaan-pertanyaan yang diajukan termasuk memilah struktur penulisan pasca wawancara. Ia menulis bersama sejahrawan Edu Jebarus.


John Dami Mukese telah menjadi "sumur" dimana generasi baru menimbah "air insipirasi". Boleh dibilang tak mungkin menulis atau membicarakan puisi NTT saat ini, tanpa menyebutkan Penyair John Dami Mukese.


Begitu pun, tak mungkin melewatkan refleksi natal dalam konteks masyarakat petani dan nelayan, tanpa terlebih dahulu menyimak puisinya tentang Natal seorang Petani dan Natal seorang Nelayan.  Begitu sederhana, namun menancap di kepala untuk diingat.


Pater John Dami Mukese sudah pergi kembali ke rumah Bapa di Surga. Kita bisa mengutip satu kalimat dari puisinya "Doa untuk Para Misionaris" yakni "Sambutlah mereka di gerbang kemenangan".
Selamat jalan Pater.


Benjamin Tukan





Tanjung Bunga, “Tak Mungkin Jauh Mata Dekat di Hati”

“Jauh di mata dekat di hati”. Ungkapan ini tak mungkin ditujukan untuk warga Tanjung Bunga, ujung timur Pulau Flores di Kabupaten Flores Timur. Bagaimana mungkin diantara hati mu dan hati ku ada ikatan, bila untuk berjumpa pun kita tak pernah?


Berjumpa dengan warga Tanjung Bunga boleh dibilang susah-susah gampang. Infratruktur jalan memang menuju Tanjung Bunga, juga diantara kampung-kampung di Tanjung Bunga masih menjadi kandala hingga saat ini.


Sedikit ada perubahan dengan pembukaan isolasi jalan oleh pemerintah dalam tiga periode kepemimpinan Bupati Flores Timur, tapi kondisi jalan yang sempat dibuka itu boleh dibilang masih apa adanya. Beraspal untuk beberapa kilometer saja, kemudian pengerasan, atau tetap dibiarkan menjadi jalan tanah.


Merealisasikan pembangunan jalan di wilayah tanjung Bunga bisa mulus dan menjawabi kebutuhan masyarakat, memang tidak sedikit memerlukan dana.  Barangkali setengah lebih APBD Kabupaten Flores Timur harus difokuskan untuk tanjung bunga. Tapi itu tidak mungkin.


Karena itu, loby-oby ke pusat untuk menambah dana adalah hal yang menjadi alternatef pembiayaan. Anggota Legislatif DPR RI, Melkias Markus Mekeng dikenal punya perhatian besar terhadap daerah ini. Beberapa kali ia datangi tempat ini, dan beberapa kali pula bantuan anggaran dapat digelontorkan.


Tak kalah dengan Mekeng, Bupati Anton Hadjon pun merasa penting untuk terus melakukan lobi-lobi ke Jakarta dalam rangka pembangunan tanjung bunga juga wilayah-wilayah lain di Flores Timur.

***


Ojek kini menjadi alat transportasi yang menghubungi satu kempung dengan kampun lainnya di Tanjung Bunga (Foto : JurnalTimur/Stefan)
Awal Oktober 2017, JurnalTimur berkesempatan untuk mengunjungi tanjung Bunga. Pesawat mendarat di bandara Gewayan Tana –Kabupaten Flores Timur, JurnalTimur langsung menuju Laka sebuah perkampungan nelayan di wilayah Tanjung Bunga. Kondisi jalan masih biasa-biasa saja. Kelelahan begitu terasa.


Laka boleh dibilang masih pertengahan untuk sampai di Kampung Basira ujung timur Flores. Bermalam di Laka, selanjutnya dengan kapal motor melalui pantai utara menuju Basira.


Perjalanan sungguh menarik, karena alam menyuguhkan pemandangan yang memanjakan mata. Kendati di laut, ada penanda yang dapat dilihat pada kampung-kampung di sebelah utara seperti Karawutung, Muleng, Linowahing, dan Lamatutu. Akhirnya Tiba di pantai kelambu, kemudian berjalan menuju perkampungan Basira. Basira sendiri adalah kampung baru. Warga yang sebelumnya tinggal di kampung Hurit dekat teluk kelambu, harus berpindah ke Basira karena bencana Tsunami 1992.


Sebenarnya banyak masih ada alternatif lain yakni melalui Waiklibang, ibukota kecamatan Tanjung Bunga. Tanpa menyinggahi Laka, bisa langsung ke Waiklibang. Dari Waiklibang ke Beloaja, Koten Walan, Tanabelen hingga Basira.  Alternatif lain melalui jalan laut dengan perahu motor penumpang, dari Larantuka-Basira atau Basira – Larantuka setiap Senin dan Kamis.


Semua jalur itu, belum juga menjawabi kebutuhan warga Tanjung Bunga dalam satu lintasan. Sebab, di wilayah selatan atau wilayah yang mengitari teluk hading, teluk terbesar di Flores itu, masih juga ada beberapa perkampungan seperti Ebak, Lama Odjan, Riangpuho, Riang Keroko, dan Turubehang. 

Jalan masih menjadi kandala. Namun rencana pemerintah untuk membangun infrastruktur jalan di wilayah ini, sempat didengar masyarakat. Ada proyek pembangunan jembatan yang sedang dikerjakan di wilayah ini.  Ada satu-dua alat berat yang dijumpai dalam perjalanan. Semua ini cukup menghibur warga Tanjung Bunga, bahwa kelak daerahnya akan maju dan penduduk pun akan leluasa untuk berpergian.


Tanjung Bunga. Dulu saat masyarakat Flores dan Lembata  pergi merantau ke Jawa dan Malaysia dengan kapal laut yang melintasi wilayah ini, akan menjadi tanda yang tak terlupakan. Mereka yang pergi merantau akan sungguh merasakan meninggalkan kampung halaman, bila mata sudah tak melihat Tanjung Bunga-tanjung Flores ini. Saat itulah perasaan untuk menjadi apa saja di negeri rantau mulai terpupuk.


“ Tanjung Bunga sudah semakin jauh, Sinyo terdampar di nagi orang”.



Tanjung Bunga bukan sekedar tempat. Ada warga dengan kehidupan social budaya dan ekonomi, Bagaimana pun pemerintah mesti memberikan perhatian pada Tanjung Bunga. Agar hatimu dan hatiku bisa bertemu tak terkendala minimnya infrastruktur jalan. (Stefan/Ben) Bersambung

Wisata Flores Tak Lengkap Tanpa Tanjung Bunga

Pemandangan Pantai di Wilayah Tanjung Bunga (Foto : JurnalTimur/Stefan)

JURNALTIMUR.COM,- Keindahan alam dan budaya Flores-Nusa Tenggara Timur (NTT) memang tidak diragukan lagi. Destinasi wisata Komodo di Labuan Bajo di daerah Flores bagian barat, Kampung Bena dan Kelimutu di bagian tengah, serta budaya laut dan pesisir masyarakat ujung timur Flores sudah menjadi andalan wisata di Flores. Tapi bagaimana dengan panorama alam dan budaya di ujung Flores bagian timur? Tak banyak yang tahu.


Akhir Oktober 2017, JurnalTimur berkesempatan mengunjungi daerah ujung timur pulau Flores,  yang disebut Tanjung Bunga. Alam pantai serta panorama alam dan budaya di wilayah begitu menawan, bahkan semakin meyakinkan mengapa Portugis dulu pertama kali datang ke Flores justru menyinggahi wilayah ini.


Nama Flores sebagai sebutan pulau bunga bermula dari tempat ini. Ketika dulu awal perdagangan nusantara, kapal-kapal yang berlayar melintasi perarian Flores  bagian utara, entah dari timur ke barat dan barat ke timur, selalu tergoda untuk menyinggahi tempat ini. Dari kejauhan buih ombak pantai yang merebah di atas batu-batu, serta lambaian pohon-pohon di seputaran pantai selalu menggoda untuk berteduh dari amukan gelombang laut Flores.


Tanpa menjadi ceritra besar, hingga kini pun secara diam-diam para pelaut yang berlayar dari selatan  ke utara terutama kapal-kapal layar dari Australia kadang menyinggahi tempat ini untuk beberapa hari menikmati keindahan alam yang ada.


Letak Tanjung Bunga di wilayah Kabupaten Flores Timur,  memang berada di lengkungan pulau Flores bagian timur. Sungguh strategis tempat ini, karena dari sini  para pelaut menentukan arah kapal menuju ke daerah Sulawesi, atau ke timur ke Maluku, atau juga ke barat menyusuri tepi pantai hingga ujung barat Fores, Bima dan seterusnya ke Jawa.


Bagaimana dengan penduduk wilayah ini? Sebagai tempat berlabuh nan teduh, sejak dulu orang-orang dari berbagai wilayah datang dan menetap di wilayah ini. Begitu banyak kampung-kampung kecil dengan cerita asal usul penduduk yang begitu beragam. Ada kesamaan budaya di setiap kampung, tapi ada perbedaan dalam suguhan budaya.

Pantai berteluk, bahkan terdapat teluk yang sangat besar untuk ukuran Flores terdapat di wilayah ini. teluk yang menyerupai danau merupakan pertemuan yang biasa warga saat malam melaut mencari ikan. Ini juga dapat menceritakan bagaimana kehidupan masyarakat nelayan berjumpa dengan masyarakat petani ladang. Lagi-lagi, sungguh, sebuah kealpaan selama ini, bila orang mau mengenal Flores tanpa mendalami kehidupan masyarakat wilayah ini.


Selain penduduk, Flores bagian timur, atau Tanjung Bunga , memiliki sebuah danau yang begitu eksotik yakni danau Waibelen atau danau asmara. Sebutan danau Asmara mengikuti kisah cinta sepasang kekasih  yang melegenda berhubungan dengan danau ini. Ada juga batu bertulis yang berada tidak jauh dari Danau Waibelen, yang oleh masyarakat setempat merupakan tempat, dimana dulu kerajaan Majapahit pernah menyinggahi wilayah ini. Bahkan di pinggir pantai ada berdiri sebuah batu yang menyerupai patung manusia yang penuh dengan cerita-ceritra lagenda. Itu Kompong Dei sebutan masyarakat atas batu ini.


Tanjung Bunga adalah Flores itu sendiri. Lama tertidur lantaran gerakan zaman selalu membawa mimpi menuju pusat. Jangankan orang luar, orang-orang di Larantuka-Ibukota Kabupaten Flores Timur pun tak juga mengenal dengan baik daerah kaya potensi ini. Semua menuju ke pusat yang menjadikan daerah ini ditinggalkan dan nyaris disebut daerah pinggiran.


Pemerintah kabupaten Flores Timur dalam tiga periode kepemimpinan Bupati mulai menyadari akan potensi Tanjung Bunga. Tapi jauh dari itu mulai menghargai keberadaan masyarakat di sana. Penduduk yang tinggal di kampung-kampung kecil di balik bukit mulai dihubungi dengan pembukaan jalan. Satu dua kendaran pun sudah bisa memasuki daerah yang dulu sangat terisolasi ini. Transportasi laut yang merupakan andalan masyarakat kian hari, kian dibenahi dan ditingkatkan.


Tanjung Bunga yang kaya potensi, kini tengah menjadi perhatian yang serius pemerintah kabupaten Flores Timur dibawah Nahkoda Bupati Anton Hadjon. Bupati yang dikenal sangat dekat dengan warga Tanjung Bunga ini mulai merealisasikan harapannya agar Tanjung Bunga segera kembali dikenal dan dikunjungi orang. Penduduk pun bisa lebih leluasa pergi kemana saja untuk memperdagangkan hasil buminya.


Pada sebuah acara di Koten salah satu kampung di Tanjung Bunga, JurnalTimur sempat berpapasan dengan Bupati Flores Timur Anton Hadjon. Sedikit berceritra seadanya, namun menggambarkan komitmen yang sungguh serius dari Bupati Anton akan wilayah ini. Kalau saja di Larantuka kita tidak berjumpa, maka di Tanjung Bunga, perjumpaan itu bisa saja terjadi walau sebentar.

Kini Tanjung Bunga mulai banyak diceritakan. Mulai banyak yang merancang akan melakukan apa di wilayah ini. Sementara warga tetap dalam rutinitas memelihara alam, hidup , tradisi dan kebudayaan.


Sungguh ini berita baik tentang Tanjung Bunga. Sebab, selalu saja ada yang kurang dalam membicarakan Flores. Kekurangan itu ternyata karena belum disebutkan Tanjung Bunga. Bersambung (Stefan/Ben )

In Memoriam Brigjen Polisi Anton Enga Tifaona, "Dedikasi Hingga Akhir Hayat"

Anton Enga Tifaona

JURNALTIMUR.COM,- Brigjen Pol (Purn) Anton Enga Tifaona telah kembali ke rumah Bapa di Surga, Minggu 15 Oktober 2017 jam 00.30  dalam usia 83 tahun. Rencana pemakaman akan berlangsung pagi ini  Senin, 16 Oktober 2017 di TPU Menteng Pulo.

  
Kabar meninggalnya Brigjen Anton Tifaona, begitu cepat beredar luas. Tak sekedar sebuah info yang ditulis di dinding media sosial, tulisan dari ucapan belasungkawa yang disebarkan, sungguh menggambarkan pengenalan yang begitu dekat dan kekaguman yang luar akan sosok almarhum Anton Enga Tifaona.



Anton Enga Tifaona (1934-2017)
 Tak bedanya dengan kabar yang disimak dari info-info di media sosial, di rumahnya Brigjen Anton Tifaona di Tebet –Jakarta  Selatan, tempat almarhum disemayamkan, suasana begitu ramai penuh sukacita. Orang-orang yang datang dan pergi hanya ingin agar sedapat mungkin menemui jasad untuk memberi penghormatan terakhir.

 
 Begitu banyak karangan bunga yang dikirimkan ke alamat rumah jalan Kebon Baru III/2 ini. Jejeran karangan bunga yang terlihat sangat banyak itu, datang dari para sahabatnya dan kenalan juga dari perwira-perwira Polri yang kini sedang menjabat. Dari Kapolres hingga Mabes Polri, ucapan turut berdukacita dilayangkan bagi keluarga.


  
Bapa Anton Tifaona, demikian almarhum selalu disapa, adalah seorang purnawirawan polisi berpangkat Brigjen. Selama karir di kepolisian, Bapa Anton telah menduduki beberapa jabatan penting diantaranya,  Irpolda Jawa Timur (1985), Kapolda Maluku (1985-1986), Kapolda Sulawesi Tenggara ((1986-1988), dan Wakapolda Jawa Barat (1988-1989).


 Bapa Anton  sebelum ditugaskan pemimpin di lingkungan Polda, masa-masa awal karirnya dilalui di Kupang, dan Flores, Kalimantan dan Timor-Timur serta sempat beberapa waktu di Jakarta sebagai Asisten Operasi Kapolri dan Asisten Sapu Jagat.

 
Semua jabatan dan prestasi yang diembannya tidak banyak orang yang tahu. Sosok yang sederhana, tegas, prinsipil, serta lugas dan rendah hati ini jarang menonjolkan jabatan-jabatan itu, kecuali menceritakan perbuatannya yang penting dari perjalanan karirnya. Justru yang menonjol adalah pangkat Brigjen yang selalu melekat dengan namanya.


 Barangkali menyebut Brigjen Anton Tifaona jauh lebih bermakna dan merangkum semua perjalanan sosok ini, ketimbang hanya  mengenal prestasi dan jabatannya di kepolisian.


Sudah pasti pangkat Jenderal yang disandangnya menunjukan sosoknya yang perlu diperhitungkan. Di luar itu, pangkat jendral yang disandangnya menunjukkan bahwa hanya orang-orang tertentu saja termasuk dari daerah asalnya Nusa Tenggara Timur yang bisa mendapatkan jabatan dan pangkat itu.


Lahir di Imulolon, Lembata-Nusa Tenggara Timur, 21 Agustus 1934, Bapa Anton menjalani pendidikan Sekolah Rakyat (SR) di Lamalera -Lembata,  Standard School di Larantuka-Flores, SMP Seminari Todabelu Flores, SMA Syuradikara Ende-Flores, Sekolah Polisi Negara (SPN) Sukabumi, dan terakhir di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta. Di luar itu, Bapa Anton juga mengikuti pendidikan di Sesko ABRI Bagian Udara, Manajemen Hankam, Senior Officer Course dan Manggala BP.7.


Menelusuri sejarah singkat hidupnya, baik sejak keluar dari Imulolon Lembata untuk mendapatkan pendidikan yang baik, hal yang selalu melekat padanya adalah jiwa pemimpin dan sikap bertanggung jawab baik bagi dirinya sendiri, keluarga, tanah kelahirannya, masyarakat Flores dan Nusa Tenggara hingga masyarakat dimana ia pernah berkarya.


Di setiap tempat tugasnya, ia tidak hanya mengurusi hal yang berhubungan dengan kepolisan, tapi juga hadir di tengah masyarakat . Suka duka masyarakat adalah suka dukanya, kegembiraan masyarakat adalah kegembiraanya juga.


Bapa Anton sangat peduli dengan masalah. Sekecil dan sebesar apapun persoalan yang membutuhkan dirinya ia selalu berusaha untuk hadir dan menyelesaikannya.  Jangan kan berelasi dengan sesama perwira Polri, "orang-orang besar" di Jakarta,  dengan calon mahasiswa yang baru tiba di Jakarta pun, Bapa Anton selalu menyiapkan waktu.

Rumahnya terbuka untuk siapa saja,, kantornya pun demikian. Tidak ada telpon yang tidak ia ladenin. Kalau pun sibuk, ia akan menelpon kembali. Begitu pun dengan undangan untuk menghadiri acara, tidak ada yang  ia abaikan. Kepanitian-kepantian yang terbentuk, kalaupun itu demi banyak orangnya, ia selalu menyanggupi untuk terlibat.  Ia tahu kehadirannya sungguh dibutuhkan.


Di luar tugas kepolisian, semasa hidupnya almarhum menjabat Ketua Bidang Humas Ikatan Sarjana Ilmu Kepolisian, Anggota Forum Komunikasi Purnawirawan TNI dan Polri, Ketua Umum Forum Pengkajian dan Pembentukan Provinsi Flores, Penasehat Ikatan Alumni Syuradikara, Jakarta dan berbagai organsiasi keluarga, POKJATAP & Pakar di D Dewan Ketahanan Nasional, Senior Advisor Bidang Keamanan di berbagai instansi, Sekretaris Dewan Pertimbangan Yayasan Jati Diri Bangsa, Ketua Dewan Pembina Yayasan Lamaholot Gelekat Tuan Ma, dan Dewan Penasehat Yayasan Mgr. Gabriel Manek.


Kesanggupan almarhum dalam membangun relasi personal dengan siapa saja ini membuatnya sangat dikagumi melebih prestasinya di kepolisian. Dalam berbicara dengannya, ia selalu antusias, ceria dan penuh optimism. Ia hadir di setiap kesempatan tidak hanya membawakan pikiran-pikirannya untuk didiskusikan, melainkan menunjukkan kehangatan termasuk rasa tanggungjawab untuk memelihara setiap gagasan-gagasan baik.

Bapa Anton ibarat cahaya yang tak hanya menerangi, tapi juga menunjukkan arah kemana langkah dibawa.Karenanya, ia memang pantas ditokohkan terlebih oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur. Bahkan, ia pun menjadi sosok yang dibanggakan oleh masyarakatnya juga yuniornya di kepolisian.


Suami dari Veronika Wilhelmina Nyo ini,  memiliki kepedulian sosial yang begitu tinggi terutama terhadapa kondisi pemerintahan dan birokrasi di NTT, masalah kesehatan dan pendidikan, juga kepedulian pada masa depan generasi muda.Banyak hal sudah diperbuatnya.


Sekarang Bapa Anton sudah meninggalkan kawanannya dan pergi menemui Bapa di Surga. Kepolisian tempat ia bekerja sebagai Abdi Negara tentu melepaskan kepergiannya dengan penuh hormat.

Tapi untuk masyarakat Flores dan Nusa Tanggera Timur, sosok Bapa Anton Enga Tifaona memang tidak tergantikan. Tidak mudah mendapatkan orang yang begitu aktif, hangat, mengenal dan mengerti masyarakatnya.


Tapi semua itu sepertinya sudah disadari Bapa Anton Enga Tifaona. Tiga empat tahun belakangan ini, ia benar-benar memberikan jalan bagi peralihan generasi. Ia lebih memilih berada di rumah ataupun pergi ke tempat acara dan memilih duduk di kursi paling belakang. Ia membiarkan generasi baru merayakan zamannya.


Ia benar menikmati masa tuanya, sambil membuat peralihan dengan begitu sempurna. Ceritra-ceritra kecil yang selalu datang padanya selalu membuatnya tersenyum. Ia tentu berbangga, anak didiknya , dan juga siapa saja yang pernah datang kepadanya untuk berdiskusi, kini menjadi orang penting sekurang-kurangnya di tempat tugas masing-masing.

Selamat Jalan Bapa Anton. Terima kasih atas segala perbuatan yang baik.



Benjamin Tukan

Adakah Kebhinekaan Dalam Sastra? Inilah Pendapat Ignas Kleden

Sosiolog Ignas Kleden saat berbicara dalam Diskusi Panel Musyawarah Nasional Sastra Indonesia, di Jakarta, Selasa (18/7/2017) Foto : JurnalTimur

Penulis : Benjamin Tukan


JURNALTIMUR.COM,- Sastra dan Kebhinekaan menjadi topik yang diangkat untuk dibicarakan dalam Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi) ke-2 yang dilaksanakan di Jakarta, sejak Selasa  hingga Kamis, 18-20 Juli 2017.


Terkait dengan hal ini pertanyaannya, apakah ada sifat-sifat intrinsik dalam sastra, khususnya sastra tertulis yang memungkinkan pengalaman tentang kebhinekaan bagi orang yang membacanya?


Sosiolog Ignas Kleden, yang menjadi nara sumber  Panel diskusi I bertajuk “Sastra dan Kebhinekaan", dalam  Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi) ke-2, Selasa (18/7/2017) mengatakan bahwa dalam sastra, kebhinekaan bukan saja dimungkinkan tetapi dirayakan.


Ignas mengawali paparannya dengan menjelaskan duduk soal tentang sastra dalam berhubungan dengan kebhinekaan, Ignas Kleden menunjukkan ada tiga tema yang menjadi perhatian dalam pembicaraan sastra dan kebinekaan, diantaranya pertama, analisa hubungan sastra dan kebinekaan, kedua, kebijakan pemerintah terhadap sastra dalam hubungan dengan kebhinekaan dan ketiga, advokasi peran sastra dalam mendukung atau memperkuat kebhinekaan.


“ Masalah pertama adalah persoalan teori sastra dan teori tentang kebhinekaan, yang kedua merupakan politik kebudayaan yang berkaitan dengan kesadaran dan ketetapan pemerintah tentang sastra dan kaitannya dengan kebhinekaan, dan yang ketiga adalah perjuangan kelompok-kelompok masyarakat yang melakukan affirmative action untuk memperkuat peran sastra dalam mendukung dan memperkuat kebhinekaan sebagai sasarannya,” jelas Ignas Kleden.


Berbicara pada pokok soal mengenai kebhinekaan dalam sastra, menurut Ignas dapat ditinjau dalam beberapa segi, yaitu dari segi pengarang, dari segi pembaca, dari segi proses penciptaan, dari segi teks dan dari segi genre sastra  yang digunakan pengarang. Ignas mengakui, dalam sastra, kebhinekaan bukan saja dimungkinkan tetapi dirayakan.


Dari segi pengarang, menurut Ignas, pemgarang patut disebut pada tempat pertama karena kalau karya sastra dapat dianggap sebagai sebuah produk kebudayaan yang penting, maka pengarang adalah produsen yang utama, disamping editor dan penerbit.


“Pengarang selalu ditantang oleh dua hal yaitu orisinalitas dalam pesan yang hendak disampaikannya, dan otentisitas dalam bentuk yang digunakannya. Tantangan terhadap pengarang yang datang dari tuntutan untuk otentisitas dan orisinalitas menyebabkan tiap pengarang akan memberikan sesuatu yang diusahakan seunik mungkin dan membuat ceritra dan novel dengan kebhinekaan isi dan bentuk,” jelas Ignas.


Dari segi pembaca dalam hubungan dengan kebhinekaan. Menurut Ignas, kalau pengarang adalah produsen karya sastra, maka pembaca adalah konsumennya. Namun kata Ignas, seorang konsumen karya sastra berbeda fungsinya dari konsumen makanan restoran atau konsumen toko pakaian.


“Pembaca karya sastra tidak selalu menyesuaikan dengan pesan yang ditulis pengarang dalam karya sastranya, tetapi pembaca dapat memberi makna sendiri terhadap karya itu berdasarkan tafsir pribadi yang dilakukannya berdasarkan pengalaman hidup dan berdasarkan pengalamannya membaca karya-karya sebelumnya. Pembaca karya sastra bertindak sebagai ko-korektor untuk penciptaan makna suatu karya sastra  dan dengan demikian ada aneka makna yang diperoleh pembaca dari karya sastra yang dibaca oleh mereka.


Dalam proses penciptaan, kata Ignas, proses psikologis dan sosiologis pada masing-masing pengarang sastra amat berbeda-beda. Menurutnya, ada berbagai sebab yang berbeda-beda yang mendorong seorang menulis, dan berbagai keadaan yang seakan-akan  memaksa untuk menulis.


“Menurut pendapat saya, berbagai cerita mengenai proses penciptaan dalam sastra banyak gunanya untuk pendidikan sastra, khususnya dalam memotivasi para calon pengarang atau pengarang pemula, bahwa menulis dapat mereka lakukan dalam keadaan apapun dengan motif apa pun, asal saja dilakukan dengan kesungguhan,"urai Ignas.


Untuk masalah genre yang merupakan bentuk yang tersedia dalam sastra, lanjut  Ignas dapat dipergunakan oleh masing-masing pengarang sesuai dengan kebutuhan dan bakatnya. Dengan mencontohkan genre yang berbeda dari para sastrawan seperti  Sutan Takdir Alisyabana, Asrul Sani, Goenawan Mohamad, Hamsad Rangkuti, dan NH Dini,


Ignas kemudian menyimpulan bahwa tidak setiap pengarang dapat menjadi penyair yang menulis puisi, dan tidak setiap penyair dapat menulis novel dan tidak setiap penyair atau novelis dapat menulis esai yang baik, namun ada juga yang dapat memanfaatkan semua bentuk yang ada.


"Usaha membaca karya sastra dalam berbagai bentuk itu memberikan aneka pengalaman yang berbeda," ujar Ignas


Sementara pada karya sastra sebagai wacana tertulis, kata Ignas telah menunjukan sudah terbebas dari pengarangnya. "Setiap karya sastra lahir dari konteks tertentu dan karya sastra yang pada mulanya mempunyai kelompok atau orang tertentu yang menjadi sasarannya. Akan tetapi setelah selesai ditulis , karya itu dibebaskan juga dari sasarannya semula," jelas Ignas.


Ignas mencontohkan, surat-surat Bung Hatta kepada para sahabatnya, yang kini diterbitkan untuk umum memungkinkan setiap pembaca mempunya akses ke surat-surat itu dan dapat menafsirkan sendiri makna surat-surat itu. Hal yang sama juga, kata Ignas, juga terdapat pada catatan Ahmad wahid yang ditulis untuk dirinya sendiri, namun kini telah dibukukan dan dibaca dan didiskusi banyak kalangan.


“Karya tulis itu mengalamai berbagai tafsiran yang berbeda-beda, karena tidak terikat lagi pada kelompk atau orang tertentu yang semula menjadi sasaran karya itu. Ini pula sebabnya, bahwa karya tulis dan khususnya sastra tertulis, selalu ditafsirkan secara berbeda-beda oleh sasaran baru yang ditemui oleh karya itu, sehingga selalu mempunyai makna yang bineka,” jelasnya.


Ignas menympulkan bahwa berkenalan dengan karya sastra selalu berarti mengalami kebhinekaan dalam bentuk dan isi, dalam tafsir dan makna, dan dalam konteks yang selalu dinamis sifatnya. "Sastra adalah suatu dunia pluralitas. Dalam sastra,  kebhinekaan bukan saja dimungkinkan tetapi dirayakan," tutup Ignas.

Pada Panel I, selain Ignas Kleden, pembicara lain dalam panel diskusi itu Janet de Neefe dari Ubud Writter  dan Budayawan Radhar Panca Dahana. (Ben)    




Munsi II : Sastra Sebagai Penjaga Kebhinekaan Indonesia


Penulis : Benjamin Tukan

JURNALTIMUR.COM,-  Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi) ke-II dua yang menghimpun sastrawan dan pegiat sastra dari seluruh ini Indonesia berlangsung meriah dan penuh antusias. Kali ini para sastrawan dan pegiat sastra yang bertemu khusus membicarakan sastra sebagai penjaga kebhinekaan Indonesia.


Munsi ke-II ini berlangsung di Jakarta Selasa hingga Kamis, 18-20 Juli 2017. Munsi ke-I diselenggarakan tahun lalu pada bulan Oktober 2016. Sementara penyelenggara kegiatan ini yakni 
Badan  Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.


Sebagai salah satu lembaga pemerintah yang peduli pada kehidupan dan perkembangan sastra Indonesia,Badan Bahasa memiliki tanggungjawab untuk mendukung kemajuan sastra Indonesia. Dengan kegiatan ini, para sastrawan dapat  bertemu dan bertukar pikiran mengenai masalah kesusastraan.


 Kegiatan  yang dibuka Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy ini bertujuan untuk menyediakan wadah untuk berdiskusi, berkarya, berbagi informasi dan bersilaturahmi antara sastrawan dan pegiat sastra.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy, Kepala Badan Bahasa Prof. Dr. Dadang Sunendar, M.Hum saat pembukaan Munsi II (Foto : Ben/JurnalTimur)


Dalam musyawarah para sastrawan ini diisi dengan beberapa kegiatan yakni, ceramah kesusastraan yang terdiri atas tiga panel, diskusi kelompok, dan pentas sastra. Hasil dari ceramah sastra dan diskusi kelompok akan menjadi bahan rekomendasi bagi pemerintah. Pada kesempatan ini juga diluncurukan Buku Antologi Sastra Munsi: Antologi Puisi, Cerpen dan Esai Klasik, serta Antologi Puisi Sastrawan Munsi I.


Tema Munsi ke-II yakni "Sastra sebagai Penjaga Kebhinekaan Indonesia",  dipilih untuk mengingatkan kembali bahwa melalui sastra masih dapat dirajut kebersamaan tanpa saling menafikan. Demikian juga keberagaam budaya, bahasa dan sastra Indonesia adalah modal bersama sebagai bangsa, bukan sebagai pemisah sebagaimana mencuat akhir-akhir ini.


Hasil yang diharapkan dari kegiatan ini diantaranya,  karya sastra Indonesia yang berkualitas, karya sastra Indonesia sebagai bahan bacaan masyarakat di negeri sendiri; terjemahan karya sastra Indonesia ke berbagai bahasa asing; karya sastra Indonesia tersebar ke kancah internasional dan karya sastra Indonesia sebagai pengingat dan pengikat keberagaaman etnik Indonesia.


Peserta kegiatan ini berjumlah 180 orang yang terdiri dari sastrawan hasil seleksi karya, sastrawan penyumbang puisi dalam Antologi Puisi Munsi 2016; dan undangan; pelaksana program Sastrawan Berkarya di Daerah 3 T, Pemenang Penghargaan Badan Bahasa dan pegiat sastra.


Para pembicara yang tampil dalam tiga hari kegiatan ini diantaranya, Ignas Kleden, Janet De Neefe, Radhar Panca Dahana, Suminto A. Sayuti, Abdul Hadi WM, Rusli Marzuki Saria, Riris K. Toha Sarumpaet, Seno Gumira Adjidarma dan Akhmad Sahal.


Ignas Kleden, Janet De Neefe dan Radhar Panca Dahana telah menjadi narasumber dalam Panel Diskusi I dengan tema "Sastra dan Kebhinekaan" yang berlangsung hari pertama kegiatan musyawarah, Selasa (18/7/2017).


Sementara dalam kesempatan dialog Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy dengan para sastrawan dan pegiat sastra Munsi ke II yang berlangsung  Selasa (18/07/2017) sore, muncul berbagai saran dari peserta dalam rangka memajukan kesusatraan daerah.


 Para pesera menyarankan agar Pemerintah Daerah dapat mefasilitasi sastrawan dan penulis daerah terutama berkenaan dengan karya sastra yang telah dibukukan untuk masuk ke sekolah-sekolah dan menjadi bacaan para siswa. Tak sekadar buku, para sastrawan pun diharapkan dapat menghidupkan sastra masuk sekolah.


Mendikbud yang mengaku hadir untuk menerima masukan dan saran para peserta Munsi ke II, menyetujui saran yang disampaikan peserta.  Mendikbud meminta agar kantor dan badan Bahasa di daerah dapat memfasilitasi program sastrawan masuk sekolah dan kampus. (*)



Prosesi San Juan- Pesta Rakyat Warga Tujuh Kampung

Dolo-dolo di depan Kapela Santa Ana Lebao, Usai Proses Sanjuan, (Foto : groupwa Sanjuanjabodetabek)

JURNALTIMUR.COM,- Pesta rakyat warga tujuh kampung (nagi) di Lebao Tengah -Kecamatan Larantuka, Kabupaten Flores Timur, berakhir dini hari, Senin, (26/06/2017). Namun begitu, suasana pesta masih terasa hingga Senin (26/06/2017) sore, saat peralatan pesta mulai dikembalikan, dan beberapa warga masih melanjutkan kegiatan terakhir di lingkungan masing-masing.


Pesta rakyat. Warga setempat menyebutnya dengan Pesta San Juan yang diambil dari nama Santo Yohanes Pemandi, pelindung paroki yang menaungi umat tujuh kampung diantaranya, kampung Gege Wahihali, Lebao, Kampung Tengah. Tabali, Riang Nyiur, Kota Sau dan Kota Rowidho.


Perayaan San Juan, dilaksanakan setiap tahun bertepatan dengan perayaan kegerejaan  24 Juni 2017 yakni perayaan Santo Yohanes Permandi. Kali ini lantaran tanggal 24 Juni jatuh pada hari Sabtu, maka perayaaan San Juan dilaksanakan keesokan harinya 26 Juni setelah umat menyelesaikan misa hari Minggu.


Untuk tahun ini, perayaan San- Juan dirayakan bersamaan dengan peringatan 65 tahun gereja Sanjuan. Dua minggu sebelum perayaan San-Juan, umat paroki mengadakan berbagai kegiatan menyongsong perayaan HUT 65 tahun paroki. Salah satunya adalah mengadakan seminar tentang Keluarga dengan mengusung tema, "Perkawinan : Jalan Menuju Persaudaraan Sejati".


Di luar kegiatan seminar, dirayakan berbagai perlombaan seperti pop singer. tarik tambang, dan kuliner. Kendati dari segi persiapan tergolong lebih meriah, kegiatan-kegiatan ini hanya melanjutkan dari kegiatan yang selalu diadakan setiap perayaan San Juan tiba.


Prosesi San-Juan

Perayaan San Juan ditandai dengan prosesi keliling kampung yakni membawa patung Yohanes Permandi mengelingi kampung untuk memberi kesempata kepada umat melakukan penghormatan, berdoa dan memberi tempat khusus bagi santo pelindung paroki.


Tujuh kampung memiliki armidanya sendiri-sendiri yang disesuaikan dengan keberadaan kapela. Kapela tak sekedar bangunan tempat umat berdoa, tapi kapela juga tempat seluruh aktivitas kerohanian dan kemasyarakan yang terjadi dalam kampung itu. Suka-duka masyarakat dalam kampung, selalu menjadikan kapela tempat berkumpul untuk berbagi dan merayakan.



Gereja San Juan Lebao

Dari kampung-kampung kecil, perayaan San-Juan bagai perayaan yang menyatukan. Warga tujuh kampung ini dari sejarahnya adalah warga yang memiliki jaringan kekeluargaan satu dengan yang lain. Melalui perayaan ini hubungan itu pun terjalin kembali.



Setiap anak yang lahir dan dibesarkan dalam kampung-kampung di wilayah ini, sejak kecil sudah diperkenalkan akan pesta rakyat ini. Saat perayaan San Juan tiba, warga diberi kesempatan untuk melayani Tuhan dengan mengambil tanggungjawab dalam urusan memperlancar jalannya prosesi.


Tak sampai di situ saja, perayaan ini mengajak setiap warga dan umat di wilayah ini untuk mengenang dan berdoa untuk para leluhur, menjalin kembali relasi persaudaraan karena konflik, dan bergembira bersama melalui  perayaan makan bersama yang selalu diakhiri dengan tarian dan dolo-dolo,


Perayaan San Juan telah menyatu dalam kehidupan anak-anak dan warga serta umat San Juan. Kembali ke kampung untuk merayakan San Juan jelas merupakan iktihar yang harus dipenuhi setiap tahun saat perayaan itu berlangsung,


San Juan 2017

Sebagaimana tahun sebelumnya, setiap prosesi tentu harus selalu dipersiapkan. Sejak Sabtu, (24/06/2017) warga tujuh kampung ini sudah keluar rumah, bertemu di kapela untuk mempersiapkan perayaan prosesi. Armida yang dilalui prosesi mulai dihiasi dan disediakan tempat khusus untuk meletakan Patung Yohanes Pemandi.

Patung Sanjuan di Gereja San-Juan


Tak kurang dari penataan armada, di jalan-jalan prosesi juga dipasang paku-paku bambu untuk meletakan lilin prosesi. Bagai kota yang diterangi lilin, perayaan itu tak sekedar membawa ingatan pada tahun yang terlewatkan, tapi lebih pada kesederhanaan, kekeluargaan, dan kekerabatan penduduk wilayah ini.


Di luar kegiatan itu, persiapan koor, dan petugas ibadat tak luput dari perhatian umat yang ada dalam kampung. Maklum ini perayaan kampung, perayaan dalam kampung.Semua harus ambil bagian.


Saat prosesi tiba, wilayah tujuh kampung ini, diterangi lampu-lampu lilin dan jalanan dipenuhi dengan hilir mudik orang yang hendak berurusan dengan perayaan. Dengan berjalan kaki, warga pergi ke kampung-kampung, bertemu sanak famili, berceritra sambil mencicipi hidangan yang tersedia. Usai misa di Gereja prosesi dimulai.


Minggu malam, (26/06/2017), jalanan yang dilalui prosesi ditutup sementara dari kendaraan yang lalu lalang. Suasana terasa begitu syahdu, walau kegembiraan tak bisa ditutupi.


Umat dan warga yang berjalan kaki dari satu kampung ke kampung lain menjadi pemandangan tersendiri malam itu. Semenara pintu-pintu rumah penduduk dibiarkan terbuka menanti siapa saja yang datang untuk bertamu.


Begitu menyatunya warga tujuh kampung ini terlihat malam itu, saat perayaan San Juan menjadi tugas bersama untuk mensukseskan.


Akhir perayaan, umat kembali ke kampungnya masing-masing. Masih dalam rangkaian perayaan, umat melanjutkan tradisi yang dirayakan dalam kampung itu.  Malam berakhir dengan dolo-dolo dan makan bersama. Usai perayaan masih ada lagi perayaan yakni "serah punto dama" atau penyerahan lilin yang  menandai penyerahan tugas untuk tahun berikutnya.


Awal Mula


San Juan- menjadi pesta rakyat  sekaligus pesta iman yang berhubungan dengan perayaan Hari Yohanes Pembatis pelindung gereja. Umat tujuh kampung memang merupakan warga yang punya hubungan kekeluargaan yang sangat dekat.


Di wilayah ini, awalnya terdapat sebuah korke (pusat ritual kepercayaan asli). Tempatnya di Pusi Goa, lingkungan Lebao sekarang ini. Pada suatu masa terjadi gelombang imigrasi ke wilayah ini. Orang-orang yang tinggal di pesisir pantai, membentuk perkampungan yang dikenal dengan nama Kampung Tengah dan Kampung Kota (Kota Sau dan Kota Rowidho).


Proses kawin mawin membawa perkembangan yang luar biasa dalam membentuk tujuh kampung di wilayah ini. Sebelum menjadi paroki, tujuh kampung ini menjadi satu stasi dari paroki Reinha Rosari Larantuka. Bahkan dahulu kala, stasi ini pernah menjadi bagian wilayah paroki Ignatius Waibalun, dan mendapat pelayanan iman dari Wureh, kampung seberang di pulau Adonara.

Pada tanggal 24 Juni 1903 merupakan awal dari prosesi San Juan. Prosesi ini hanya berlangsung di seputaran kapela. Baru pada tahun 1913, atas kesepakatan umat Kampung Tengah dan Kota Sau, jalannya prosesi berlangsung hingga Kota Sau.


Pada tahun 1936, Pater Eben SVD, bersama Bapak Sandore Baon mulai menggerakan umat untuk mulai pembangunan gereja. Kurang lebih 120 kepala keluarga bahu membahu membangun gereja. Pada 1938 gereja selesai dibangun dan diresmikan.


Setelah gereja diresmikan, Pater Eben mengadakan prosesi Sakramen Maha Kudus bersamaan dengan prosesi San Juan yang membawa Patung Yohanes Pemandi. Rute Prosesi menyinggahi lima armida yakni, Armida Kampung Tengah, Lebao, Riang Nyiur, Tabali dan Kota Sau.


Saat pengresmian, sudah mulai diadakan upacara "Tukar Rengki" atau saling menukarkan persembahan makanan diantara warga kampung.  Gereja Lebao Tengah baru resmi menjadi paroki tahun 1951 dengan pastor paroki yang pertama P. Yan Van Asten, SVD.


Di Paroki ini ada dua Patung Yohanes Pembabtis. Patung Yohanes Pembatis yang tersimpan di gereja adalah patung pelindung paroki. Tapi satunya lagi ada di Kapela Kampung Tengah.


Kisah Patung Yohanes Pembatis di Kampung Tengah umumnya sama dengan beberapa Patung peninggalan Portugis yang ada di Larantuka, yakni terbawa hanyut dan terdampar di pantai wilayah Larantuka.


Menurut ceritra, Patung Yohanes Pemandi ditemukan di pantai di Kampung Tengah, yang kemudian menjadi milik Dominggo Fernandez dan Djuan Labina. Patung ini menjadi patung kramat, sama seperti patung-patung lain yang ada di kapela dalam wilayah tujuh kampung.


Kendati perayaan ini tak semeriah perayaan prosesi Jumat Agung di Larantuka, Konga dan Wureh, dari sejarah dan tradisi sebenarnya perayaan ini dapat disejajarkan dengan perayaan tradisi keagamaan lain yang ada di wilayah ini.


Dari segi patung-patung peninggalan tempo dulu, kapela-kapela yang ada di Paroki San Juan menyimpan juga berbagai patung peninggalan. Selain di Kampung Tengah, di Kota Rohwido, tersimpan patung Tuan Meninu yang menjadi bagian penting dalam perayaan prosesi Jumat Agung di Larantuka, Di Kota Sau ada patung Antonius Padua.


Di Gege, dalam kapela Nozsa Senhora tersimpan beberapa patung peninggalan. Raja Larantuka Raja Andre DVG II pada masanya punya perhatian akan penataan patung-patung di wilayah ini.     (Benjamin Tukan)