JURNALTIMUR.COM,- Tidak ada kebahagian dari seorang
guru kecuali dia tahu bahwa ada murid
yang belajar dari sesuatu yang diberikan itu. Dan sekiranya apa yang diberikan
itu, diingat seumur hidup oleh muridnya
maka itu merupakan kebahagian semur hidup dari seorang guru.
Pemikir Social Daniel Dhadikae mengatakan hal itu saat
memberi kesaksian atas sosok pedagog Dr. Jan Riberu, dalam peluncuran buku
"Pergulatan Pemikiran Dr. Jan Riberu: Pendidikan, Relasi Agama-Negara, dan
Pancasila" yang diluncurkan, di Jakarta,
Sabtu (27/01/2018).
Menurut penulis buku “Cendikiawan dan Kekuasan ini”, selama
menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero Flores, ia diajarkan oleh
dosennya Dr. Jan Riberu tentang cara membaca buku.
“Saya ingat apa yang dikatakan Pak Yan waktu itu, bahwa
jangan pernah membaca buku yang dimulai dari kata pertama sampai kata terakhir.
Itu bacaan orang bodoh. Ada beberapa cara membaca. Pertama, membaca analitik,
membaca sintesis dan kemudian menulisakan dalam kartu-kartu belajar. Itu yang
saya ingat dari sejak itu sampai sekarang,” kata Daniel.
Menurutnya, pelajaran yang diberikan Jan Riberu itu ia
praktikan sejak dari Ledalero, kemudian menjadi mahasiswa UGM dan mahasiswa di
Universitas Cornel bahkan hingga hari ini. “Saya praktik hingga saat ini. Semua
bawa buku saya tidak bawa apa-apa. Tetapi saya sudah membaca,” ujarnya.
Daniel mengatakan, tidak ada hadiah yang lebih hebat dari
seorang murid seperti saya ini yang selalu mengingat apa yang dikatakan
guru seumur hidup. “Saya bangga mempunyai guru seperti pak Jan
ini, dan Pak Jan juga harus bangga ada seorang murid seperti saya ini, yang
mengingatkan apa pun yang diberikan seumur hidup,” kata Daniel.
Yang Penting Penerapannya
Berbeda dengan Daniel Dhakidae, dalam kesempatan yang sama
Sosiolog Ignas Kleden mengatakan, guru
yang hebat adalah guru yang membuat soal-soal yang sulit menjadi mudah dipahami
bagi mereka yang belajar.
“ Saya kira Pak Jan Riberu ini merupakan guru yang tidak
saja membuat suatu yang mudah, tapi menarik. Tidak semua orang mempunyai bakat
seperti itu,” kata Ignas Kleden yang juga murid Jan Riberu di Ledalero -
Flores.
Ignas menjelaskan, untuk membuat orang melihat sesuatu dalam
pengertian, bukan hanya penekanan pada apa yang dipahami tapi jauh dari itu
adalah membuat orang menikmati apa yang dipahami.
“Kita selalu membuat suatu yang mudah menjadi sulit. Padahal
yang seharusnya adalah membuat orang dengan cepat melihat sesuatu dengan mudah.
Pengertian bukan hanya berurusan dengan apa yang dipahami, tetapi menikmati apa
yang dipahami,” urai Ignas.
Ignas menanggapi uraian Daniel Dahkidae sebelumnya tentang
membaca analitik dan membaca sintetis, dengan mengatakan bahwa itu tema itu
merupakan tema yang besar dalam filsafat
Hermenutika yakni bagaimana hubungan antara pembagian dan keseluruhan.
“Dalam praktek, apakah untuk memahami suatu buku yang
lengkap, saya harus memahami bab per bab supaya memahami keseluruhan buku, atau
saya harus memahami keseluruhan buku secara teoritik , supaya bisa memahami
setiap bab yang ditulis? Ini persoalan hermenuika yang cukup sulit,” kata
Ignas.
Ignas mengutip Filsuf
Hermenutik Jerman Hans-Georg Gadamer yang menyebutkan tiga tahapan dalam
pemahaman yakni substilitas intelegendi, substilitas explicandi, dan substilitas applicandi
Substilitas intelegendi
merupakan tahapan dimana setiap orang menangkap keseluruhan yang punya
makna. Tahap berikut yang dinamakan substilitas explicandi adalah keseluruhan
yang harus dipecahkan dalam detail-detail yang merupakan bagian dari
keseluruhan.
Dan terakhir adalah substilitas applicandi yakni detail yang
terpecah itu diatur kembali, sehingga mencapai suatu konstruksi yang baru.
“Jadi apakah kita bergerak dari kesuluruhan menuju
bagian-bagian atau bagian-bagian menuju keseluruhan akan terpecahkan dalam
praktik. terpecahakan dalam aplikasi, dan terpecahkan dalam penerapan,” jelas
Ignas.
Dalam kerangka diskusi tentang pendidikan dan Pancasila yang
merupakan bagian dari peluncuran buku Jan Riberu, Ignas memberikan apresiasi
atas pemikiran Jan Riberu tentang Pendidikan dan Pancasila.
Menurutnya, yang terpenting dari Pancasila adalah
penerapannya. “Jadi bukan kita mengerti supaya bisa menerapkan, tapi kita
menerapkan sehingga bisa mengerti. Kita harus berusaha menerapkan Pancasila
secara serius sehingga dapat memahami,” kata Ignas.
Penulis : Benjamin Tukan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar