Sabtu, 08 Desember 2018

Yuk, Terbitkan Buku Sendiri!

KOMPAS.com - Anda senang menulis cerpen, atau cerita bersambung? Jangan biarkan tulisan Anda menumpuk di dalam komputer saja. Agar karya bisa dikonsumsi publik, sebagian penulis memilih untuk melakukan self publishing. Bagi Anda yang berniat mencoba cara ini, ikuti langkahnya.


Siapkan naskah
Siapkan naskah yang siap terbit. Jika ingin mendapat keuntungan finansial dari penjualan buku, sesuaikan dengan selera pasar. Kecuali jika Anda sudah punya target market sendiri.


Siapkan modal
Umumnya, modal yang dibutuhkan sekitar Rp 10-30 juta, tergantung dari jumlah halaman dan eksemplar. Jika Anda tak memiliki cukup modal, cobalah tawarkan kerja sama dengan teman atau lembaga tertentu.


Urus ISBN dan barcode
Setiap judul buku perlu identitas yang berlaku secara internasional dengan cara mendapatkan nomor ISBN (International Standard Book Number). Nomor ini bisa didapatkan di Perpustakaan Nasional. Setelah mengisi formulir keanggotaan ISBN, kita akan mendapatkan kartu keanggotaan dan penerbitan buku kita akan tercatat. Setelah itu tinggal buat barcode buku.


Pilih percetakan tepat
Usahakan memilih percetakan yang sudah biasa mencetak buku agar kualitas buku terjaga. Jika tidak, bisa jadi Anda justru sedang mempertaruhkan kredibilitas, kepercayaan pembaca.


Tentukan harga jual
Jumlahkan seluruh biaya produksi percetakan dibagi dengan jumlah oplah buku, lalu dikalikan lima, hasilnya adalah harga jual buku kita. Jangan menetapkan harga terlalu tinggi, karena akan memengaruhi minat beli konsumen. Cobalah berkonsultasi dengan distributor atau toko buku.


Pilih distributor
 Temukan distributor yang tepat, dan buatlah perjanjian distribusi. Bagaimana sistem penjualannya, apakah beli putus atau konsinyasi. Berapa keuntungan untuk distributor dan royalti untuk penulis. Jangan lupa, mintalah laporan penjualan buku Anda setiap bulannya.


Kerja sama dengan penerbit
Untuk diterbitkan menjadi sebuah buku oleh sebuah penerbit, Anda butuh trik khusus.


 Ide kreatif.
Kemungkinan lebih besar diterima bila ide naskah Anda itu kreatif dan tidak pasaran.


Penerbit tepat.
Pilih yang sesuai dengan ide tulisan. Jangan kirim cerita romantis ke penerbit khusus, seperti Yayasan Obor yang banyak menerbitkan buku ilmiah. Hati-hati pula terhadap kredibilitas penerbit, karena ada yang nakal, menerbitkan buku tanpa persetujuan penulis.


Buat surat pengantar.
Bila sudah menemukan penerbit yang tepat, kirim surat pengantar mengenai tulisan Anda. Buat surat yang menerangkan tema dan isi buku Anda. Mintalah penerbit untuk mengabarkan apakah karya Anda diterima atau ditolak.


Bicarakan royalti.
Bila naskah Anda diterima, jangan sungkan untuk membicarakan soal royalti. Biasanya, untuk pemula, penulis mendapat royalti 8 - 10 persen untuk cetakan 3.000 eksemplar pertama.


 Promosi sendiri.
Manfaatkan jejaring sosial untuk mempromosikan buku Anda. Semakin sering berpromosi, maka semakin dikenal buku Anda. Manfaatkan pula blog atau multiply untuk memperbesar kesempatan dilirik penerbit. Aktif di komunitas juga akan membantu, karena Anda punya jejaring teman banyak yang potensial jadi pembeli buku Anda.


Jangan patah semangat bila naskah Anda ditolak. Tanyakan pada penerbit alasan penolakannya agar Anda bisa memperbaikinya. Atau, kirimkan ke penerbit lain.


Masih ditolak juga? Terbitkan saja di dunia maya. (CHIC/Bestari Kumala Dewi/Erika Paula)


Artikel ini telah tayang di 
Kompas.com dengan judul "Yuk, Terbitkan Buku Sendiri!", https://lifestyle.kompas.com/read/2011/05/05/13103141/yuk.terbitkan.buku.sendiri

Rabu, 05 Desember 2018

BISA HIDUP DARI MENULIS BUKU?



Oleh : Robert Bala


Beberapa saat lalu, saya mendapatkan SMS (atau lebih tepat inbox FB) dari seorang ‘sahabat’ di Kupang. Saya sebut sahabat karena sama-sama memiliki hobi dalam menulis. Tetapi secara fisik kami belum saling bertemu.


Ia menayakan hal ‘sederhana’ tetapi cukup menggoda. ‘Apakah pa Robert bisa hidup dari menulis buku?’ Pertanyaan yang cukup lama saya tinggalkan kosong tanpa membalas. Bagi saya ini pertanyaan yang sangat sulit.


Berhenti Menulis

Pernah beredar protes dari Tere Liye yang berhenti menulis buku. Alasannya karena pajak yang dibebankan kepadanya (dan semua penulis) cukup banyak. Baginya, penulis buku adalah orang yang paling ‘dermawan’ kepada negara karena membayar pajak lebih banyak dibandingkan profesi lainnya.


Untuk penghasilan Rp 1 miliar, menurut hitung-hitungannya, profesi lain membayar di bawah 100 juta. Tetapi bagi sooerang penulis buku, karena ditempatkan sebagai ‘royalty’ maka ia bisa membayar sekitar Rp 250 ribu.


Pengalaman Tere Liye juga hampir sama diungkapkan sorang penulis senior. Saat saya masih berutak-atik hanya menulis artikel, ia sudah menulis buku. Ada sebuah kalimat yang saya tidak akan lupa: “Penulis itu sapi perahnya penerbit”. Artinya, yang ‘untung’ adalah penerbit. Penulis itu hanyalah sapi perahan yang diambil susunya ketika masih berguna tetapi ditinggal lepas kalau sudah tidak ada ‘susu lagi’.


Saya terkejut dengan ungkapan itu. Memang saya juga bertanya, kalau demikian penerbit adalah sapi perah, mengapa ia tak jerah juga menulis? Mengapa buku demi buku ia tampilkan. Kerap dibangga-banggakan, sementara sebenarnya ia merasakan diri begitu ‘diperas tenaganya?


Informasi dari senior ini membuat saya berhati-hati ketika memasuki dunia tulis menulis penuh ‘peras-memeras’ (dalam bahasa senior saya). Memang di satu pihak, apa yang dikatakan senior itu benar adanya. Seorang penulis hanya menerima royalti 6 bulan sekali, tepatnya pada Februari dan Agustus. Lebih dari itu tidak ada lagi.  Mungkin ini membenarkan diri penulis sebagai ‘sapi perah’.


Positifnya, selagi buku kita ‘laris, royalty pun mengalir tanpa henti. Artinya setiap 6 bulan, pada penjualan yang wajar (600 ex), maka penulis mendapatkan sekitar 3 jtau dipotong pajak.Artinya sekitar Rp 2,5 juta. Hal itu yang membuat penulis ikut menikmati hasilnya, meskipun harus menunggu setengah tahun.


Mengingat tidak ada lagi pemasukan, maka kiat yang ditawarkan penerbit biasanya pemberian ‘diskon’ 20-30% untuk setiap buku yang dijual. Di sinilah seorang penulis perlu mejalin relasi. Sebelum buku masuk ke pasaran, sudah ada tawaran kepada orang sekitar untuk bisa membelinya.  Di sini, ‘dana’ segar bisa diperoleh.


Bagi seorang penulis yang menerbitkan karyanya melewati proses seleksi di penerbitan, penjualan pribadi ini merupakan ‘income’ tambahan. Tetapi bagi penulis yang ‘membayar’ selurhnya untuk menerbitkan buku, royalty itu tidak diperoleh. Ataupun itu ada, semuanya bergantung pada pembeliannya sendiri.


Di sinilah masalah yang sering dihadapi. Buku yang dijual itulah yang diterbitkan. Semuanya tergantung pada relasi. Sudah pasti, seluruh marketing penjualan akan bergantung pada relasi pribadi. Tidak lebih dari itu.


Untuk hal ini, tentu ada banyak penulis buku yang merasa sudah puas dengan diterbitkannya karya itu. Kalau ia PNS, terbitan itu bisa saja memberikan angka kredit, hal mana sudah merupakan ‘upahnya’. Selain itu, ia sudah cukup bangga bisa menerbitkan sebuah karya.


Tetapi bagaimanapun juga, kerja menuju penerbitan buku itu tidak sedikit. Kalau pun tidak memberikan keuntungan, minimal semua biaya bisa ‘dicover’ dengan pembelian itu.  Itulah harapannya. Namun yang terjadi kerap tidak demikian. Jangankah tutup ongkos, kerap penulis sendiri harus ‘ngutang’ demi melunaskan jumlah buku yang telah ia beli.


Di sana, di balik sanjungan dan sorak-sorai, penulis justru merenungkannya sendiri dalam ‘duka’. Boro-boro dapat untung, tutup biaya saja kesulitan. Belum lagi lingkarang pertemanan yang turut menambah ‘hutang’ dengan tidak cepat membayar buku yang sudah dibeli.


Mengevaluasi


Setelah buku pertama, penulis cepat menyadari bahwa tebalnya buku berpengaruh pada harga. Tak tanggung-tanggung, pada buku pertama HOMILI YANG MEMBUMI, harga mencapai Rp 70.000 karena terdapat 320 halaman. Angka yang tentu tidak sedikit bagi banyak pembaca.


Setelah proses itu, saya jadi paham bahwa pembuatan film untuk buku menggunakan kelipatan 16. Artinya tebalnya buku harus dikalikan dengan angka 16 untuk menentukan jumlah halaman. Dari buku pertama di atas, terdapat 20 film buku. Bila dihitung ‘pukul rata’ maka sebuah film sekitar Rp 3.500.


Pengetahuan sederhana ini kemudian jadi catatan penting dalam penerbitan buku kedua. Pada buku MENJADI FASILITATOR, saya sudah ‘merampingkannya’ menjadi 144 halaman atau 9 film. Harga buku pun menjadi sekitar Rp 35.000. Deikian buku berikutnya BERBUAH DI USIA SENJA. Karena terdapat 11 film dari 176 halaman maka harga buku menjadi Rp 50.000 (Catatan: harga buku juga ditentukan oleh harga kertas, model kertas).


Adanya ‘ekonomisasi’ dalam jumlah halaman menjadi sebuah catatan tersendiri. Bila pada edisi perdana buku, karena belum terlalu ‘pede’ dalam menulis buku, maka perlu ada Kata Pengantar dari orang lain. Apalagi buku itu ditujukkan untuk lingkup Gereja, sehingga perlu ada otoritas yang lebih menambah daya dorong membeli buku.


Selain itu ada halaman yang saya dedikasikan untuk komentar pembaca. Hal itu antara lain cukup menambah harga buku, hal mana sangat saya perhatikan setelah buku selanjutnya. Singkatnya, menulis buku tidak bisa dibiarkan begitu saja ‘ide’ liar tanpa memperhitungkan dimensi ekonomis. Kemampuan baca pembeli serta usaha tidak bertele-tele dalam menulis menjadi pembelajaran yang akan diterima oleh penulis. Kalau bisa diungkapkan secara singkat dan padat, mengapa harus bertele-tele yang tidak saja membosankan tetapi juga menambah harga.


Bagi guru atau dosen yang menghasilkan buku, tentu analisis kemampuan daya beli ini kurang menjadi kecemasan. Banyaknya mahasiswa setiap tahun sudah bisa diprediksikan akan menjadi ‘sumber yang tidak mengering’. Selagi ia masih mengajar dan menjadikan bukunya sebagai ‘referensi utama’, maka pembelian itu akan terus ada. Bukan mustahil kalau bukunya bisa jadi ‘best seller’.


Tetapi pengalaman itu mesti jadi evaluasi ketika beralih menulis buku puler untuk khalayak. Ia akan memasuki alam yang tidak bisa diprediksikan, hal mana mulai sangat diperhitungkan. ‘Antusiasme’ pada satu buku kuliah, tidak serta merta menjadi kesimpulan bahwa demikian akan terjadi juga dalam buku bersifat umum.


Hidup dari Buku?


Lalu, apakah seroang penulis buku dapa thidup dari bukunya? Jawabannya tentu ya dan tidak. Semuanya tergantung pada pengemasan buku.


Pertama, seorang penulis bisa hidup dari buku kalau ia telah melewati proses analisis terhadap daya serap pembaca / pembeli. Dengan memesan jumlah exemplar, ia sudah mengasumsikan bahwa ketika keluar buku tersebut, sudah ada pembaca yang siap membeli. Hal ini sangat penting dibuat oleh penulis yang menerbitkan bukunya pada penerbit dengan jangkauan masih kecil.


Penentuan waktu ‘launching’ dan momen yang pas, tentu akan memengaruhi pembelian pada awalnya. Bila seorang penulis memesan 100 eksemplar minimal, maka ditargetkan maka ongkos cetak / terbit sekitar Rp 60.000 untuk buku di bawah 200 halaman. Dengan demikian ongkos yang harus dibayar penulis pada awalnya minimal Rp 6. 000.000. Sekali lagi, semuanya akan ditanggung oleh penulis buku.


Untuk yang menerbitkan buku melalui penerbit ‘besar’ tentu saja beban ini tidak ada lagi. Setelah buku terbit, ia tidak diwajibkan memesan buku. Tetapi pada sisi lain, ia bisa melakukannya dalam jangkauan terbatas buku-buku mengingat penerbit biasanya memberikan diskon sebesar 20-30% tergantung jumlah yang dipesan. Di sini ia bisa memiliki ‘sedikit’ dana sambil menunggu royalty (biasanya 10% ) yang baru akan diberikan penerbit tiap 6 bulan, pada bulan Agustuas dan Februari).


Kedua, seorang penulis bisa ‘hidup’ dari buku, ketika hadirnya buku segera diikuti dengan kegiatan ‘pelatihan’ atau ‘workshop’ sesuai buku. Pelaksanaan kegiatan seperti itu akan sangat membantu penjualan. Untuk sebuah kegiatan seminar, biasanya penjualan dapat mencapai 20 ex buku, belum lagi kalau penulis ‘diundang’ maka ada tambahan ‘uang transport’.


Dalam pengalaman pribadi, buku yang ada semuanya sudah mengarah kepada workshop. Buku ‘Homili yang Membumi’ dan Menjadi Fasilitator telah menjadi teman favorit darinya dilaksanakan beberapa workshop. Sementara buku Creative Teaching dan Menjadi Guru Hebat sebenarnya lahir dari worskhop yang sudah dilaksanakan. Harapannya, tentu ke depan, masih ada kegiatan serupa yang bisa membantu atau mendongkrak penjualan buku.


Buku BERBUAH DI USIA SENJA, masih dalam proses perencanaan. Sudah dalam agenda, pada tahun 2019, akan dilaksanakan workshop. Malah ketika sudah ada ancang-ancang, workshop, saya segera muncul ide menerbitkan buku ‘SUCCESSFUL AGING’ (Penuaan yang sukses) yang diharapkan bisa hadir di awal tahun 2019 nanti.


Kesimpulannya, ‘untung’ atau ‘ruginya’ seorang penulis buku tidak saja bergantung pada penerbit atau pasar tetapi juga pada penulis itu sendiri. Ia harus ‘kreatif’ menciptakan jaringan agar ketika buku ini muncul, ada sambutan. Pemanfaatan Media Sosial dapat menjadi sarana untuk promosi.


Pada sisi lain, media sosial juga dapat menjadi indikator mengukur antusiasme orang pada buku. Beberapa buku yang sudah diterbitkan sangat inspiratif terhadap peran media sosial. Tanggapan pembaca sungguh menjadi masukan berharga.


Demikian ‘sharing’ atas pengalaman menulis buku. Dalam dunia menulis buku, saya juga adalah pemula. Tetapi keberanian menerbitkan 6 buku dalam 2 tahun, minimal masih memberikan harapan bahwa antusiasme ini tidak akan terjadi kalau tanpa ada manfaat ekonomis. Kalau pun tidak terlalu banyak manfaatnya, minimal tidak membuat penulis ‘nombok’. Semoga bermanfaat.


Robert Bala. Menulis buku sejak tahun 2017 setelah 16 tahun menulis artikel di berbagai media massa.



Sumber Tulisan
https://bertoamigo.wordpress.com