Minggu, 25 Oktober 2015

Roh Indonesia di Pameran Buku Frankfurt

Pengunjung melihat buku-buku yang dipamerkan di Paviliun Indonesia menjelang pembukaan Pameran Buku Frankfurt 2015 di Frankfurt, Jerman, Selasa (13/10). Indonesia menjadi tamu kehormatan dalam gelaran bertajuk "17.000 Islands of Imagination" itu, dengan menampilkan 75 pengarang Indonesia, yang berlangsung 14-18 Oktober 2015.


FRANKFURT, Kompas

Dengan mengenakan kebaya merah dan kain panjang, sinden Endah Laras menaiki podium Congress Center Messe Frankfurt, Jerman. Di layar, terbentang puisi Jawa abad ke-19, "Malang Sumirang", berganti-ganti dalam bahasa Jawa, Jerman, dan Inggris.

Latarnya seorang bocah perempuan bermain ayunan dalam tempo perlahan. Endah, dengan suara tinggi berbobot, membaca dan menembangkan puisi mengenai seorang yang dihukum bakar di sebuah alun-alun Jawa pada abad ke-15, tetapi di tengah nyala api, ia sempat menulis-mungkin-sebuah puisi. Orang itu dianggap melanggar hukum dan ajaran agama. Malang Sumirang namanya. 

Ketika Endah hendak turun, dengan setengah berlari penyair Goenawan Mohamad menghampirinya, mencium keningnya, lalu mengambil posisi untuk sebuah pidato selaku ketua Komite Nasional Pelaksana bagi Indonesia sebagai Tamu Kehormatan dalam Pameran Buku Frankfurt (14-18 Oktober) 2015. Demikian laporan wartawan Kompas,Salomo Simanungkalit, dari Frankfurt, Jerman, awal pekan ini. 

Pada pembukaan pameran buku terbesar di dunia itu, yang berlangsung pada Selasa, 13 Oktober petang, Goenawan dalam bahasa Indonesia yang puitis menjelaskan ihwal "Malang Sumirang". Pendengarnya, sekitar 2.400 orang yang hadir-termasuk kira-kira 320 orang Indonesia yang ambil bagian dalam pameran dan acara-acara yang digelar dalam kaitan itu-dan kelindannya dengan peran Indonesia sebagai tamu kehormatan.

"Kami sadar, Indonesia sebuah negeri yang amat jauh dan umumnya tak dikenal di sini. Namun, sambil mendengarkan Endah Laras menembang dan mengisahkan riwayat Malang Sumirang, saya berharap Anda bisa mengenal beberapa lapis alegori di dalamnya," kata Goenawan. "Saya percaya banyak hal yang bisa membangun percakapan antara kita meskipun kita datang dari benua yang berjauhan; misalnya dalam menampik kekejaman, merasakan sakitnya penindasan, dan mengalami paradoks kekuasaan."

Tentang penindasan itu sendiri, seperti ada perasaan bersama dengan pidato-pidato sebelumnya pada pembukaan pameran itu seperti dari Direktur Pameran Buku Frankfurt Juergen Boos, Menteri Kebudayaan dan Media Republik Federasi Jerman Monika Grutters, dan Wali Kota Frankfurt am Maim Peter Fieldmann. Mereka menyinggung migrasi dari Timur Tengah di Jerman yang sedang mengalami kesulitan di negerinya. Bahkan, dengan pidato pengarang Salman Rushdie dari Iran pada konferensi pers siang sebelumnya yang menyinggung pengarang dan kebebasan berekspresi, yang di beberapa negara mengalami hambatan atas nama kekuasaan: negara dan agama. 

"Saya bisa bicara bebas kepada Anda saat ini adalah hasil perjuangan untuk kebebasan melawan kekuasaan Gereja 200 tahun lalu," kata Salman Rushdie yang memamerkan roman terbarunya (2015), Two Years Eight Months and Twenty Eight Nights, dalam pameran ini.

Budaya

Pidato penutup dalam pembukaan itu datang dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan. "Saya ingin agar Indonesia, dengan hadir di Pekan Raya Buku ini, juga memandang ke era beyond books, era yang tak lagi mengandalkan buku dalam bentuknya yang sudah berumur ratusan tahun sejak mesin cetak ditemukan di Korea dan juga di Guttenberg, Jerman," katanya. "Sebab itu kami (dalam pameran ini) hadir dalam karya seni rupa, arsitektur, fotografi, film, kuliner, seni pertunjukan," ujarnya. 

Paviliun Indonesia menempati 2.400 meter persegi area pameran. Tak kalah dengan pidato Goenawan yang puitis, paviliun yang ditata artistik oleh arsitek Muhammad Thamrin dan kawan-kawan dari Bandung itu menyambut pengunjung dengan teks di sekitar pintu masuk: Words, Images, Myths, Movements-and Indonesia, 17.000 islands of Imagination Pavilion.

Paviliun Indonesia terdiri dari tujuh gugus pulau yang melambangkan ragam kegiatan dan satu sama lain dihubungkan "laut" sebagai watas imajinatif yang siap dieksplorasi: misterius dan kuyup kejutan. Ketujuh pulau itu masing-masing dengan subtema: Spice Island, Island of Tales, Island of Scenes, Island of Illumination, Island of Words, Island of Inquiry, danIsland of Images.

Spice Island, misalnya, memamerkan beragam rempah, baik dalam rupa mentah maupun olahan yang aromanya langsung dapat dirasakan pengunjung. Buku kuliner dan resep masakan dari nama-nama terpandang di Indonesia dan meluas berkat program televisi, dipajang. 

Manuskrip tua dalam replika yang apik di satu pulau ditata dalam kotak-kotak kaca, antara lain Buku Parhalaan berupa almanak atau kalender Batak, Pustaha Laklak yang berasal dari tradisi literer Batak untuk obat-obatan dan pengobatan, Bomakawya dari Hindu Bali, Negara Kartagama oleh Empu Prapanca (1365), La Galigo beraksara dan berbahasa Bugis, dan Babad Balambangan.

Buku cerita bergambar untuk anak-anak berupa dongeng dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris) yang dikarang penulis Indonesia ataupun yang bertema agama mendapat tempat strategis di Island of Tales.

Pemerintah Indonesia mengeluarkan dana Rp 150 miliar dalam perannya sebagai Tamu Kehormatan pameran itu. Seperti yang dikemukakan Goenawan, hanya ada waktu dua tahun untuk persiapan, termasuk untuk menerjemahkan karya-karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Jerman yang diminta panitia sebanyak 300 judul. "Kita baru bisa mencapai hampir 300 judul, tapi jumlah itu dalam bahasa Jerman dan Inggris," katanya.

Dalam penutup pidatonya, Goenawan menekankan bahwa menyambut kelahiran buku tak hanya berarti memamerkan kekenesan para pengarang. Juga tak hanya berarti memajang sejumlah besar komoditas di sebuah pasar yang ramai.

"Yang saya harapkan ialah bahwa kita semua bersedia mengingat kembali apa yang dilakukan Malang Sumirang: kita menulis untuk menegaskan kesetaraan manusia. Kita menulis untuk menghidupkan percakapannya. Dan, dengan demikian, kita menulis juga untuk menumbuhkan kemerdekaannya," kata Goenawan.
___

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Oktober 2015, di halaman 11 dengan judul "Roh Indonesia di Pameran Buku Frankfurt".


Asa Membangun Desa Wisata


Kekayaan dan keberagaman suku di Indonesia dapat terlihat dari seni dan budayanya. Hal itu antara lain tampak pada keberadaan rumah tradisional. Keunikan arsitektur rumah tradisional suku-suku di Tanah Air memperlihatkan kekayaan nilai estetik, bentuk, serta nilai filosofi. Pada setiap masyarakat, ketiga hal ini memiliki perbedaan tergantung adat, tradisi, dan kondisi lingkungan masing-masing daerah.

Selain menarik untuk digali, kekayaan arsitektur rumah tradisional Indonesia memiliki potensi lain yang dapat dimanfaatkan masyarakat adat untuk mengembangkan desa atau wilayah tempat tinggalnya. Potensi tersebut salah satunya adalah potensi wisata.
Hal inilah yang diperhatikan oleh PT Propan Raya sehingga menyelenggarakan Sayembara Arsitektur Nusantara 2 – 2014 dengan tajuk Desa Wisata Nusantara. Managing Director PT Propan Raya Kris Adidarma memaparkan, Indonesia sangat kaya akan arsitektur tradisional yang beragam dan unik. Arsitektur tradisional Indonesia mencerminkan kearifan budaya lokal yang pada dasarnya ramah lingkungan dan beradaptasi dengan alam. Warisan budaya dan teknologi yang sudah ada tersebut, apabila dikembangkan dengan inovasi dan ide kreatif, dapat melahirkan suatu karya arsitektur yang mampu membawa Indonesia ke tingkat dunia.
Setelah setahun berlangsung, hasil pemenang sayembara ini diumumkan pada 21 Agustus 2015. Pemenang Utama I sayembara ini diraih oleh Tobias Kea Suksmalana, Alexander Octa Kusuma, Lecia Mona Karlina, dan Heryanto Tirtoputro. Tobias dan kawan-kawan menciptakan konsep arsitektur desa wisata Sembalun Lawang, Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Bangun jiwa, bangun raga
Permasalahan yang ada di masyarakat Sembalun Lawang salah satunya adalah terputusnya hubungan masyarakat Sembalun Lawang dengan rumah adat Bleq. Kompleks rumah adat Bleq sudah tidak ditempati. Banyak masyarakat yang sudah tidak tinggal di Bleq dan banyak warganya yang sudah tidak membangun rumah adat karena keterbatasan material dan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan saat ini. Oleh karena itu, keberadaan rumah adat Bleq mulai tidak terlalu diperhatikan dan tentunya pembangunan rumah tradisional milik masyarakat Sembalun Lawang sudah berkurang jauh.
Ditambah lagi dengan keberadaan generasi muda Desa Sembalun Lawang yang benar-benar sudah merasa putus hubungan dengan warisan leluhur, salah satunya rumah adat tersebut. Jika dibiarkan begitu saja, tentu lamban laun masyarakat Desa Sembalun Lawang dapat kehilangan identitas dirinya.
Oleh karena itu, Tobias dan kawan-kawan mengadopsi semangat yang telah dimiliki oleh masyarakat Sembalun Lawang, yaitu gompar atena, gompar awakna yang berarti bangun jiwanya, bangun raganya dalam mengembangkan arsitektur desa wisata Sembalun Lawang.
Pengembangan arsitektur desa wisata Sembalun Lawang yang dirancang oleh Tobias dan kawan-kawannya adalah pembangunan berbasis komunitas. Pengembangan ini terdiri atas dua tahap. Tahap pertama, yaitu zona penyangga berupa pembangunan sanggar dan fasilitas pengolahan pupuk organik. Kemudian zona tersier yakni pembangunan pusat turisme. Tahap kedua, pengembangan zona inti dengan konservasi rumah adat Bleq dan zona tersier yakni renovasi rumah penduduk, renovasi bale perempuan tangguh yang biasanya digunakan oleh para perempuan Sembalun untuk menenun, dan renovasi pondok-pondok tani.
“Bukan hanya segi arsitekturnya, dalam pengembangan desa wisata, yang terutama untuk dikembangkan bukanlah aspek wisatanya. Lebih fundamental lagi, yang perlu dikembangkan adalah kemandirian desa dalam mengelola alam dan budayanya serta menumbuhkan kebanggaan atas budaya yang mereka hidupi. Jika hal ini bisa dicapai, desa memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menjaga lokalitas mereka secara berkesinambungan. Pada akhirnya, wisata dapat ditambahkan sebagai bonus atas lokalitas yang dapat dijaga oleh desa,” terang Tobias. [ACH]
FOTO-FOTO DOK TOBIAS KEA SUKSMALANA.

http://infoklasika.print.kompas.com/asa-membangun-desa-wisata/

Rabu, 21 Oktober 2015

JALAN PANJANG YANG BERLIKU : Refleksi 50 Tahun Integrasi Papua Kedalam NKRI



Judul Buku : Jalan Panjang Yang Berliku:
Refleksi 50 Tahun Integrasi Papua Kedalam NKRI

@ Hak Cipta : Paskalis Kossay,S.Pd. MM 

Penulis :
Paskalis Kossay, S.Pd. MM

Cetakan Pertama,    Oktober 2013

14 x 21 cm
x  + 146  halaman
ISBN : 978-602-98799-7-1

Penerbit
 TOLLELEGI



Cuplikan Pengantar Penulis

Mencermati fluktuasi dinamika sosial politik dan keamanan di Tanah Papua, antara lain dipengerahui oleh faktor belum tuntasnya pemahaman politik rakyat Papua terhadap proses Integrasi Papua kembali kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, hal ini menyebabkan sebagian besar orang Papua masih memiliki pemahaman yang berbeda tentang proses integrasi. Sebagian kalangan rakyat Papua berpendapat  integrasi Papua kedalam NKRI tanggal 1 Mei 1963 itu cenderung dipaksakan oleh kepentingan politik Amerika yang memboncengi Indonesia merebut hak kedaulatan bernegara orang Papua yang sudah memperoleh kemerdekaannya dari Belanda sejak 1 Desember 1961.  Dengan dilatari pemahaman demikian, maka posisi  orang Papua  saat ini sedang dalam menggugat realitas sejarah integrasi tersebut dengan berbagai upaya politik antara lain melalui jalur diplomasi dan gerakan internasionalisasi isu  Papua ke tingkat dunia.
                Menyadari akan perkembangan politik tersebut diatas, di usia lima puluh tahun Papua berintegrasi kedalam NKRI ini, penulis mencoba merefleksi perjalanan politik Papua. Adapun hasil refleksi tersebut diartikulasikan   dalam catatan atau tulisan berbentuk buku dengan judul “Jalan Panjang yang  Berliku : Refleksi 50 Tahun Integrasi Papua kedalam NKRI”. Adapun muatan buku ini, penulis mendeskripsikan perjuangan politik Indonesia untuk merebut kembali Papua kedalam NKRI, mulai dari upaya diplomasi, perundingan, sampai pada upaya konfrontasi terbuka dengan pihak Belanda.
                Selain itu penulis juga mengetengahkan dinamika pembangunan dan  politik setelah Papua berintegrasi kedalam Indonesia sampai dengan Lima Puluh Tahun hari ini, dan juga  pandangan masyarakat Papua sendiri terhadap nilai integrasi tersebut yang dikomparasikan dengan pandangan masyarakat Indonesia secara keseluruhan serta pandangan masyarakat Internasional terhadap nilai integrasi Papua kedalam Indonesia dan dikaitkan juga dengan upaya pergerakan internasionalisasi issu Papua di dunia internasional.    
                Setelah direfleksi,  ternyata  selama 50 tahun integrasi  isu Papua begitu berkembang luas diberbagai dunia internasional. Hal ini sangat mempengaruhi kredibilitas proses integrasi Papua kedalam Republik Indonesia akhirnya  berimplikasi negatif kepada stabilitas pembangunan nasional yang sedang dilaksanakan di Papua selama lima puluh tahun terakhir.  Hal ini dibuktikan oleh fakta di lapangan bahwa, dinamika pembangunan di Papua belum menunjukkan kemajuan yang berarti bagi kehidupan masyarakat sebagaimana yang diharapkan oleh semangat perjuangan integrasi. Akibatnya,  kehidupan rakyat Papua selama lima puluh tahun nyaris tertinggal. Hal ini juga memicu dampak psikologis bagi orang Papua yang semakin tertekan akhirnya tidak mudah mempercayai proses integrasi itu sendiri dan kepemimpinan nasional dari periode ke periode, kemudian rakyat Papua mulai berbalik arah berpikir ulang terhadap realitas politik masa lalu dan kembali beraksi  menggugat  pengembalian  hak politik orang Papua seperti sedia kala.
                Dengan penulisan refleksi lima puluh tahun integrasi Papua, penulis berharap agar buku ini dapat dibaca oleh orang Papua maupun semua orang Indonesia untuk menjadi inspirasi baru dalam berkontribusi positif menyelesaikan masalah-masalah krusial di Papua secara proporsional, jujur, adil dan menyeluruh. Dengan demikian, rakyat Papua tidak dibawa dalam suasana kebingungan oleh konspirasi dan perbedaan pemahaman politik yang merugikan keberlangsungan pembangunan daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat Papua
                Akhirnya, penulis menyadari sebagai manusia  tentu penulisan buku ini banyak terdapat hal-hal yang bertentangan dengan persepsi dan pemahaman para pembaca, namun selaku orang Papua, penulis mempunyai tanggung jawab moral untuk memberikan pencerahan  dan informasi yang berimbang   kepada siapa saja agar bisa dapat memahami masalah Papua secara utuh pula. Memang, penulis menyadari isi buku ini tidak sempurna seperti yang diharapkan, namun penulis tetap berusaha seoptimal mungkin, merangkaikan isi buku ini, dari permasalahan yang ada sejak dahulu sampai hari ini supaya dipahami oleh semua kalangan. Semoga bermanfaat bagi yang membacanya.

Jakarta,  1 Oktober  2013

Penulis
Paskalis Kossay, S.Pd. MM


Merawat Masa Depan Dunia Perbukuan

Sumber : http://infoklasika.print.kompas.com/merawat-masa-depan-dunia-perbukuan
Kompas Cetak/ Rubrik Klasika, Kamis 22 Oktober 2015
Kenikmatan yang bersumber dari menghidu aroma kertas pada buku, meraba teksturnya yang rapuh, menelusuri baris demi baris kalimat apik yang tertera di sana, atau membolak-balik halamannya yang menggugah rasa penasaran barangkali kini sudah tak lagi akrab dengan kita. Tren global menunjukkan konsumsi buku secara general turun drastis.
Studi yang dilakukan Gallup di Amerika Serikat menyebutkan, sekitar 48 persen responden membaca 11 buku atau lebih per tahun pada 1978, sementara pada 2014 persentasenya merosot menjadi 28 persen. Di Korea Selatan, penjualan buku menurun 20 persen pada 2012 dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, di tengah derap teknologi digitalnya, Korea Selatan kini juga giat meniupkan semangat untuk menumbuhkan kembali kebiasaan membaca buku
Sumber Foto : Kompas 

Upaya menggairahkan dunia perbukuan di Korea Selatan begitu kentara pada Oktober tahun ini. Beragam ajang digelar untuk kembali mendekatkan orang pada buku. Kegiatan tersebut antara lain Paju Book Award 2015, Seoul International Book Fair (SIBF), program Toji Cultural Centre Residency for Writers, dan Asian Publisher Fellowship Program in Seoul.
Semua penikmat buku rasa-rasanya akan jatuh cinta pada Paju, kota pusat industri buku di Korea Selatan. Selain menjadi wadah bagi penerbit dan percetakan, kafe buku dan perpustakaan menjadi daya tarik Paju. Atmosfer hangat menyambut begitu kita memasuki perpustakaan. Rak-rak kayu menjulang setinggi langit-langit, pendar kuning lampu membuat kita merasa tak berjarak dengan ruangan, kafe kecil yang terletak di tengahnya menghadirkan suasana akrab. Di tempat inilah malam penghargaan Paju Book Award diselenggarakan.
Paju Book Award terutama bertujuan merangkul penerbit, penulis, ilustrator, dan semua orang yang terlibat di industri buku untuk bersama-sama memajukan dunia perbukuan dan merekam geliat Asia Timur dengan buku. Apresiasi diberikan lewat sejumlah kategori penghargaan, yaitu Writing Award, Planning Award, Book Design Award, dan Special Award.
Otsuka Nobukazu, Paju Book Award Representative Committee Member dari Jepang begitu bangga ajang ini bisa konsisten terselenggara sampai yang keempat pada 2015. “Asia berperan penting pada pertumbuhan buku global. Dan pada buku sejati, saya bisa merasakan jiwanya,” ujar Nobukazu, Sabtu (6/10), pada malam penghargaan.
Pada forum Asian Publisher Fellowship Program in Seoul, peran editor berdiskusi tentang apa yang bisa dilakukan agar buku mampu menjadi dinamis dan mengikuti gerak zaman. Editor Gramedia Pustaka Utama Hetih Rusli juga berkesempatan memaparkan perkembangan buku di Indonesia. Dunia digital, dalam penjelasan Hetih, justru menjadi peluang untuk disinergikan dengan buku.
“Kita juga bisa mengolaborasikan buku dengan film. Film dapat membantu mempromosikan dan meningkatkan nilai jual buku,” tutur Hetih di Seoul, Rabu (7/10).
Tang Xuefeng dari Tshinghua University Press, Tiongkok, juga berbagi tentang salah satu proyek buku menarik yang sedang mereka garap. Menyadari daya tarik visual dan sains bisa digabungkan, Tsinghua akan menerbitkan buku yang menampilkan foto makro hasil rekam proses perubahan zat kimia lewat proyek Beautiful Chemistry. Tak dinyana, bentuk maupun perpaduan warna zat-zat kimia itu begitu indah.
Asian Publisher Fellowship Program in Seoul ditutup dengan makan malam yang sederhana tapi intim, berada di ruang kecil sehingga orang-orang bisa saling menyapa. Diiringi musik akustik yang volumenya tak mengganggu jalannya obrolan di antara semua yang hadir, penulis dan penerjemah V Ramaswamy dari India bercerita, ia baru saja mengikuti program residensi yang diadakan Toji Cultural Centre.
“Program ini luar biasa. Selama satu bulan, saya diberi ruang menulis yang hening dan dikelilingi perbukitan. Dari jendela yang lebar, setiap hari saya bisa menghirup udara segar dan mendengar kicauan burung. Ruang bebas interupsi seperti inilah yang saya butuhkan, tempat yang sempurna untuk menyelesaikan proyek penerjemahan yang sedang saya kerjakan,” kata Ramaswamy dengan begitu antusias.
Eratkan hubungan
Korea Selatan dan Indonesia sedang terus menjalin relasi, terutama dalam hal perbukuan. Tahun ini, Korea Selatan menjadi tamu kehormatan pada Indonesia International Book Fair September lalu. Upaya-upaya untuk mengenal Korea Selatan secara lebih mendalam juga ditempuh dengan beragam cara, termasuk lomba menulis yang diadakan penerbit Grasindo dan Korea Cultural Center dengan tema “Korea dalam Kata dan Rasa”.
Lewat kompetisi tersebut, para penulis ditantang untuk mengeksplorasi budaya Korea Selatan. Para pemenang, antara lain Pretty Angelia Wuisan, Indah Erminawati, Mega Marchelina, dan Debyanca Sagitasya Saputra berkesempatan mengunjungi Seoul dan mempresentasikan karya mereka di depan Korea Publishers Society.
“Kami tidak menyangka penulis-penulis yang belum pernah ke Korea ini bisa bercerita dengan baik tentang Korea. Ke depannya, Korea Publishers Society ingin membangun kerja sama bilateral antara penerbit Korea dengan penerbit Indonesia,” ujar President of Korea Publishers Society Chul Ho Yoon, Senin (5/10).
Lewat beragam cara, orang-orang dari penjuru dunia yang kebetulan bertemu di Seoul beberapa waktu lalu memperjuangkan sesuatu yang sama. Memberikan roh pada buku, memopulerkan lagi kebiasaan membaca. [NOV]


Selasa, 20 Oktober 2015

Indonesian literature Stars in the making

Yuliasri Perdani
The Jakarta Post, Frankfurt, Germany | October 18 2015 | 3:26 PM

At one of the world’s most renowned publishing trade fairs, more than 70 authors and hundreds of other artists from Indonesia embarked on a mission to bring local literature to the global market.
Young talent: The youngest Indonesian delegate, 11-year-old author Nadia Shafiana Rahma (third right) talks about her creative process to German students in the Indonesian Pavilion.(Courtesy of the Indonesian National Committee at the Frankfurt Book Fair) 
Indonesia had a good start at this year’s Frankfurt Book Fair, running from Oct. 14 to 18.

Amba (The Question of Red) by Laksmi Pamuntjak is enthralling German readers. Posters for her book can be spotted in many corners of the gigantic fair, and even on the venue’s bus. On top of that, the Indonesian author will have the honor to speak on the Blue Sofa, one of the most prestigious discussion forums at the fair.

Laksmi is not the only star. Sharing the spotlight with her are Leila S. Chudori with her novel Pulang (Home) and Ayu Utami with Larung and Saman, which have caught the attention of the European book market.


Other Indonesian authors presenting their translated works at the event are Okky Madasari, Oka Rusmini and Linda Christanty, who touches on human rights and sociopolitical conflict in Jangan Tulis Kami Teroris (Do Not Write We Are Terrorists).

Interestingly, their names have created the assumption among some German readers and media that female writers dominate Indonesian contemporary literature.

“It is because they prefer to read books in German, and the [Indonesian] books translated into German happen to be mostly written by women,” Leila said.

However, most of the Indonesian authors at the book fair are in fact male, and some of them have come with their latest translated works. Aside from Andrea Hirata with Sang Pemimpi (The Dreamer), Eka Kurniawan — often hailed as the successor to legendary man of letters Pramoedya Ananta Toer — presents the German version of Lelaki Harimau (Man Tiger).

Frankfurt Book Fair 2015 comes at a time when Indonesian publishing houses are seeing book sales drop by 10 to 15 percent, according to the Indonesian Publishers Association (Ikapi) chairwoman Lucya Andam Dewi.

In choosing Indonesia as this year’s Guest of Honor, the fair organizers hope to see new aspects of Indonesia, not only its famous traditional culture, but also its socio-political transformations and its dynamics as a young democracy with the world’s largest Muslim population.

Most importantly, Indonesian literature is expected to shed some light on Islam and diversity at a time when Europe is dealing with rising numbers of refugees from Muslim countries.

No doubt, Indonesia needs to wholly embrace this once-in-a-lifetime opportunity of being the fair’s Guest of Honor. And the last three days have shown that the country’s authors, comic and multimedia artists, and even chefs, are working hard to make the most of it.

Their activities are concentrated in the luminous Indonesian Pavilion, where Indonesian architect Muhammad Thamrin invites the visitors to discover seven areas, termed islands, located in a sea of translucent cubical lanterns.

On the Island of Inquiry, an Indonesian technology firm debuts an application that demonstrates how to carve out of West Java’s bamboo wood the traditional angklung tube instrument, while another tech firm presents the Javanese folklore of Timun Mas in an augmented-reality book.

Comic artists like Is Yuniarto, Muhammad ‘Mice’ Misrad and Beng Rahadian, show off their instant sketching skills on the Island of Images, which is adorned with comic books and pictures of classic comic covers projected on a round screen.

In a trip back to sweet childhood memories, acclaimed children’s book author Murti Bunanta reads her story Anak Kucing yang Manja (The Spoiled Little Kitten), as the visitors sit and lay their heads on a spacious round coach on the Island of Tales.

Murti, whose books have been sold in the US, Canada and South Korea, reads with the gentle, calm voice of bedtime stories, until the storyline gets so exciting that she vibrantly jumps around, mimicking the kitten’s meow and inviting the audience to take part in the reading.

The largest of them all is Island of Scenes, which accommodates major discussions and performances. This is where Butet Kertaradjasa reflects on Indonesian theater and Dorothea Rosa Herliany reads out her poets in The Spoken Word session.

Acclaimed 79-year-old novelist Nh. Dini converses with her admirers, including one European man who has brought his entire collection of Nh. Dini novels to the event.

“I am old and have to be accompanied all the time,” says Dini, who is in a wheelchair, upon arriving in Frankfurt. “So this may be the last time I accept an overseas invitation.”

Veteran poets Sapardi Djoko Damono and Taufik Ismail as well as author Ahmad Tohari also make their presence at the book fair.

Aside from the big names, the Indonesian Pavilion also allocates space to young authors. On her first overseas journey and accompanied by her father, 11-year-old Nadia Shafiana Rahma from Yogyakarta shares her fondness of writing fiction stories with German students in a session called “Fun and Share: Learning to Write with Nadia”.

In another hall, the Indonesian stand becomes the epicenter of Indonesian publishers to offer their books to publishing houses from around the globe in the matchmaking session.

Nung Atasana from the Borobudur literary agency, who leads the session, hopes that it would help Indonesian books expand beyond their current overseas market, which is concentrated on Malaysia and other Asian countries.

“We are aiming to make copyright deals here,” he said, adding that around 30 representatives from Indonesia and international publishers partake in each session.

“Once a book becomes a hit in one country, it is much easier to market that book in neighboring countries, such as happened to Laksmi Pamuntjak’s Amba, which has been translated into Dutch and German, and also the works of Eka Kurniawan.”

Germany is one of the key target markets for Indonesian publishers. Since last year, 142 Indonesian titles have been released in the German-language market.

Indonesian publishers, like fellow publishers in Southeast Asia, were working hard to make their presence felt on the international market, said Peter Schoppert, director of NUS Press Singapore.

“It is challenging for all of us in Southeast Asia. [Especially] with regards to the US, we’re not so big in their mind. So we have to work quite hard, I think, to make them understand more about us,” said Schoppert, who has released English versions of some Indonesian works, including a collection of Goenawan Muhamad’s essays.

“I see the quality of publishing in Indonesia rising very quickly; we are now seeing the beginning of a business inside ASEAN, with Malaysian publishers buying Indonesian titles and Thai publishers starting to look into it. We are beginning to see this business growing.” 

Mencari Hidup dari Buku Komik


(Catatan : Artikel menarik tentang komik yang ditulis Nur Hidayati , dimuat di KOMPAS, Minggu 10 Oktober 2015 )


Di Indonesia, komikus tidak cukup sekadar piawai menuangkan cerita dalam gambar. Mereka juga dituntut paham bisnis dan pintar menjual karyanya. ”Kerja” tambahan itulah kiat para komikus ini bertahan hidup di tengah dominasi komik impor.

sumber foto : Kompas, 19 Oktober 2015


Meminjam istilah pengamat budaya pop Hikmat Darmawan, komikus Indonesia adalah orang dengan cinta yang keras kepala. Kecintaan itulah yang membuat komik Indonesia tetap hidup sampai kini.

Setelah berjaya pada era 1960­1970, komik Indonesia lama mati suri. Di tengah dominasi komik impor, komik Indonesia kini menggeliat lagi dan terus berkembang. Komikus Indonesia juga berkarya merespons tuntutan zaman digital. Namun, masihbesar tantangan untuk membuatnya kembali jadi tuan di negeri sendiri.

Dominasi komik impor, tepatnya terjemahan komik impor, adalah pemandangan kasatmata yang mudah ditemukan di toko buku besar. Data produksi komik pun membuktikan itu. Dua penerbit besar komik di Indonesia, Elex Media dan M&C!, menerbitkan sekitar 200 judul buku komik impor per bulan. Di jaringan Toko Buku Gramedia saja, pada Januari­Juli 2015, dua penerbit ini sudah menjual 3,83 juta eksemplar komik impor.

Penerbit M&C! sebenarnya memiliki Divisi Koloni (Komik Lokal Indonesia) yang khusus menerbitkan komik Indonesia. Sayangnya, sampai kini terbitan utama M&C! tetap terjemahan komik impor. Sekitar 50 judul komik impor diterbitkan per bulan atau 600 judul per tahun. Sementara Koloni hanya ditargetkan terbit 12 judul setahun.

Di tengah dominasi komik impor itu, komik Indonesia tetap hadir. Sebagian besar diterbitkan oleh perusahaan berskala kecil yang memang khusus menerbitkan karya komikus Indonesia. Bagaimana komikus Indonesia bisa tetap berkarya dan menghidupi diri dengan komik di tengah arus utama industri penerbitan yang tak berpihak kepada mereka?

 Berkembang

Komikus Indonesia sebenarnya berhadapan dengan beragam tantangan, mulai dari penerbit yang tak terbiasa dan tak mengalokasikan anggaran untuk mempromosikan komik, karya yang tak dihargai secara finansial dengan patut, royalti kecil, dan aturan pajak yang ikut memberatkan. Cinta yang keras kepala membuat mereka tak putus asa.

Belajar dari kegagalan berulang­ulang menerbitkan dan menjual komik, komikus Chris Lie mencari penghidupan dengan cara lain. Ia bermitra membangun Studio Caravan pada 2008. Kini, Caravan menggarap pesanan klien dari sejumlah negara berupa komik, karakter gim video, desain mainan, konsep desain untuk film, juga novel grafis. Marvel Comics, Penguin Books, Hasbro, dan Mattel termasuk dalam daftar klien Caravan.

Keuntungan finansial Caravan jadi salah satu penopang Chris meluncurkan Reon, majalah komik yang khusus menyuguhkan kompilasi karya komikus Indonesia. Sejak Juli 2013, Reon sudah menerbitkan 16 volume majalah dan 2 serial komik yang dibukukan setelah dimuat berseri di majalah.

”Tujuan utama Reon adalah mengupayakan agar komikus Indonesia bisa hidup dari membuat komik,” ujar komikus penerima beasiswa Fulbright di Savannah College of Art and Design, Georgia, Amerika Serikat, ini.

Komikus pengisi majalah Reon, yang tersebar di beberapa kota, rata­rata merampungkan 30 halaman komik per bulan. Mereka dibayar dengan harga karya per halaman. Dari karya mereka, komikus memperoleh penghasilan Rp 6 juta hingga Rp 8 juta per bulan. ”Setidaknya bisa memenuhi kebutuhan dasar dulu,” ujar Chris.

Komikus juga mendapat royalti ketika serial komik mereka di majalah dijual terpisah sebagai komik satuan. Tambahan royalti didapatkan pula dari aksesori (merchandise) karakter komik. Beberapa karakter komik Reon kini sedang dijajaki untuk digarap jadi film televisi, animasi, dan gim video.

Reon yang dicetak 15.000 eksemplar per edisi didistribusikan lewat jaringan toko buku dan minimarket. Forum­forum komik juga jadi wahana pemasaran lain. PadaApril 2015, Reon bahkan menguji pasar dengan menggelar acara sendiri di Depok, Jawa Barat. Dalam acara itu, para komikus Reon dipertemukan dengan penggemar mereka.

Ternyata acara dua hari itu sukses menarik sekitar 25.000 pengunjung yang mengenali karakter komik Reon. Bank BCA juga menggandeng Reon untuk menerbitkan kartu ATM bergambar karakter komiknya. Kartu ATM itu terbukti diminati anak muda sehingga dipertahankan BCA sampai saat ini.

 Curhat Anak Bangsa (CAB) yang sebelumnya dikenal sebagai penerbit komik indiejuga berkembang pesat setelah bermitra dengan Mizan. Bermula dengan tiga komikus pada 2011, kini CAB bekerja dengan 20 komikus. Komikus itu bekerja dengan gaji bulanan. Mereka rutin meluncurkan 10 judul serial komik anak per bulan.

 Digital dan cetak

 Komikus di Indonesia adakalanya juga mengambil alih tugas penerbit untuk memasarkan produk. Sweta Kartika, misalnya, mula­mula mengunggah komik Grey & Jingga karyanya secara berkala di media sosial. Akun komik ini memiliki 14.000 pengikut sebelum dicetak dan diterbitkan M&C!. Dalam waktu tiga minggu, cetakan pertama komik ini habis dan dicetak ulang. ”Dengan mencetak komik yang punya penggemar, penerbit memangkas promosi,” ujar Sweta.

 Meski tenar di jagat digital, Sweta ingin karyanya dicetak penerbit sebagai portofolio. Buku komik tetap memiliki pencinta tersendiri. Namun, ia tak berharap banyak dari royalti penerbitan komik. Sweta sempat bereksperimen mencetak sendiri edisi lanjutan Grey & Jingga sejumlah 500 eksemplar. Komik edisi terbatas itu ia edarkan lewat pemesanan di media sosial dan dijual langsung pada forum­forum komik.

”Ternyata untungnya lebih gede daripada royalti dua kali cetak ulang di penerbit. Tetapi, penerbit besar, kan, punya jalur distribusi lebih luas. Lebih banyak orang bisa membaca karya saya,” tuturnya.

Komikus yang mampu mengolah ranah digital sekaligus cetak memang jadi pemasar yang tangguh bagi karyanya. Faza Meonk pun membuktikan itu dengan karakter komiknya, Si Juki. Bermula dari blog pribadi, karakter komik ini sukses diterbitkan oleh Bukune sekaligus digarap untuk strip digital Webtoon.

Tak berhenti di sana, Faza pun membangun Pionicon, perusahaan manajemen kekayaan intelektual berbasis karakter. Di perusahaan itu, Faza juga mengelola karakter karya komikus Indonesia yang lain. Targetnya, harus ada karakter komik Indonesia yang populer di negeri sendiri dan bisa mewujud ke format lain, seperti film.

Negeri ini sudah terbukti sebagai pasar komik yang besar, tetapi menemukan kata komik dalam peta kebijakan pemerintah sungguh tak mudah. Meski begitu, berhadapan dengan struktur industri dan pasar yang tidak cukup mendukung mereka berkarya, para komikus ini menolak menyerah. (Nur Hidayati)

Rabu, 14 Oktober 2015

HBD My Second Home



HBD 
My Second Home


Judul : HBD My Second Home

Penulis
Theresia Ina Duran

Editor :
Riris Pardede

Cetakan Pertama, Jakarta, Januari 2014
13 cm x 20,
vii + 100


Penerbit : Tollelegi 

Cuplikan pengantar penulis 

Pada mulanya adalah sebuah ide, dan ide ini berkembang menjadi sebuah kegelisahan. Awalnya,saya berpikir apakah saya bisa senekat ini mau merangkai pengalaman menjadi sebuah tulisan untuk dibaca, setidaknya untuk saya sendiri? Semakin kegelisahan itu menghantui pikiran saya, semakin besar pula keinginan saya untuk memulai menulis.Namun, lagi-lagi.... siapakah saya dan apa pentingnya menuliskan kisah ini? Siapa juga yang peduli dengan keinginan gila yang demikian?

Apakah saya bisa menuangkan semua kisah ini menjadi sebuah buku yang berarti; minimal untuk hidup saya sendiri? Sebelum saya berpikir tentang sahabat-sahabatku, juga orang-orang terdekat yang kemudian akan membaca buku  ini, apakah hal-hal yang remeh-temeh yang saya alami dalam setiap perjumpaan, patut juga diikutsertakan dalam perayaan bersama orang lain? Siapa jugalah yang menentukan mana bagian hidup yang dipandang remeh-temeh, mana yang penting dan serius ? Tapi sebelum semuanya benar menjadi gila, saya harus dapat mengalah untuk tidak bertanya. Maka mulailah saya membuka laptop dan mulai menuliskan apa saja tentang segala kejadian di lingkungan terdekat saya dan tentu di tempat saya bekerja yakni Rumah Sakit Sint Carolus.

Saya memulai dengan mengomentari hal yang remeh temeh. Selalu saja yang dikatakan remeh dan yang lucu yang saya temukan di tempat kerja itu membawa kesenangan tersendiri dalam bekerja. Pun juga, ketika saya menemukan hal-hal yang sangat sulit saat merawat pasien, maupun saat bekerjasama dengan teman-teman, misalnya, selalu saya turut serta merasakan gejolak yang sangat dahsyat, bahwa semua ini akan sangat menarik bila saya tuliskan dalam sebuah buku. Layaknya orang yang lagi jatuh cinta, rasanya pengen, pengen dan pengen. (Pengen ngapain?).

Di suatu kesempatan, seorang sahabat saya membesarkan niat saya untuk menulis. Dia mengatakan, “Semua yang akan saya tulis tentu sudah pernah saya alami sendiri, jadi biarkan cerita- cerita ini mengalir sesuai alurnya, hingga bermuara di suatu hulu yang membuat semua yang membacanya menemukan maknanya sendiri-sendiri.” Kenapa menulis buku, baru terealisasi sekarang pun ada ceritanya. Di tahun 2013 lalu, tepatnya tanggal 1 April, saya sudah memasuki masa kerja 17 tahun sebagai perawat  di Rumah Sakit Sint Carolus. Layaknya remaja memasuki usia 17 tahun yang mulai meyakini diri dapat berbuat sesuatu dan demi sesuatu, maka saya dalam 17 tahun usia kerja itu mencoba meyakini sekurang-kurangnya untuk saya sendiri tentang apa yang dapat saya bagikan kepada orang lain.

Bagi saya, 17 tahun berarti sebuah kedewasaan yang sudah siap untuk melakukan apa saja sesuai keinginan kita, sejauh keinginan itu tidak merugikan orang lain atau diri sendiri. Tetapi yang lebih penting dari itu, saya semakin menyadari bahwa selama 17 tahun saya bekerja sebagai perawat selama itu pula sudah banyak hal yang saya dapat, saya nikmati, saya lalui, dan saya hadapi. Apapun itu bentuknya. Entah suka, entah duka, lucu, sebel, bête,merasa tersisih, merasa jenuh,semuanya sudah saya alami. Dan itu menjadi sebuah pembelajaran yang sangat berharga bagi saya.

Hal lain yang menjadi penting bagi saya, selama kurun waktu 17 tahun itu, saya sudah sedikit banyaknya mengenal begitu banyak orang. Sebagai perawat, saya berjumpa dengan pasien, keluarga pasien, para pengunjung, teman-teman sekerja, para dokter, teman sejawat lainnya dari unit-unit lain di rumah sakit ini. Dalam perjumpaan yang tak disengaja itu, kemudian menyuguhkan kegembiraan, walau kadang ada juga cerita sedih yang menyertai pertemuan -pertemuan saya dengan semua orang saat saya bekerja.

Buku yang saya tulis ini, sebenarnya tidak jauh dari cerita-cerita akan perjumpaan itu. Lantaran perjumpaan itu selalu melibatkan minimal dua orang, maka sebenarnya tulisan inipun merupakan pengalaman bersama yang diceritakan oleh saya, yang tentu juga tidak lepas dari sudut pandang saya pribadi. Oleh karena pengalaman yang menyertai banyak pihak khususnya interaksi saya dengan pasien, teman, bos, dokter, professor, keluarga pasien,tentunya saya memulainya dengan meminta ijin terlebih dahulu apakah boleh cerita-cerita ini saya tuliskan dalam buku saya ini. OK, guys, i get the poin. Jadilah saya menulis buku ini.

Soal judul buku ini. Buku ini diberi judul “HBD, My Second Home”. HBD kepanjangan dari Happy Birth Day, maka jadilah “Happy Birth Day, My Second Home.Terjemahan bebasnya, “Selamat Ulang Tahun Rumah Keduaku”. Judul ini menarik bagi saya karena tempat saya bekerja bagaikan rumah kedua saya. Dan saya begitu mencintai pekerjaan saya, sampai-sampai anak-anak saya selalu bertanya,”Mama, kapan liburnya?”. Ditempat saya bekerja saya merasakan kebahagiaan yang tiada taranya sama seperti saat saya berada di rumah bersama suami, anak-anak dan keluarga lainnya. Jadi tidaklah berlebihan ketika tempat saya bekerja saya jadikan rumah kedua, karena saya akan menjumpai orang-orang yang sangat menyayangi saya like is my family.

Sekadar share, saat saya menulis buku ini,anak saya yang bungsu sedang getol-getolnya bertanya tentang persiapan perayaan ulang tahunnya yang ke-empat. Ada kebahagiaan saat menjawab semua pertanyaannya, tetapi ada keresahan juga untuk segera menyelesaikan tulisan ini. Seperti kata teman saya Herlina Okta Panjaitan, pekerjaan memang penting, tetapi anak-anak jauh lebih penting. So, di sela-sela kesibukan saya bekerja sebagai seorang perawat, saya berusaha untuk selalu hadir bagi ketiga buah hati saya, dan saya patut bersyukur kepada Tuhan karena sudah memberikan seorang suami yang begitu mengerti keadaan
saya sebagai seorang ibu yang bekerja.

Perlu dijelaskan juga di sini, kenapa saya sampai merasa begitu nyaman memulai dan menyelesaikan tulisan ini, dikarenakan pengaruh yang begitu besar yang tumbuh dari lingkungan rumah, dimana suami dan anak-anak melewati hari dengan bermain. Kok Bermain? Ya... dari bangun pagi hingga menjelang tidur, semuanya dilakukan dengan bermain. Dari membaca, menulis, menyelesaikan tugas dan pekerjaan rumah, menyusun boneka, membentuk rumah-rumahan dan sebagainya dilalui dalam suasana bermain. Tidak ada waktu  yang dilalui tanpa bermain. Bahkan sekolah, termasuk juga pekerjaan yang seriuspun, ditanggapi sebagai sebuah permainan. Bermain adalah sesuatu yang menyenangkan. Itulah mereka dan saya pun terlibat didalamnya.

Maaf, sebelum membaca halaman-halaman selanjutnya, masih tertinggal satu pertanyaan, apa artinya pembaca dari buku yang ditulis lebih sebagai catatan pribadi semacam ini? Sebagaimana halnya dengan setiap buku yang dibaca, imajinasi pembaca tentu jauh melampaui apa yang ditulis. Karena itu, saya meyakini bahwa sesederhana apapun buku ini, tetap menjadi media bagi siapa saja untuk memberi arti pada pengalaman hidup masing-masing. Inilah semacam kado dari sahabat untuk sahabat termasuk kepada pembaca yang kemudian “bermigrasi” menjadi sahabat.

Mudah-mudahan saya selalu mendapat kesempatan untuk merangkum semua kisah yang dialami bersama. Bagaimanapun, cerita ini tak akan pernah terhenti, karena saya meyakini Tuhan selalu memakai saya melalui pekerjaan saya untuk bertemu orang-orang luar biasa yang selalu menginspirasi saya untuk terus bercerita……I hope so.

Jakarta, 15 Januari 2014
Ketika banjir masih menggenangi Jakarta.

100 Pesan Revolusi Diri



100 Pesan Revolusi Diri 

Judul : 100 Pesan Revolusi Diri 
Penulis : Yoseph Bruno Dasion, SVD 
Penerbit : Tollelegi
Cetakan pertama : Januari 2015 
12 x 20 xiv + 102 

ISBN : 978-602-72022-0-7

Cuplikan kata pengantar 

Manusia senantiasa bergerak maju ke depan sambil tidak melupakan apa yang telah diperbuatnya, apa yang telah dicapainya pada setiap jejak masa lampaunya. Manusia adalah makhluk on-going formation, selalu dalam sebuah proses panjang “menjadi”, yang tidak pernah merasa puas dengan diri dan pencapaiannya hari ini, tetapi menjadikannya sebagai stepping-stone untuk melompat mencapai bintang-bintang kesempurnaan dirinya yang lebih baik.

          Manusia yang selalu meniscayakan proses “menjadi” ini, adalah dia yang selalu menyadari dirinya yang selalu saja tidak sempurna, bukan untuk menabur benih keputusasaan bagi dirinya sebagaimana yang dibuat oleh para skeptik yang selalu menyerah mati kepada nasib hidup sebagai yang tak terelakkan dan yang tak menjanjikan masa depan, tetapi demi membangkitkan daya juang menemukan diri sejatinya, yang sarat talenta kehidupan namun belum tuntas dieksplorasi.

          Buku “100 Pesan Revolusi Diri” hadir dalam nuansa ini, untuk memberikan kepada setiap kita harapan yang kokoh untuk tidak menyerah pada aneka keterbatasan diri yang kita miliki atau alami hari ini. Ia menyapa kita untuk selalu menyimpan antusiasme positif bagi dan tentang diri kita yang harus selalu teguh menatap ke masa depan yang lebih baik dan membahagiakan.

          Pesan-pesan revolusi diri ini telah diserukan oleh banyak tokoh historis, antara lainnya kita menyebut nama-nama, seperti Konfusius, Mensius dan Yesus Kristus.

          Konfusius yang hidup di Cina pada sekitar tahun 551 BC~ tahun 479BC adalah pendiri agama Konhuchu, dan dikenal sebagai tokoh revolusi diri pada era Cina Kuno. Ia mengajarkan pentingnya Cinta(ÁN0Jin)1 dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

          Bagi Konfusius, Cinta adalah sebuah kapasitas atau kualitas hakiki seorang manusia yang sudah ada dan dimiliki di dalam dirinya. Tetapi kualitas Cinta hanya bisa menjadi nyata dan dikenal melalui tata cara hidup yang beradab yang selalu terungkap di dalam kesopan-santunan dan keramah-tamahan(<y,Rei) seorang manusia terhadap yang lain.
         
          Agar Cinta menjadi nyata dalam kehidupan masyarakat Cina, Konfusius menyerukan tanpa henti apa yang disebut “Kokki- Fukurei”(KQñ]©_<y), yang mengajarkan bahwa, hanya mereka yang dapat mengontrol atau menguasai dirinya sendirilah yang akan sanggup hidup sebagai manusia yang sopan, ramah dan beradab. Mengontrol atau menguasai diri sendiri adalah usaha untuk menyadari kualitas Cinta yang sudah ada di dalam diri sendiri. Hanya kesadaranlah yang memungkinkan Cinta itu dapat dihidupi dan diwujudkan agar manusia dapat menjadi manusia sejati, menjadi manusia dalam arti sesungguhnya.

          Mensius, dikenal sebagai seorang murid Konfusius, meskipun bukan murid langsung karena ia hidup kira-kira satu abad sesudah gurunya, tahun 372BC~289BC. Mensius disebut murid Konfusius karena masih mematuhi jalan pemikiran Konfusius yang mengajarkan bahwa kualitas dasar manusia adalah Cinta dan Kebaikan(„U0Zen). Seperti gurunya, ia juga menyerukan agar manusia kembali kepada jati dirinya ini. Seruannya itu terkenal dengan îOñ]»lºN(Shukochijin), yang artinya hanya mereka yang sanggup menguasai dirinyalah yang dapat menguasai dan mengatur sebuah negara dan pemerintahannya. Dan yang menguasai dirinya adalah mereka yang sungguh memahami kualitas Cinta dan yang beradab hidupnya.

          Bagi Konfusius dan Mensius, siapapun yang bisa menguasai dirinya akan juga bisa menguasai rumah tangganya. Yang bisa menguasai rumah tangganya akan bisa menguasai negaranya. Dan, yang bisa menguasai negaranya akan juga sanggup menguasai dunia. Dus, sukses perwujudan sebuah cita-cita yang besar bermuasal pada diri kita sendiri. Diri kita yang baik dan benar dalam hidup dan tindakan nyata, akan juga menjadi sumber kebaikan dan kebenaran bagi orang lain.

          Yesus Kristus juga menyerukan revolusi diri bagi semua orang pada masaNya, secara istimewa dalam kehidupan publikNya yang berlangsung dari tahun 27 Masehi ~30 Masehi, atau tahun 30 Masehi~33 Masehi(bergantung perbedaan diskusi tahun kelhiran  Yesus Kristus).

          Ia mengajarkan bahwa sebuah pembaharuan dalam skala besar haruslah dimulai dengan revolusi diri atau diri yang diperbaharui. Menghendaki sebuah perubahan atau revolusi di dalam diri yang lama, dalam diri yang bobrok yan tidak diperbaharui adalah cita-cita yang mustahil.

          Dalam rumusan Kitab Sucinya:”Tidak seorang pun yang menambahkan secarik kain yang belum susut pada baju yang tua, karena jika demikian kain penambal itu akan mencabik baju itu, lalu makin besarlah koyaknya. Begitu pula anggur yang baru tidak diisikan ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian kantong itu akan koyak  sehingga anggur itu terbuang dan kantong itu pun hancur. Tetapi anggur yang baru disimpan orang di dalam kantong anggur yang baru pula, dan dengan demikian terperiharalah kedua-duanya.”(Matius 9:14-17)

          Di dalam Lukas 16 :10, Yesus mengajarkan kebajikan hidup yang senafas dengan Konfusius dan Mensius yang memberikan penekanan pada tanggungjawab atas diri sendiri, atau dalam hal-hal kecil dan sederhana, sebelum mencita-citakan sebuah tanggungjawab yang lebih besar.“Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.”

          Dalam domain kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia tercinta, dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019, kita di karunia dua orang pemimpin pembaharu, atas nama Presiden Haji Ir. Joko Widodo, dan Wakilnya Haji Yusuf Kalla, yang sama-sama tampil sebagai pemimpin yang jujur, sederhana, berani, bersih dan yang menempatkan kepentingan rakyat sebagai pilihan wahid kiprah politik dan pemerintahannya.

          Semua kita menyambut lahirnya pemimpin baru dengan langkah-langkah politiknya yang baru. Khususnya cita-citanya untuk membangun sebuah Indonesia Baru yang berbasis pada revolusi mental manusia Indonesia itu sendiri.

          Bagi Presiden Joko Widodo dan Wakilnya Yusuf Kalla, Kemajuan Indonesia sebagai bangsa dan negara agar dapat diterima dan diakui kehadirannya di dalam sebuah dunia yang semakin global, haruslah dimulai dari revolusi mental manusianya. Dan untuk memulainya, Presiden dan Wakilnya tidak hanya berdiri dan mengharapkan rakyatnya untuk memulai revolusi ini, tetapi mereka sendirilah yang memulainya. Mereka memberikan sendiri contoh, apa itu revolusi mental di dalam kehidupannya sendiri yang sangat dekat dengan rakyatnya, yang memimpin dengan bekerja, dan dengannya meyakinkan rakyatnya bahwa gerakan revolusi mental yang mereka adakan, bukanlah sebuah cita-cita kosong, tetapi sungguh sebuah tindakan nyata dalam kehidupannya sehari-hari.

          Kita semua tercengang dan mata kita terbuka melihat tipe pemimpin baru yang tidak pernah kita jumpai di dalam sejarah Indonesia moderen. Bukan hanya itu, masyarakat dunia pun ikut-ikutan mengacungi jempolnya buat pemimpin nomor satu kita, karena mereka juga sebenarnya tengah mendambakan pemimpin yang serupa.
         
          Dalam suasana lahirnya Indonesia Baru inilah saya menyajikan buku mungil ini ke hadapan para pembaca yang mencintai diri sendiri sebagai yang baik dan benar, dan yang tak mau kalau diri seperti ini harus dikalahkan oleh aneka pengaru global yang kurang baik.

          Kesadaran kita untuk tiada hentinya menjaga dan merawat diri kita yang baik dan yang benar, adalah sebuah tugas penting yang harus selalu kita lakukan. Hanya dengan demikian kita pun dapat berpartisipasi penuh dalam tugas dan tanggungjawab kita untuk memelihara negara dan dunia kita agar menjadi sebuah ranah kehidupan yang semakin baik dan semakin bersahabat penuh kedamaian dan cinta.
         

Selamat membaca.
Lamalera, 1 Januari 2015
Yoseph Bruno Dasion SVD