Kekayaan dan
keberagaman suku di Indonesia dapat terlihat dari seni dan budayanya. Hal itu
antara lain tampak pada keberadaan rumah tradisional. Keunikan arsitektur rumah
tradisional suku-suku di Tanah Air memperlihatkan kekayaan nilai estetik,
bentuk, serta nilai filosofi. Pada setiap masyarakat, ketiga hal ini memiliki
perbedaan tergantung adat, tradisi, dan kondisi lingkungan masing-masing
daerah.
Selain menarik untuk
digali, kekayaan arsitektur rumah tradisional Indonesia memiliki potensi lain
yang dapat dimanfaatkan masyarakat adat untuk mengembangkan desa atau wilayah
tempat tinggalnya. Potensi tersebut salah satunya adalah potensi wisata.
Hal inilah yang
diperhatikan oleh PT Propan Raya sehingga menyelenggarakan Sayembara Arsitektur
Nusantara 2 – 2014 dengan tajuk Desa Wisata Nusantara. Managing Director PT
Propan Raya Kris Adidarma memaparkan, Indonesia sangat kaya akan arsitektur
tradisional yang beragam dan unik. Arsitektur tradisional Indonesia
mencerminkan kearifan budaya lokal yang pada dasarnya ramah lingkungan dan
beradaptasi dengan alam. Warisan budaya dan teknologi yang sudah ada tersebut,
apabila dikembangkan dengan inovasi dan ide kreatif, dapat melahirkan suatu
karya arsitektur yang mampu membawa Indonesia ke tingkat dunia.
Setelah setahun berlangsung,
hasil pemenang sayembara ini diumumkan pada 21 Agustus 2015. Pemenang Utama I
sayembara ini diraih oleh Tobias Kea Suksmalana, Alexander Octa Kusuma, Lecia
Mona Karlina, dan Heryanto Tirtoputro. Tobias dan kawan-kawan menciptakan
konsep arsitektur desa wisata Sembalun Lawang, Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Bangun jiwa, bangun
raga
Permasalahan yang ada
di masyarakat Sembalun Lawang salah satunya adalah terputusnya hubungan
masyarakat Sembalun Lawang dengan rumah adat Bleq. Kompleks rumah adat Bleq sudah
tidak ditempati. Banyak masyarakat yang sudah tidak tinggal di Bleq dan banyak
warganya yang sudah tidak membangun rumah adat karena keterbatasan material dan
sudah tidak sesuai dengan kebutuhan saat ini. Oleh karena itu, keberadaan rumah
adat Bleq mulai tidak terlalu diperhatikan dan tentunya pembangunan rumah
tradisional milik masyarakat Sembalun Lawang sudah berkurang jauh.
Ditambah lagi dengan
keberadaan generasi muda Desa Sembalun Lawang yang benar-benar sudah merasa
putus hubungan dengan warisan leluhur, salah satunya rumah adat tersebut. Jika
dibiarkan begitu saja, tentu lamban laun masyarakat Desa Sembalun Lawang dapat
kehilangan identitas dirinya.
Oleh karena itu,
Tobias dan kawan-kawan mengadopsi semangat yang telah dimiliki oleh masyarakat
Sembalun Lawang, yaitu gompar atena, gompar awakna yang
berarti bangun jiwanya, bangun raganya dalam mengembangkan arsitektur desa
wisata Sembalun Lawang.
Pengembangan
arsitektur desa wisata Sembalun Lawang yang dirancang oleh Tobias dan
kawan-kawannya adalah pembangunan berbasis komunitas. Pengembangan ini terdiri
atas dua tahap. Tahap pertama, yaitu zona penyangga berupa pembangunan sanggar
dan fasilitas pengolahan pupuk organik. Kemudian zona tersier yakni pembangunan
pusat turisme. Tahap kedua, pengembangan zona inti dengan konservasi rumah adat
Bleq dan zona tersier yakni renovasi rumah penduduk, renovasi bale perempuan
tangguh yang biasanya digunakan oleh para perempuan Sembalun untuk menenun, dan
renovasi pondok-pondok tani.
“Bukan hanya segi
arsitekturnya, dalam pengembangan desa wisata, yang terutama untuk dikembangkan
bukanlah aspek wisatanya. Lebih fundamental lagi, yang perlu dikembangkan
adalah kemandirian desa dalam mengelola alam dan budayanya serta menumbuhkan
kebanggaan atas budaya yang mereka hidupi. Jika hal ini bisa dicapai, desa
memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menjaga lokalitas mereka secara
berkesinambungan. Pada akhirnya, wisata dapat ditambahkan sebagai bonus atas
lokalitas yang dapat dijaga oleh desa,” terang Tobias. [ACH]
FOTO-FOTO DOK TOBIAS
KEA SUKSMALANA.
http://infoklasika.print.kompas.com/asa-membangun-desa-wisata/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar