Minggu, 25 Oktober 2015

Roh Indonesia di Pameran Buku Frankfurt

Pengunjung melihat buku-buku yang dipamerkan di Paviliun Indonesia menjelang pembukaan Pameran Buku Frankfurt 2015 di Frankfurt, Jerman, Selasa (13/10). Indonesia menjadi tamu kehormatan dalam gelaran bertajuk "17.000 Islands of Imagination" itu, dengan menampilkan 75 pengarang Indonesia, yang berlangsung 14-18 Oktober 2015.


FRANKFURT, Kompas

Dengan mengenakan kebaya merah dan kain panjang, sinden Endah Laras menaiki podium Congress Center Messe Frankfurt, Jerman. Di layar, terbentang puisi Jawa abad ke-19, "Malang Sumirang", berganti-ganti dalam bahasa Jawa, Jerman, dan Inggris.

Latarnya seorang bocah perempuan bermain ayunan dalam tempo perlahan. Endah, dengan suara tinggi berbobot, membaca dan menembangkan puisi mengenai seorang yang dihukum bakar di sebuah alun-alun Jawa pada abad ke-15, tetapi di tengah nyala api, ia sempat menulis-mungkin-sebuah puisi. Orang itu dianggap melanggar hukum dan ajaran agama. Malang Sumirang namanya. 

Ketika Endah hendak turun, dengan setengah berlari penyair Goenawan Mohamad menghampirinya, mencium keningnya, lalu mengambil posisi untuk sebuah pidato selaku ketua Komite Nasional Pelaksana bagi Indonesia sebagai Tamu Kehormatan dalam Pameran Buku Frankfurt (14-18 Oktober) 2015. Demikian laporan wartawan Kompas,Salomo Simanungkalit, dari Frankfurt, Jerman, awal pekan ini. 

Pada pembukaan pameran buku terbesar di dunia itu, yang berlangsung pada Selasa, 13 Oktober petang, Goenawan dalam bahasa Indonesia yang puitis menjelaskan ihwal "Malang Sumirang". Pendengarnya, sekitar 2.400 orang yang hadir-termasuk kira-kira 320 orang Indonesia yang ambil bagian dalam pameran dan acara-acara yang digelar dalam kaitan itu-dan kelindannya dengan peran Indonesia sebagai tamu kehormatan.

"Kami sadar, Indonesia sebuah negeri yang amat jauh dan umumnya tak dikenal di sini. Namun, sambil mendengarkan Endah Laras menembang dan mengisahkan riwayat Malang Sumirang, saya berharap Anda bisa mengenal beberapa lapis alegori di dalamnya," kata Goenawan. "Saya percaya banyak hal yang bisa membangun percakapan antara kita meskipun kita datang dari benua yang berjauhan; misalnya dalam menampik kekejaman, merasakan sakitnya penindasan, dan mengalami paradoks kekuasaan."

Tentang penindasan itu sendiri, seperti ada perasaan bersama dengan pidato-pidato sebelumnya pada pembukaan pameran itu seperti dari Direktur Pameran Buku Frankfurt Juergen Boos, Menteri Kebudayaan dan Media Republik Federasi Jerman Monika Grutters, dan Wali Kota Frankfurt am Maim Peter Fieldmann. Mereka menyinggung migrasi dari Timur Tengah di Jerman yang sedang mengalami kesulitan di negerinya. Bahkan, dengan pidato pengarang Salman Rushdie dari Iran pada konferensi pers siang sebelumnya yang menyinggung pengarang dan kebebasan berekspresi, yang di beberapa negara mengalami hambatan atas nama kekuasaan: negara dan agama. 

"Saya bisa bicara bebas kepada Anda saat ini adalah hasil perjuangan untuk kebebasan melawan kekuasaan Gereja 200 tahun lalu," kata Salman Rushdie yang memamerkan roman terbarunya (2015), Two Years Eight Months and Twenty Eight Nights, dalam pameran ini.

Budaya

Pidato penutup dalam pembukaan itu datang dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan. "Saya ingin agar Indonesia, dengan hadir di Pekan Raya Buku ini, juga memandang ke era beyond books, era yang tak lagi mengandalkan buku dalam bentuknya yang sudah berumur ratusan tahun sejak mesin cetak ditemukan di Korea dan juga di Guttenberg, Jerman," katanya. "Sebab itu kami (dalam pameran ini) hadir dalam karya seni rupa, arsitektur, fotografi, film, kuliner, seni pertunjukan," ujarnya. 

Paviliun Indonesia menempati 2.400 meter persegi area pameran. Tak kalah dengan pidato Goenawan yang puitis, paviliun yang ditata artistik oleh arsitek Muhammad Thamrin dan kawan-kawan dari Bandung itu menyambut pengunjung dengan teks di sekitar pintu masuk: Words, Images, Myths, Movements-and Indonesia, 17.000 islands of Imagination Pavilion.

Paviliun Indonesia terdiri dari tujuh gugus pulau yang melambangkan ragam kegiatan dan satu sama lain dihubungkan "laut" sebagai watas imajinatif yang siap dieksplorasi: misterius dan kuyup kejutan. Ketujuh pulau itu masing-masing dengan subtema: Spice Island, Island of Tales, Island of Scenes, Island of Illumination, Island of Words, Island of Inquiry, danIsland of Images.

Spice Island, misalnya, memamerkan beragam rempah, baik dalam rupa mentah maupun olahan yang aromanya langsung dapat dirasakan pengunjung. Buku kuliner dan resep masakan dari nama-nama terpandang di Indonesia dan meluas berkat program televisi, dipajang. 

Manuskrip tua dalam replika yang apik di satu pulau ditata dalam kotak-kotak kaca, antara lain Buku Parhalaan berupa almanak atau kalender Batak, Pustaha Laklak yang berasal dari tradisi literer Batak untuk obat-obatan dan pengobatan, Bomakawya dari Hindu Bali, Negara Kartagama oleh Empu Prapanca (1365), La Galigo beraksara dan berbahasa Bugis, dan Babad Balambangan.

Buku cerita bergambar untuk anak-anak berupa dongeng dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris) yang dikarang penulis Indonesia ataupun yang bertema agama mendapat tempat strategis di Island of Tales.

Pemerintah Indonesia mengeluarkan dana Rp 150 miliar dalam perannya sebagai Tamu Kehormatan pameran itu. Seperti yang dikemukakan Goenawan, hanya ada waktu dua tahun untuk persiapan, termasuk untuk menerjemahkan karya-karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Jerman yang diminta panitia sebanyak 300 judul. "Kita baru bisa mencapai hampir 300 judul, tapi jumlah itu dalam bahasa Jerman dan Inggris," katanya.

Dalam penutup pidatonya, Goenawan menekankan bahwa menyambut kelahiran buku tak hanya berarti memamerkan kekenesan para pengarang. Juga tak hanya berarti memajang sejumlah besar komoditas di sebuah pasar yang ramai.

"Yang saya harapkan ialah bahwa kita semua bersedia mengingat kembali apa yang dilakukan Malang Sumirang: kita menulis untuk menegaskan kesetaraan manusia. Kita menulis untuk menghidupkan percakapannya. Dan, dengan demikian, kita menulis juga untuk menumbuhkan kemerdekaannya," kata Goenawan.
___

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Oktober 2015, di halaman 11 dengan judul "Roh Indonesia di Pameran Buku Frankfurt".


Tidak ada komentar:

Posting Komentar