HBD
My Second Home
Judul : HBD
My Second Home
Penulis
Theresia Ina Duran
Editor :
Riris Pardede
Cetakan Pertama,
Jakarta, Januari 2014
13 cm x 20,
vii + 100
Penerbit : Tollelegi
Cuplikan pengantar penulis
Pada mulanya adalah sebuah
ide, dan ide ini berkembang menjadi sebuah kegelisahan. Awalnya,saya berpikir
apakah saya bisa senekat ini mau merangkai pengalaman menjadi sebuah tulisan
untuk dibaca, setidaknya untuk saya sendiri? Semakin kegelisahan itu menghantui
pikiran saya, semakin besar pula keinginan saya untuk memulai menulis.Namun,
lagi-lagi.... siapakah saya dan apa pentingnya menuliskan kisah ini? Siapa juga
yang peduli dengan keinginan gila yang demikian?
Apakah saya bisa menuangkan
semua kisah ini menjadi sebuah buku yang berarti; minimal untuk hidup saya sendiri?
Sebelum saya berpikir tentang sahabat-sahabatku, juga orang-orang terdekat yang
kemudian akan membaca buku ini, apakah
hal-hal yang remeh-temeh yang saya alami dalam setiap perjumpaan, patut juga
diikutsertakan dalam perayaan bersama orang lain? Siapa jugalah yang menentukan
mana bagian hidup yang dipandang remeh-temeh, mana yang penting dan serius ? Tapi sebelum
semuanya benar menjadi gila, saya harus dapat mengalah untuk tidak bertanya.
Maka mulailah saya membuka laptop dan mulai menuliskan apa saja tentang segala
kejadian di lingkungan terdekat saya dan tentu di tempat saya bekerja yakni
Rumah Sakit Sint Carolus.
Saya memulai dengan mengomentari hal
yang remeh temeh. Selalu saja yang dikatakan remeh dan yang lucu yang saya
temukan di tempat kerja itu membawa kesenangan tersendiri dalam bekerja. Pun
juga, ketika saya menemukan hal-hal yang sangat sulit saat merawat pasien,
maupun saat bekerjasama dengan teman-teman, misalnya, selalu saya turut serta
merasakan gejolak yang sangat dahsyat, bahwa semua ini akan sangat menarik bila
saya tuliskan dalam sebuah buku. Layaknya orang yang lagi jatuh cinta, rasanya
pengen, pengen dan pengen. (Pengen ngapain?).
Di suatu kesempatan, seorang sahabat
saya membesarkan niat saya untuk menulis. Dia mengatakan, “Semua yang akan saya
tulis tentu sudah pernah saya alami sendiri, jadi biarkan cerita- cerita ini
mengalir sesuai alurnya, hingga bermuara di suatu hulu yang membuat semua yang membacanya
menemukan maknanya sendiri-sendiri.” Kenapa menulis buku, baru terealisasi
sekarang pun ada ceritanya. Di tahun 2013 lalu, tepatnya tanggal 1 April, saya
sudah memasuki masa kerja 17 tahun sebagai perawat di Rumah Sakit Sint Carolus. Layaknya remaja
memasuki usia 17 tahun yang mulai meyakini diri dapat berbuat sesuatu dan demi
sesuatu, maka saya dalam 17 tahun usia kerja itu mencoba meyakini
sekurang-kurangnya untuk saya sendiri tentang apa yang dapat saya bagikan kepada
orang lain.
Bagi saya, 17 tahun berarti sebuah
kedewasaan yang sudah siap untuk melakukan apa saja sesuai keinginan kita, sejauh
keinginan itu tidak merugikan orang lain atau diri sendiri. Tetapi yang lebih
penting dari itu, saya semakin menyadari bahwa selama 17 tahun saya bekerja
sebagai perawat selama itu pula sudah banyak hal yang saya dapat, saya nikmati,
saya lalui, dan saya hadapi. Apapun itu bentuknya. Entah suka, entah duka,
lucu, sebel, bĂȘte,merasa tersisih, merasa jenuh,semuanya sudah saya alami. Dan
itu menjadi sebuah pembelajaran yang sangat berharga bagi saya.
Hal lain yang menjadi penting bagi
saya, selama kurun waktu 17 tahun itu, saya sudah sedikit banyaknya mengenal begitu
banyak orang. Sebagai perawat, saya berjumpa dengan pasien, keluarga pasien, para
pengunjung, teman-teman sekerja, para dokter, teman sejawat lainnya dari
unit-unit lain di rumah sakit ini. Dalam perjumpaan yang tak disengaja itu, kemudian
menyuguhkan kegembiraan, walau kadang ada juga cerita sedih yang menyertai
pertemuan -pertemuan saya dengan semua orang saat saya bekerja.
Buku yang saya tulis ini, sebenarnya
tidak jauh dari cerita-cerita akan perjumpaan itu. Lantaran perjumpaan itu selalu
melibatkan minimal dua orang, maka sebenarnya tulisan inipun merupakan
pengalaman bersama yang diceritakan oleh saya, yang tentu juga tidak lepas dari
sudut pandang saya pribadi. Oleh karena pengalaman yang menyertai banyak pihak
khususnya interaksi saya dengan pasien, teman, bos, dokter, professor, keluarga
pasien,tentunya saya memulainya dengan meminta ijin terlebih dahulu apakah boleh
cerita-cerita ini saya tuliskan dalam buku saya ini. OK, guys, i get
the poin.
Jadilah saya menulis buku ini.
Soal judul buku ini. Buku ini diberi
judul “HBD,
My Second Home”. HBD kepanjangan dari Happy Birth Day, maka jadilah “Happy Birth
Day, My Second Home.Terjemahan bebasnya, “Selamat Ulang Tahun Rumah Keduaku”. Judul ini
menarik bagi saya karena tempat saya bekerja bagaikan rumah kedua saya.
Dan saya begitu mencintai pekerjaan saya, sampai-sampai anak-anak saya selalu
bertanya,”Mama, kapan liburnya?”. Ditempat saya bekerja saya merasakan
kebahagiaan yang tiada taranya sama seperti saat saya berada di rumah bersama
suami, anak-anak dan keluarga lainnya. Jadi tidaklah berlebihan ketika tempat
saya bekerja saya jadikan rumah kedua, karena saya akan menjumpai orang-orang
yang sangat menyayangi saya like is my family.
Sekadar share, saat saya
menulis buku ini,anak saya yang bungsu sedang getol-getolnya bertanya tentang
persiapan perayaan ulang tahunnya yang ke-empat. Ada kebahagiaan saat menjawab semua pertanyaannya,
tetapi ada keresahan juga untuk segera menyelesaikan tulisan ini. Seperti kata teman
saya Herlina Okta Panjaitan, pekerjaan memang penting, tetapi anak-anak jauh
lebih penting. So, di sela-sela kesibukan saya bekerja sebagai seorang perawat,
saya berusaha untuk selalu hadir bagi ketiga buah hati saya, dan saya patut
bersyukur kepada Tuhan karena sudah memberikan seorang suami yang begitu
mengerti keadaan
saya sebagai seorang ibu yang
bekerja.
Perlu dijelaskan juga di sini, kenapa
saya sampai merasa begitu nyaman memulai dan menyelesaikan tulisan ini,
dikarenakan pengaruh yang begitu besar yang tumbuh dari lingkungan rumah,
dimana suami dan anak-anak melewati hari dengan bermain. Kok Bermain? Ya...
dari bangun pagi hingga menjelang tidur, semuanya dilakukan dengan bermain. Dari
membaca, menulis, menyelesaikan tugas dan pekerjaan rumah, menyusun boneka,
membentuk rumah-rumahan dan sebagainya dilalui dalam suasana bermain. Tidak ada
waktu yang dilalui tanpa bermain. Bahkan
sekolah, termasuk juga pekerjaan yang seriuspun, ditanggapi sebagai sebuah permainan.
Bermain adalah sesuatu yang menyenangkan. Itulah mereka dan saya pun terlibat
didalamnya.
Maaf, sebelum membaca halaman-halaman
selanjutnya, masih tertinggal satu pertanyaan, apa artinya pembaca dari buku
yang ditulis lebih sebagai catatan pribadi semacam ini? Sebagaimana halnya
dengan setiap buku yang dibaca, imajinasi pembaca tentu jauh melampaui apa yang
ditulis. Karena itu, saya meyakini bahwa sesederhana apapun buku ini, tetap
menjadi media bagi siapa saja untuk memberi arti pada pengalaman hidup
masing-masing. Inilah semacam kado dari sahabat untuk sahabat termasuk kepada
pembaca yang kemudian “bermigrasi” menjadi sahabat.
Mudah-mudahan saya selalu mendapat
kesempatan untuk merangkum semua kisah yang dialami bersama. Bagaimanapun,
cerita ini tak akan pernah terhenti, karena saya meyakini Tuhan selalu memakai
saya melalui pekerjaan saya untuk bertemu orang-orang luar biasa yang selalu menginspirasi
saya untuk terus bercerita……I hope so.
Jakarta, 15 Januari 2014
Ketika banjir masih menggenangi
Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar