Rabu, 14 Oktober 2015

HBD My Second Home



HBD 
My Second Home


Judul : HBD My Second Home

Penulis
Theresia Ina Duran

Editor :
Riris Pardede

Cetakan Pertama, Jakarta, Januari 2014
13 cm x 20,
vii + 100


Penerbit : Tollelegi 

Cuplikan pengantar penulis 

Pada mulanya adalah sebuah ide, dan ide ini berkembang menjadi sebuah kegelisahan. Awalnya,saya berpikir apakah saya bisa senekat ini mau merangkai pengalaman menjadi sebuah tulisan untuk dibaca, setidaknya untuk saya sendiri? Semakin kegelisahan itu menghantui pikiran saya, semakin besar pula keinginan saya untuk memulai menulis.Namun, lagi-lagi.... siapakah saya dan apa pentingnya menuliskan kisah ini? Siapa juga yang peduli dengan keinginan gila yang demikian?

Apakah saya bisa menuangkan semua kisah ini menjadi sebuah buku yang berarti; minimal untuk hidup saya sendiri? Sebelum saya berpikir tentang sahabat-sahabatku, juga orang-orang terdekat yang kemudian akan membaca buku  ini, apakah hal-hal yang remeh-temeh yang saya alami dalam setiap perjumpaan, patut juga diikutsertakan dalam perayaan bersama orang lain? Siapa jugalah yang menentukan mana bagian hidup yang dipandang remeh-temeh, mana yang penting dan serius ? Tapi sebelum semuanya benar menjadi gila, saya harus dapat mengalah untuk tidak bertanya. Maka mulailah saya membuka laptop dan mulai menuliskan apa saja tentang segala kejadian di lingkungan terdekat saya dan tentu di tempat saya bekerja yakni Rumah Sakit Sint Carolus.

Saya memulai dengan mengomentari hal yang remeh temeh. Selalu saja yang dikatakan remeh dan yang lucu yang saya temukan di tempat kerja itu membawa kesenangan tersendiri dalam bekerja. Pun juga, ketika saya menemukan hal-hal yang sangat sulit saat merawat pasien, maupun saat bekerjasama dengan teman-teman, misalnya, selalu saya turut serta merasakan gejolak yang sangat dahsyat, bahwa semua ini akan sangat menarik bila saya tuliskan dalam sebuah buku. Layaknya orang yang lagi jatuh cinta, rasanya pengen, pengen dan pengen. (Pengen ngapain?).

Di suatu kesempatan, seorang sahabat saya membesarkan niat saya untuk menulis. Dia mengatakan, “Semua yang akan saya tulis tentu sudah pernah saya alami sendiri, jadi biarkan cerita- cerita ini mengalir sesuai alurnya, hingga bermuara di suatu hulu yang membuat semua yang membacanya menemukan maknanya sendiri-sendiri.” Kenapa menulis buku, baru terealisasi sekarang pun ada ceritanya. Di tahun 2013 lalu, tepatnya tanggal 1 April, saya sudah memasuki masa kerja 17 tahun sebagai perawat  di Rumah Sakit Sint Carolus. Layaknya remaja memasuki usia 17 tahun yang mulai meyakini diri dapat berbuat sesuatu dan demi sesuatu, maka saya dalam 17 tahun usia kerja itu mencoba meyakini sekurang-kurangnya untuk saya sendiri tentang apa yang dapat saya bagikan kepada orang lain.

Bagi saya, 17 tahun berarti sebuah kedewasaan yang sudah siap untuk melakukan apa saja sesuai keinginan kita, sejauh keinginan itu tidak merugikan orang lain atau diri sendiri. Tetapi yang lebih penting dari itu, saya semakin menyadari bahwa selama 17 tahun saya bekerja sebagai perawat selama itu pula sudah banyak hal yang saya dapat, saya nikmati, saya lalui, dan saya hadapi. Apapun itu bentuknya. Entah suka, entah duka, lucu, sebel, bĂȘte,merasa tersisih, merasa jenuh,semuanya sudah saya alami. Dan itu menjadi sebuah pembelajaran yang sangat berharga bagi saya.

Hal lain yang menjadi penting bagi saya, selama kurun waktu 17 tahun itu, saya sudah sedikit banyaknya mengenal begitu banyak orang. Sebagai perawat, saya berjumpa dengan pasien, keluarga pasien, para pengunjung, teman-teman sekerja, para dokter, teman sejawat lainnya dari unit-unit lain di rumah sakit ini. Dalam perjumpaan yang tak disengaja itu, kemudian menyuguhkan kegembiraan, walau kadang ada juga cerita sedih yang menyertai pertemuan -pertemuan saya dengan semua orang saat saya bekerja.

Buku yang saya tulis ini, sebenarnya tidak jauh dari cerita-cerita akan perjumpaan itu. Lantaran perjumpaan itu selalu melibatkan minimal dua orang, maka sebenarnya tulisan inipun merupakan pengalaman bersama yang diceritakan oleh saya, yang tentu juga tidak lepas dari sudut pandang saya pribadi. Oleh karena pengalaman yang menyertai banyak pihak khususnya interaksi saya dengan pasien, teman, bos, dokter, professor, keluarga pasien,tentunya saya memulainya dengan meminta ijin terlebih dahulu apakah boleh cerita-cerita ini saya tuliskan dalam buku saya ini. OK, guys, i get the poin. Jadilah saya menulis buku ini.

Soal judul buku ini. Buku ini diberi judul “HBD, My Second Home”. HBD kepanjangan dari Happy Birth Day, maka jadilah “Happy Birth Day, My Second Home.Terjemahan bebasnya, “Selamat Ulang Tahun Rumah Keduaku”. Judul ini menarik bagi saya karena tempat saya bekerja bagaikan rumah kedua saya. Dan saya begitu mencintai pekerjaan saya, sampai-sampai anak-anak saya selalu bertanya,”Mama, kapan liburnya?”. Ditempat saya bekerja saya merasakan kebahagiaan yang tiada taranya sama seperti saat saya berada di rumah bersama suami, anak-anak dan keluarga lainnya. Jadi tidaklah berlebihan ketika tempat saya bekerja saya jadikan rumah kedua, karena saya akan menjumpai orang-orang yang sangat menyayangi saya like is my family.

Sekadar share, saat saya menulis buku ini,anak saya yang bungsu sedang getol-getolnya bertanya tentang persiapan perayaan ulang tahunnya yang ke-empat. Ada kebahagiaan saat menjawab semua pertanyaannya, tetapi ada keresahan juga untuk segera menyelesaikan tulisan ini. Seperti kata teman saya Herlina Okta Panjaitan, pekerjaan memang penting, tetapi anak-anak jauh lebih penting. So, di sela-sela kesibukan saya bekerja sebagai seorang perawat, saya berusaha untuk selalu hadir bagi ketiga buah hati saya, dan saya patut bersyukur kepada Tuhan karena sudah memberikan seorang suami yang begitu mengerti keadaan
saya sebagai seorang ibu yang bekerja.

Perlu dijelaskan juga di sini, kenapa saya sampai merasa begitu nyaman memulai dan menyelesaikan tulisan ini, dikarenakan pengaruh yang begitu besar yang tumbuh dari lingkungan rumah, dimana suami dan anak-anak melewati hari dengan bermain. Kok Bermain? Ya... dari bangun pagi hingga menjelang tidur, semuanya dilakukan dengan bermain. Dari membaca, menulis, menyelesaikan tugas dan pekerjaan rumah, menyusun boneka, membentuk rumah-rumahan dan sebagainya dilalui dalam suasana bermain. Tidak ada waktu  yang dilalui tanpa bermain. Bahkan sekolah, termasuk juga pekerjaan yang seriuspun, ditanggapi sebagai sebuah permainan. Bermain adalah sesuatu yang menyenangkan. Itulah mereka dan saya pun terlibat didalamnya.

Maaf, sebelum membaca halaman-halaman selanjutnya, masih tertinggal satu pertanyaan, apa artinya pembaca dari buku yang ditulis lebih sebagai catatan pribadi semacam ini? Sebagaimana halnya dengan setiap buku yang dibaca, imajinasi pembaca tentu jauh melampaui apa yang ditulis. Karena itu, saya meyakini bahwa sesederhana apapun buku ini, tetap menjadi media bagi siapa saja untuk memberi arti pada pengalaman hidup masing-masing. Inilah semacam kado dari sahabat untuk sahabat termasuk kepada pembaca yang kemudian “bermigrasi” menjadi sahabat.

Mudah-mudahan saya selalu mendapat kesempatan untuk merangkum semua kisah yang dialami bersama. Bagaimanapun, cerita ini tak akan pernah terhenti, karena saya meyakini Tuhan selalu memakai saya melalui pekerjaan saya untuk bertemu orang-orang luar biasa yang selalu menginspirasi saya untuk terus bercerita……I hope so.

Jakarta, 15 Januari 2014
Ketika banjir masih menggenangi Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar