Selasa, 19 Juni 2018

PELAYANAN KESEHATAN : Jangan Tunggu Pasien Datang

Di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang sehat”. Pepatah lama ini masih relevan hingga saat ini, manakala kita bicara tentang manusia Intan Jaya saat ini dan kedepan, dalam menghadapi berbagai perubahan. Bagaimana pun juga, warga Intan Jaya harus lah warga yang sehat jiwa dan raga agar cita-cita kita dapat menjadi masyarakat sejahtera terwujud.


Oleh : Apolos Bagau, ST 

Akan tetapi cita-cita yang besar itu selalu menjadi kendala karena kondisi kesehatan warga kita memang belum sepenuhnya dapat terwujud. Kita bisa melihat  dengan mata kita sendiri betapa masyarakat terutama ibu melahirkan dan bayi sangat rentan dengan kematian. Masyarakat umum pun masih mengalami kendala dalam pemeriksaan kesehatan bahkan warga yang sakit pun hanya bisa menunggu datangnya ajal kematian. Ancaman kematian memang ada di depan mata kita dimana dan kapan saja.


Kita masih mengalami bahwa kualitas hidup sehat masih jauh dari hidup warga setiap hari. Pola kehidupan sehat belum seluruhnya menjadi kebiasaan warga, bahkan minimnya asupan gizi menyebabkan bayi-bayi yang lahir, kalau tidak meninggal maka lahir dengan kualitas gizi yang buruk. Belum lagi dari kondisi yang ada seringkali menyebabkan penyakit menular begitu leluasa berkembang, hingga membawa kematian. Generasi Intan Jaya pun terancam untuk anak yatim piatu bahkan boleh jadi hilangnya generasi.


MASALAH YANG TERUS ADA


Minimnya pelayanan kesehatan atau akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan seringkali menjadi alasan mengapa masalah kesehatan di Intan Jaya tak kunjung teratasi. Pertama, ketiadaan sarana dan prasarana kesehatan. Hingga kini kabupaten sebesar Intan Jaya belum memiliki rumah sakit. Hanya ada satu puskesmas Rawat Inap di Sugapa ibukota kabupaten, tetapi puskesmas ini pun masih dengan  sarana dan prasarana yang terbatas. Jika pasien tidak tertampung karena ruangan penuh terpaksa harus dipulangkan. Ada puskesmas pembantu di beberapa distrik, tapi juga dengan sarana yang terbatas.   Ini berarti bahwa sarana kesehatan belum dekat dengan warga.


Kedua, kurangnya dokter dan tenaga medis. Di Intan Jaya memang sulit menemukan dokter. Dalam hubungan dengan kesehatan atau pemeriksaan penyakit, warga lebih mengenal mantri, perawat dan bidan. Itu pun lagi-lagi sangatlah terbatas. Minimnya tenaga medis ini membuat banyak warga tidak terlayani. Dalam kondisi demikian, warga hanya mengandalkan dukun kampung atau tindakan-tindakan lain yang seringkali dipercaya masyarakat untuk mengatasi sakit yang di derita.


Dari tenaga medis yang ada, warga pun mengalami kesulitan untuk menemuinya.  Sebagian tenaga medis tidak berada di tempat. Banyak tenaga medis, yang memilih tinggal di luar Intan Jaya. Tenaga medis yang ada juga enggan mengunjungi warga dan hanya berada di tempat menunggu pasien datang. Akibatnya, banyak warga yang  sakit tidak bisa tertolong dan dibiarkan saja.


Ketiga, minimnya obat-obatan dan peralatan medis. Untuk peralatan medis yang canggih memang tidak ada di Intan Jaya. Jika ada pun siapa yang mengoperasikan, sementara tenaga kesehatan yang ada saja sudah sangat terbatas dengan kemampuan yang juga terbatas. Masalah obat-obatan, seringkali menjadi keluhan warga bila sempat menemui bidan dan perawat. Ada perawat dan mantri, tapi kalau tidak ada obat pun sama saja. Warga tetap kembali ke rumah dengan membawa sakit yang dideritanya.


Ada faktor-faktor di luar dari medis yakni persoalan ekonomi, kondisi geografis dan kesadaran masyarakat sendiri untuk hidup sehat. Kondisi geografis memang sangat sulit untuk Intan Jaya. Masyarakat hidup terpisah sangat jauh di antara bukit dan lembah. Banyak warga justru tinggal di wilayah yang sangat terpencil. Prasarana jalan yang bisa dilalui kendaran pun sangat terbatas. Jarak puskesmas sangat jauh dari tempat tinggal masyarakat di distrik dan kampung. 


Ketiadaan sarana kesehatan yang dekat dengan warga memang mengharuskan warga harus pergi mencari sarana kesehatan yang ada di ibukota kabupaten ini. Tapi bagaimana itu bisa terjadi, kalau untuk menemui puskesmas atau barangkali mantri dan perawat saja harus ditempuh dengan jalan kaki berhari-hari lamanya.  Tidak adanya sarana kesehatan di kampung-kampung yang terisolasi juga menjadi tantangan tersendiri.


Kondisi ini bukan saja menjadi masalah warga, tapi juga para petugas medis. Di luar pilihan para tenaga medis untuk menunggu pasien datang, para petugas kesehatan ini pun merasakan minimnya dana dan sarana  transportasi untuk  menempuh perjalanan jauh dan memakan waktu yang lama. Akibatnya petugas kesehatan pun sulit menjangkau warga. Penanganan kasus dinilai lambat, sementara pelayanan yang ada seringkali tidak berlanjut.


Keterbatasan tenaga kesehatan kemudian dengan kondisi kesehatan yang terpuruk, tak heran, warga memilih untuk tinggal saja di rumah, dengan pengobatan seadanya bahkan dengan kesiapan bila akan datang ajal kematian.


Faktor Ekonomi. Ini juga menjadi kandala yang sangat besar untuk warga Intan Jaya. Warga yang sakit bisa memilih untuk berobat di luar Intan Jaya, pada rumah sakit yang memiliki sarana dan prasarana yang memadai. Tapi itu suatu yang tidak mungkin untuk warga dengan ekonomi yang terbatas. Bagaimana mengantar si sakit ke bandara terdekat, bagaimana biaya pesawat, bagaimana biaya rumah sakit dan kehidupan selama berada di kota yang dekat dengan rumah sakit? Membayangkan saja sudah tidak mungkin, apalagi menjalaninya. Lagi-lagi, warga akhirnya memilih untuk tetap di rumah, menunggu ajal kematian.


Bagaimana dengan pola hidup sehat? Ini pun masih menjadi masalah, karena tingkat pengetahuan sebagian masyarakat masih tergolong sangat rendah. Jangankan hidup dengan pola makanan yang sehat dan bernilai gizi, sanitasi lingkungan rumah tangga pun belum semuanya dapat menjalankkannya dengan baik. 


Faktor ekonomi juga masalah kesadaran akan hidup sehat seringkali membuat perempuan Intan Jaya yang hendak melahirkan melakukannya sendiri  tanpa dibantu tenaga persalinan, seperti dukun anak, bidan apalagi dokter. Mereka umumnya melakukan  dengan peralatan seadanya, misalnya memotong tali pusar dengan gunting, silet bahkan batu tajam.


Kadang ada kunjungan petugas ke kampung-kampung tapi yang menemui juga sangat terbatas. Warga lebih memilih pergi ke kebun daripada harus menjumpai para petugas kesehatan. Hal yang sama juga terjadi pada tempat-tempat yang sudah memiliki tenaga medis, warga pun enggan untuk datang berkonsultasi. 


Kehidupan dengan iklim yang terus berubah-ubah, membuat warga sangat rentan dengan penyakit menular, bahkan dalam tindakan sehari-hari pun warga belum sadar kalau hal itu dapat menularkan penyakit ke orang lain. Berhubungan dengan hal ini, dengan kurangnya tenaga medis, masalah yang berhubungan imunisasi pun sangat terbatas.


Semuanya persoalan berhubungan satu dengan yang lain. Satu persoalan tak ditangani secara cepat dan tuntas akhirnya menyulitkan untuk menemukan akar masalah yang sesungguhnya. Akibatnya, solusi tak kunjung datang, serba pasrah dan menunggu. Kasus-kasus kesehatan di atas memperlihatkan bahwa anak-anak Papua sangat rentan terhadap penyakit.


SUDAH BANYAK PROGRAM


Usaha untuk mengatasi persoalan kesehatan di Papua bukan baru belakangan ini diperhatikan. Sudah sejak dulu, pemerintah dan para pihak yang berkepentingan sudah dan bahkan sering menurunkan program-program bidang kesehatan untuk mengatasi persoalan ini. Banyak program efektif dijalankan untuk mengatasi beberapa persoalan, namun tidak sedikit juga yang tidak berhasil.


Pemerintah daerah di Papua baik provinsi dan kabupaten termasuk Kabupaten Intan Jaya beberapa kali memasukan anggaran kesehatan dalam APBD. Kelangkaan  obat-obatan misalnya, seringkali menjadi perhatian pemerintah dengan memasukan dalam anggaran APBD. Namun yang terjadi tetap saja belum menjawabi kelangkaan obat-obatan. Bahkan dana otonomi khusus Papua juga disiapkan khusus untuk mengatasi persoalan kesehatan. Secara khusus di Papua dengan lahirnya Otonomi Khusus (Otsus), bidang kesehatan mendapat porsi penting dengan alokasi dana sekitar 15 persen. 


Upaya lain adalah membebaskan biaya kesehatan dan mengutamakan penanggulangan penyakit bagi warga kurang mampu. Selain itu ada upaya untuk meningkatkan penyediaan serta efektivitas berbagai pelayanan kesehatan masyarakat yang bersifat non personal seperti penyuluhan kesehatan, regulasi pelayanan kesehatan dan penyediaan obat, keamanan dan kesehatan makanan, pengawasan terhadap kesehatan dan kebersihan lingkungan pemukiman serta kesehatan dan keselamatan kerja.


Ada perhatian terutama bagi warga miskin dengan peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan masyarakat miskin, peningkatan partisipasi dan konsultasi terhadap masyarakat miskin dan relokasi berbagai sumber daya yang tersedia dengan memprioritaskan daerah miskin. Program Jamkesmas, Jamkespa Kartu Papua Sehat (KPS),tidak lain dimaksudkan untuk memenuhi keinginan masyarakat Papua dengan pelayanan kesehatan secara gratis.


Upaya lain lagi adalah membebaskan biaya kesehatan dan mengutamakan masalah-masalah kesehatan yang banyak diderita masyarakat miskin seperti Malaria, kurang gizi, PMS dan berbagai penyakit infeksi lain dan sanitasi lingkungan. Untuk penyakit manular seperti pencegahan penyakit HIV/AIDS serta TBC dan program lainnya terlihat ada keseriusan dalam penganan. Kendati belum dapat mengatasi semua persoalan dapat teratasi, perhatian terhadap penyakit manular seringkali membawa optimism akan adanya keseriusan untuk mengatasi persoalan. Ada program pengendalian nyamuk melalui kelambu kesehatan secara massal.


Belum maksimal, prioritas pembangunan dan penyediaan SDM bidang kesehatan untuk ditempatkan di seluruh pelosok Papua tetap menjadi prioritas. Dalam hal ini pemerintah juga membuka sekolah kesehatan D-1 yang lulusannnya bisa memenuhi permintaan tenaga kerja di pelosok Papua. Sementara tenaga kesehatan yang masih sangat dibutuhkan terdiri dari dokter spesialis, dokter umum, dokter gigi hingga tenaga perawat, bidan, analis dan tenaga kesehatan lainnya.


Terkait dengan hal ini, pemerintah juga  membiayai mahasiswa yang kuliah dibidang kesehatan dan para kesehatan yang sedang tugas belajar dibeberapa kota studi. Ada program penyiapan  tenaga medis yang profesional untuk ditempatkan di Papua dan mendorong dibukakan lapangan pekerjaan di bidang medis khusus rumah sakit di Provinsi Papua.


Para petugas kesehatan pun didorong untuk selalu turun ke kampung-kampung menjumpai pasien, daripada hanya duduk menunggu pasien datang di  puskesmas atau di rumah sakit. Kita pernah mendengar adanya program mobile clinic agar masyarakat  tak perlu lagi pergi ke pusat kesehatan untuk mencari petugas kesehatan, tapi petugas kesehatan yang akan mendatangi mereka. Ada juga program rujukan yakni kalau penderita sudah tak dapat diatasi maka akan diberi rujukan untuk berobat ke pusat kesehatan baik di kota maupun di luar Papua.


Dalam hal ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan seperti Pustu dan Posyandu, di beberapa tempat di Papua terus digalakan. Bahkan ada harapan bahwa setiap kampung akan memiliki pustu dan posyandu dengan dilengkapi tenaga medis. Pemerintah juga menaruh perhatian pada pembenahan fasilitas kesehatan dengan pengadaan alat-alat kesehatan yang baru dan  membangun ruang rawat inap, selain melakukan pembenahan fasilitas RSUD. Atau peningkatan RS type C yang sudah ada dan disiapkan ruang perawatan yang layak.


Tidak hanya pembangunan fisik, ada upaya lain seperti memberikan pelatihan penanganan ibu melahirkan yang menyasar pada petugas kesehatan (bidan kampung) dan dukun bayi. Juga pada promosi hidup sehat. Juga ada terobosan lain yakni mengirim makanan tambahan berupa biskuit untuk ibu hamil. Sepertinya, perbaikan kualitas pelayanan kesehatan di Papua masih memerlukan pendampingan intensif dari pemerintah pusat.


Di tingkat nasional kita mengenal ada Program Kerja Wajib Dokter Spesialis (KWDS) yang bertujuan menjadi solusi distribusi dan jangkauan dokter spesialis ke pulau dan daerah terpencil. Keberadaan dokter spesialis kebidanan dan kandungan dalam program ini diharapkan membantu program pemerintah menekan angka kematian ibu, peningkatan kesehatan ibu dan anak serta reproduksi. Program KWDS diadakan dan diharapkan menjadi solusi keterjangkauan dokter spesialis di daerah terpencil dan pulau.


Pada September 2012, pemerintah meluncurkan gerakan Seribu Hari Pertama Kehidupan yang bertujuan untuk mempercepat perbaikan gizi guna memperbaiki kehidupan anak Indonesia di masa datang. Dikutip dari artikel dr. Samsuridjal Djauzi ,  Anak Indonesia, Mampukah Berkompetisi? ,  (Kompas, 18 Nov 2017), Pemerintah mencanangkan intervensi gizi spesifik, yaitu pertama, promosi ASI dan makanan pendamping ASI yang bergizi.


Kedua, pemberian tablet zat besi-folat atau multivitamin dan mineral untuk ibu hamil dan menyusui. Ketiga, pemberian zat penambah gizi mikro untuk anak. Empat, pemberian obat cacing pada anak. Kelima, pemberian suplemen vitamin A untuk anak balita. Keenam, penanganan anak dengan gizi buruk. Ketujuh, fortifikasi makanan dengan zat gizi mikro seperti vitamin A, besi, dan yodium. Kedelapan, pencegahan dan pengobatan malaria bagi ibu hamil, bayi, dan anak-anak.


Masih dalam artikel yang sama, selain intervensi gizi spesifik, juga perlu dilakukan intervensi gizi tidak langsung, yaitu pertama, intervensi pola hidup bersih sehat (PHBS) seperti cuci tangan memakai sabun dan peningkatan akses air bersih. Kedua, stimulasi psikososial bagi bayi dan anak-anak. Ketiga, Keluarga Berencana. Keempat, kebun gizi di rumah atau di sekolah, diversifikasi pangan, pemeliharaan ternak dan perikanan. Kelima, bantuan langsung tunai yang digabungkan dengan intervensi lain seperti pemberian zat gizi dan pendidikan terkait dengan kesehatan dan gizi.


Begitu banyak program yang disiapkan seringkali membuat program-program itu bertumpuk. Begitupun akibat adanya singkronisasi dan penghematan dalam keuangan daerah,mengakibatkan dana-dana yang menjadi kebutuhan  di lingkungan Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Papua menjadi berkurang. Tidak sedikit program yang dipangkas.


KEBERPIHAKAN YANG JELAS


Masalah kesehatan di Papua dan Intan Jaya belum tuntas teratasi. Berhadapan dengan hal ini kita tak perlu pesimis. Kita sadar kondisi Papua berbeda dengan wilayah lain di Indonesia. Untuk membangun optimisme kita mesti memiliki tekad yang kuat. Kita harus akui bahwa kita belum masksimal bekerja. 


Beberapa program pemerintah yang diuraikan secara singkat diatas, belum semuanya menjawabi kebutuhan masyarakat di bidang kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesehatan penduduk yang baik, pertumbuhan ekonomi akan baik pula dengan demikian upaya mengatasi kemiskinan akan lebih mudah dengan prospek ke depan yang jauh lebih berhasil.


Pertama, bagi umat manusia, kesehatan merupakan kebutuhan yang mendasar. Memperoleh pelayanan kesehatan yang layak juga dipandang sebagai hak asasi, hak sosial, hak budaya yang harus dipenuhi. Kita membutuhkan masyarakat yang sehat agar dapat bekerja, dan menghadapi perubahan yang sedang terjadi. 


Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H dan Undang-Undang Nomor 23/ 1992 tentang kesehatan, menetapkan bahwa setiap orang berhak mendapat pelayanan kesehatan. Maka, setiap individu, keluarga, dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatanya, dan negara bertanggungjawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk masyarakat miskin dan tidak mampu.


Kedua, Motivasi dan keberpihakan yang jelas untuk mengatasi masalah kesehatan. Keberpihakan ini tidak mesti semuanya harus datang dari pemerintah, tetapi juga dari warga Papua sendiri dan lebih khusus adalah warga Intan Jaya. Hal yang harus lebih diperhatikan adalah penguatan prilaku hidup sehat di tengah masyarakat. Misalnya, bagaimana air bersih yang dikonsumsi masyarakat dan bagaimana sanitasinya yang memadai.


Dari lingkungan terdekat terutama dalam kehidupan rumah tangga mestinya setiap warga saling mengingatkan untuk hidup bersih dan patuh terhadap aturan-aturan kesehatan. Begitu pun dalam hubungan dengan penyakit manular HIV-AIDS misalnya, semua orang mestinya menyadari untuk tidak menularkan dan tertular HIV-AIDS. Demikian juga dalam masyarakat perlu ada strategi akselerasi dan komitmen untuk mencegah dan mengendalikan penyakit manular.


Kemiskinan dan penyakit hubungannya sangat erat, tidak akan pernah putus kecuali dilakukan intervensi pada salah satu atau kedua sisi, yakni pada kemiskinannya atau penyakitnya. Kemiskinan mempengaruhi kesehatan sehingga orang miskin menjadi rentan terhadap berbagai macam penyakit, karena mereka mengalami gangguan seperti :a. Menderita gizi buruk;b. Kurangnya pengetahuan warga tentang kesehatan;c. Kurangnya perilaku hidup sehat dan bersih;d. Lingkungan pemukiman yang kurang memadai;e. Sebalnya, masyarakat yang sehat akan menekan tingkat kemiskinan. Orang yang sehat mempunyai produktivitas kerja tinggi;


Ketiga, Keberpihakan pemerintah. Artinya pemerintah harus terus-menerus memberi perhatian pada persoalan kesehatan ini. Pemerintah harus pula menggandeng  pihak swasta, dan masyarakat untuk dapat bersama-sama mengatasi persoalan kesehatan hingga menjangkau seluruh kampung.


Tentu saja di tengah banyaknya hambatan dalam membuka akses kesehatan masyarakat, pemerintah pun harus  dapat lebih selektif dalam menguatamakan program terpenting dalam rangka pengetasan penyakit di masyarakat.


Sebagaimana uraian terdahulu, pemerintah harus konsisten menerapkan seluruh program kesehatan baik penyiapan sarana dan prasarana kesehatan, tenaga medis dan obat-obatan hingga ikut mendapingi masyarakat dalam menumbuhkan prilaku hidup sehat. Kerja pemerintah pun harus terus diawasi oleh masyarakat sehingga menjadi gerakan suatu gerakan bersama dalam menaikan derajat kesehatan masyarakat.


Sebagai suatu gerakan bersama, pemerintah juga dapat  mengakomodasi anak-anak muda Papua untuk terlibat menjadi  tenaga medis. Dari bangku sekolah dasar,  mesti ditumbuhkan minat peserta didik untuk menjadi tenaga medis. Cita-cita menjadi dokter, dan perawat mesti disambut  dengan pemberian beasiswa  untuk belajar ke perguruan-perguruan tinggi yang bermutu. Tidak sekedar beasiswa melainkan kepada calon-calon tenaga medis ini perlu diberi motivasi agar tetap dengan cita-cita kembali membangun masyarakat Intan Jaya.


Dalam penerimaan pegawai negeri  perlu memberikan perhatian yang lebih besar untuk tenaga kesehatan dan pendidikan, agar masyarakat tidak kesulitan memperoleh tenaga medis yang cukup. Tenaga kerja ini juga  disertai fasilitas kesehatan yang memadai.

Keempat, Perlu kerjasama semua pihak. Saya mengutip pendapat Pastor Neles Tebay sebagai berikut :

Orang Papua tidak boleh terus menerus mengulangi alasan-alasan ini. Orang Papua sudah harus pikir dan terlibat dalam upaya penanggulangan masalah kesehatan dan memajukan hidup sehat. mesti temukan solusi-solusi alternatif yang tepat-guna, sehingga tidak tergantung pada dokter, mantri/perawat, atau pihak-pihak lain.Orang Papua mesti memperlihatkan kemampuannya untuk memelihara kesehatannya sendiri, biarpun tidak ada dokter dan mantri.

Pemangku kepentingan lain selain pemerintah seperti pihak swasta, yakni perusahaan-perusahaan yang mengeksploitasi kekayaan alam Papua, ada lembaga keagamaan, lembaga gereja, lembaga adat, dan kelompok-kelompok, seperti kelompok perempuan dan pemuda.

Semua pemangku kepentingan ini dapat memberikan kontribusi yang khas dalam menangani masalah kesehatan dan mempromosikan hidup sehat di antara orang asli Papua. Bahkan setiap pribadi mesti bertanggung jawab atas perkembangan kesehatannya.

Semua pemangku kepentingan mesti dilibatkan dalam mengurus kesehatan di Papua.Mereka perlu dipertemukan secara bersama dalam pertemuan dan dilibatkan dalam diskusi yang membahas tentang sektor kesehatan dan mencarikan secara bersama solusi-solusi yang dapat dilaksanakan.

Dan tentunya, setiap pemangku kepentingan mempunyai peran yang berbeda, sehingga tugasnya dapat dibagi antara semua pemangku kepentingan sesuai peranan mereka masing-masing. Semua secara bersama berpartisipasi dalam mengurus kesehatan rakyat di bumi cenderawasih.

Mempertemukan semua pemangku kepentingan yang membahas sektor kesehatan, dialog sektoral perlu dilaksanakan di setiap kabupaten. Dalam dialog sektoral itu, semua pemangku kepentingan yang berkompeten dan berpengalaman dalam urusan kesehatan diundang sebagai peserta dialog.

Para peserta diundang bukan untuk saling menuduh, menuding, dan mempersalahkan satu sama lain, melainkan untuk secara bersama mengidentifikasi dan menganalisa masalah serta menetapkan solusi secara bersama.

Dengan melibatkan semua pemangku kepentingan, urusan kesehatan akan menjadi keprihatinan dan tanggungjawab bersama dari semua pemangku kepentingan.

Kelima, aspek Renovasi. Sebagaimana kita ketahui pelayanan kesehatan di Papua bukan baru saat ini saja di adakan. Sejak dulu sudah ada perhatian terhadap masalah kesehatan ini. Semua perhatian itu kini memiliki jejaknya sendiri. Jika kepada masyarakat Intan Jaya ditanya tentang pelayanan kesehatan, maka dengan begitu mudah kita dapatkan cerita tentang pelayanan kesehatan tempo dulu. Walau ketika itu dengan fasilitas yang terbatas, masyarakat dapat menunjukkan tempat-tempat mana masyarakat memperoleh perlayanan kesehatan.


Sekarang juga hal itu dapat kita lihat sendiri bahwa pelayanan kesehatan juga memang ada di setiap wilayah. Ada puskesmas di Ibukota kabupaten, ada pos-pos kesehatan di kampung. Namun, justru yang terjadi adalah ketiadaan fasilitas termasuk obat-obatan dan tenaga medis.


Maka dalam kerangka renovasi, sebenarnya hal ini membutuhkan pembenahan yang lebih serius. Bagunan yang ada mestinya ditingkatkan ditambah dengan fasilitas dan tenaga medis. Hal ini tentu tidak membutuhkan anggaran yang besar. Pemerintah daerah harus berusaha untuk membangun rumah sakit yang memenuhi syarat, sehingga masyarakat tidak lagi dirujuk keluar daerah.


Pemerintah daerah diminta siap, di antaranya dengan membenahi rumah sakit agar layak dan memiliki peralatan yang dibutuhkan. Jangan sampai dokter spesialis dikirim ke sana, tetapi peralatannya tak memadai sehingga dokter tak bisa bekerja.


Keenam, Inovasi.  Penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat  Intan Jaya yang hidupnya terpencil dan  terisolasi membutuhkan berbagai inovasi.  Sejak dimekarkan sampai dengan saat ini, pembangunan di bidang kesehatan di Intan Jaya dinilai berjalan di tempat karena semuanya menunggu tuntasnya infrastruktur.


Pemerintah mestinya menyusun peta permasalahan kesehatan. Peta permasalahan ini kemudian menjadi acuan dalam melakukan gebrakan baru dalam hal pembangunan kesehatan di Intan Jaya.


Dari uraian di atas, sepertinya kita tidak hanya memerlukan suatu konsep yang baik, namun memerlukan suatu kepemimpinan yang dapat mengatur dan menjalankan konsep-konsep baik tersebut.  Kepemimpinan yang dapat menunjukkan komitmen politis yang kuat untuk mewujudkan sistem kesehatan nasional yang berpihak kepada rakyat miskin. 


Kepemimpinan yang dapat memperkuat pondasi program pelayanan kesehatan dengan sistem pembiayaan yang tepat bagi Indonesia, ditunjang dengan sumber daya manusia yang berkualitas serta kepemimpinan yang dapat meningkatkan peran masyarakat secara langsung dalam bidang kesehatan bukan untuk curatif namun dimulai dari preventif dan promotif kesehatan”.@

(Tulisan ini merupakan ringkasan dari buku "Menatap Intan Jaya Bermartabat : Motivasi, Renovasi dan Inovasi. Penulis : Apolos Bagau, ST, Penerbit : Tollelegi 2018 

BERBAGI DAN MENGINSPIRASI

RICHARDLEONARDY
SALING mendukung dan bertukar ide seputar penulisan buku menjadi topik hangat dalam pembicaraan di antara para penulis Penerbit Buku Kompas (PBK). Itulah yang dirasakan oleh Diana Damayanti, penulis buku 365 Hari MP-ASI, dalam kesempatan ramah tamah Komunitas Penulis (KP) PBK, sekaligus memeriahkan acara peluncuran buku Turki, Revolusi Tak Pernah Henti, karya wartawan senior Kompas, Trias Kuncahyono, di Menara Kompas, Rabu, 23 Mei 2018. Danthe–panggilan akrab Diana Damayanti–merasakan bahwa dukungan PBK untuk terus produktif menulis begitu kuat. Ia menyampaikan bagaimana dirinya terus didorong untuk menulis buku oleh editor PBK. Saat menulis buku 365 Hari MP-ASI bersama Lies Setyarini, Diana tidak pernah mengira bahwa bukunya akan menjadi best seller dan terus diterbitkan hingga cetakan ke-6 sejak terbit pertama tahun 2013.

Hal senada dirasakan oleh A. Bobby Pr. Penulis yang mengkhususkan diri untuk menulis buku-buku biografi ini juga merasakan dorongan yang baik dari para kolega dalam wadah KP-PBK. Bobby mendapatkan ide dan banyak masukan positif dalam mempertimbangkan, mendalami, dan mengeksekusi calon buku yang akan ia tulis. “Teman-teman di KP-PBK maupun dari redaksi PBK punya andil yang cukup baik dalam proses penulisan yang saya jalani,” tuturnya lugas. Beberapa buku biografi telah ditulisnya, seperti H. Adi Andojo Soetjipto, S.H.: Menjadi Hakim yang Agung (PBK, 2017) dan Romo Cassut, S.J.: Dalam Senyap Bangun Pendidikan Vokasi Indonesia (PBK, 2018).

Di KP-PBK, Bobby didaulat menjadi “Lurah”, sebutan untuk koordinator yang sekaligus menjadi fasilitator bagi kolega penulis yang lain. Selama ini, Bobby dibantu oleh Imelda Bachtiar untuk mengoordinasi pertemuan dan diskusi yang diikuti oleh para penulis PBK. Mereka ini sering disebut sebagai “Pak Lurah” dan “Bu Lurah” oleh sesama penulis PBK. Mereka berdua selama beberapa tahun ini “merawat” KP-PBK dalam diskusi-diskusi rutin, mulai dari berembug ide/topik, tempat, konsumsi, narasumber, dsb.

Gema pertemuan para penulis PBK tersebut seolah begitu berkesan bagi Bu Lurah, Imelda Bachtiar. Penyusun buku Dari Capung Sampai Hercules (PBK, 2017) dan Pak Harto, Saya, dan Kontainer Medik Udara (PBK, 2017) ini menuliskan dalam laman Facebooknya, “Berkumpul dan merayakan keberhasilan seorang teman satu komunitas atas terbit bukunya, itu saat yang luar biasa!” Dalam refleksinya, Imelda memahami bahwa keberhasilan seorang teman ternyata menjadi pemantik semangat untuk lebih bersemangat dalam menulis dan menyelesaikan buku-buku yang masih “terhutang”. Baginya, terbitnya sebuah buku ini merupakan kebahagiaan tersendiri bagi seorang penulis, sekaligus menjadi dorongan bagi sesama penulis untuk berbenah dan lebih produktif lagi dalam berkarya.

Sementara itu, sejarawan Didi Kwartanada menilai bahwa kualitas suatu buku dinilai dari konten yang terkandung di dalamnya. Dalam proses menyuguhkan konten yang berkualitas, tentu penulis dan editor harus memahami isi bukunya. Apalagi dalam proses mengedit, seorang editor harus tahu betul tentang kebenaran konten naskah. Baginya, kesalahan dalam mengutip sumber merupakan salah satu contoh sesuatu yang fatal. Didi tidak akan rela jika orang salah mengutip dari suatu sumber, terutama yang terkait dengan sejarah. Editor buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran sejak Nusantara sampai Indonesia (PBK, 2014) dan penulis buku Biografi A.R. Baswedan (PBK, 2014) ini tetap memegang teguh prinsip bahwa kebenaran adalah hal yang mutlak. Oleh karena itu, penggemar buku yang sudah mengoleksi ribuan judul ini mengusulkan agar PBK secara serius menerbitkan buku-buku seri sejarah unggulan. Dan, untuk menunjang konten yang berkualitas, ada baiknya penerbit juga memiliki “editor luar” yang benar-benar ahli di bidangnya.

Apresiasi terhadap temu KP-PBK juga disampaikan oleh Martin Aleida. Penulis cerpen dan novel ini ternyata juga menulis buku nonfiksi, Tanah Air yang Hilang (PBK, 2017). Buku tersebut mengisahkan pengalaman 19 orang Indonesia yang kehilangan Tanah Air dan hidup di sudut-sudut Eropa. Secara umum, Martin merasa cukup puas selama berproses dengan PBK. Dia pun menjadi tahu dan paham mengenai kehati-hatian PBK ketika menghadapi “isu-isu yang masih sensitif” untuk menjadi konsumsi publik. Meskipun secara faktual benar, hal-hal tersebut tetap harus dikemas secara santun dan jangan sampai menimbulkan kegaduhan yang berpotensi menceraiberaikan masyarakat. Hal-hal yang bisa menimbulkan penilaian sebagai bentuk sikap partisan juga dihindari, karena selain memilih kedalaman, PBK juga tampil netral. Itulah yang dipahami Martin selama berproses dengan PBK. “Kalau ada satu hal yang bisa saya sarankan, mungkin untuk cover bisa lebih dipercantik. Walaupun sebenarnya hal itu balik lagi ke selera masing-masing,” tambah penulis yang saat ini sedang diminta untuk menuliskan biografi oleh rekannya

Lain halnya dengan Bambang Murtianto, yang menyebut dirinya sebagai “spesialis penerjemah untuk PBK” walaupun dia juga menulis buku Kata-Kata Terakhir Romo Mangun (PBK, 2014). Bambang Murtianto bukanlah nama baru di KP-PBK. Beberapa karya terjemahannya yang sudah dipublikasikan antara lain Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (PBK, 2014) karya Peter Carey dan Jejak Hitler di Indonesia (PBK, 2017) karya Hoorst H. Geerken. Bambang sangat menghargai kinerja PBK yang selalu berupaya menghadirkan buku-buku berkualitas, yang sepertinya kurang mendapatkan perhatian dari penerbit besar lainnya. Menurut Bambang, inilah tanda bahwa PBK masih memegang idealisme, yang tidak melulu mengikuti tren pasar. PBK masih punya ciri edukatif bagi pembacanya, serta memilih kedalaman sebagai cara bekerjanya.

Selain itu, Bambang menilai bahwa PBK mampu menghadirkan nama-nama penulis besar dalam buku-buku terbitannya. Hanya dengan melihat namanya saja, pembaca pasti langsung mengamini kredibilitas serta kualitas hasil karya para penulis tersebut. Namun, Bambang juga mengingatkan bahwa PBK dinilai masih belum maksimal memanfaatkan kekayaan sumber data yang tersimpan di Litbang Kompas. “Kekayaan Litbang Kompas itu sangat luar biasa, harus dimanfaatkan. Tidak perlu selalu mencari penulis dari luar,” tandasnya.

Bambang merasa bahwa buku PBK yang kadang terkesan “serius dan berat” ternyata juga diminati pembaca. Terbukti bahwa sebagian judul berhasil dicetak ulang, bahkan hingga beberapa kali. Dia pun memaklumi sikap PBK yang selalu netral karena membawa nama besar Kompas sebagai media nasional yang tidak berpihak, meskipun hal tersebut kadang menjadikan PBK tidak bisa terlalu kontroversial dalam mengolah isi buku. Padahal, sebenarnya banyak isu yang menurutnya bisa lebih dikulik lagi dan dikemas secara bombastis. Namun, lagi-lagi, PBK memilih jalan “kedalaman” yang tidak populer untuk zaman ini. (IR, MIT, PAT, RBE)
 Sumber : bukukompas.com

RESENSI BUKU : Paulus Waterpauw, Sosok Sederhana Sang Jenderal

Judul : Abdi Papua : Pesan Singkat Kapolda Papua Irjen Pol. Paulus Waterpauw. Penerbit : Tollelegi, 2017 


KABARPAPUA.CO, Kota Jayapura – Kesederhanaan merupakan salah satu modal utama keberhasilan dalam perjalanan hidup seorang pemuda. Terlebih orang muda atau pemuda asli Papua.


Sebab, dalam kesederhanaan itulah lahir sikap rendah hati, kejujuran, dedikasi atau semangat berkorban, mau belajar dari pengalaman hidup diri sendiri dan pengalaman orang lain. Seperti kata pepatah, pengalaman adalah guru yang terbaik.


Begitupun dengan Irjen Pol Paulus Waterpauw, mantan Kapolda Papua yang saat ini menjabat sebagai Wakil Kepala Badan Intelijen Keamanan (Wakabaintelkam) Polri.


Dalam buku biografinya yang berjudul Mengabdi dengan Hati dan Buku Abdi Papua, Paulus menyebutkan hidup dalam keluarga sederhana dengan lingkungan kampung yang sederhana, tidak menjadi penghalang bagi tumbuh kembang dirinya sebagai anak adat asli Papua.


Justru kesederhanaan itulah yang mampu menjadikan dirinya sebagai pribadi yang setia kawan dengan sesama, terlebih khusus kepada sesama yang menderita dan berkekurangan.


Paulus Waterpauw lahir di Kampung Karas, Fakfak pada 25 Oktober 1963. Paulus kecil selalu mengenang masa-masa indah, tinggal bersama kedua orang tuanya dan saudara kandungnya.


Ayah Paulus bernama Ferdinan Waterpauw memiliki kebiasaan berburu di hutan rimba Papua yang menantang nyawa. Kebiasaan ini diturunkan kepada dirinya, sehingga Paulus sering mengikuti sang ayah masuk hutan rimba, membawa peralatan berburu dan kemana saja mengikuti jejak ayah mencari hewan buruan.


Kedua anjing jenis herder jantan, selalu menemani Paulus dan sang ayah dalam berburu ataupun kemana saja keduanya pergi.
Paulus mengaku selalu mendapatkan banyak hewan buruan untuk membantu ibu di dapur, guna menambah gizi keluarga.


Selain berburu di hutan rimba nan luas, Paulus kadang kala menemani sang ayah untuk mencari ikan di lautan lepas. Dengan perahu layar ukuran kecil dari bahan kain kantong terigu, Paulus bersama ayahnya melaut di tengah ombak ditemani angin kencang.


Walaupun laut sering ganas, namun Paulus selalu optimis untuk memiliki harapan yang teguh, tentang ziarah kehidupan di Tanah Papua yang penuh janji, harapan dan tantangan.


Keadaan ekonomi rumah tangga dengan pendapatan keluarga yang terbilang pas-pasan, membuat kebiasaan hobi berburu dan melaut, sebagai jalan satu-satunya meningkatkan persediaan makanan dalam rumah.


Ibunya, Yakomina Atiamuna yang berasal dari Suku Komoro, di Mimika Jauh, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua berprofesi sebagai ibu rumah tangga yang saban hari juga harus pergi ke hutan mencari bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan pangan di rumah.


Dengan kesederhanaan itu, Paulus selalu membantu pekerjaan di dalam rumah, seperti mencuci pakaian, bersih-bersih di sekitar rumah, biasa dia lakukan. Ia pun sudah terbiasa membantu ibunya mengasih adik-adik yang masih kecil. Saat itu, ia mempunyai empat adik Martha Waterpauw, Frans Waterpauw, Lina Waterpauw dan Kristianus Waterpauw. Seorang lagi, yang paling kecil, Matapina, lahir ketika Paulus sudah berpindah merantau sekolah di Surabaya.


Sosok ayah sebagai pemburu menjadikan dirinya sebagai pemuda asli Papua yang berani menghadapi dan mengatasi tantangan serta kesulitan hidup. Sedangkan sosok ibu terpateri di dalam dirinya sebagai pribadi yang sabar, rendah hati, berdedikasi dan merangkul sesama di sekitarnya.


Dari pengalaman hidup dengan kesederhanaan itulah, menjadikan modal utama dalam ziarah hidup Paulus hingga hari ini. Dirinya juga terus berbagi kasih kepada sesama dan anak-anak yang mengalami masalah sosial yang bertarung hidup di tengah kota dengan berbagai masalah sosial melanda diri mereka. Paulus mengaku tidak tega membiarkan anak-anak putus sekolah berkeliaran dengan membawa berbagai penyakit sosial.


Paulus pun selalu menyempatkan diri untuk merayakan sejumlah hari besar keagamaan. Natal ataupun Paskah, bahkan pada Idul Fitri sekalipun, Paulus berusaha meluangkan waktu untuk berkumpul bersama anak-anak terlantar, anak-anak yang terkendala masalah sosial di perkotaan.


Dirinya berharap, pemuda di Papua, untuk terus bergandengan tangan dalam semangat kesederhanaan, kejujuran dan berbelas kasih untuk menyongsong masa depan yang lebih baik, lebih adil, aman dan damai.


Paulus berpesan kepada pemuda dan seluruh masyarakat di Papua, agar jangan hidup dalam kotak-kotak suku,agama, ras dan golongan, karena hal itu hanya akan mengerdilkan diri sendiri. Bangkitlah dan berbuatlah yang terbaik untuk diri dan sesama di sekitarnya.


Pada 13-21 Juni 2016, Paulus dijadwalkan hadir dalam temu akbar Orang Muda Pegunungan Tengah Papua yang akan dilaksanakan di Hepuba, Kabupaten Jayawijaya. Dalam kegiatan tersebut, panitia meminta Paulus untuk memberikan motivasi kepada 600 kaum muda yang dijadwalkan hadir. *** (Katharina)

Sumber :

https://kabarpapua.co/paulus-waterpauw-sosok-sederhana-sang-jenderal/

Resensi buku : Sejarah Katolik di Hindia Belanda


WARTA KOTA, PALMERAH - Perkembangan agama Kristen, terutama Katolik, di kepulauan Nusantara mengalami kelesuan pada abad ke-18

.
Jemaat yang ada hanyalah sisa-sisa kecil dari masa penjajahan Portugis di Indonesia bagian timur. Persinggungan kembali mereka dengan dunia kekristenan baru terjadi pada abad ke-19 dan ke-20.


Sejumlah imam dari provinsi Yesuit Belanda berdatangan ke Hindia Belanda untuk menjalankan misi penyebaran agama Katolik setelah 1859.


Merujuk pada situasi tersebut, Karel Steenbrink membagi kiprah rohaniwan Katolik di Hindia Belanda menjadi dua periode, yakni antara 1808-1903 dan 1903-1940.


Dalam buku pertamanya, Orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1942: Suatu Pemulihan Bersahaja 1808-1903 (Penerbit Ladaero, 2005), Steenbrink mengisahkan Serikat Dagang Hindia Timur (VOC) melarang imam Katolik memasuki wilayah kekuasaannya selama periode 1602-1800.


Umat awam pribumi di Maluku dipaksa menganut Kristen Kalvanis (reformasi) setelah Belanda mengambil alih wilayah itu.


Steenbrink selanjutnya menjelaskan bagaimana penyebaran iman Katolik mulai dipulihkan. Revolusi Perancis mengubah kebijakan Pemerintah Belanda.


Parlemen nasional Belanda menghapus kedudukan istimewa Gereja Reformasi pada tahun 1796. Belanda kemudian mengumumkan kebebasan beragama di wilayah yang dikuasainya pada 1808.


Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal di Batavia saat itu, menjadi orang pertama yang secara terbuka menerima rohaniwan Katolik dan mendorong perayaan publik iman Katolik.


Mulai saat itu, para misionaris Yesuit berdatangan ke Hindia Belanda. Iman Katolik kembali diperkenalkan ke dalam budaya tradisional melalui sekolah dan fasilitas kesehatan yang mereka bangun khusus bagi orang Eropa dan keturunannya. Anak-anak inilah yang kemudian menjadi generasi pertama Katolik dalam tiap keluarga.
 


Setelah empat pos yang terdapat di Batavia, Semarang, Surabaya, dan Padang, pos-pos permanen baru dibentuk lengkap dengan stafnya. Misalnya di Sungai Selan (Bangka, 1853), Ambarawa (1859), Larantuka (Flores, 1860), Yogyakarta (1865), Maumere (Flores, 1874), Cirebon (1878), Medan (1878), Pantai Perak (Aceh untuk kapelan tentara Verbraak, 1881), Atapupu (Timor,1883), Sikka (Flores, 1883), Singkawang (Kalimantan, 1885), Bogor (1885), Kepulauan Kai (1888), Makassar (1893), dan Madiun (1897).


Jumlah orang Katolik pribumi mengalami pertumbuhan yang signifikan pada periode kedua kedatangan misionaris di Hindia Belanda antara tahun 1903-1940.


Pertumbuhan paling pesat terjadi tahun 1920-an, seperti dipaparkan Steenbrink dalam Orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1942: Pertumbuhan yang Spektakuler dari Minoritas yang Percaya Diri 1903-1942 (Penerbit Ladaero, 2006).


Peningkatan itu salah satunya disebabkan bertambahnya jumlah misionaris yang datang ke Hindia Belanda setelah Perang Dunia I.


Tahun 1920-an juga merupakan dasawarsa pertumbuhan ekonomi paling kuat.Terkait kehidupan sosial dan politik pada dasawarsa pertama abad ke-20, semakin banyak organisasi dibentuk untuk orang-orang Katolik, baik pada tingkat lokal maupun nasional.


Perjuangan mereka bukan sekadar soal iman Katolik, melainkan lebih luas dari itu.


Tak jarang mereka terlibat dalam upaya mempertahankan otonomi daerah melawan negara yang sentralistik. (DRA/Litbang Kompas)



Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Sejarah Katolik di Hindia Belanda, http://wartakota.tribunnews.com/2015/08/19/sejarah-katolik-di-hindia-belanda?page=2. Editor: Andy Pribadi

Senin, 18 Juni 2018

KELENGKAPAN NASKAH

PRA PENYUNTINGAN 
  1. Halaman Judul Naskah 
  2. Halaman Prancis 
  3. Halaman Utama 
  4. Halaman Hak Cipta 
  5. Halaman Persembahan (Dedikasi) 
  6. Daftar Isi 
  7. Daftar Tabel 
  8. Daftar Singkatan 
  9. Daftar Lambang 
  10. Daftar Ilustrasi / gambar
  11. Prakata 
  12. Kata Pengantar 
  13. Kata Pendahuluan 
  14. Bab-Bab 
  15. Daftar Kata Asing 
  16. Daftar Istilah 
  17. Daftar Pustaka (Bibliografi) 
  18. Lampiran 
  19. Indeks 
  20. Biografi Singkat (Biodata) 
PASCA PENYUNTINGAN 
  1. Halaman Kulit Muka 
  2. Halaman Prancis 
  3. Halaman Pelanggaran Hak Cipta 
  4. Halaman Judul Utama 
  5. Halaman Hak Cipta 
  6. Halaman Persembahan (Dedikasi) 
  7. Halaman Daftar Isi 
  8. Halaman Daftar Tabel (Halaman Ilustrasi, Halaman Daftar Singkatan, Halaman Daftar Lambang) 
  9. Prakata (Kata Sambutan, Kata Pengantar) 
  10. Pendahuluan 
  11. Catatan (Catatan Kaki) 
  12. Daftar Kata (Daftar Istilah) 
  13. Daftar Pustaka 
  14. Lampiran 
  15. Indeks 
  16. Biografi Singkat 
  17. Sinopsi  

Sumber : Buku Pnitar Pentuntingan Naskah (Edisi Kedua-Revisi), Penulis : Pamusuk Eneste, Penerbit : Gramedia, Cetakan Ketiga, 2012

Minggu, 17 Juni 2018

BANGUN MANUSIA DARI PENDIDIKAN : Jika Bukan Kita, Siapa Lagi ?


Persoalan pelajar di Papua bukan soal kebodohan, melainkan kurangnya kesempatan, motivasi para pelajar dan guru-guru yang berkualitas,” ujar Korinus Waimbo, mahasiswa S3 dari Universitas Exeter . (Sumber : KORAN SINDO)


Oleh : Apolos Bagau 


Pernyataan Korinus Waimbo ini diungkapkan dalam Simposium Internasional ke-9 PPI-Dunia dan Indonesian Scholars International Convention (ISIC-SI) 2017 yang berlangsung pada 24-27 Juli 2017 di Gedung Studi Humaniora Universitas Warwick, Inggris. Dalam kesempatan ini, Kelompok kerja dibawah Perhimpunan Pelajar Indonesia PPI-UK yang tergabung dalam Lingkar Studi Papua (LSP) mengadakan diskusi bertema pendidikan di Papua.


Diskusi tentang pendidikan di Papua tersebut membahas sejumlah masalah antara lain: pendidikan sains dan matematika di Papua, pendidikan di Kabupaten Puncak dan Intan Jaya, sudut pandang jurnalistik terhadap pendidikan di Papua, kontribusi PPI Dunia untuk pendidikan di Papua, pendidikan dasar dan menengah di Papua, serta pendidikan di Papua di masa lalu, sekarang, masa depannya.  


Seperti diberitakan sindonews.com, Korinus Waimbo, mahasiswa S3 dari Universitas Exeter yang juga koordinator acara tersebut mengungkapkan sejumlah permasalahan dalam pendidikan sains dan matematika di Papua. Korinus menceritakan sejumlah contoh keberhasilan dalam pendidikan sains dan matematika seperti inisiatif Prof Yohanes Surya yang bukan saja mempromosikan sains dan matematika di Papua, melainkan juga membuktikan bahwa sejumlah putra daerah asli Papua memiliki bakat di bidang sains dan matematika.


Apa yang diungkapkan Korinus Waimbo menurut hemat saya, memberikan inspirasi dan motivasi bahwa dalam keterbatasan pendidikan di Papua, anak-anak Papua mampu bersaing dengan saudara-saudara di tempat lain yang sudah lebih maju pendidikannya. Bahkan bukan suatu perkara mudah, anak-anak Papua justru unggul dalam bidang sains dan matematika. Prestasi yang diraih beberapa anak Papua memang patut dibanggakan.


Namun demikian, dari apa yang menjadi kebanggan, kita tahu bahwa masih banyak anak-anak Papua yang belum mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya. Bagai bunga yang layu sebelum berkembang, jangankan dapat mengikuti sejumlah olympiade, banyak potensi dan kemampuan anak-anak Papua yang harus mati sebelum berkembang lantaran tidak bisa melanjutkan pendidikan.


Sulit untuk disangkal bahwa pendidikan di Papua masih mengalami hambatan terutama dalam hal tersedianya sarana dan prasarana pendidikan, termasuk ketersediaan para pendidik. Masyarakat pun belum memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan. Yang jelas pemerintah dan masyarakat pendidikan di Papua sudah berusaha mengatasi kekurangan-kekurangan yang ada pada sektor pendidikan. Namun belum banyak menunjukkan hasil yang menggembirakan. Kenyataan ini membuat banyak orang orang pesimis walau ada pula yang optimis akan suatu perubahan di masa datang dari hal yang dikerjakan saat ini. 


TUNTUTAN PENDIDIKAN


Pendidikan adalah proses belajar menjadi manusia baik untuk memahami diri sendiri maupun untuk memahami lingkungan. Untuk diri sendiri, proses pendidikan tidak lain untuk memajukan dan menemukan potensi dalam diri seseorang akan pertumbuhan budi pekerti,kareakter  dan kecerdasan. Sementara untuk lingkungan, melalui pendidikan seorang mengenali dan mengembangkan  lingkungan kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan dan sistem perilaku bersama. 


Ketika anak didik mencapai kepenuhan baik budi pekerti maupun intelektual, maka yang diharapkan adalah dapat menyumbangkan bakat dan kemampuannya untuk pembangunan bangsa serta memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi dan transformasi sosial. Dunia yang lebih manusiawi dapat tercipta dari pribadi yang seimbang.

  
Untuk mewujudkan hakekat pendidikan, perhatian akan pendidikan terarah pada pendidikan dalam keluarga, pendidikan di sekolah dan lembaga pendidikan dan pada lingkungan dimana anak tumbuh dan berkembang. Tugas para pendidik dalam hal ini orangtua, para guru dan dosen serta masyarakat terdidik adalah membantu peserta didik menemukan kodratnya sendiri baik yang menyangkut budi pekerti maupun pikiran. Dalam tindakan yang manusiawi, para peserta didik diharapkan menjadi manusia yang penuh, utuh dan lengkap.


Betapa pentingnya pendidikan ini, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan guna meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Dalam amandemen UUD 1945 Pasal 31 Ayat (1) dan (2) menegaskan, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.


UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”, dan pasal 11, ayat (1) menyatakan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”


Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, bab XVI pasal 56 ayat 1 menyatakan bahwa  Pemerintah Provinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi Papua. Ayat 3 menyatakan setiap penduduk Provinsi Papua berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan tingkat sekolah menengah dengan beban masyarakat serendah-rendahnya.


Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Papua Tahun 2005-2025, yang dipayungi Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) Nomor 21 Tahun 2013 disebutkan bahwa Rendahnya kualitas sumber daya manusia masih menjadi isu utama di Provinsi Papua. Hal ini disebabkan masih belum meratanya penyediaan pelayanan pendidikan, masih rendahnya budaya sekolah serta masih adanya berbagai keterbatasan dalam penyelenggaraan pendidikan.


Perdasi yang ditetapkan Gubernur Lukas Enembe pada tanggal 30 Desember 2013 secara rinci dikatakan bahwa beberapa isu utama di bidang pendidikan adalah sebagai berikut : (1) Sarana dan prasarana pendidikan yang terbatas dan belum merata di setiap daerah khususnya di daerah terpencil.( 2). Masih rendahnya budaya sekolah yang berkembang di masyarakat yang selama ini masih hidup dalam pola budaya tradisional sehingga menyebabkan angka partisipasi sekolah masih rendah. (3). Masih rendahnya rata-rata angka melek huruf di Provinsi Papua. (4). Masih kurangnya ketersediaan sekolah kejuruan yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan ekonomi lokal. (5). Masih terbatasnya jumlah guru di tiap daerah terpencil dan tidak mampu menjangkau lokasi penduduk yang tersebar.(6). Masih tingginya angka putus sekolah. (7). Masih terpolanya penyelesaian pendidikan dengan mengutamakan pembangunan sarana fisik bangunan gedung sekolah yang belum tentu sesuai untuk penyelesaian masalah pendidikan karena lokasi penduduk yang tersebar, dan (8) . Masih rendahnya kualitas tenaga guru, sarana, dan prasarana pendidikan.


Di tengah permasalahan itu,Suyanto (Pedagogi untuk Kelompok Tertinggal, Basis No 05-06 Tahun 53 Mei-Juni 2004) mengatakan,  hakekat pembangunan sektor pendidikan tidak pernah akan mencapai tujuan akhir yang sempurna dan final. Hal ini terjadi karena konteks pendidikan selalu dinamik, berubah dan tidak pernah konstan, sesuai dengan perubahan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian juga dalam hal parameter kualitas pendidikan, baik dilihat dari segi input, proses, produk maupun outcome selalu berubah dari waktu ke waktu. Hal ini menuntut pembaharuan kebijakan pendidikan secara terus menerus. Dalam era otonomi daerah saat ini, pembaharuan pendidikan berbasis kemasyarakatan harus segera dilakukan agar masyarakat secara luas akhirnya mampu memahami bahwa pendidikan merupakan human investment penting yang harus dirancang dan dibiayai secara lebih memadai . Dengan memandang pendidikan sebagai  human investment, baru kita akan memiliki kepedulian kepada para anggota masyarakat yang tertinggal. 


Pembangunan di Papua tidak lepas kebutuhan akan pendidikan. Melalui pendidikan manusia Papua mengembangkan sumber daya nya agar dapat mengejar ketertinggalan pembangunan dan menjadi satu kunci penanggulangan kemiskinan dalam jangka menengah dan jangka panjang. Dengan kata lain, walau Papua memiliki kekayaaan alam yang melimpah, namun apabila tidak ditopang SDM yang berkualitas maka akan sulit bagi Papua untuk maju dan berkembang.


Namun, walaupun pendidikan dirasakan sangat penting, kita masih menemukan bahwa faktor pendidikan sering diabaikan dalam setiap kebijakan. Akibatnya, banyak warga memang tidak bisa sekolah karena keterbatasan akses ke jalur pendidikan. Kita belum sampai bicara tentang pendidikan bermutu, untuk bersekolah saja sepertinya sangat susah. Gedung sekolah jauh dari tempat murid tinggal, sarana dan prasarana yang terbatas, serta ketiadaan pengajaran seakan menguburkan mimpi generasi baru untuk dapat mengenyam pendidikan.


Dunia pendidikan di Papua masih dihadapkan pada tantangan besar yakni dalam soal akes, pemerataan, dan kualitas pelayanan pendidikan, terutama pada jenjang pendidikan dasar. Di Papua masih tinggi angka buta huruf dan angka putus sekolah.


Memang sudah sekian lama orang meragukan pendidikan di Papua. Alasan sederhananya pendidikan yang katanya berhubungan dengan sumber daya manusia (SDM) di suatu wilayah juga pendidikan yang merupakan hak asasi manusia hingga sekarang masih belum mendapat perhatian serius.


KONDISI PENDIDIKAN DI INTAN JAYA


Sejarah perkembangan pendidikan di Intan Jaya mulai berkembang dengan datangnya misionaris dan sending di Intan Jaya. Selanjutnya pendidikan dasar swasta yang dikelola gereja  (yayasan kristen Katolik dan Protestan) maupun sekila pendidikan negeri yang dikelola pemerintah mulai dibuka. Pada tahun 1986 ke atas sudah dibuka Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Sugapa dan Homeyo.  Sekolah Menengah Atas (SMA) di Sugapa sekarang ibu kota kabupaten Intan Jaya telah dibuka tahun 1995. Untuk Sekolah Dasar (SD) sudah banyak yang dibangun di Distrik bahkan sampai di kampung-kampung.


Dalam hal ini saya melihat pemerintah mempunyai perhatian pada aspek pendidikan dengan serius buktinya membangun bangunan fisik gedung sekolah dasar di beberapa distrik dan kampung, baik itu gedung enam kelas atau SD dan SMP satu atap sembilan kelas. Pemerintah juga memberikan bantuan pendidikan (Bandik) bukan pemberian beasiswa dan pemondokan bantuan pembangunan asrama-Asrama pelajar dan mahasiswa di Kota studi masing-masing di Papua ataupun di luar Papua. Ini merupakan kepedulian pemerintah terhadap pendidikan. Dengan adanya kebijakan ini anak-anak bisa sekolah dan belajar baik dan serius, karena bantuan seperti ini bukan masuk pada program urusan wajib Pemerintah namun hanya kebijakan atas kepedulian pemerintah terhadap pendidikan.


Bantuan yang diberikan  pemerintah  dimaksudkan agar anak-anak Intan Jaya bisa belajar dan mandiri membentuk karakter yang baik dan berkualitas dan berkwantitas untuk  masa depan. Dengan  pribadi yang matang dan berprofesional dapat memperbaharui bentuk dan kehidupan sosial budaya Intan Jaya  menujuh perubahan yang lebih baik. Dengan kata lain menata kembali yang sudah di tata menjadi pembaharuan menujuh perubahan yang lebih baik.


Namun, perlu diakui. hingga hari ini pendidikan yang baik itu adanya di luar Intan Jaya. Di Intan Jaya hanya ada pendidikan dasar. Ada sekolah setingkat SMP dan SMA, tapi warga Intan Jaya yang sadar akan pendidikan lebih memilih untuk belajar pada lembaga pendidikan di luar Intan Jaya baik itu di kabupaten-kabupaten terdekat seperti Dogiyai, Deiyai, Paniai, Timika dan Nabire, maupun ke Jayapura. Belum lagi pendidikan tinggi. Lembaga-lembaga itu hanya ada di kota besar Nabire, Jayapura atau di kota-kota di pulau Jawa dan Sulawesi.


Mengejar pendidikan di luar Intan Jaya bukanlah persoalan yang gampang. Dari segi biaya saja sudah sangat tinggi. Belum lagi soal hasil pendidikan yang barangkali akan jauh dari kesadaran pada soal-soal masyarakat di Intan Jaya. Kemungkinan bahwa orang yang belajar di lingkungannya tercerabut dari akar budaya nya merupakan hal yang dapat saja terjadi. Dari kejauhan warga belajar melihat kenyataan masyarakat dan mungkin saja terlalu cepat membandingkan dengan kemajuan antara Intan Jaya dengan daerah tempat belajar.


Lalu bagaimana dengan warga Intan Jaya yang dalam keterbatasan  dan juga mungkin dengan kesadaran untuk tinggal dan mengenyam pendidikan di Intan Jaya? Persoalan itu pun tidak mudah. Selalu saja dijumpai sarana pendidikan yang terbatas. Banyak guru dan tenaga pendidikan tidak berada di tempat. Datang ke sekolah hanya bermain-main, tidak ada yang berbeda dengan bermain-main di rumah. Satu dua guru yang ada cukup menunjukkan dedikasi dalam pendidikan, barangkali ini juga suatu bonus yang tidak mungkin bisa mengatasi masalah pendidikan yang ada.


Semua bicara pentingnya pendidikan, tapi kenyataan maju kena mundur pun kena. Keterbatasan selalu menghantui warga belajar. Banyak warga lebih memilih untuk tidak sekolah daripada bersekolah dengan tujuan yang tidak jelas. Belum lagi faktor kesaradaran warga yang minim akan pentingnya pendidikan, membuat pilihan untuk tidak bersekolah menjadi hal yang biasa-biasa saja.


Bagai sebua litani yang terus berulang, setiap kali menyebutkan kondisi pendidikan di Intan Jaya terutama di pedalaman yang terisolasi, masalah dari hari ke hari tetaplah sama. Masalah itu misalnya, kekurangan guru sekolah dasar, terbatasnya gedung sekolah, kondisi ekonomi, budaya dan aksesibilitas geografis, serta kesadaran akan pentingnya pendidikan dari masyarakat Intan Jaya sendiri.


Untuk kekurangan guru banyak faktor bisa disebutkan, diantaranya tidak tersedianya rumah guru dan kalaupun tersedia kondisinya sangat tidak layak.  Sebagian guru tidak memiliki kesadaran untuk mau berbakti untuk masa depan anak didik. Semuanya dihitung dari terpenuhinya kebutuhan ekonomi dan kenyamanan hidup. Tidak heran, banyak guru meninggalkan tugas hanya untuk bisa hidup di kota atau mengambil pekerjaan-pekerjaan lain di luar profesi guru.


Masih menyangkut guru, persoalan yang selalu kita dengar adalah banyak guru di Intan Jaya tidak berkompetensi, dan tidak mau mengikuti perkembangan di bidang pendidikan. Lebih banyak guru agama yang dipaksa untuk mengajari murid pengetahuan dasar. Semua serba terbatas sehingga para guru merasa tidak terlalu perlu mengikuti perkembangan pendidikan.


Dari faktor geografis, dengan keberadaan kampung-kampung yang berjauhan selalu menyulitkan dalam mengakses lembaga pendidikan. Kampung-kampung yang hanya dihuni satu dua keluarga sulit rasanya untuk mendirikan suatu gedung sekolah, sementara untuk bersekolah di tempat lain juga menemukan kandala karena jauhnya jarak antara sekolah dan tempat tinggal murid. 


Tantangan geografis menjadi masalah serius dalam pembangunan fisik dan pelayanan pendidikan di Papua. Pendidikan berpola asrama memang suatu jawaban untuk mengumpulkan anak-anak yang tinggal berjauhan. Tapi lagi-lagi pendidikan bukan hanya soal berkumpul bersama tapi juga soal sarana penunjang belajar dalam asrama itu, juga  pembimbing yang bisa mengatur kehidupan asrama. 


Dalam kondisi semacam ini, rupanya kita tak mungkin bicara panjang lebar tentang pendidikan demi masa depan, atau pendidikan yang menjawabi kebutuhan hidup masyarakat saat ini, bila sarana pendidikan masih jauh dari warga. Padahal semua tahu bahwa hanya melalui pendidikan warga Intan Jaya bisa terselamatkan untuk hidup di jaman serba modern ini.


Berbicara tentang fasilitas sekolah tentu punya cerita sendiri. Perpustakaan, buku dan alat tulis, serta laboratorium yang memadai memang tidak ada. Belum lagi kalau bicara tentang internet masuk sekolah, sudah pasti itu tidak ada.  Anak-anak belajar hanya dari guru. Kalau pun alat-alat pembelajaran diadakan pun tentu kembali pada kesiapan guru untuk mengoperasikannya. Ini juga menyangkut kompetensi guru.


Dari segi ekonomi dan budaya masyarakat, tentu menjadi soal sendiri. Tingkat ekonomi masyarakat yang masih rendah sulit diharapkan adanya kesadaran untuk menyekolahkan anak-anaknya. Justru anak-anak dipaksakan untuk tidak bersekolah, agar memiliki banyak waktu untuk membantu orangtua dalam bekerja. Banyak orang memilih hidup nyaman dengan mengandalkan sumber daya alam di sekitar, tanpa berpikir untuk melakukan investasi di bidang pendidikan.


Ada persoalan lain lagi yang masih berhubungan dengan ekonomi yakni banyak  anak-anak yang sudah kehilangan orang tua sejak kecil sehingga orientasi ke masa depan pun terhenti. Kalau pun ada diantara mereka yang mau bersekolah, maka sangat dibutuhkan pendampingan dalam membentuk masa depannya.


Apa akibat dari semua ini? Pelayanan pendidikan dasar yang buruk berakibat pada kualitas sumber daya manusia pada jangka panjang. Sudah bukan rahasia umum lagi kalau banyak anak-anak  buta huruf dan putus sekolah. Atau pendidikan dengan mengahasilkan peserta didik dengan kemampuan baca tulis dan berhitung siswa sangat rendah. Data dari United Nations Children’s Fund (Unicef) menunjukkan bahwa 30% siswa Papua tidak menyelesaikan SD dan SMP mereka. Di pedalaman, sekitar 50% siswa SD dan 73% siswa SMP memilih untuk putus sekolah.


Dampak dari pendidikan dengan kualitas yang rendah, adalah anak-anak pada gilirannya akan gagal bersaing dalam sekolah lanjutan atau pun saat bekerja. Banyak program beasiswa yang digulirkan untuk anak-anak Papua. Namun dalam kenyataan, anak-anak yang mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan diluar Papua harus berusaha lebih ektra untuk dapat menyamakan kemampuan dengan siswa dan mahasiswa yang datang dari daerah yang memiliki pendidikan yang baik. Pelajaran yang didapatkan saat bersekolah  di Papua sudah ketinggalan dengan sekolah-sekolah di Jawa.


Kesulitan lain adalah dalam hal beradaptasi. Dengan menyadari kondisi pendidikan yang dialami di Papua yang serba terbatas itu, menyebabkan beberapa anak merasa rendah diri dan enggan berbaur dengan teman-teman yang dari dari suku yang berbeda. Proses diskusi antara mahasiswa menjadi macet dan sangat menghambat kemajuan. Banyak yang dikirim belajar akhirnya gagal, walau satu dua orang dapat berhasil melewati rintangan ini. Untuk yang berhasil lulus, rintangan pun bukanlah sudah selesai. Mereka yang kembali harus mulai dengan hal yang baru menentukan dimana mereka harus bekerja. Sebab beberapa mahasiswa  yang lulus  tidak mendapat respons akibatnya tetap menganggur dan tidak dimanfaatkan.


Belum lagi saat kelulusan tiba dan hendak kembali berbakti di kampung halaman. Rasa-rasanya kampung halaman yang dihadapi tidak seperti yang dibayangkan di bangku kuliah. Banyak hal serba terbatas yang membuat para lulusan banyak yang tidak betah tinggal di kampung. Seperti saja pendidikan yang diperoleh hanya untuk dipraktikan di kota-kota besar dan tidak ada relevansinya dengan apa yang ada di tempat kelahiran. Banyak dari tamatan seperti ini setelah lulus, hanya sebentar di kampung lalu pergi ke kota-kota untuk mengadu nasib. Pekerjaan yang tidak jelas membawa banyangan akan  pengangguran.


Memang pendidikan bukan hanya soal pendidikan formal, pendidikan luar sekolah pun adalah pendidikan. Tapi siapa mau membuka pendidikan luar sekolah di tengah keterbatasan hidup masyarakat? Jika itu ada, barangkali hanya mensiasati keadaaan, dilakukan apa adanya dan tidak pernah secara serius melaksanakannya. Walau tidak ideal tapi dijalani saja, karena daripada tidak ada, lebih baik mencoba saja. Daripada menangisi kegelapan lebih baik nyalakan lilin.


Sejarah pendidikan di Intan Jaya, memang tak lepas dari usaha pihak gereja. Walau tidak banyak dan tidak semua, banyak anak-anak Papua bisa terselamatkan dari pendidikan yang diadakan pihak gereja. Hasilnya pun bisa kita lihat, bahwa dari lulusan-lulusan itu kini banyak tugas dan dan tanggungjawab untuk mengantar manusia Papua ke arah kemajuan datang dari alumni-alumni ini.


Tapi sekali lagi, tidak semua dapat mengenyam pendidikan yang diadakan oleh lembaga-lembaga gereja. Lembaga gereja pun terbatas dan hanya dalam kesukarelaan pendidikan itu sedikit masih banyak bertahan dan menyelamatkan situasi yang ada.


Sebenarnya tugas itu datang dari masyarakat Papua yang kini tengah menduduki jabatan-jabatan penting di birokrasi pemerintah untuk melanjutkan dan mengisi kekosongan yang ada di sektor pendidikan. Namun sepertinya semua itu masih sebatas harapan karena bukan saja tugas warga Papua, melainkan pendidikan adalah kebijakan nasional dengan politik menyangkut pendidikan. Dalam kerangka ini tidak saja berimbas untuk Papua tapi seluruh Indonesia, pendidikan masih menjadi masalah.


PERLU TINDAKAN YANG LUAR BIASA


Dari uraian permasalahan pendidikan di atas, Nampak bahwa jika menghendaki masa depan anak-anak Papua yang lebih baik, maka permasalahan itu harus diatasi dengan cepat dan tepat. Sudah bukan saatnya lagi meratapi keadaan yang ada, melainkan berpikir untuk keluar dari masalah dengan tindakan-tindakan yang luar biasa.


Pertama, peran pemimpin. Pemimpin yang saya maksudkan bukan hanya Presiden, Gubernur atau Bupati, melainkan pemimpin di semua level termasuk pemimpin di tingkat kampung. Keberadaan pemimpin sebagai pengayom dalam masyararakat harus benar-benar hadir memberikan motivasi dan mengatur kebijakan agar masyarakat mengarahkan perhatian pada pentingnya pendidikan.  Pemimpin harus dapat mefasilitasi semua komponen masyarakat yang berhubungan dengan pendidikan untuk duduk bersama membicarakan persoalan pendidikan ini. Duduk bersama tidak hanya sekali, tapi berulang-ulang, karena pendidikan adalah tanggung jawab bersama.


Untuk dapat mengajak masyarakat berbicara tentu yang dituntut dari pemimpin adalah sikap terbuka. Terbuka tidak saja menyangkut keuangan tetapi juga terbuka untuk mengungkapkan harapannya tentang pendidikan. Ia juga mesti terbuka untuk mengungkapkan berbagai kandala yang dijumpai, agar masyarakat dapat memahami dan mencari jalan keluar secara bersama-sama. Pemimpin yang tidak terbuka pada masalah yang dihadapi, hanya akan memberikan janji-janji manis untuk masyarakat. Dan ini tentu sangat menghambat pembangunan pendidikan itu sendiri. Masih banyak masyarakat yang belum peduli dengan pentingnya pendidikan untuk anak-anak dan ini tugas pemimpin untuk menggerakan.


Kedua,Penididikan untuk warga yang kurang mampu. Pendidikan sebagai salah satu jalan keluar dari jebakan kemiskinan. Pendidikan memberikan peluang kepada masyarakat miskin untuk memperoleh pekerjaan lebih baik dan meningkatkan taraf kesejahteraan. Jangan sampai bertambahnya kemajuan, bertambahnya jumlah penduduk tidak membawa pengaruh bagi warga untuk mendapatkan pendidikan, bahkan yang diperoleh adalah tingkat pendidikan yang rendah.


Itulah sebabnya, anggota masyarakat perlu dilibatkan dalam mengambil bagian atau berpartisipasi di dalam proses perumusan dan penentuan kebijaksanaan pemerintahan. Dengan kata lain, pemerintah (government) melakukan apa yang dikehendaki oleh rakyat, setidak-tidaknya pemerintah menghindarkan diri dari apa yang tidak dikehendaki oleh anggota masyarakat.


Ketiga, Pendidikan butuh pendampingan. Dari uraian permasalahan pada bagian sebelumnya, nampak bahwa keberhasilan pendidikan butuh pendampingan. Bahkan hingga anak-anak belajar di perguruan tinggi pun harus terus didampingi.


Seorang pendamping harus punya visi pendidikan yang baik dan kerelaan untuk memperhatikan orang demi masa depan bersama. Dalam pendidikan dasar, kehadiran pendamping lebih pada pendampingan para guru. Ia harus tahu apa masalah para guru, dan mencari solusi bersama. Dalam kehidupan asrama, ia harus tahu tentang apa saja yang perlu dibimbing untuk anggota asrama. Begitupun untuk para mahasiswa, ia harus tahu apa yang menjadi masalah mahasiswa dan bersama mencarikan solusi. Tradisi yang tidak terbiasa dengan sekolah perlu diberi motivasi. Orang yang motivasinya kuat, tentu tidak pernah menyerah.


Ignas Kleden, salah seorang sosiolog terkemuka Indonesia  mengatakan pendidikan bukan usaha untuk menciptakan alat atau instrumen, bukan pula menciptakan instrumen untuk pasar atau untuk negara. Pendidikan adalah mengantar seorang anak manusia agar mencapai tingkat kemandirian tertentu, sehingga dia dapat dinamakan seorang individu.


Keempat, Pendidikan butuh displin dan Taat Aturan. Terlepas dari pendidikian itu memerdekakan dan membebaskan, ikwal pendidikan sendiri adalah displin dan taat aturan. Tidak mungkin orang dapat berhasil dalam pendidikan kalau dia sendiri tidak taat pada aturan pendidikan yang diberikan kepadanya. Ketekunan merupakan salah satu bagian dari pendidikan yang menuntut setiap orang dengan sabar menyelesaikan semua tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini tidak hanya berlaku bagi peserta didik tapi juga para guru dan pendidik termasuk pemimpin dan masyarakat pendidik. Disiplin merupakan budaya sekolah dan kita harus menumbuhkan budaya sekolah itu di tengah masyarakat. Pendidikan itu menyangkut seluruh pribadi siswa-siswi bukan hanya dari sisi inteklektual tetapi juga dari sisi budi pekerti dan tubuh.


Kelima, pendidikan harus bebas dari kecurigaan. Salah satu tuuan dari mendidik manusia tidak lain agar kelak orang yang didik itu dapat mendidik orang lain. Ini tidak dimaksudkan bahwa ia kelak harus menjadi guru yang berdiri di depan kelas, melainkan apa yang diperolehnya dapat berguna bagi orang lain. Dalam bahasa pendidikan sering disebut mendidik para pelajar menjadi manusia demi manusia lain. Dalam kerangka ini, saya mengutip pendapat ahli pendidikan Pastor J. Drost SJ (1994), bahwa orang harus didik menjadi orang kompeten, cakap dan sadar akan tanggungjawab, sadar akan hak-hak orang lain, baru ia mampu dan sanggup menjadi manusia demi manusia lain.


Untuk mencapai hasil itu, menurut Pastor J. Drost SJ,   di sekolah harus ada keterbukaan sebagai hasil komunikasi bebas yang tak mengenal hambatan mana pun. Tidak boleh ada tujuan-tujuan tersembunyi, harus saling menghargai dan saling menerima apa adanya berdasarkan sikap saling mempercayai. Selama para pendidik masih mencurigai para pelajar, setiap usaha membentuk orang sudah gagal sebelum dimulai. “Lebih baik seorang pendidik bersedia ditipu sepuluh kali daripada satu kali mencurigai apa saja yang berasal dari seorang anak didik tanpa alasan,’ kata Pastor Drost.


Keenam, pendidikan tanggungjawab bersama. Pendidikan itu bukan hanya tanggung jawab pemerintah, juga bukan hanya tanggung jawab guru dan pengelola pendidikan tapi pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Sejak anak lahir, orangtua diberi peran dalam mendidik anak-anak. Bahkan bukan hanya sejak lahir tapi juga sejak dalam kandungan. Tanggung jawab orangtua ini selain memberikan pendidikan budi pekerti kepada anak, membantu merangsang perkembangan otak anak, juga dalam hal menjaga kesehatan dan gizi anak.


Ketika anak beranjak dewasa dan mulai mengenal lingkungan maka masyarakat pun turut serta ambil bagian dalam pendidikan. Anak-anak tidak bisa tumbuh dalam lingkungan yang tidak ramah. Karena itu masyarakat perlu menciptakan lingkungan yang aman. Masyarakat juga perlu bersama-sama memikirkan tentang pendidikan anak dengan terlibat aktif dalam kegiatan sekolah. Masyarakat ikut serta memberi tempat pada masa depan anak dengan terus memotivasi cita-cita anak-anak untuk meraih masa depan.


Pendidikan tanggung jawab bersama tidak dimaksudkan bahwa pemerintah dan masyarakat sekolah memiliki porsi tanggung jawab yang semakin kecil. Justru dalam hal tanggungjawab bersama ini tugas pemeritah dan pengelola sekolah termasuk guru adalah membuka kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat aktif dalam pendidikan. Kerja sama yang dibangun itu sambil memperhatikan fungsi dan tugasnya masing-masing.


Pendidikan memang tidak bisa berdiri sendiri. Keluhan bahwa guru-guru tidak betah tinggal di Intan Jaya bukan hal yang sederhana, melainkan terkait dengan fasilitas-fasilitas lain yang memang dibutuhkan untuk menunjang kehidupan mereka. Kecuali memang kepada pribadi-pribadi tertentu yang memang hanya mengejar honorarium dan gaji tanpa memberikan sedikit tanggung jawab akan tugas yang diberikan.


Harapan bahwa warga Intan Jaya yang kini sedang mengenyam pendidikan dapat  kembali ke Intan Jaya untuk mendidik masyarakatnya, harus juga memastikan bahwa mereka kembali ke Intan Jaya dengan jaminan kehidupan yang lebih baik. Selain kepastian hidup berupa honorarium dan fasilitas, kehidupan di Intan Jaya pun harus menjunjang kehidupan mereka. Di sinilah kita bicara tentang pentingnya infrastruktur dasar yang mendukung kehidupan mereka.



Ketujuh, pendidikan butuh sarana dan prasarana. Untuk terjadi proses belajar mengajar memang tidak harus selamanya di dalam sebuah gedung sekolah yang mewah dan lengkap dengan fasilitas pendidikan. Di bawah pohon yang teduh, orang bisa melangsungkan sebuah proses belajar mengajar. Akan tetapi proses belajar mengajar dengan fasilitas yang terbatas, tentu akan menghasilkan lulusan yang juga sangat terbatas kemampuannnya. 


Kondisi nyaman adalah kebutuhan yang penting dari sebuah proses belajar. Anak didik tidak bisa belajar di tengah ancaman ketidakpastian cuaca yang membuat mereka harus berhenti belajar. Oleh karena itu, di dalam sebuah bangunan yang sederhana pun proses belajar masih menemukan permasalahan. Belum lagi jika bicara sarana dan prasarana termasuk media belajar untuk dapat menyesuaikan dengan perubahan zaman, pendidikan tidak bisa lagi dilalui dalam keadaan serba sederhana.


Oleh karena itu, perhatian pendidikan harus pula menyentuh pembangunan sarana dan prasarana yang ada.  Pengadaan gedung sekolah dengan melengkapi sarana pembelajaran seperti buku-buku pelajaran, perpustakaan, laboratorium dan media pembelajaran adalah hal yang perlu selalu disiapkan. Namun, persoalan ini pun tidak mudah karena pasti akan membutuhkan dana yang besar. Jalan yang ditempuh adalah melakukan renovasi dari sarana pendidikan yang ada. 


Pendidikan yang sudah ada perlu ditingkatkan. Jika yang dibutuhkan adalah penambahan ruang kelas, maka dibangunlah ruang kelas baru dari sekolah yang ada. Demikian juga sarana gedung asrama, baiknya dilakukan dalam lingkungan sekolah yang ada. Selanjutnya bagaimana melengkapi sekolah-sekolah itu dengan guru-guru yang kompeten dan sarana penunjang yang memadai yang memenuhi standar pendidikan Nasional.


Bagi warga belajar, juga mesti menciptakan iklim pendidikan yang memungkinkan mereka menghadapi pendidikan sebagai sesuatu yang menyenangkan, tanpa harus terbebani dengan persyaratan-persyaratan yang membebani kehidupan mereka. Bagaimana pun kesadaran akan pendidikan kita masih belum membaik bahkan jauh dari harapan. Intinya pemerintah harus memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk belajar.


Kedelapan, Pendidikan harus dalam kondisi aman. Anak-anak yang belajar butuh kondisi aman yang bebas dari konflik-konflik masyarakat. Jika setiap kali terjadi konflik dalam masyarakat dan berujung pada peperangan antar kelompok, pembakaran dan pembunuhan, tentu berimbas pada dunia pendidikan. Bukan saja konflik dan peperangan membuat sekolah-sekolah diliburkan, tapi juga mempengaruhi kondisi psikis dari peserta didik. 


Karena itu demi mendukung jalannya proses pendidikan, kondisi aman yang tercipta dalam masyarakat menjadi suatu yang harus diperhatikan. Gedung sekolah tidak boleh dirusak, anak-anak tidak boleh dilibatkan dalam konflik, dan para pendidik diberi perlindungan. Perlu ada komitmen bersama untuk menghentikan konflik-konflik yang berujung pada peperangan dan menjaga proses pendidikan tetap berjalan di Intan Jaya. 


Kesembilan, pendidikan butuh inovasi. Dalam keadaan serba terbatas serta permasalahan yang begitu kompleks, selalu menuntut terobosan baru untuk menjawabi kondisi yang ada. Kita tidak perlu selalu saling menyalahkan satu dengan yang lain. Saling menyalahkan bukanlah solusi untuk keluar dari situasi krisis. Oleh karena itu, pendidikan membutuhkan banyak inovasi. Guru-guru harus lebih banyak kreatif untuk menemukan terbosan dibidang inovasi. Para pemimpin pun dituntut hal yang sama sehingga dapat menemukan formula yang pas untuk mengejar kesenjangan pendidikan di daerah kota dan pedalaman.  Inovasi dalam masyarakat bisa melalui pendidikan pra sekolah yakni pengadaan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan pendidikan masyarakat.


Dalam berbagai pendekatan yang ada berkenaan dengan situasi sosial, budaya dan ekonomi serta tantangan hidup masyarakat, inovasi yang diperlukan tidak lagi membicarakan fokus perhatian pada peningkatan mutu atau pembukaan akses pendidikan, melainkan hanya pada bagaimana peserta didik mendapatkan pendidikan yang bermutu. Pendidikan bermutu itu penting. Sebab jika anak didik belajar dengan pendidikan yang tidak bermutu, sebenarnya sama saja dia tidak perlu belajar. Karena itu pemerataan pendidikan harus beriringan dengan pendidikan bermutu.


Bercermin dari kenyataan pendidikan di Intan Jaya seperti diatas, langkah yang diambil adalah memberi perhatian yang lebih tentang pendidikan di Intan Jaya. Sarana pendidikan, misalnya, yang selama ini dikeluhkan harus segera terjawab. Pendidikan harus dekat dengan kehidupan masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan tidak harus menunggu hingga lengkapnya sarana pendidikan seperti yang ada pada kota-kota besar. Dengan sarana dan prasarana yang ada, pendidikan harus menjadi budaya masyarakat. Inovasi di sini juga menyangkut pengadaan media-media untuk memotivasi generasi muda dalam belajar dan meraih cita-cita.


Dari uraian tentang pendidikan ini, saya mengajak kita semua, terlebih para kaum intelektual dan para generasi di Intan Jaya, mari  bersama-sama dengan sekuat tenaga berlari mencari dan mengejar harapan dan tujuan yang diimpikan menjadi kenyataan yakni memperbaharui dan akan menjadi perubahan.


Tantangan pendidikan di Intan Jaya adalah membangun peta jalan perubahan dengan menghadirkan sekolah-sekolah yang lebih dekat dengan masyarakat. Tantangan ini bisa teratasi jika ada kemauan dari semua pihak. Dengan adanya kemauan dalam keprihatinan yang sama maka kita bisa saling memberi motivasi semangat dan  harapan untuk meraih cita-cita bersama. 



Sekarang saya dan Anda jangan berdiam diri. Mari bersuara dan bertindak memperbaiki dan memperbaharui masa depan pendidikan di Intan Jaya. Apa yang saya tulis ini  merupakan sebagian pemikiran untuk membuat atau membangun rencana peta perubahan untuk generasi 100 tahun yang akan datang. Semuanya mesti dikerjakan dari sekarang dan  jangan menunggu 100 tahun kedepan lagi baru kita membangun Intan Jaya. Karena untuk 100 tahun yang akan datang sudah saatnya generasi dapat menikmati, dan mereka akan menata kembali yang sudah ditata oleh pemuka atau perintis generasi terdahulu atau generasi saya sekarang. @



(Tulisan ini merupakan ringkasan dari buku "MENATAP INTAN JAYA BERMARTABAT : Motivasi, Renovasi dan Inovasi", Penulis : Apolos Bagau, Penerbit : Tollelegi 2018)