Persoalan pelajar di Papua bukan soal kebodohan, melainkan kurangnya
kesempatan, motivasi para pelajar dan guru-guru yang berkualitas,” ujar Korinus
Waimbo, mahasiswa S3 dari Universitas Exeter . (Sumber : KORAN SINDO)
Oleh : Apolos Bagau
Pernyataan Korinus Waimbo ini diungkapkan dalam Simposium
Internasional ke-9 PPI-Dunia dan Indonesian Scholars International Convention
(ISIC-SI) 2017 yang berlangsung pada 24-27 Juli 2017 di Gedung Studi Humaniora
Universitas Warwick, Inggris. Dalam kesempatan ini, Kelompok kerja dibawah Perhimpunan
Pelajar Indonesia PPI-UK yang tergabung dalam Lingkar Studi Papua (LSP)
mengadakan diskusi bertema pendidikan di Papua.
Diskusi tentang pendidikan di Papua tersebut membahas
sejumlah masalah antara lain: pendidikan sains dan matematika di Papua, pendidikan
di Kabupaten Puncak dan Intan Jaya, sudut pandang jurnalistik terhadap
pendidikan di Papua, kontribusi PPI Dunia untuk pendidikan di Papua, pendidikan
dasar dan menengah di Papua, serta pendidikan di Papua di masa lalu, sekarang,
masa depannya.
Seperti diberitakan sindonews.com, Korinus Waimbo, mahasiswa
S3 dari Universitas Exeter yang juga koordinator acara tersebut mengungkapkan
sejumlah permasalahan dalam pendidikan sains dan matematika di Papua. Korinus
menceritakan sejumlah contoh keberhasilan dalam pendidikan sains dan matematika
seperti inisiatif Prof Yohanes Surya yang bukan saja mempromosikan sains dan
matematika di Papua, melainkan juga membuktikan bahwa sejumlah putra daerah
asli Papua memiliki bakat di bidang sains dan matematika.
Apa yang diungkapkan Korinus Waimbo menurut hemat saya,
memberikan inspirasi dan motivasi bahwa dalam keterbatasan pendidikan di Papua,
anak-anak Papua mampu bersaing dengan saudara-saudara di tempat lain yang sudah
lebih maju pendidikannya. Bahkan bukan suatu perkara mudah, anak-anak Papua
justru unggul dalam bidang sains dan matematika. Prestasi yang diraih beberapa
anak Papua memang patut dibanggakan.
Namun demikian, dari apa yang menjadi kebanggan, kita tahu
bahwa masih banyak anak-anak Papua yang belum mendapatkan kesempatan untuk
menunjukkan kemampuannya. Bagai bunga yang layu sebelum berkembang, jangankan
dapat mengikuti sejumlah olympiade, banyak potensi dan kemampuan anak-anak
Papua yang harus mati sebelum berkembang lantaran tidak bisa melanjutkan pendidikan.
Sulit untuk disangkal bahwa pendidikan di Papua masih
mengalami hambatan terutama dalam hal tersedianya sarana dan prasarana
pendidikan, termasuk ketersediaan para pendidik. Masyarakat pun belum memiliki kesadaran
akan pentingnya pendidikan. Yang jelas pemerintah dan masyarakat
pendidikan di Papua sudah berusaha mengatasi kekurangan-kekurangan yang ada
pada sektor pendidikan. Namun belum banyak menunjukkan hasil yang menggembirakan. Kenyataan ini membuat banyak orang orang pesimis walau ada pula yang optimis akan suatu perubahan di masa datang dari hal yang dikerjakan saat ini.
TUNTUTAN PENDIDIKAN
Pendidikan adalah proses belajar menjadi manusia baik untuk memahami diri sendiri maupun untuk memahami lingkungan. Untuk diri sendiri, proses pendidikan tidak lain untuk memajukan dan menemukan potensi dalam diri seseorang akan pertumbuhan budi pekerti,kareakter dan kecerdasan. Sementara untuk lingkungan, melalui pendidikan seorang mengenali dan mengembangkan lingkungan kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan dan sistem perilaku bersama.
Ketika anak didik mencapai kepenuhan baik budi pekerti maupun intelektual, maka yang diharapkan adalah dapat menyumbangkan bakat dan kemampuannya untuk pembangunan bangsa serta memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi dan transformasi sosial. Dunia yang lebih manusiawi dapat tercipta dari pribadi yang seimbang.
Untuk mewujudkan hakekat pendidikan, perhatian akan pendidikan terarah pada pendidikan dalam keluarga, pendidikan di sekolah dan lembaga pendidikan dan pada lingkungan dimana anak tumbuh dan berkembang. Tugas para pendidik dalam hal ini orangtua, para guru dan dosen serta masyarakat terdidik adalah membantu peserta didik menemukan kodratnya sendiri baik yang menyangkut budi pekerti maupun pikiran. Dalam tindakan yang manusiawi, para peserta didik diharapkan menjadi manusia yang penuh, utuh dan lengkap.
Betapa pentingnya pendidikan ini, Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945 mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan guna meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Dalam amandemen
UUD 1945 Pasal 31 Ayat (1) dan (2) menegaskan, setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”, dan pasal 11, ayat (1) menyatakan
“Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara
tanpa diskriminasi”
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Papua, bab XVI pasal 56 ayat 1 menyatakan bahwa Pemerintah Provinsi bertanggung jawab
terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis
pendidikan di Provinsi Papua. Ayat 3 menyatakan setiap penduduk Provinsi Papua
berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan tingkat sekolah menengah dengan beban masyarakat
serendah-rendahnya.
Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
Provinsi Papua Tahun 2005-2025, yang dipayungi Peraturan Daerah Provinsi
(Perdasi) Nomor 21 Tahun 2013 disebutkan bahwa Rendahnya kualitas sumber daya
manusia masih menjadi isu utama di Provinsi Papua. Hal ini disebabkan masih
belum meratanya penyediaan pelayanan pendidikan, masih rendahnya budaya sekolah
serta masih adanya berbagai keterbatasan dalam penyelenggaraan pendidikan.
Perdasi yang ditetapkan Gubernur Lukas Enembe pada tanggal
30 Desember 2013 secara rinci dikatakan bahwa beberapa isu utama di bidang
pendidikan adalah sebagai berikut : (1) Sarana dan prasarana pendidikan yang
terbatas dan belum merata di setiap daerah khususnya di daerah terpencil.( 2).
Masih rendahnya budaya sekolah yang berkembang di masyarakat yang selama ini
masih hidup dalam pola budaya tradisional sehingga menyebabkan angka
partisipasi sekolah masih rendah. (3). Masih rendahnya rata-rata angka melek
huruf di Provinsi Papua. (4). Masih kurangnya ketersediaan sekolah kejuruan
yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan ekonomi lokal. (5). Masih terbatasnya
jumlah guru di tiap daerah terpencil dan tidak mampu menjangkau lokasi penduduk
yang tersebar.(6). Masih tingginya angka putus sekolah. (7). Masih terpolanya
penyelesaian pendidikan dengan mengutamakan pembangunan sarana fisik bangunan
gedung sekolah yang belum tentu sesuai untuk penyelesaian masalah pendidikan
karena lokasi penduduk yang tersebar, dan (8) . Masih rendahnya kualitas tenaga
guru, sarana, dan prasarana pendidikan.
Di tengah permasalahan itu,Suyanto (Pedagogi untuk Kelompok Tertinggal, Basis No 05-06 Tahun 53 Mei-Juni 2004) mengatakan, hakekat pembangunan sektor
pendidikan tidak pernah akan mencapai tujuan akhir yang sempurna dan final. Hal
ini terjadi karena konteks pendidikan selalu dinamik, berubah dan tidak pernah
konstan, sesuai dengan perubahan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Demikian juga dalam hal parameter kualitas pendidikan, baik dilihat dari segi
input, proses, produk maupun outcome selalu berubah dari waktu ke waktu. Hal
ini menuntut pembaharuan kebijakan pendidikan secara terus menerus. Dalam era
otonomi daerah saat ini, pembaharuan pendidikan berbasis kemasyarakatan harus
segera dilakukan agar masyarakat secara luas akhirnya mampu memahami bahwa
pendidikan merupakan human investment penting yang harus dirancang dan dibiayai
secara lebih memadai . Dengan memandang pendidikan sebagai human investment, baru kita akan memiliki
kepedulian kepada para anggota masyarakat yang tertinggal.
Pembangunan di Papua tidak lepas kebutuhan akan pendidikan.
Melalui pendidikan manusia Papua mengembangkan sumber daya nya agar dapat
mengejar ketertinggalan pembangunan dan menjadi satu kunci penanggulangan
kemiskinan dalam jangka menengah dan jangka panjang. Dengan kata lain, walau
Papua memiliki kekayaaan alam yang melimpah, namun apabila tidak ditopang SDM
yang berkualitas maka akan sulit bagi Papua untuk maju dan berkembang.
Namun, walaupun pendidikan dirasakan sangat penting, kita
masih menemukan bahwa faktor pendidikan sering diabaikan dalam setiap
kebijakan. Akibatnya, banyak warga memang tidak bisa sekolah karena
keterbatasan akses ke jalur pendidikan. Kita belum sampai bicara tentang
pendidikan bermutu, untuk bersekolah saja sepertinya sangat susah. Gedung
sekolah jauh dari tempat murid tinggal, sarana dan prasarana yang terbatas,
serta ketiadaan pengajaran seakan menguburkan mimpi generasi baru untuk dapat
mengenyam pendidikan.
Dunia pendidikan di Papua masih dihadapkan pada tantangan
besar yakni dalam soal akes, pemerataan, dan kualitas pelayanan pendidikan,
terutama pada jenjang pendidikan dasar. Di Papua masih tinggi angka buta huruf
dan angka putus sekolah.
Memang sudah sekian lama orang meragukan pendidikan di
Papua. Alasan sederhananya pendidikan yang katanya berhubungan dengan sumber
daya manusia (SDM) di suatu wilayah juga pendidikan yang merupakan hak asasi
manusia hingga sekarang masih belum mendapat perhatian serius.
KONDISI PENDIDIKAN DI INTAN JAYA
Sejarah perkembangan pendidikan di Intan Jaya mulai berkembang dengan datangnya misionaris dan sending di Intan Jaya. Selanjutnya pendidikan dasar swasta yang dikelola gereja (yayasan kristen Katolik dan Protestan) maupun sekila pendidikan negeri yang dikelola pemerintah mulai dibuka. Pada tahun 1986 ke atas sudah dibuka Sekolah Menengah Pertama
(SMP) di Sugapa dan Homeyo. Sekolah
Menengah Atas (SMA) di Sugapa sekarang ibu kota kabupaten Intan Jaya telah
dibuka tahun 1995. Untuk Sekolah Dasar (SD) sudah banyak yang dibangun di
Distrik bahkan sampai di kampung-kampung.
Dalam hal ini saya melihat pemerintah mempunyai perhatian
pada aspek pendidikan dengan serius buktinya membangun bangunan fisik gedung
sekolah dasar di beberapa distrik dan kampung, baik itu gedung enam kelas atau
SD dan SMP satu atap sembilan kelas. Pemerintah juga memberikan bantuan pendidikan (Bandik) bukan
pemberian beasiswa dan pemondokan bantuan pembangunan asrama-Asrama pelajar dan
mahasiswa di Kota studi masing-masing di Papua ataupun di luar Papua. Ini
merupakan kepedulian pemerintah terhadap pendidikan. Dengan adanya kebijakan
ini anak-anak bisa sekolah dan belajar baik dan serius, karena bantuan seperti
ini bukan masuk pada program urusan wajib Pemerintah namun hanya kebijakan atas
kepedulian pemerintah terhadap pendidikan.
Bantuan yang diberikan
pemerintah dimaksudkan agar
anak-anak Intan Jaya bisa belajar dan mandiri membentuk karakter yang baik dan
berkualitas dan berkwantitas untuk masa
depan. Dengan pribadi yang matang dan
berprofesional dapat memperbaharui bentuk dan kehidupan sosial budaya Intan
Jaya menujuh perubahan yang lebih baik.
Dengan kata lain menata kembali yang sudah di tata menjadi pembaharuan menujuh
perubahan yang lebih baik.
Namun, perlu diakui. hingga hari ini pendidikan yang baik
itu adanya di luar Intan Jaya. Di Intan Jaya hanya ada pendidikan dasar. Ada
sekolah setingkat SMP dan SMA, tapi warga Intan Jaya yang sadar akan pendidikan
lebih memilih untuk belajar pada lembaga pendidikan di luar Intan Jaya baik itu
di kabupaten-kabupaten terdekat seperti Dogiyai, Deiyai, Paniai, Timika dan
Nabire, maupun ke Jayapura. Belum lagi pendidikan tinggi. Lembaga-lembaga itu
hanya ada di kota besar Nabire, Jayapura atau di kota-kota di pulau Jawa dan
Sulawesi.
Mengejar pendidikan di luar Intan Jaya bukanlah persoalan
yang gampang. Dari segi biaya saja sudah sangat tinggi. Belum lagi soal hasil
pendidikan yang barangkali akan jauh dari kesadaran pada soal-soal masyarakat
di Intan Jaya. Kemungkinan bahwa orang yang belajar di lingkungannya tercerabut
dari akar budaya nya merupakan hal yang dapat saja terjadi. Dari kejauhan
warga belajar melihat kenyataan masyarakat dan mungkin saja terlalu cepat
membandingkan dengan kemajuan antara Intan Jaya dengan daerah tempat belajar.
Lalu bagaimana dengan warga Intan Jaya yang dalam
keterbatasan dan juga mungkin dengan
kesadaran untuk tinggal dan mengenyam pendidikan di Intan Jaya? Persoalan itu
pun tidak mudah. Selalu saja dijumpai sarana pendidikan yang terbatas. Banyak
guru dan tenaga pendidikan tidak berada di tempat. Datang ke sekolah hanya
bermain-main, tidak ada yang berbeda dengan bermain-main di rumah. Satu dua
guru yang ada cukup menunjukkan dedikasi dalam pendidikan, barangkali ini juga
suatu bonus yang tidak mungkin bisa mengatasi masalah pendidikan yang ada.
Semua bicara pentingnya pendidikan, tapi kenyataan maju kena
mundur pun kena. Keterbatasan selalu menghantui warga belajar. Banyak warga
lebih memilih untuk tidak sekolah daripada bersekolah dengan tujuan yang tidak
jelas. Belum lagi faktor kesaradaran warga yang minim akan pentingnya
pendidikan, membuat pilihan untuk tidak bersekolah menjadi hal yang biasa-biasa
saja.
Bagai sebua litani yang terus berulang, setiap kali menyebutkan
kondisi pendidikan di Intan Jaya terutama di pedalaman yang terisolasi, masalah dari
hari ke hari tetaplah sama. Masalah itu misalnya, kekurangan guru sekolah dasar, terbatasnya gedung sekolah, kondisi ekonomi, budaya dan
aksesibilitas geografis, serta kesadaran akan pentingnya pendidikan dari
masyarakat Intan Jaya sendiri.
Untuk kekurangan guru banyak faktor bisa disebutkan,
diantaranya tidak tersedianya rumah guru dan kalaupun tersedia kondisinya
sangat tidak layak. Sebagian guru tidak
memiliki kesadaran untuk mau berbakti untuk masa depan anak didik. Semuanya
dihitung dari terpenuhinya kebutuhan ekonomi dan kenyamanan hidup. Tidak heran,
banyak guru meninggalkan tugas hanya untuk bisa hidup di kota atau mengambil
pekerjaan-pekerjaan lain di luar profesi guru.
Masih menyangkut guru, persoalan yang selalu kita dengar
adalah banyak guru di Intan Jaya tidak berkompetensi, dan tidak mau mengikuti
perkembangan di bidang pendidikan. Lebih banyak guru agama yang dipaksa untuk
mengajari murid pengetahuan dasar. Semua serba terbatas sehingga para guru
merasa tidak terlalu perlu mengikuti perkembangan pendidikan.
Dari faktor geografis, dengan keberadaan kampung-kampung
yang berjauhan selalu menyulitkan dalam mengakses lembaga pendidikan.
Kampung-kampung yang hanya dihuni satu dua keluarga sulit rasanya untuk
mendirikan suatu gedung sekolah, sementara untuk bersekolah di tempat lain juga
menemukan kandala karena jauhnya jarak antara sekolah dan tempat tinggal murid.
Tantangan geografis menjadi masalah
serius dalam pembangunan fisik dan pelayanan pendidikan di Papua. Pendidikan berpola
asrama memang suatu jawaban untuk mengumpulkan anak-anak yang tinggal
berjauhan. Tapi lagi-lagi pendidikan bukan hanya soal berkumpul bersama tapi
juga soal sarana penunjang belajar dalam asrama itu, juga pembimbing yang bisa
mengatur kehidupan asrama.
Dalam kondisi semacam ini, rupanya kita tak mungkin bicara panjang lebar tentang pendidikan
demi masa depan, atau pendidikan yang menjawabi kebutuhan hidup masyarakat saat
ini, bila sarana pendidikan masih jauh dari warga. Padahal semua tahu bahwa
hanya melalui pendidikan warga Intan Jaya bisa terselamatkan untuk hidup di
jaman serba modern ini.
Berbicara tentang fasilitas sekolah tentu punya cerita
sendiri. Perpustakaan, buku dan alat tulis, serta laboratorium yang memadai
memang tidak ada. Belum lagi kalau bicara tentang internet masuk sekolah, sudah
pasti itu tidak ada. Anak-anak belajar
hanya dari guru. Kalau pun alat-alat pembelajaran diadakan pun tentu kembali
pada kesiapan guru untuk mengoperasikannya. Ini juga menyangkut kompetensi
guru.
Dari segi ekonomi dan budaya masyarakat, tentu menjadi soal
sendiri. Tingkat ekonomi masyarakat yang
masih rendah sulit diharapkan adanya kesadaran untuk menyekolahkan
anak-anaknya. Justru anak-anak dipaksakan untuk tidak bersekolah, agar memiliki
banyak waktu untuk membantu orangtua dalam bekerja. Banyak orang memilih hidup
nyaman dengan mengandalkan sumber daya alam di sekitar, tanpa berpikir untuk
melakukan investasi di bidang pendidikan.
Ada persoalan lain lagi yang masih berhubungan dengan
ekonomi yakni banyak anak-anak yang
sudah kehilangan orang tua sejak kecil sehingga orientasi ke masa depan pun
terhenti. Kalau pun ada diantara mereka yang mau bersekolah, maka sangat
dibutuhkan pendampingan dalam membentuk masa depannya.
Apa akibat dari semua ini? Pelayanan pendidikan dasar yang
buruk berakibat pada kualitas sumber daya manusia pada jangka panjang. Sudah
bukan rahasia umum lagi kalau banyak anak-anak
buta huruf dan putus sekolah. Atau pendidikan dengan mengahasilkan
peserta didik dengan kemampuan baca tulis dan berhitung siswa sangat rendah.
Data dari United Nations Children’s Fund (Unicef) menunjukkan bahwa 30% siswa
Papua tidak menyelesaikan SD dan SMP mereka. Di pedalaman, sekitar 50% siswa SD
dan 73% siswa SMP memilih untuk putus sekolah.
Dampak dari pendidikan dengan kualitas yang rendah, adalah
anak-anak pada gilirannya akan gagal bersaing dalam sekolah lanjutan atau pun
saat bekerja. Banyak program beasiswa yang digulirkan untuk anak-anak Papua.
Namun dalam kenyataan, anak-anak yang mendapat beasiswa untuk melanjutkan
pendidikan diluar Papua harus berusaha lebih ektra untuk dapat menyamakan
kemampuan dengan siswa dan mahasiswa yang datang dari daerah yang memiliki
pendidikan yang baik. Pelajaran yang didapatkan saat bersekolah di Papua sudah ketinggalan dengan
sekolah-sekolah di Jawa.
Kesulitan lain adalah dalam hal beradaptasi. Dengan
menyadari kondisi pendidikan yang dialami di Papua yang serba terbatas itu,
menyebabkan beberapa anak merasa rendah diri dan enggan berbaur dengan
teman-teman yang dari dari suku yang berbeda. Proses diskusi antara mahasiswa
menjadi macet dan sangat menghambat kemajuan. Banyak yang dikirim belajar
akhirnya gagal, walau satu dua orang dapat berhasil melewati rintangan ini.
Untuk yang berhasil lulus, rintangan pun bukanlah sudah selesai. Mereka yang
kembali harus mulai dengan hal yang baru menentukan dimana mereka harus
bekerja. Sebab beberapa mahasiswa yang
lulus tidak mendapat respons akibatnya
tetap menganggur dan tidak dimanfaatkan.
Belum lagi saat kelulusan tiba dan hendak kembali berbakti
di kampung halaman. Rasa-rasanya kampung halaman yang dihadapi tidak seperti
yang dibayangkan di bangku kuliah. Banyak hal serba terbatas yang membuat para
lulusan banyak yang tidak betah tinggal di kampung. Seperti saja
pendidikan yang diperoleh hanya untuk dipraktikan di kota-kota besar dan tidak
ada relevansinya dengan apa yang ada di tempat kelahiran. Banyak dari tamatan
seperti ini setelah lulus, hanya sebentar di kampung lalu pergi ke kota-kota
untuk mengadu nasib. Pekerjaan yang tidak jelas membawa banyangan akan pengangguran.
Memang pendidikan bukan hanya soal pendidikan formal,
pendidikan luar sekolah pun adalah pendidikan. Tapi siapa mau membuka
pendidikan luar sekolah di tengah keterbatasan hidup masyarakat? Jika itu ada,
barangkali hanya mensiasati keadaaan, dilakukan apa adanya dan tidak pernah secara
serius melaksanakannya. Walau tidak ideal tapi dijalani saja, karena daripada
tidak ada, lebih baik mencoba saja. Daripada menangisi kegelapan lebih baik
nyalakan lilin.
Sejarah pendidikan di Intan Jaya, memang tak lepas dari usaha
pihak gereja. Walau tidak banyak dan tidak semua, banyak anak-anak Papua bisa
terselamatkan dari pendidikan yang diadakan pihak gereja. Hasilnya pun bisa
kita lihat, bahwa dari lulusan-lulusan itu kini banyak tugas dan dan
tanggungjawab untuk mengantar manusia Papua ke arah kemajuan datang dari
alumni-alumni ini.
Tapi sekali lagi, tidak semua dapat mengenyam pendidikan
yang diadakan oleh lembaga-lembaga gereja. Lembaga gereja pun terbatas dan
hanya dalam kesukarelaan pendidikan itu sedikit masih banyak bertahan dan
menyelamatkan situasi yang ada.
Sebenarnya tugas itu datang dari masyarakat Papua yang kini
tengah menduduki jabatan-jabatan penting di birokrasi pemerintah untuk
melanjutkan dan mengisi kekosongan yang ada di sektor pendidikan. Namun
sepertinya semua itu masih sebatas harapan karena bukan saja tugas warga Papua,
melainkan pendidikan adalah kebijakan nasional dengan politik menyangkut
pendidikan. Dalam kerangka ini tidak saja berimbas untuk Papua tapi seluruh
Indonesia, pendidikan masih menjadi masalah.
PERLU TINDAKAN YANG LUAR BIASA
Dari uraian permasalahan pendidikan di atas, Nampak bahwa
jika menghendaki masa depan anak-anak Papua yang lebih baik, maka permasalahan
itu harus diatasi dengan cepat dan tepat. Sudah bukan saatnya lagi meratapi
keadaan yang ada, melainkan berpikir untuk keluar dari masalah dengan
tindakan-tindakan yang luar biasa.
Pertama, peran pemimpin. Pemimpin yang saya maksudkan bukan
hanya Presiden, Gubernur atau Bupati, melainkan pemimpin di semua level
termasuk pemimpin di tingkat kampung. Keberadaan pemimpin sebagai pengayom
dalam masyararakat harus benar-benar hadir memberikan motivasi dan mengatur
kebijakan agar masyarakat mengarahkan perhatian pada pentingnya
pendidikan. Pemimpin harus dapat
mefasilitasi semua komponen masyarakat yang berhubungan dengan pendidikan untuk
duduk bersama membicarakan persoalan pendidikan ini. Duduk bersama tidak hanya
sekali, tapi berulang-ulang, karena pendidikan adalah tanggung jawab bersama.
Untuk dapat mengajak masyarakat berbicara tentu yang
dituntut dari pemimpin adalah sikap terbuka. Terbuka tidak saja menyangkut
keuangan tetapi juga terbuka untuk mengungkapkan harapannya tentang pendidikan.
Ia juga mesti terbuka untuk mengungkapkan berbagai kandala yang dijumpai, agar
masyarakat dapat memahami dan mencari jalan keluar secara bersama-sama.
Pemimpin yang tidak terbuka pada masalah yang dihadapi, hanya akan memberikan
janji-janji manis untuk masyarakat. Dan ini tentu sangat menghambat pembangunan
pendidikan itu sendiri. Masih banyak masyarakat yang belum peduli dengan
pentingnya pendidikan untuk anak-anak dan ini tugas pemimpin untuk menggerakan.
Kedua,Penididikan untuk warga yang kurang mampu. Pendidikan sebagai salah satu jalan keluar dari
jebakan kemiskinan. Pendidikan memberikan peluang kepada masyarakat miskin
untuk memperoleh pekerjaan lebih baik dan meningkatkan taraf kesejahteraan.
Jangan sampai bertambahnya kemajuan, bertambahnya jumlah penduduk tidak membawa
pengaruh bagi warga untuk mendapatkan pendidikan, bahkan yang diperoleh adalah
tingkat pendidikan yang rendah.
Itulah sebabnya, anggota masyarakat perlu dilibatkan dalam
mengambil bagian atau berpartisipasi di dalam proses perumusan dan penentuan
kebijaksanaan pemerintahan. Dengan kata lain, pemerintah (government) melakukan
apa yang dikehendaki oleh rakyat, setidak-tidaknya pemerintah menghindarkan
diri dari apa yang tidak dikehendaki oleh anggota masyarakat.
Ketiga, Pendidikan butuh pendampingan. Dari uraian
permasalahan pada bagian sebelumnya, nampak bahwa keberhasilan pendidikan butuh
pendampingan. Bahkan hingga anak-anak belajar di perguruan tinggi pun harus
terus didampingi.
Seorang pendamping harus punya visi pendidikan yang baik dan
kerelaan untuk memperhatikan orang demi masa depan bersama. Dalam pendidikan
dasar, kehadiran pendamping lebih pada pendampingan para guru. Ia harus tahu
apa masalah para guru, dan mencari solusi bersama. Dalam kehidupan asrama, ia
harus tahu tentang apa saja yang perlu dibimbing untuk anggota asrama.
Begitupun untuk para mahasiswa, ia harus tahu apa yang menjadi masalah
mahasiswa dan bersama mencarikan solusi. Tradisi yang tidak terbiasa dengan
sekolah perlu diberi motivasi. Orang yang motivasinya kuat, tentu tidak pernah
menyerah.
Ignas Kleden, salah seorang sosiolog terkemuka
Indonesia mengatakan pendidikan bukan
usaha untuk menciptakan alat atau instrumen, bukan pula menciptakan instrumen
untuk pasar atau untuk negara. Pendidikan adalah mengantar seorang anak manusia
agar mencapai tingkat kemandirian tertentu, sehingga dia dapat dinamakan
seorang individu.
Keempat, Pendidikan butuh displin dan Taat Aturan. Terlepas
dari pendidikian itu memerdekakan dan membebaskan, ikwal pendidikan sendiri
adalah displin dan taat aturan. Tidak mungkin orang dapat berhasil dalam
pendidikan kalau dia sendiri tidak taat pada aturan pendidikan yang diberikan
kepadanya. Ketekunan merupakan salah satu bagian dari pendidikan yang menuntut
setiap orang dengan sabar menyelesaikan semua tugas yang diberikan kepadanya.
Hal ini tidak hanya berlaku bagi peserta didik tapi juga para guru dan pendidik
termasuk pemimpin dan masyarakat pendidik. Disiplin merupakan budaya sekolah
dan kita harus menumbuhkan budaya sekolah itu di tengah masyarakat. Pendidikan
itu menyangkut seluruh pribadi siswa-siswi bukan hanya dari sisi inteklektual
tetapi juga dari sisi budi pekerti dan tubuh.
Kelima, pendidikan harus bebas dari kecurigaan. Salah satu
tuuan dari mendidik manusia tidak lain agar kelak orang yang didik itu dapat
mendidik orang lain. Ini tidak dimaksudkan bahwa ia kelak harus menjadi guru
yang berdiri di depan kelas, melainkan apa yang diperolehnya dapat berguna bagi
orang lain. Dalam bahasa pendidikan sering disebut mendidik para pelajar
menjadi manusia demi manusia lain. Dalam kerangka ini, saya mengutip pendapat
ahli pendidikan Pastor J. Drost SJ (1994), bahwa orang harus didik menjadi
orang kompeten, cakap dan sadar akan tanggungjawab, sadar akan hak-hak orang
lain, baru ia mampu dan sanggup menjadi manusia demi manusia lain.
Untuk mencapai hasil itu, menurut Pastor J. Drost SJ, di sekolah harus ada keterbukaan sebagai
hasil komunikasi bebas yang tak mengenal hambatan mana pun. Tidak boleh ada
tujuan-tujuan tersembunyi, harus saling menghargai dan saling menerima apa
adanya berdasarkan sikap saling mempercayai. Selama para pendidik masih
mencurigai para pelajar, setiap usaha membentuk orang sudah gagal sebelum
dimulai. “Lebih baik seorang pendidik bersedia ditipu sepuluh kali daripada
satu kali mencurigai apa saja yang berasal dari seorang anak didik tanpa
alasan,’ kata Pastor Drost.
Keenam, pendidikan tanggungjawab bersama. Pendidikan itu
bukan hanya tanggung jawab pemerintah, juga bukan hanya tanggung jawab guru dan
pengelola pendidikan tapi pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Sejak anak
lahir, orangtua diberi peran dalam mendidik anak-anak. Bahkan bukan hanya sejak
lahir tapi juga sejak dalam kandungan. Tanggung jawab orangtua ini selain
memberikan pendidikan budi pekerti kepada anak, membantu merangsang
perkembangan otak anak, juga dalam hal menjaga kesehatan dan gizi anak.
Ketika anak beranjak dewasa dan mulai mengenal lingkungan
maka masyarakat pun turut serta ambil bagian dalam pendidikan. Anak-anak tidak
bisa tumbuh dalam lingkungan yang tidak ramah. Karena itu masyarakat perlu
menciptakan lingkungan yang aman. Masyarakat juga perlu bersama-sama memikirkan
tentang pendidikan anak dengan terlibat aktif dalam kegiatan sekolah.
Masyarakat ikut serta memberi tempat pada masa depan anak dengan terus
memotivasi cita-cita anak-anak untuk meraih masa depan.
Pendidikan tanggung jawab bersama tidak dimaksudkan bahwa
pemerintah dan masyarakat sekolah memiliki porsi tanggung jawab yang semakin
kecil. Justru dalam hal tanggungjawab bersama ini tugas pemeritah dan pengelola
sekolah termasuk guru adalah membuka kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat
aktif dalam pendidikan. Kerja sama yang dibangun itu sambil memperhatikan fungsi
dan tugasnya masing-masing.
Pendidikan memang tidak bisa berdiri sendiri. Keluhan bahwa
guru-guru tidak betah tinggal di Intan Jaya bukan hal yang sederhana, melainkan
terkait dengan fasilitas-fasilitas lain yang memang dibutuhkan untuk menunjang
kehidupan mereka. Kecuali memang kepada pribadi-pribadi tertentu yang memang
hanya mengejar honorarium dan gaji tanpa memberikan sedikit tanggung jawab akan
tugas yang diberikan.
Harapan bahwa warga Intan Jaya yang kini sedang mengenyam
pendidikan dapat kembali ke Intan Jaya
untuk mendidik masyarakatnya, harus juga memastikan bahwa mereka kembali ke
Intan Jaya dengan jaminan kehidupan yang lebih baik. Selain kepastian hidup
berupa honorarium dan fasilitas, kehidupan di Intan Jaya pun harus menjunjang
kehidupan mereka. Di sinilah kita bicara tentang pentingnya infrastruktur dasar
yang mendukung kehidupan mereka.
Ketujuh, pendidikan butuh sarana dan prasarana. Untuk
terjadi proses belajar mengajar memang tidak harus selamanya di dalam sebuah
gedung sekolah yang mewah dan lengkap dengan fasilitas pendidikan. Di bawah
pohon yang teduh, orang bisa melangsungkan sebuah proses belajar mengajar. Akan
tetapi proses belajar mengajar dengan fasilitas yang terbatas, tentu akan
menghasilkan lulusan yang juga sangat terbatas kemampuannnya.
Kondisi nyaman adalah kebutuhan yang penting dari sebuah proses belajar. Anak didik
tidak bisa belajar di tengah ancaman ketidakpastian cuaca yang membuat mereka
harus berhenti belajar. Oleh karena itu, di dalam sebuah bangunan yang sederhana
pun proses belajar masih menemukan permasalahan. Belum lagi jika bicara sarana
dan prasarana termasuk media belajar untuk dapat menyesuaikan dengan perubahan
zaman, pendidikan tidak bisa lagi dilalui dalam keadaan serba sederhana.
Oleh karena itu, perhatian pendidikan harus pula menyentuh
pembangunan sarana dan prasarana yang ada.
Pengadaan gedung sekolah dengan melengkapi sarana pembelajaran seperti
buku-buku pelajaran, perpustakaan, laboratorium dan media pembelajaran adalah
hal yang perlu selalu disiapkan. Namun, persoalan ini pun tidak mudah karena
pasti akan membutuhkan dana yang besar. Jalan yang ditempuh adalah melakukan
renovasi dari sarana pendidikan yang ada.
Pendidikan yang sudah ada perlu
ditingkatkan. Jika yang dibutuhkan adalah penambahan ruang kelas, maka
dibangunlah ruang kelas baru dari sekolah yang ada. Demikian juga sarana gedung
asrama, baiknya dilakukan dalam lingkungan sekolah yang ada. Selanjutnya
bagaimana melengkapi sekolah-sekolah itu dengan guru-guru yang kompeten dan sarana
penunjang yang memadai yang memenuhi standar pendidikan Nasional.
Bagi warga belajar, juga mesti menciptakan iklim pendidikan
yang memungkinkan mereka menghadapi pendidikan sebagai sesuatu yang
menyenangkan, tanpa harus terbebani dengan persyaratan-persyaratan yang
membebani kehidupan mereka. Bagaimana pun kesadaran akan pendidikan kita masih
belum membaik bahkan jauh dari harapan. Intinya pemerintah harus memberikan
kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk belajar.
Kedelapan, Pendidikan harus dalam kondisi aman. Anak-anak yang belajar butuh kondisi aman yang bebas dari konflik-konflik masyarakat. Jika setiap kali terjadi konflik dalam masyarakat dan berujung pada peperangan antar kelompok, pembakaran dan pembunuhan, tentu berimbas pada dunia pendidikan. Bukan saja konflik dan peperangan membuat sekolah-sekolah diliburkan, tapi juga mempengaruhi kondisi psikis dari peserta didik.
Karena itu demi mendukung jalannya proses pendidikan, kondisi aman yang tercipta dalam masyarakat menjadi suatu yang harus diperhatikan. Gedung sekolah tidak boleh dirusak, anak-anak tidak boleh dilibatkan dalam konflik, dan para pendidik diberi perlindungan. Perlu ada komitmen bersama untuk menghentikan konflik-konflik yang berujung pada peperangan dan menjaga proses pendidikan tetap berjalan di Intan Jaya.
Kesembilan, pendidikan butuh inovasi. Dalam keadaan serba
terbatas serta permasalahan yang begitu kompleks, selalu menuntut terobosan
baru untuk menjawabi kondisi yang ada. Kita tidak perlu selalu saling
menyalahkan satu dengan yang lain. Saling menyalahkan bukanlah solusi untuk
keluar dari situasi krisis. Oleh karena itu, pendidikan membutuhkan banyak
inovasi. Guru-guru harus lebih banyak kreatif untuk menemukan terbosan dibidang
inovasi. Para pemimpin pun dituntut hal yang sama sehingga dapat menemukan
formula yang pas untuk mengejar kesenjangan pendidikan di daerah kota dan
pedalaman. Inovasi dalam masyarakat bisa
melalui pendidikan pra sekolah yakni pengadaan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
dan pendidikan masyarakat.
Dalam berbagai pendekatan yang ada berkenaan dengan situasi
sosial, budaya dan ekonomi serta tantangan hidup masyarakat, inovasi yang
diperlukan tidak lagi membicarakan fokus perhatian pada peningkatan mutu atau
pembukaan akses pendidikan, melainkan hanya pada bagaimana peserta didik
mendapatkan pendidikan yang bermutu. Pendidikan bermutu itu penting. Sebab jika
anak didik belajar dengan pendidikan yang tidak bermutu, sebenarnya sama saja
dia tidak perlu belajar. Karena itu pemerataan pendidikan harus beriringan
dengan pendidikan bermutu.
Bercermin dari kenyataan pendidikan di Intan Jaya seperti
diatas, langkah yang diambil adalah memberi perhatian yang lebih tentang
pendidikan di Intan Jaya. Sarana pendidikan, misalnya, yang selama ini
dikeluhkan harus segera terjawab. Pendidikan harus dekat dengan kehidupan
masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan tidak harus menunggu hingga lengkapnya
sarana pendidikan seperti yang ada pada kota-kota besar. Dengan sarana dan
prasarana yang ada, pendidikan harus menjadi budaya masyarakat. Inovasi di sini
juga menyangkut pengadaan media-media untuk memotivasi generasi muda dalam
belajar dan meraih cita-cita.
Dari uraian tentang pendidikan ini, saya mengajak kita
semua, terlebih para kaum intelektual dan para generasi di Intan Jaya,
mari bersama-sama dengan sekuat tenaga
berlari mencari dan mengejar harapan dan tujuan yang diimpikan menjadi
kenyataan yakni memperbaharui dan akan menjadi perubahan.
Tantangan pendidikan di Intan Jaya adalah membangun peta jalan perubahan dengan menghadirkan sekolah-sekolah yang lebih dekat dengan masyarakat. Tantangan ini bisa teratasi jika ada kemauan dari semua pihak. Dengan adanya kemauan dalam keprihatinan yang sama maka kita bisa saling memberi motivasi semangat dan harapan untuk meraih cita-cita bersama.
Sekarang saya dan Anda jangan berdiam diri. Mari bersuara
dan bertindak memperbaiki dan memperbaharui masa depan pendidikan di Intan Jaya. Apa yang saya tulis ini merupakan sebagian pemikiran untuk membuat atau membangun rencana peta perubahan untuk generasi 100 tahun yang akan datang. Semuanya mesti dikerjakan dari sekarang dan jangan menunggu 100 tahun kedepan lagi baru kita membangun Intan Jaya. Karena untuk 100 tahun yang akan datang sudah saatnya generasi dapat menikmati, dan mereka akan menata kembali yang sudah ditata oleh pemuka atau perintis generasi terdahulu atau generasi saya sekarang. @
Tidak ada komentar:
Posting Komentar