Minggu, 17 Juni 2018

BANGUN MANUSIA DARI PENDIDIKAN : Jika Bukan Kita, Siapa Lagi ?


Persoalan pelajar di Papua bukan soal kebodohan, melainkan kurangnya kesempatan, motivasi para pelajar dan guru-guru yang berkualitas,” ujar Korinus Waimbo, mahasiswa S3 dari Universitas Exeter . (Sumber : KORAN SINDO)


Oleh : Apolos Bagau 


Pernyataan Korinus Waimbo ini diungkapkan dalam Simposium Internasional ke-9 PPI-Dunia dan Indonesian Scholars International Convention (ISIC-SI) 2017 yang berlangsung pada 24-27 Juli 2017 di Gedung Studi Humaniora Universitas Warwick, Inggris. Dalam kesempatan ini, Kelompok kerja dibawah Perhimpunan Pelajar Indonesia PPI-UK yang tergabung dalam Lingkar Studi Papua (LSP) mengadakan diskusi bertema pendidikan di Papua.


Diskusi tentang pendidikan di Papua tersebut membahas sejumlah masalah antara lain: pendidikan sains dan matematika di Papua, pendidikan di Kabupaten Puncak dan Intan Jaya, sudut pandang jurnalistik terhadap pendidikan di Papua, kontribusi PPI Dunia untuk pendidikan di Papua, pendidikan dasar dan menengah di Papua, serta pendidikan di Papua di masa lalu, sekarang, masa depannya.  


Seperti diberitakan sindonews.com, Korinus Waimbo, mahasiswa S3 dari Universitas Exeter yang juga koordinator acara tersebut mengungkapkan sejumlah permasalahan dalam pendidikan sains dan matematika di Papua. Korinus menceritakan sejumlah contoh keberhasilan dalam pendidikan sains dan matematika seperti inisiatif Prof Yohanes Surya yang bukan saja mempromosikan sains dan matematika di Papua, melainkan juga membuktikan bahwa sejumlah putra daerah asli Papua memiliki bakat di bidang sains dan matematika.


Apa yang diungkapkan Korinus Waimbo menurut hemat saya, memberikan inspirasi dan motivasi bahwa dalam keterbatasan pendidikan di Papua, anak-anak Papua mampu bersaing dengan saudara-saudara di tempat lain yang sudah lebih maju pendidikannya. Bahkan bukan suatu perkara mudah, anak-anak Papua justru unggul dalam bidang sains dan matematika. Prestasi yang diraih beberapa anak Papua memang patut dibanggakan.


Namun demikian, dari apa yang menjadi kebanggan, kita tahu bahwa masih banyak anak-anak Papua yang belum mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya. Bagai bunga yang layu sebelum berkembang, jangankan dapat mengikuti sejumlah olympiade, banyak potensi dan kemampuan anak-anak Papua yang harus mati sebelum berkembang lantaran tidak bisa melanjutkan pendidikan.


Sulit untuk disangkal bahwa pendidikan di Papua masih mengalami hambatan terutama dalam hal tersedianya sarana dan prasarana pendidikan, termasuk ketersediaan para pendidik. Masyarakat pun belum memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan. Yang jelas pemerintah dan masyarakat pendidikan di Papua sudah berusaha mengatasi kekurangan-kekurangan yang ada pada sektor pendidikan. Namun belum banyak menunjukkan hasil yang menggembirakan. Kenyataan ini membuat banyak orang orang pesimis walau ada pula yang optimis akan suatu perubahan di masa datang dari hal yang dikerjakan saat ini. 


TUNTUTAN PENDIDIKAN


Pendidikan adalah proses belajar menjadi manusia baik untuk memahami diri sendiri maupun untuk memahami lingkungan. Untuk diri sendiri, proses pendidikan tidak lain untuk memajukan dan menemukan potensi dalam diri seseorang akan pertumbuhan budi pekerti,kareakter  dan kecerdasan. Sementara untuk lingkungan, melalui pendidikan seorang mengenali dan mengembangkan  lingkungan kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan dan sistem perilaku bersama. 


Ketika anak didik mencapai kepenuhan baik budi pekerti maupun intelektual, maka yang diharapkan adalah dapat menyumbangkan bakat dan kemampuannya untuk pembangunan bangsa serta memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi dan transformasi sosial. Dunia yang lebih manusiawi dapat tercipta dari pribadi yang seimbang.

  
Untuk mewujudkan hakekat pendidikan, perhatian akan pendidikan terarah pada pendidikan dalam keluarga, pendidikan di sekolah dan lembaga pendidikan dan pada lingkungan dimana anak tumbuh dan berkembang. Tugas para pendidik dalam hal ini orangtua, para guru dan dosen serta masyarakat terdidik adalah membantu peserta didik menemukan kodratnya sendiri baik yang menyangkut budi pekerti maupun pikiran. Dalam tindakan yang manusiawi, para peserta didik diharapkan menjadi manusia yang penuh, utuh dan lengkap.


Betapa pentingnya pendidikan ini, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan guna meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Dalam amandemen UUD 1945 Pasal 31 Ayat (1) dan (2) menegaskan, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.


UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”, dan pasal 11, ayat (1) menyatakan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”


Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, bab XVI pasal 56 ayat 1 menyatakan bahwa  Pemerintah Provinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi Papua. Ayat 3 menyatakan setiap penduduk Provinsi Papua berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan tingkat sekolah menengah dengan beban masyarakat serendah-rendahnya.


Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Papua Tahun 2005-2025, yang dipayungi Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) Nomor 21 Tahun 2013 disebutkan bahwa Rendahnya kualitas sumber daya manusia masih menjadi isu utama di Provinsi Papua. Hal ini disebabkan masih belum meratanya penyediaan pelayanan pendidikan, masih rendahnya budaya sekolah serta masih adanya berbagai keterbatasan dalam penyelenggaraan pendidikan.


Perdasi yang ditetapkan Gubernur Lukas Enembe pada tanggal 30 Desember 2013 secara rinci dikatakan bahwa beberapa isu utama di bidang pendidikan adalah sebagai berikut : (1) Sarana dan prasarana pendidikan yang terbatas dan belum merata di setiap daerah khususnya di daerah terpencil.( 2). Masih rendahnya budaya sekolah yang berkembang di masyarakat yang selama ini masih hidup dalam pola budaya tradisional sehingga menyebabkan angka partisipasi sekolah masih rendah. (3). Masih rendahnya rata-rata angka melek huruf di Provinsi Papua. (4). Masih kurangnya ketersediaan sekolah kejuruan yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan ekonomi lokal. (5). Masih terbatasnya jumlah guru di tiap daerah terpencil dan tidak mampu menjangkau lokasi penduduk yang tersebar.(6). Masih tingginya angka putus sekolah. (7). Masih terpolanya penyelesaian pendidikan dengan mengutamakan pembangunan sarana fisik bangunan gedung sekolah yang belum tentu sesuai untuk penyelesaian masalah pendidikan karena lokasi penduduk yang tersebar, dan (8) . Masih rendahnya kualitas tenaga guru, sarana, dan prasarana pendidikan.


Di tengah permasalahan itu,Suyanto (Pedagogi untuk Kelompok Tertinggal, Basis No 05-06 Tahun 53 Mei-Juni 2004) mengatakan,  hakekat pembangunan sektor pendidikan tidak pernah akan mencapai tujuan akhir yang sempurna dan final. Hal ini terjadi karena konteks pendidikan selalu dinamik, berubah dan tidak pernah konstan, sesuai dengan perubahan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian juga dalam hal parameter kualitas pendidikan, baik dilihat dari segi input, proses, produk maupun outcome selalu berubah dari waktu ke waktu. Hal ini menuntut pembaharuan kebijakan pendidikan secara terus menerus. Dalam era otonomi daerah saat ini, pembaharuan pendidikan berbasis kemasyarakatan harus segera dilakukan agar masyarakat secara luas akhirnya mampu memahami bahwa pendidikan merupakan human investment penting yang harus dirancang dan dibiayai secara lebih memadai . Dengan memandang pendidikan sebagai  human investment, baru kita akan memiliki kepedulian kepada para anggota masyarakat yang tertinggal. 


Pembangunan di Papua tidak lepas kebutuhan akan pendidikan. Melalui pendidikan manusia Papua mengembangkan sumber daya nya agar dapat mengejar ketertinggalan pembangunan dan menjadi satu kunci penanggulangan kemiskinan dalam jangka menengah dan jangka panjang. Dengan kata lain, walau Papua memiliki kekayaaan alam yang melimpah, namun apabila tidak ditopang SDM yang berkualitas maka akan sulit bagi Papua untuk maju dan berkembang.


Namun, walaupun pendidikan dirasakan sangat penting, kita masih menemukan bahwa faktor pendidikan sering diabaikan dalam setiap kebijakan. Akibatnya, banyak warga memang tidak bisa sekolah karena keterbatasan akses ke jalur pendidikan. Kita belum sampai bicara tentang pendidikan bermutu, untuk bersekolah saja sepertinya sangat susah. Gedung sekolah jauh dari tempat murid tinggal, sarana dan prasarana yang terbatas, serta ketiadaan pengajaran seakan menguburkan mimpi generasi baru untuk dapat mengenyam pendidikan.


Dunia pendidikan di Papua masih dihadapkan pada tantangan besar yakni dalam soal akes, pemerataan, dan kualitas pelayanan pendidikan, terutama pada jenjang pendidikan dasar. Di Papua masih tinggi angka buta huruf dan angka putus sekolah.


Memang sudah sekian lama orang meragukan pendidikan di Papua. Alasan sederhananya pendidikan yang katanya berhubungan dengan sumber daya manusia (SDM) di suatu wilayah juga pendidikan yang merupakan hak asasi manusia hingga sekarang masih belum mendapat perhatian serius.


KONDISI PENDIDIKAN DI INTAN JAYA


Sejarah perkembangan pendidikan di Intan Jaya mulai berkembang dengan datangnya misionaris dan sending di Intan Jaya. Selanjutnya pendidikan dasar swasta yang dikelola gereja  (yayasan kristen Katolik dan Protestan) maupun sekila pendidikan negeri yang dikelola pemerintah mulai dibuka. Pada tahun 1986 ke atas sudah dibuka Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Sugapa dan Homeyo.  Sekolah Menengah Atas (SMA) di Sugapa sekarang ibu kota kabupaten Intan Jaya telah dibuka tahun 1995. Untuk Sekolah Dasar (SD) sudah banyak yang dibangun di Distrik bahkan sampai di kampung-kampung.


Dalam hal ini saya melihat pemerintah mempunyai perhatian pada aspek pendidikan dengan serius buktinya membangun bangunan fisik gedung sekolah dasar di beberapa distrik dan kampung, baik itu gedung enam kelas atau SD dan SMP satu atap sembilan kelas. Pemerintah juga memberikan bantuan pendidikan (Bandik) bukan pemberian beasiswa dan pemondokan bantuan pembangunan asrama-Asrama pelajar dan mahasiswa di Kota studi masing-masing di Papua ataupun di luar Papua. Ini merupakan kepedulian pemerintah terhadap pendidikan. Dengan adanya kebijakan ini anak-anak bisa sekolah dan belajar baik dan serius, karena bantuan seperti ini bukan masuk pada program urusan wajib Pemerintah namun hanya kebijakan atas kepedulian pemerintah terhadap pendidikan.


Bantuan yang diberikan  pemerintah  dimaksudkan agar anak-anak Intan Jaya bisa belajar dan mandiri membentuk karakter yang baik dan berkualitas dan berkwantitas untuk  masa depan. Dengan  pribadi yang matang dan berprofesional dapat memperbaharui bentuk dan kehidupan sosial budaya Intan Jaya  menujuh perubahan yang lebih baik. Dengan kata lain menata kembali yang sudah di tata menjadi pembaharuan menujuh perubahan yang lebih baik.


Namun, perlu diakui. hingga hari ini pendidikan yang baik itu adanya di luar Intan Jaya. Di Intan Jaya hanya ada pendidikan dasar. Ada sekolah setingkat SMP dan SMA, tapi warga Intan Jaya yang sadar akan pendidikan lebih memilih untuk belajar pada lembaga pendidikan di luar Intan Jaya baik itu di kabupaten-kabupaten terdekat seperti Dogiyai, Deiyai, Paniai, Timika dan Nabire, maupun ke Jayapura. Belum lagi pendidikan tinggi. Lembaga-lembaga itu hanya ada di kota besar Nabire, Jayapura atau di kota-kota di pulau Jawa dan Sulawesi.


Mengejar pendidikan di luar Intan Jaya bukanlah persoalan yang gampang. Dari segi biaya saja sudah sangat tinggi. Belum lagi soal hasil pendidikan yang barangkali akan jauh dari kesadaran pada soal-soal masyarakat di Intan Jaya. Kemungkinan bahwa orang yang belajar di lingkungannya tercerabut dari akar budaya nya merupakan hal yang dapat saja terjadi. Dari kejauhan warga belajar melihat kenyataan masyarakat dan mungkin saja terlalu cepat membandingkan dengan kemajuan antara Intan Jaya dengan daerah tempat belajar.


Lalu bagaimana dengan warga Intan Jaya yang dalam keterbatasan  dan juga mungkin dengan kesadaran untuk tinggal dan mengenyam pendidikan di Intan Jaya? Persoalan itu pun tidak mudah. Selalu saja dijumpai sarana pendidikan yang terbatas. Banyak guru dan tenaga pendidikan tidak berada di tempat. Datang ke sekolah hanya bermain-main, tidak ada yang berbeda dengan bermain-main di rumah. Satu dua guru yang ada cukup menunjukkan dedikasi dalam pendidikan, barangkali ini juga suatu bonus yang tidak mungkin bisa mengatasi masalah pendidikan yang ada.


Semua bicara pentingnya pendidikan, tapi kenyataan maju kena mundur pun kena. Keterbatasan selalu menghantui warga belajar. Banyak warga lebih memilih untuk tidak sekolah daripada bersekolah dengan tujuan yang tidak jelas. Belum lagi faktor kesaradaran warga yang minim akan pentingnya pendidikan, membuat pilihan untuk tidak bersekolah menjadi hal yang biasa-biasa saja.


Bagai sebua litani yang terus berulang, setiap kali menyebutkan kondisi pendidikan di Intan Jaya terutama di pedalaman yang terisolasi, masalah dari hari ke hari tetaplah sama. Masalah itu misalnya, kekurangan guru sekolah dasar, terbatasnya gedung sekolah, kondisi ekonomi, budaya dan aksesibilitas geografis, serta kesadaran akan pentingnya pendidikan dari masyarakat Intan Jaya sendiri.


Untuk kekurangan guru banyak faktor bisa disebutkan, diantaranya tidak tersedianya rumah guru dan kalaupun tersedia kondisinya sangat tidak layak.  Sebagian guru tidak memiliki kesadaran untuk mau berbakti untuk masa depan anak didik. Semuanya dihitung dari terpenuhinya kebutuhan ekonomi dan kenyamanan hidup. Tidak heran, banyak guru meninggalkan tugas hanya untuk bisa hidup di kota atau mengambil pekerjaan-pekerjaan lain di luar profesi guru.


Masih menyangkut guru, persoalan yang selalu kita dengar adalah banyak guru di Intan Jaya tidak berkompetensi, dan tidak mau mengikuti perkembangan di bidang pendidikan. Lebih banyak guru agama yang dipaksa untuk mengajari murid pengetahuan dasar. Semua serba terbatas sehingga para guru merasa tidak terlalu perlu mengikuti perkembangan pendidikan.


Dari faktor geografis, dengan keberadaan kampung-kampung yang berjauhan selalu menyulitkan dalam mengakses lembaga pendidikan. Kampung-kampung yang hanya dihuni satu dua keluarga sulit rasanya untuk mendirikan suatu gedung sekolah, sementara untuk bersekolah di tempat lain juga menemukan kandala karena jauhnya jarak antara sekolah dan tempat tinggal murid. 


Tantangan geografis menjadi masalah serius dalam pembangunan fisik dan pelayanan pendidikan di Papua. Pendidikan berpola asrama memang suatu jawaban untuk mengumpulkan anak-anak yang tinggal berjauhan. Tapi lagi-lagi pendidikan bukan hanya soal berkumpul bersama tapi juga soal sarana penunjang belajar dalam asrama itu, juga  pembimbing yang bisa mengatur kehidupan asrama. 


Dalam kondisi semacam ini, rupanya kita tak mungkin bicara panjang lebar tentang pendidikan demi masa depan, atau pendidikan yang menjawabi kebutuhan hidup masyarakat saat ini, bila sarana pendidikan masih jauh dari warga. Padahal semua tahu bahwa hanya melalui pendidikan warga Intan Jaya bisa terselamatkan untuk hidup di jaman serba modern ini.


Berbicara tentang fasilitas sekolah tentu punya cerita sendiri. Perpustakaan, buku dan alat tulis, serta laboratorium yang memadai memang tidak ada. Belum lagi kalau bicara tentang internet masuk sekolah, sudah pasti itu tidak ada.  Anak-anak belajar hanya dari guru. Kalau pun alat-alat pembelajaran diadakan pun tentu kembali pada kesiapan guru untuk mengoperasikannya. Ini juga menyangkut kompetensi guru.


Dari segi ekonomi dan budaya masyarakat, tentu menjadi soal sendiri. Tingkat ekonomi masyarakat yang masih rendah sulit diharapkan adanya kesadaran untuk menyekolahkan anak-anaknya. Justru anak-anak dipaksakan untuk tidak bersekolah, agar memiliki banyak waktu untuk membantu orangtua dalam bekerja. Banyak orang memilih hidup nyaman dengan mengandalkan sumber daya alam di sekitar, tanpa berpikir untuk melakukan investasi di bidang pendidikan.


Ada persoalan lain lagi yang masih berhubungan dengan ekonomi yakni banyak  anak-anak yang sudah kehilangan orang tua sejak kecil sehingga orientasi ke masa depan pun terhenti. Kalau pun ada diantara mereka yang mau bersekolah, maka sangat dibutuhkan pendampingan dalam membentuk masa depannya.


Apa akibat dari semua ini? Pelayanan pendidikan dasar yang buruk berakibat pada kualitas sumber daya manusia pada jangka panjang. Sudah bukan rahasia umum lagi kalau banyak anak-anak  buta huruf dan putus sekolah. Atau pendidikan dengan mengahasilkan peserta didik dengan kemampuan baca tulis dan berhitung siswa sangat rendah. Data dari United Nations Children’s Fund (Unicef) menunjukkan bahwa 30% siswa Papua tidak menyelesaikan SD dan SMP mereka. Di pedalaman, sekitar 50% siswa SD dan 73% siswa SMP memilih untuk putus sekolah.


Dampak dari pendidikan dengan kualitas yang rendah, adalah anak-anak pada gilirannya akan gagal bersaing dalam sekolah lanjutan atau pun saat bekerja. Banyak program beasiswa yang digulirkan untuk anak-anak Papua. Namun dalam kenyataan, anak-anak yang mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan diluar Papua harus berusaha lebih ektra untuk dapat menyamakan kemampuan dengan siswa dan mahasiswa yang datang dari daerah yang memiliki pendidikan yang baik. Pelajaran yang didapatkan saat bersekolah  di Papua sudah ketinggalan dengan sekolah-sekolah di Jawa.


Kesulitan lain adalah dalam hal beradaptasi. Dengan menyadari kondisi pendidikan yang dialami di Papua yang serba terbatas itu, menyebabkan beberapa anak merasa rendah diri dan enggan berbaur dengan teman-teman yang dari dari suku yang berbeda. Proses diskusi antara mahasiswa menjadi macet dan sangat menghambat kemajuan. Banyak yang dikirim belajar akhirnya gagal, walau satu dua orang dapat berhasil melewati rintangan ini. Untuk yang berhasil lulus, rintangan pun bukanlah sudah selesai. Mereka yang kembali harus mulai dengan hal yang baru menentukan dimana mereka harus bekerja. Sebab beberapa mahasiswa  yang lulus  tidak mendapat respons akibatnya tetap menganggur dan tidak dimanfaatkan.


Belum lagi saat kelulusan tiba dan hendak kembali berbakti di kampung halaman. Rasa-rasanya kampung halaman yang dihadapi tidak seperti yang dibayangkan di bangku kuliah. Banyak hal serba terbatas yang membuat para lulusan banyak yang tidak betah tinggal di kampung. Seperti saja pendidikan yang diperoleh hanya untuk dipraktikan di kota-kota besar dan tidak ada relevansinya dengan apa yang ada di tempat kelahiran. Banyak dari tamatan seperti ini setelah lulus, hanya sebentar di kampung lalu pergi ke kota-kota untuk mengadu nasib. Pekerjaan yang tidak jelas membawa banyangan akan  pengangguran.


Memang pendidikan bukan hanya soal pendidikan formal, pendidikan luar sekolah pun adalah pendidikan. Tapi siapa mau membuka pendidikan luar sekolah di tengah keterbatasan hidup masyarakat? Jika itu ada, barangkali hanya mensiasati keadaaan, dilakukan apa adanya dan tidak pernah secara serius melaksanakannya. Walau tidak ideal tapi dijalani saja, karena daripada tidak ada, lebih baik mencoba saja. Daripada menangisi kegelapan lebih baik nyalakan lilin.


Sejarah pendidikan di Intan Jaya, memang tak lepas dari usaha pihak gereja. Walau tidak banyak dan tidak semua, banyak anak-anak Papua bisa terselamatkan dari pendidikan yang diadakan pihak gereja. Hasilnya pun bisa kita lihat, bahwa dari lulusan-lulusan itu kini banyak tugas dan dan tanggungjawab untuk mengantar manusia Papua ke arah kemajuan datang dari alumni-alumni ini.


Tapi sekali lagi, tidak semua dapat mengenyam pendidikan yang diadakan oleh lembaga-lembaga gereja. Lembaga gereja pun terbatas dan hanya dalam kesukarelaan pendidikan itu sedikit masih banyak bertahan dan menyelamatkan situasi yang ada.


Sebenarnya tugas itu datang dari masyarakat Papua yang kini tengah menduduki jabatan-jabatan penting di birokrasi pemerintah untuk melanjutkan dan mengisi kekosongan yang ada di sektor pendidikan. Namun sepertinya semua itu masih sebatas harapan karena bukan saja tugas warga Papua, melainkan pendidikan adalah kebijakan nasional dengan politik menyangkut pendidikan. Dalam kerangka ini tidak saja berimbas untuk Papua tapi seluruh Indonesia, pendidikan masih menjadi masalah.


PERLU TINDAKAN YANG LUAR BIASA


Dari uraian permasalahan pendidikan di atas, Nampak bahwa jika menghendaki masa depan anak-anak Papua yang lebih baik, maka permasalahan itu harus diatasi dengan cepat dan tepat. Sudah bukan saatnya lagi meratapi keadaan yang ada, melainkan berpikir untuk keluar dari masalah dengan tindakan-tindakan yang luar biasa.


Pertama, peran pemimpin. Pemimpin yang saya maksudkan bukan hanya Presiden, Gubernur atau Bupati, melainkan pemimpin di semua level termasuk pemimpin di tingkat kampung. Keberadaan pemimpin sebagai pengayom dalam masyararakat harus benar-benar hadir memberikan motivasi dan mengatur kebijakan agar masyarakat mengarahkan perhatian pada pentingnya pendidikan.  Pemimpin harus dapat mefasilitasi semua komponen masyarakat yang berhubungan dengan pendidikan untuk duduk bersama membicarakan persoalan pendidikan ini. Duduk bersama tidak hanya sekali, tapi berulang-ulang, karena pendidikan adalah tanggung jawab bersama.


Untuk dapat mengajak masyarakat berbicara tentu yang dituntut dari pemimpin adalah sikap terbuka. Terbuka tidak saja menyangkut keuangan tetapi juga terbuka untuk mengungkapkan harapannya tentang pendidikan. Ia juga mesti terbuka untuk mengungkapkan berbagai kandala yang dijumpai, agar masyarakat dapat memahami dan mencari jalan keluar secara bersama-sama. Pemimpin yang tidak terbuka pada masalah yang dihadapi, hanya akan memberikan janji-janji manis untuk masyarakat. Dan ini tentu sangat menghambat pembangunan pendidikan itu sendiri. Masih banyak masyarakat yang belum peduli dengan pentingnya pendidikan untuk anak-anak dan ini tugas pemimpin untuk menggerakan.


Kedua,Penididikan untuk warga yang kurang mampu. Pendidikan sebagai salah satu jalan keluar dari jebakan kemiskinan. Pendidikan memberikan peluang kepada masyarakat miskin untuk memperoleh pekerjaan lebih baik dan meningkatkan taraf kesejahteraan. Jangan sampai bertambahnya kemajuan, bertambahnya jumlah penduduk tidak membawa pengaruh bagi warga untuk mendapatkan pendidikan, bahkan yang diperoleh adalah tingkat pendidikan yang rendah.


Itulah sebabnya, anggota masyarakat perlu dilibatkan dalam mengambil bagian atau berpartisipasi di dalam proses perumusan dan penentuan kebijaksanaan pemerintahan. Dengan kata lain, pemerintah (government) melakukan apa yang dikehendaki oleh rakyat, setidak-tidaknya pemerintah menghindarkan diri dari apa yang tidak dikehendaki oleh anggota masyarakat.


Ketiga, Pendidikan butuh pendampingan. Dari uraian permasalahan pada bagian sebelumnya, nampak bahwa keberhasilan pendidikan butuh pendampingan. Bahkan hingga anak-anak belajar di perguruan tinggi pun harus terus didampingi.


Seorang pendamping harus punya visi pendidikan yang baik dan kerelaan untuk memperhatikan orang demi masa depan bersama. Dalam pendidikan dasar, kehadiran pendamping lebih pada pendampingan para guru. Ia harus tahu apa masalah para guru, dan mencari solusi bersama. Dalam kehidupan asrama, ia harus tahu tentang apa saja yang perlu dibimbing untuk anggota asrama. Begitupun untuk para mahasiswa, ia harus tahu apa yang menjadi masalah mahasiswa dan bersama mencarikan solusi. Tradisi yang tidak terbiasa dengan sekolah perlu diberi motivasi. Orang yang motivasinya kuat, tentu tidak pernah menyerah.


Ignas Kleden, salah seorang sosiolog terkemuka Indonesia  mengatakan pendidikan bukan usaha untuk menciptakan alat atau instrumen, bukan pula menciptakan instrumen untuk pasar atau untuk negara. Pendidikan adalah mengantar seorang anak manusia agar mencapai tingkat kemandirian tertentu, sehingga dia dapat dinamakan seorang individu.


Keempat, Pendidikan butuh displin dan Taat Aturan. Terlepas dari pendidikian itu memerdekakan dan membebaskan, ikwal pendidikan sendiri adalah displin dan taat aturan. Tidak mungkin orang dapat berhasil dalam pendidikan kalau dia sendiri tidak taat pada aturan pendidikan yang diberikan kepadanya. Ketekunan merupakan salah satu bagian dari pendidikan yang menuntut setiap orang dengan sabar menyelesaikan semua tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini tidak hanya berlaku bagi peserta didik tapi juga para guru dan pendidik termasuk pemimpin dan masyarakat pendidik. Disiplin merupakan budaya sekolah dan kita harus menumbuhkan budaya sekolah itu di tengah masyarakat. Pendidikan itu menyangkut seluruh pribadi siswa-siswi bukan hanya dari sisi inteklektual tetapi juga dari sisi budi pekerti dan tubuh.


Kelima, pendidikan harus bebas dari kecurigaan. Salah satu tuuan dari mendidik manusia tidak lain agar kelak orang yang didik itu dapat mendidik orang lain. Ini tidak dimaksudkan bahwa ia kelak harus menjadi guru yang berdiri di depan kelas, melainkan apa yang diperolehnya dapat berguna bagi orang lain. Dalam bahasa pendidikan sering disebut mendidik para pelajar menjadi manusia demi manusia lain. Dalam kerangka ini, saya mengutip pendapat ahli pendidikan Pastor J. Drost SJ (1994), bahwa orang harus didik menjadi orang kompeten, cakap dan sadar akan tanggungjawab, sadar akan hak-hak orang lain, baru ia mampu dan sanggup menjadi manusia demi manusia lain.


Untuk mencapai hasil itu, menurut Pastor J. Drost SJ,   di sekolah harus ada keterbukaan sebagai hasil komunikasi bebas yang tak mengenal hambatan mana pun. Tidak boleh ada tujuan-tujuan tersembunyi, harus saling menghargai dan saling menerima apa adanya berdasarkan sikap saling mempercayai. Selama para pendidik masih mencurigai para pelajar, setiap usaha membentuk orang sudah gagal sebelum dimulai. “Lebih baik seorang pendidik bersedia ditipu sepuluh kali daripada satu kali mencurigai apa saja yang berasal dari seorang anak didik tanpa alasan,’ kata Pastor Drost.


Keenam, pendidikan tanggungjawab bersama. Pendidikan itu bukan hanya tanggung jawab pemerintah, juga bukan hanya tanggung jawab guru dan pengelola pendidikan tapi pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Sejak anak lahir, orangtua diberi peran dalam mendidik anak-anak. Bahkan bukan hanya sejak lahir tapi juga sejak dalam kandungan. Tanggung jawab orangtua ini selain memberikan pendidikan budi pekerti kepada anak, membantu merangsang perkembangan otak anak, juga dalam hal menjaga kesehatan dan gizi anak.


Ketika anak beranjak dewasa dan mulai mengenal lingkungan maka masyarakat pun turut serta ambil bagian dalam pendidikan. Anak-anak tidak bisa tumbuh dalam lingkungan yang tidak ramah. Karena itu masyarakat perlu menciptakan lingkungan yang aman. Masyarakat juga perlu bersama-sama memikirkan tentang pendidikan anak dengan terlibat aktif dalam kegiatan sekolah. Masyarakat ikut serta memberi tempat pada masa depan anak dengan terus memotivasi cita-cita anak-anak untuk meraih masa depan.


Pendidikan tanggung jawab bersama tidak dimaksudkan bahwa pemerintah dan masyarakat sekolah memiliki porsi tanggung jawab yang semakin kecil. Justru dalam hal tanggungjawab bersama ini tugas pemeritah dan pengelola sekolah termasuk guru adalah membuka kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat aktif dalam pendidikan. Kerja sama yang dibangun itu sambil memperhatikan fungsi dan tugasnya masing-masing.


Pendidikan memang tidak bisa berdiri sendiri. Keluhan bahwa guru-guru tidak betah tinggal di Intan Jaya bukan hal yang sederhana, melainkan terkait dengan fasilitas-fasilitas lain yang memang dibutuhkan untuk menunjang kehidupan mereka. Kecuali memang kepada pribadi-pribadi tertentu yang memang hanya mengejar honorarium dan gaji tanpa memberikan sedikit tanggung jawab akan tugas yang diberikan.


Harapan bahwa warga Intan Jaya yang kini sedang mengenyam pendidikan dapat  kembali ke Intan Jaya untuk mendidik masyarakatnya, harus juga memastikan bahwa mereka kembali ke Intan Jaya dengan jaminan kehidupan yang lebih baik. Selain kepastian hidup berupa honorarium dan fasilitas, kehidupan di Intan Jaya pun harus menjunjang kehidupan mereka. Di sinilah kita bicara tentang pentingnya infrastruktur dasar yang mendukung kehidupan mereka.



Ketujuh, pendidikan butuh sarana dan prasarana. Untuk terjadi proses belajar mengajar memang tidak harus selamanya di dalam sebuah gedung sekolah yang mewah dan lengkap dengan fasilitas pendidikan. Di bawah pohon yang teduh, orang bisa melangsungkan sebuah proses belajar mengajar. Akan tetapi proses belajar mengajar dengan fasilitas yang terbatas, tentu akan menghasilkan lulusan yang juga sangat terbatas kemampuannnya. 


Kondisi nyaman adalah kebutuhan yang penting dari sebuah proses belajar. Anak didik tidak bisa belajar di tengah ancaman ketidakpastian cuaca yang membuat mereka harus berhenti belajar. Oleh karena itu, di dalam sebuah bangunan yang sederhana pun proses belajar masih menemukan permasalahan. Belum lagi jika bicara sarana dan prasarana termasuk media belajar untuk dapat menyesuaikan dengan perubahan zaman, pendidikan tidak bisa lagi dilalui dalam keadaan serba sederhana.


Oleh karena itu, perhatian pendidikan harus pula menyentuh pembangunan sarana dan prasarana yang ada.  Pengadaan gedung sekolah dengan melengkapi sarana pembelajaran seperti buku-buku pelajaran, perpustakaan, laboratorium dan media pembelajaran adalah hal yang perlu selalu disiapkan. Namun, persoalan ini pun tidak mudah karena pasti akan membutuhkan dana yang besar. Jalan yang ditempuh adalah melakukan renovasi dari sarana pendidikan yang ada. 


Pendidikan yang sudah ada perlu ditingkatkan. Jika yang dibutuhkan adalah penambahan ruang kelas, maka dibangunlah ruang kelas baru dari sekolah yang ada. Demikian juga sarana gedung asrama, baiknya dilakukan dalam lingkungan sekolah yang ada. Selanjutnya bagaimana melengkapi sekolah-sekolah itu dengan guru-guru yang kompeten dan sarana penunjang yang memadai yang memenuhi standar pendidikan Nasional.


Bagi warga belajar, juga mesti menciptakan iklim pendidikan yang memungkinkan mereka menghadapi pendidikan sebagai sesuatu yang menyenangkan, tanpa harus terbebani dengan persyaratan-persyaratan yang membebani kehidupan mereka. Bagaimana pun kesadaran akan pendidikan kita masih belum membaik bahkan jauh dari harapan. Intinya pemerintah harus memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk belajar.


Kedelapan, Pendidikan harus dalam kondisi aman. Anak-anak yang belajar butuh kondisi aman yang bebas dari konflik-konflik masyarakat. Jika setiap kali terjadi konflik dalam masyarakat dan berujung pada peperangan antar kelompok, pembakaran dan pembunuhan, tentu berimbas pada dunia pendidikan. Bukan saja konflik dan peperangan membuat sekolah-sekolah diliburkan, tapi juga mempengaruhi kondisi psikis dari peserta didik. 


Karena itu demi mendukung jalannya proses pendidikan, kondisi aman yang tercipta dalam masyarakat menjadi suatu yang harus diperhatikan. Gedung sekolah tidak boleh dirusak, anak-anak tidak boleh dilibatkan dalam konflik, dan para pendidik diberi perlindungan. Perlu ada komitmen bersama untuk menghentikan konflik-konflik yang berujung pada peperangan dan menjaga proses pendidikan tetap berjalan di Intan Jaya. 


Kesembilan, pendidikan butuh inovasi. Dalam keadaan serba terbatas serta permasalahan yang begitu kompleks, selalu menuntut terobosan baru untuk menjawabi kondisi yang ada. Kita tidak perlu selalu saling menyalahkan satu dengan yang lain. Saling menyalahkan bukanlah solusi untuk keluar dari situasi krisis. Oleh karena itu, pendidikan membutuhkan banyak inovasi. Guru-guru harus lebih banyak kreatif untuk menemukan terbosan dibidang inovasi. Para pemimpin pun dituntut hal yang sama sehingga dapat menemukan formula yang pas untuk mengejar kesenjangan pendidikan di daerah kota dan pedalaman.  Inovasi dalam masyarakat bisa melalui pendidikan pra sekolah yakni pengadaan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan pendidikan masyarakat.


Dalam berbagai pendekatan yang ada berkenaan dengan situasi sosial, budaya dan ekonomi serta tantangan hidup masyarakat, inovasi yang diperlukan tidak lagi membicarakan fokus perhatian pada peningkatan mutu atau pembukaan akses pendidikan, melainkan hanya pada bagaimana peserta didik mendapatkan pendidikan yang bermutu. Pendidikan bermutu itu penting. Sebab jika anak didik belajar dengan pendidikan yang tidak bermutu, sebenarnya sama saja dia tidak perlu belajar. Karena itu pemerataan pendidikan harus beriringan dengan pendidikan bermutu.


Bercermin dari kenyataan pendidikan di Intan Jaya seperti diatas, langkah yang diambil adalah memberi perhatian yang lebih tentang pendidikan di Intan Jaya. Sarana pendidikan, misalnya, yang selama ini dikeluhkan harus segera terjawab. Pendidikan harus dekat dengan kehidupan masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan tidak harus menunggu hingga lengkapnya sarana pendidikan seperti yang ada pada kota-kota besar. Dengan sarana dan prasarana yang ada, pendidikan harus menjadi budaya masyarakat. Inovasi di sini juga menyangkut pengadaan media-media untuk memotivasi generasi muda dalam belajar dan meraih cita-cita.


Dari uraian tentang pendidikan ini, saya mengajak kita semua, terlebih para kaum intelektual dan para generasi di Intan Jaya, mari  bersama-sama dengan sekuat tenaga berlari mencari dan mengejar harapan dan tujuan yang diimpikan menjadi kenyataan yakni memperbaharui dan akan menjadi perubahan.


Tantangan pendidikan di Intan Jaya adalah membangun peta jalan perubahan dengan menghadirkan sekolah-sekolah yang lebih dekat dengan masyarakat. Tantangan ini bisa teratasi jika ada kemauan dari semua pihak. Dengan adanya kemauan dalam keprihatinan yang sama maka kita bisa saling memberi motivasi semangat dan  harapan untuk meraih cita-cita bersama. 



Sekarang saya dan Anda jangan berdiam diri. Mari bersuara dan bertindak memperbaiki dan memperbaharui masa depan pendidikan di Intan Jaya. Apa yang saya tulis ini  merupakan sebagian pemikiran untuk membuat atau membangun rencana peta perubahan untuk generasi 100 tahun yang akan datang. Semuanya mesti dikerjakan dari sekarang dan  jangan menunggu 100 tahun kedepan lagi baru kita membangun Intan Jaya. Karena untuk 100 tahun yang akan datang sudah saatnya generasi dapat menikmati, dan mereka akan menata kembali yang sudah ditata oleh pemuka atau perintis generasi terdahulu atau generasi saya sekarang. @



(Tulisan ini merupakan ringkasan dari buku "MENATAP INTAN JAYA BERMARTABAT : Motivasi, Renovasi dan Inovasi", Penulis : Apolos Bagau, Penerbit : Tollelegi 2018) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar