Selasa, 19 Juni 2018

Resensi buku : Sejarah Katolik di Hindia Belanda


WARTA KOTA, PALMERAH - Perkembangan agama Kristen, terutama Katolik, di kepulauan Nusantara mengalami kelesuan pada abad ke-18

.
Jemaat yang ada hanyalah sisa-sisa kecil dari masa penjajahan Portugis di Indonesia bagian timur. Persinggungan kembali mereka dengan dunia kekristenan baru terjadi pada abad ke-19 dan ke-20.


Sejumlah imam dari provinsi Yesuit Belanda berdatangan ke Hindia Belanda untuk menjalankan misi penyebaran agama Katolik setelah 1859.


Merujuk pada situasi tersebut, Karel Steenbrink membagi kiprah rohaniwan Katolik di Hindia Belanda menjadi dua periode, yakni antara 1808-1903 dan 1903-1940.


Dalam buku pertamanya, Orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1942: Suatu Pemulihan Bersahaja 1808-1903 (Penerbit Ladaero, 2005), Steenbrink mengisahkan Serikat Dagang Hindia Timur (VOC) melarang imam Katolik memasuki wilayah kekuasaannya selama periode 1602-1800.


Umat awam pribumi di Maluku dipaksa menganut Kristen Kalvanis (reformasi) setelah Belanda mengambil alih wilayah itu.


Steenbrink selanjutnya menjelaskan bagaimana penyebaran iman Katolik mulai dipulihkan. Revolusi Perancis mengubah kebijakan Pemerintah Belanda.


Parlemen nasional Belanda menghapus kedudukan istimewa Gereja Reformasi pada tahun 1796. Belanda kemudian mengumumkan kebebasan beragama di wilayah yang dikuasainya pada 1808.


Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal di Batavia saat itu, menjadi orang pertama yang secara terbuka menerima rohaniwan Katolik dan mendorong perayaan publik iman Katolik.


Mulai saat itu, para misionaris Yesuit berdatangan ke Hindia Belanda. Iman Katolik kembali diperkenalkan ke dalam budaya tradisional melalui sekolah dan fasilitas kesehatan yang mereka bangun khusus bagi orang Eropa dan keturunannya. Anak-anak inilah yang kemudian menjadi generasi pertama Katolik dalam tiap keluarga.
 


Setelah empat pos yang terdapat di Batavia, Semarang, Surabaya, dan Padang, pos-pos permanen baru dibentuk lengkap dengan stafnya. Misalnya di Sungai Selan (Bangka, 1853), Ambarawa (1859), Larantuka (Flores, 1860), Yogyakarta (1865), Maumere (Flores, 1874), Cirebon (1878), Medan (1878), Pantai Perak (Aceh untuk kapelan tentara Verbraak, 1881), Atapupu (Timor,1883), Sikka (Flores, 1883), Singkawang (Kalimantan, 1885), Bogor (1885), Kepulauan Kai (1888), Makassar (1893), dan Madiun (1897).


Jumlah orang Katolik pribumi mengalami pertumbuhan yang signifikan pada periode kedua kedatangan misionaris di Hindia Belanda antara tahun 1903-1940.


Pertumbuhan paling pesat terjadi tahun 1920-an, seperti dipaparkan Steenbrink dalam Orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1942: Pertumbuhan yang Spektakuler dari Minoritas yang Percaya Diri 1903-1942 (Penerbit Ladaero, 2006).


Peningkatan itu salah satunya disebabkan bertambahnya jumlah misionaris yang datang ke Hindia Belanda setelah Perang Dunia I.


Tahun 1920-an juga merupakan dasawarsa pertumbuhan ekonomi paling kuat.Terkait kehidupan sosial dan politik pada dasawarsa pertama abad ke-20, semakin banyak organisasi dibentuk untuk orang-orang Katolik, baik pada tingkat lokal maupun nasional.


Perjuangan mereka bukan sekadar soal iman Katolik, melainkan lebih luas dari itu.


Tak jarang mereka terlibat dalam upaya mempertahankan otonomi daerah melawan negara yang sentralistik. (DRA/Litbang Kompas)



Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Sejarah Katolik di Hindia Belanda, http://wartakota.tribunnews.com/2015/08/19/sejarah-katolik-di-hindia-belanda?page=2. Editor: Andy Pribadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar