Di dalam tubuh yang
sehat, terdapat jiwa yang sehat”. Pepatah lama ini masih relevan hingga saat
ini, manakala kita bicara tentang manusia Intan Jaya saat ini dan kedepan,
dalam menghadapi berbagai perubahan. Bagaimana pun juga, warga Intan Jaya harus
lah warga yang sehat jiwa dan raga agar cita-cita kita dapat menjadi masyarakat
sejahtera terwujud.
Oleh : Apolos Bagau, ST
Akan tetapi cita-cita yang besar itu selalu menjadi kendala
karena kondisi kesehatan warga kita memang belum sepenuhnya dapat terwujud.
Kita bisa melihat dengan mata kita
sendiri betapa masyarakat terutama ibu melahirkan dan bayi sangat rentan dengan
kematian. Masyarakat umum pun masih mengalami kendala dalam pemeriksaan
kesehatan bahkan warga yang sakit pun hanya bisa menunggu datangnya ajal
kematian. Ancaman kematian memang ada di depan mata kita dimana dan kapan saja.
Kita masih mengalami bahwa kualitas hidup sehat masih jauh
dari hidup warga setiap hari. Pola kehidupan sehat belum seluruhnya menjadi
kebiasaan warga, bahkan minimnya asupan gizi menyebabkan bayi-bayi yang lahir,
kalau tidak meninggal maka lahir dengan kualitas gizi yang buruk. Belum lagi dari kondisi yang ada seringkali menyebabkan penyakit menular begitu leluasa berkembang,
hingga membawa kematian. Generasi Intan Jaya pun terancam untuk anak yatim
piatu bahkan boleh jadi hilangnya generasi.
MASALAH YANG TERUS ADA
Minimnya pelayanan kesehatan atau akses masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan seringkali menjadi alasan mengapa masalah kesehatan di
Intan Jaya tak kunjung teratasi. Pertama, ketiadaan sarana dan prasarana
kesehatan. Hingga kini kabupaten sebesar Intan Jaya belum memiliki rumah sakit.
Hanya ada satu puskesmas Rawat Inap di Sugapa ibukota kabupaten, tetapi puskesmas ini pun
masih dengan sarana dan prasarana yang
terbatas. Jika pasien tidak tertampung karena ruangan penuh terpaksa harus dipulangkan. Ada puskesmas pembantu di beberapa distrik, tapi
juga dengan sarana yang terbatas. Ini
berarti bahwa sarana kesehatan belum dekat dengan warga.
Kedua, kurangnya dokter dan tenaga medis. Di Intan Jaya
memang sulit menemukan dokter. Dalam hubungan dengan kesehatan atau pemeriksaan
penyakit, warga lebih mengenal mantri, perawat dan bidan. Itu pun lagi-lagi
sangatlah terbatas. Minimnya tenaga medis ini membuat banyak warga tidak
terlayani. Dalam kondisi demikian, warga hanya mengandalkan dukun
kampung atau tindakan-tindakan lain yang seringkali dipercaya
masyarakat untuk mengatasi sakit yang di derita.
Dari tenaga medis yang ada, warga pun mengalami kesulitan untuk menemuinya. Sebagian tenaga medis tidak berada di tempat.
Banyak tenaga medis, yang memilih tinggal di luar Intan Jaya. Tenaga medis yang ada juga enggan mengunjungi warga dan hanya berada di tempat menunggu pasien
datang. Akibatnya, banyak warga yang sakit tidak bisa
tertolong dan dibiarkan saja.
Ketiga, minimnya obat-obatan dan peralatan medis. Untuk
peralatan medis yang canggih memang tidak ada di Intan Jaya. Jika ada pun siapa
yang mengoperasikan, sementara tenaga kesehatan yang ada saja sudah sangat
terbatas dengan kemampuan yang juga terbatas. Masalah obat-obatan, seringkali menjadi keluhan warga bila
sempat menemui bidan dan perawat. Ada perawat dan mantri, tapi kalau tidak ada
obat pun sama saja. Warga tetap kembali ke rumah dengan membawa sakit yang
dideritanya.
Ada faktor-faktor di luar dari medis yakni persoalan
ekonomi, kondisi geografis dan kesadaran masyarakat sendiri untuk hidup sehat.
Kondisi geografis memang sangat sulit untuk Intan Jaya. Masyarakat hidup
terpisah sangat jauh di antara bukit dan lembah. Banyak warga justru tinggal di
wilayah yang sangat terpencil. Prasarana jalan yang bisa dilalui kendaran pun
sangat terbatas. Jarak puskesmas sangat jauh dari tempat tinggal
masyarakat di distrik dan kampung.
Ketiadaan sarana kesehatan yang dekat dengan warga memang
mengharuskan warga harus pergi mencari sarana kesehatan yang ada di ibukota kabupaten ini. Tapi bagaimana itu bisa terjadi, kalau untuk menemui puskesmas
atau barangkali mantri dan perawat saja harus ditempuh dengan jalan kaki
berhari-hari lamanya. Tidak adanya
sarana kesehatan di kampung-kampung yang terisolasi juga menjadi
tantangan tersendiri.
Kondisi ini bukan saja menjadi masalah warga, tapi juga para
petugas medis. Di luar pilihan para tenaga medis untuk menunggu pasien datang, para petugas kesehatan ini pun merasakan minimnya dana dan sarana transportasi untuk menempuh perjalanan jauh dan memakan waktu yang lama.
Akibatnya petugas kesehatan pun
sulit menjangkau warga. Penanganan kasus dinilai lambat, sementara pelayanan
yang ada seringkali tidak berlanjut.
Keterbatasan tenaga kesehatan kemudian dengan kondisi
kesehatan yang terpuruk, tak heran, warga memilih untuk tinggal saja di rumah,
dengan pengobatan seadanya bahkan dengan kesiapan bila akan datang ajal
kematian.
Faktor Ekonomi. Ini juga menjadi kandala yang sangat besar
untuk warga Intan Jaya. Warga yang sakit bisa memilih untuk berobat di luar
Intan Jaya, pada rumah sakit yang memiliki sarana dan prasarana yang memadai.
Tapi itu suatu yang tidak mungkin untuk warga dengan ekonomi yang terbatas.
Bagaimana mengantar si sakit ke bandara terdekat, bagaimana biaya pesawat,
bagaimana biaya rumah sakit dan kehidupan selama berada di kota yang dekat
dengan rumah sakit? Membayangkan saja sudah tidak mungkin, apalagi
menjalaninya. Lagi-lagi, warga akhirnya memilih untuk tetap di rumah, menunggu
ajal kematian.
Bagaimana dengan pola hidup sehat? Ini pun masih menjadi
masalah, karena tingkat pengetahuan sebagian masyarakat masih tergolong sangat
rendah. Jangankan hidup dengan pola makanan yang sehat dan bernilai gizi,
sanitasi lingkungan rumah tangga pun belum semuanya dapat menjalankkannya
dengan baik.
Faktor ekonomi juga masalah kesadaran akan hidup sehat seringkali membuat perempuan Intan Jaya yang hendak melahirkan melakukannya sendiri tanpa dibantu tenaga persalinan, seperti dukun anak, bidan apalagi dokter. Mereka umumnya melakukan dengan peralatan seadanya, misalnya memotong tali pusar dengan gunting, silet bahkan batu tajam.
Kadang ada kunjungan petugas ke kampung-kampung tapi yang menemui juga sangat terbatas. Warga lebih memilih pergi ke kebun daripada harus
menjumpai para petugas kesehatan. Hal yang sama juga terjadi pada tempat-tempat
yang sudah memiliki tenaga medis, warga pun enggan untuk datang
berkonsultasi.
Kehidupan dengan iklim yang terus berubah-ubah, membuat warga sangat rentan dengan penyakit menular, bahkan dalam
tindakan sehari-hari pun warga belum sadar kalau hal itu dapat menularkan
penyakit ke orang lain. Berhubungan dengan hal ini, dengan kurangnya tenaga
medis, masalah yang berhubungan imunisasi pun sangat terbatas.
Semuanya persoalan berhubungan satu dengan yang lain. Satu
persoalan tak ditangani secara cepat dan tuntas akhirnya menyulitkan untuk
menemukan akar masalah yang sesungguhnya. Akibatnya, solusi tak kunjung datang,
serba pasrah dan menunggu. Kasus-kasus kesehatan di atas memperlihatkan bahwa
anak-anak Papua sangat rentan terhadap penyakit.
SUDAH BANYAK PROGRAM
Usaha untuk mengatasi persoalan kesehatan di Papua bukan
baru belakangan ini diperhatikan. Sudah sejak dulu, pemerintah dan para pihak
yang berkepentingan sudah dan bahkan sering menurunkan program-program bidang
kesehatan untuk mengatasi persoalan ini. Banyak program efektif dijalankan
untuk mengatasi beberapa persoalan, namun tidak sedikit juga yang tidak
berhasil.
Pemerintah daerah di Papua baik provinsi dan kabupaten termasuk
Kabupaten Intan Jaya beberapa kali memasukan anggaran kesehatan dalam APBD. Kelangkaan obat-obatan misalnya, seringkali menjadi perhatian pemerintah dengan memasukan dalam anggaran APBD. Namun yang terjadi tetap saja belum menjawabi kelangkaan obat-obatan. Bahkan dana otonomi khusus Papua juga disiapkan khusus untuk mengatasi
persoalan kesehatan. Secara khusus di Papua dengan lahirnya Otonomi Khusus
(Otsus), bidang kesehatan mendapat porsi penting dengan alokasi dana
sekitar 15 persen.
Upaya lain adalah membebaskan biaya kesehatan dan
mengutamakan penanggulangan penyakit bagi warga kurang mampu. Selain itu ada
upaya untuk meningkatkan penyediaan serta efektivitas berbagai pelayanan
kesehatan masyarakat yang bersifat non personal seperti penyuluhan kesehatan,
regulasi pelayanan kesehatan dan penyediaan obat, keamanan dan kesehatan
makanan, pengawasan terhadap kesehatan dan kebersihan lingkungan pemukiman
serta kesehatan dan keselamatan kerja.
Ada perhatian terutama bagi warga miskin dengan peningkatan
akses dan mutu pelayanan kesehatan masyarakat miskin, peningkatan partisipasi
dan konsultasi terhadap masyarakat miskin dan relokasi berbagai sumber daya
yang tersedia dengan memprioritaskan daerah miskin. Program Jamkesmas, Jamkespa
Kartu Papua Sehat (KPS),tidak lain dimaksudkan untuk memenuhi keinginan
masyarakat Papua dengan pelayanan kesehatan secara gratis.
Upaya lain lagi adalah membebaskan biaya kesehatan dan
mengutamakan masalah-masalah kesehatan yang banyak diderita masyarakat miskin
seperti Malaria, kurang gizi, PMS dan berbagai penyakit infeksi lain dan
sanitasi lingkungan. Untuk penyakit manular seperti pencegahan penyakit
HIV/AIDS serta TBC dan program lainnya terlihat ada keseriusan dalam penganan.
Kendati belum dapat mengatasi semua persoalan dapat teratasi, perhatian terhadap penyakit
manular seringkali membawa optimism akan adanya keseriusan untuk mengatasi
persoalan. Ada program pengendalian nyamuk melalui kelambu kesehatan secara
massal.
Belum maksimal, prioritas pembangunan dan
penyediaan SDM bidang kesehatan untuk ditempatkan di seluruh pelosok Papua
tetap menjadi prioritas. Dalam hal ini pemerintah juga membuka sekolah
kesehatan D-1 yang lulusannnya bisa memenuhi permintaan tenaga kerja di pelosok
Papua. Sementara tenaga kesehatan yang masih sangat dibutuhkan terdiri dari
dokter spesialis, dokter umum, dokter gigi hingga tenaga perawat, bidan, analis
dan tenaga kesehatan lainnya.
Terkait dengan hal ini, pemerintah juga membiayai mahasiswa yang kuliah dibidang
kesehatan dan para kesehatan yang sedang tugas belajar dibeberapa kota studi.
Ada program penyiapan tenaga medis yang
profesional untuk ditempatkan di Papua dan mendorong dibukakan lapangan
pekerjaan di bidang medis khusus rumah sakit di Provinsi Papua.
Para petugas kesehatan pun didorong untuk selalu turun ke
kampung-kampung menjumpai pasien, daripada hanya duduk menunggu pasien datang
di puskesmas atau di rumah sakit. Kita
pernah mendengar adanya program mobile clinic agar masyarakat tak perlu lagi pergi ke pusat kesehatan untuk
mencari petugas kesehatan, tapi petugas kesehatan yang akan mendatangi mereka. Ada juga program rujukan yakni kalau penderita sudah tak
dapat diatasi maka akan diberi rujukan untuk berobat ke pusat kesehatan baik di
kota maupun di luar Papua.
Dalam hal ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan
seperti Pustu dan Posyandu, di beberapa tempat di Papua terus digalakan. Bahkan
ada harapan bahwa setiap kampung akan memiliki pustu dan posyandu dengan
dilengkapi tenaga medis. Pemerintah juga menaruh perhatian pada pembenahan
fasilitas kesehatan dengan pengadaan alat-alat kesehatan yang baru dan membangun ruang rawat inap, selain melakukan
pembenahan fasilitas RSUD. Atau peningkatan RS type C yang sudah ada dan
disiapkan ruang perawatan yang layak.
Tidak hanya pembangunan fisik, ada upaya lain seperti
memberikan pelatihan penanganan ibu melahirkan yang menyasar pada petugas
kesehatan (bidan kampung) dan dukun bayi. Juga pada promosi hidup sehat. Juga
ada terobosan lain yakni mengirim makanan tambahan berupa biskuit untuk ibu
hamil. Sepertinya, perbaikan kualitas pelayanan kesehatan di Papua masih memerlukan
pendampingan intensif dari pemerintah pusat.
Di tingkat nasional kita mengenal ada Program Kerja Wajib
Dokter Spesialis (KWDS) yang bertujuan menjadi solusi distribusi dan jangkauan
dokter spesialis ke pulau dan daerah terpencil. Keberadaan dokter spesialis
kebidanan dan kandungan dalam program ini diharapkan membantu program
pemerintah menekan angka kematian ibu, peningkatan kesehatan ibu dan anak serta
reproduksi. Program KWDS diadakan dan diharapkan menjadi solusi keterjangkauan
dokter spesialis di daerah terpencil dan pulau.
Pada September 2012, pemerintah meluncurkan gerakan Seribu
Hari Pertama Kehidupan yang bertujuan untuk mempercepat perbaikan gizi guna
memperbaiki kehidupan anak Indonesia di masa datang. Dikutip dari artikel dr.
Samsuridjal Djauzi , Anak Indonesia,
Mampukah Berkompetisi? , (Kompas, 18 Nov
2017), Pemerintah mencanangkan intervensi gizi spesifik, yaitu pertama, promosi
ASI dan makanan pendamping ASI yang bergizi.
Kedua, pemberian tablet zat besi-folat atau multivitamin dan
mineral untuk ibu hamil dan menyusui. Ketiga, pemberian zat penambah gizi mikro
untuk anak. Empat, pemberian obat cacing pada anak. Kelima, pemberian suplemen
vitamin A untuk anak balita. Keenam, penanganan anak dengan gizi buruk.
Ketujuh, fortifikasi makanan dengan zat gizi mikro seperti vitamin A, besi, dan
yodium. Kedelapan, pencegahan dan pengobatan malaria bagi ibu hamil, bayi, dan
anak-anak.
Masih dalam artikel yang sama, selain intervensi gizi
spesifik, juga perlu dilakukan intervensi gizi tidak langsung, yaitu pertama,
intervensi pola hidup bersih sehat (PHBS) seperti cuci tangan memakai sabun dan
peningkatan akses air bersih. Kedua, stimulasi psikososial bagi bayi dan
anak-anak. Ketiga, Keluarga Berencana. Keempat, kebun gizi di rumah atau di
sekolah, diversifikasi pangan, pemeliharaan ternak dan perikanan. Kelima,
bantuan langsung tunai yang digabungkan dengan intervensi lain seperti
pemberian zat gizi dan pendidikan terkait dengan kesehatan dan gizi.
Begitu banyak program yang disiapkan seringkali membuat
program-program itu bertumpuk. Begitupun akibat adanya singkronisasi dan
penghematan dalam keuangan daerah,mengakibatkan dana-dana yang menjadi
kebutuhan di lingkungan Dinas Kesehatan
(Dinkes) Provinsi Papua menjadi berkurang. Tidak sedikit program yang
dipangkas.
KEBERPIHAKAN YANG JELAS
Masalah kesehatan di Papua dan Intan Jaya belum tuntas teratasi. Berhadapan dengan hal ini kita tak perlu pesimis. Kita sadar kondisi Papua berbeda dengan wilayah lain di Indonesia. Untuk membangun optimisme kita mesti memiliki tekad yang kuat. Kita harus akui bahwa kita belum masksimal bekerja.
Beberapa program pemerintah yang diuraikan secara singkat diatas,
belum semuanya menjawabi kebutuhan masyarakat di bidang kesehatan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kesehatan penduduk yang baik, pertumbuhan ekonomi
akan baik pula dengan demikian upaya mengatasi kemiskinan akan lebih mudah
dengan prospek ke depan yang jauh lebih berhasil.
Pertama, bagi umat manusia, kesehatan merupakan kebutuhan yang
mendasar. Memperoleh pelayanan kesehatan yang layak juga dipandang sebagai hak
asasi, hak sosial, hak budaya yang harus dipenuhi. Kita membutuhkan masyarakat
yang sehat agar dapat bekerja, dan menghadapi perubahan yang sedang
terjadi.
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H dan Undang-Undang Nomor
23/ 1992 tentang kesehatan, menetapkan bahwa setiap orang berhak mendapat
pelayanan kesehatan. Maka, setiap individu, keluarga, dan masyarakat berhak
memperoleh perlindungan terhadap kesehatanya, dan negara bertanggungjawab
mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk masyarakat
miskin dan tidak mampu.
Kedua, Motivasi dan keberpihakan yang jelas untuk
mengatasi masalah kesehatan. Keberpihakan ini tidak mesti semuanya harus datang
dari pemerintah, tetapi juga dari warga Papua sendiri dan lebih khusus adalah
warga Intan Jaya. Hal yang harus lebih diperhatikan adalah penguatan prilaku
hidup sehat di tengah masyarakat. Misalnya, bagaimana air bersih yang dikonsumsi
masyarakat dan bagaimana sanitasinya yang memadai.
Dari lingkungan terdekat terutama dalam kehidupan rumah
tangga mestinya setiap warga saling mengingatkan untuk hidup bersih dan patuh
terhadap aturan-aturan kesehatan. Begitu pun dalam hubungan dengan penyakit
manular HIV-AIDS misalnya, semua orang mestinya menyadari untuk tidak menularkan dan tertular HIV-AIDS. Demikian juga dalam masyarakat perlu ada
strategi akselerasi dan komitmen untuk mencegah dan mengendalikan penyakit
manular.
Kemiskinan dan penyakit hubungannya sangat erat, tidak akan
pernah putus kecuali dilakukan intervensi pada salah satu atau kedua sisi,
yakni pada kemiskinannya atau penyakitnya. Kemiskinan mempengaruhi kesehatan
sehingga orang miskin menjadi rentan terhadap berbagai macam penyakit, karena
mereka mengalami gangguan seperti :a. Menderita gizi buruk;b. Kurangnya
pengetahuan warga tentang kesehatan;c. Kurangnya perilaku hidup sehat dan
bersih;d. Lingkungan pemukiman yang kurang memadai;e. Sebalnya, masyarakat yang
sehat akan menekan tingkat kemiskinan. Orang yang sehat mempunyai produktivitas
kerja tinggi;
Ketiga, Keberpihakan pemerintah. Artinya
pemerintah harus terus-menerus memberi perhatian pada persoalan kesehatan ini.
Pemerintah harus pula menggandeng pihak
swasta, dan masyarakat untuk dapat bersama-sama mengatasi persoalan kesehatan
hingga menjangkau seluruh kampung.
Tentu saja di tengah banyaknya hambatan dalam membuka akses
kesehatan masyarakat, pemerintah pun harus
dapat lebih selektif dalam menguatamakan program terpenting dalam rangka
pengetasan penyakit di masyarakat.
Sebagaimana uraian terdahulu, pemerintah harus konsisten
menerapkan seluruh program kesehatan baik penyiapan sarana dan prasarana
kesehatan, tenaga medis dan obat-obatan hingga ikut mendapingi masyarakat dalam
menumbuhkan prilaku hidup sehat. Kerja pemerintah pun harus terus diawasi oleh
masyarakat sehingga menjadi gerakan suatu gerakan bersama dalam menaikan
derajat kesehatan masyarakat.
Sebagai suatu gerakan bersama, pemerintah juga dapat mengakomodasi anak-anak muda Papua untuk
terlibat menjadi tenaga medis. Dari
bangku sekolah dasar, mesti ditumbuhkan
minat peserta didik untuk menjadi tenaga medis. Cita-cita menjadi dokter, dan
perawat mesti disambut dengan pemberian
beasiswa untuk belajar ke
perguruan-perguruan tinggi yang bermutu. Tidak sekedar beasiswa melainkan
kepada calon-calon tenaga medis ini perlu diberi motivasi agar tetap dengan
cita-cita kembali membangun masyarakat Intan Jaya.
Dalam penerimaan pegawai negeri perlu memberikan perhatian yang lebih besar
untuk tenaga kesehatan dan pendidikan, agar masyarakat tidak kesulitan
memperoleh tenaga medis yang cukup. Tenaga kerja ini juga disertai fasilitas kesehatan yang memadai.
Keempat, Perlu kerjasama semua pihak. Saya mengutip pendapat Pastor Neles Tebay sebagai berikut :
Orang Papua tidak boleh terus menerus mengulangi alasan-alasan
ini. Orang Papua sudah harus pikir dan terlibat dalam upaya penanggulangan
masalah kesehatan dan memajukan hidup sehat. mesti temukan solusi-solusi
alternatif yang tepat-guna, sehingga tidak tergantung pada dokter,
mantri/perawat, atau pihak-pihak lain.Orang Papua mesti memperlihatkan
kemampuannya untuk memelihara kesehatannya sendiri, biarpun tidak ada dokter
dan mantri.
Pemangku kepentingan lain selain pemerintah seperti pihak
swasta, yakni perusahaan-perusahaan yang mengeksploitasi kekayaan alam Papua,
ada lembaga keagamaan, lembaga gereja, lembaga adat, dan kelompok-kelompok,
seperti kelompok perempuan dan pemuda.
Semua pemangku kepentingan ini dapat memberikan kontribusi
yang khas dalam menangani masalah kesehatan dan mempromosikan hidup sehat di antara
orang asli Papua. Bahkan setiap pribadi mesti bertanggung jawab atas
perkembangan kesehatannya.
Semua pemangku kepentingan mesti dilibatkan dalam mengurus
kesehatan di Papua.Mereka perlu dipertemukan secara bersama dalam pertemuan dan
dilibatkan dalam diskusi yang membahas tentang sektor kesehatan dan mencarikan
secara bersama solusi-solusi yang dapat dilaksanakan.
Dan tentunya, setiap pemangku kepentingan mempunyai peran
yang berbeda, sehingga tugasnya dapat dibagi antara semua pemangku kepentingan
sesuai peranan mereka masing-masing. Semua secara bersama berpartisipasi dalam
mengurus kesehatan rakyat di bumi cenderawasih.
Mempertemukan semua pemangku kepentingan yang membahas
sektor kesehatan, dialog sektoral perlu dilaksanakan di setiap kabupaten. Dalam
dialog sektoral itu, semua pemangku kepentingan yang berkompeten dan
berpengalaman dalam urusan kesehatan diundang sebagai peserta dialog.
Para peserta diundang bukan untuk saling menuduh, menuding,
dan mempersalahkan satu sama lain, melainkan untuk secara bersama
mengidentifikasi dan menganalisa masalah serta menetapkan solusi secara
bersama.
Dengan melibatkan semua pemangku kepentingan, urusan
kesehatan akan menjadi keprihatinan dan tanggungjawab bersama dari semua
pemangku kepentingan.
Kelima, aspek Renovasi. Sebagaimana kita ketahui pelayanan
kesehatan di Papua bukan baru saat ini saja di adakan. Sejak dulu sudah ada
perhatian terhadap masalah kesehatan ini. Semua perhatian itu kini memiliki
jejaknya sendiri. Jika kepada masyarakat Intan Jaya ditanya tentang pelayanan
kesehatan, maka dengan begitu mudah kita dapatkan cerita tentang pelayanan
kesehatan tempo dulu. Walau ketika itu dengan fasilitas yang terbatas, masyarakat dapat
menunjukkan tempat-tempat mana masyarakat memperoleh perlayanan kesehatan.
Sekarang juga hal itu dapat kita lihat sendiri bahwa
pelayanan kesehatan juga memang ada di setiap wilayah. Ada puskesmas di Ibukota
kabupaten, ada pos-pos kesehatan di kampung. Namun, justru yang terjadi adalah
ketiadaan fasilitas termasuk obat-obatan dan tenaga medis.
Maka dalam kerangka renovasi, sebenarnya hal ini membutuhkan
pembenahan yang lebih serius. Bagunan yang ada mestinya ditingkatkan ditambah dengan fasilitas
dan tenaga medis. Hal ini tentu tidak membutuhkan anggaran yang besar.
Pemerintah daerah harus berusaha untuk membangun rumah sakit yang memenuhi
syarat, sehingga masyarakat tidak lagi dirujuk keluar daerah.
Pemerintah daerah diminta siap, di antaranya dengan
membenahi rumah sakit agar layak dan memiliki peralatan yang dibutuhkan. Jangan
sampai dokter spesialis dikirim ke sana, tetapi peralatannya tak memadai
sehingga dokter tak bisa bekerja.
Keenam, Inovasi.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat Intan Jaya yang hidupnya terpencil dan terisolasi membutuhkan berbagai inovasi. Sejak dimekarkan sampai dengan saat ini,
pembangunan di bidang kesehatan di Intan Jaya dinilai berjalan di tempat karena
semuanya menunggu tuntasnya infrastruktur.
Pemerintah mestinya menyusun peta permasalahan kesehatan.
Peta permasalahan ini kemudian menjadi acuan dalam melakukan gebrakan baru
dalam hal pembangunan kesehatan di Intan Jaya.
Dari uraian di atas, sepertinya kita tidak hanya memerlukan suatu konsep yang
baik, namun memerlukan suatu kepemimpinan yang dapat mengatur dan menjalankan
konsep-konsep baik tersebut.
Kepemimpinan yang dapat menunjukkan komitmen politis yang kuat untuk
mewujudkan sistem kesehatan nasional yang berpihak kepada rakyat miskin.
Kepemimpinan yang dapat memperkuat pondasi program pelayanan kesehatan dengan
sistem pembiayaan yang tepat bagi Indonesia, ditunjang dengan sumber daya
manusia yang berkualitas serta kepemimpinan yang dapat meningkatkan peran
masyarakat secara langsung dalam bidang kesehatan bukan untuk curatif namun
dimulai dari preventif dan promotif kesehatan”.@
(Tulisan ini merupakan ringkasan dari buku "Menatap Intan Jaya Bermartabat : Motivasi, Renovasi dan Inovasi. Penulis : Apolos Bagau, ST, Penerbit : Tollelegi 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar