Selasa, 19 Juni 2018

PELAYANAN KESEHATAN : Jangan Tunggu Pasien Datang

Di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang sehat”. Pepatah lama ini masih relevan hingga saat ini, manakala kita bicara tentang manusia Intan Jaya saat ini dan kedepan, dalam menghadapi berbagai perubahan. Bagaimana pun juga, warga Intan Jaya harus lah warga yang sehat jiwa dan raga agar cita-cita kita dapat menjadi masyarakat sejahtera terwujud.


Oleh : Apolos Bagau, ST 

Akan tetapi cita-cita yang besar itu selalu menjadi kendala karena kondisi kesehatan warga kita memang belum sepenuhnya dapat terwujud. Kita bisa melihat  dengan mata kita sendiri betapa masyarakat terutama ibu melahirkan dan bayi sangat rentan dengan kematian. Masyarakat umum pun masih mengalami kendala dalam pemeriksaan kesehatan bahkan warga yang sakit pun hanya bisa menunggu datangnya ajal kematian. Ancaman kematian memang ada di depan mata kita dimana dan kapan saja.


Kita masih mengalami bahwa kualitas hidup sehat masih jauh dari hidup warga setiap hari. Pola kehidupan sehat belum seluruhnya menjadi kebiasaan warga, bahkan minimnya asupan gizi menyebabkan bayi-bayi yang lahir, kalau tidak meninggal maka lahir dengan kualitas gizi yang buruk. Belum lagi dari kondisi yang ada seringkali menyebabkan penyakit menular begitu leluasa berkembang, hingga membawa kematian. Generasi Intan Jaya pun terancam untuk anak yatim piatu bahkan boleh jadi hilangnya generasi.


MASALAH YANG TERUS ADA


Minimnya pelayanan kesehatan atau akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan seringkali menjadi alasan mengapa masalah kesehatan di Intan Jaya tak kunjung teratasi. Pertama, ketiadaan sarana dan prasarana kesehatan. Hingga kini kabupaten sebesar Intan Jaya belum memiliki rumah sakit. Hanya ada satu puskesmas Rawat Inap di Sugapa ibukota kabupaten, tetapi puskesmas ini pun masih dengan  sarana dan prasarana yang terbatas. Jika pasien tidak tertampung karena ruangan penuh terpaksa harus dipulangkan. Ada puskesmas pembantu di beberapa distrik, tapi juga dengan sarana yang terbatas.   Ini berarti bahwa sarana kesehatan belum dekat dengan warga.


Kedua, kurangnya dokter dan tenaga medis. Di Intan Jaya memang sulit menemukan dokter. Dalam hubungan dengan kesehatan atau pemeriksaan penyakit, warga lebih mengenal mantri, perawat dan bidan. Itu pun lagi-lagi sangatlah terbatas. Minimnya tenaga medis ini membuat banyak warga tidak terlayani. Dalam kondisi demikian, warga hanya mengandalkan dukun kampung atau tindakan-tindakan lain yang seringkali dipercaya masyarakat untuk mengatasi sakit yang di derita.


Dari tenaga medis yang ada, warga pun mengalami kesulitan untuk menemuinya.  Sebagian tenaga medis tidak berada di tempat. Banyak tenaga medis, yang memilih tinggal di luar Intan Jaya. Tenaga medis yang ada juga enggan mengunjungi warga dan hanya berada di tempat menunggu pasien datang. Akibatnya, banyak warga yang  sakit tidak bisa tertolong dan dibiarkan saja.


Ketiga, minimnya obat-obatan dan peralatan medis. Untuk peralatan medis yang canggih memang tidak ada di Intan Jaya. Jika ada pun siapa yang mengoperasikan, sementara tenaga kesehatan yang ada saja sudah sangat terbatas dengan kemampuan yang juga terbatas. Masalah obat-obatan, seringkali menjadi keluhan warga bila sempat menemui bidan dan perawat. Ada perawat dan mantri, tapi kalau tidak ada obat pun sama saja. Warga tetap kembali ke rumah dengan membawa sakit yang dideritanya.


Ada faktor-faktor di luar dari medis yakni persoalan ekonomi, kondisi geografis dan kesadaran masyarakat sendiri untuk hidup sehat. Kondisi geografis memang sangat sulit untuk Intan Jaya. Masyarakat hidup terpisah sangat jauh di antara bukit dan lembah. Banyak warga justru tinggal di wilayah yang sangat terpencil. Prasarana jalan yang bisa dilalui kendaran pun sangat terbatas. Jarak puskesmas sangat jauh dari tempat tinggal masyarakat di distrik dan kampung. 


Ketiadaan sarana kesehatan yang dekat dengan warga memang mengharuskan warga harus pergi mencari sarana kesehatan yang ada di ibukota kabupaten ini. Tapi bagaimana itu bisa terjadi, kalau untuk menemui puskesmas atau barangkali mantri dan perawat saja harus ditempuh dengan jalan kaki berhari-hari lamanya.  Tidak adanya sarana kesehatan di kampung-kampung yang terisolasi juga menjadi tantangan tersendiri.


Kondisi ini bukan saja menjadi masalah warga, tapi juga para petugas medis. Di luar pilihan para tenaga medis untuk menunggu pasien datang, para petugas kesehatan ini pun merasakan minimnya dana dan sarana  transportasi untuk  menempuh perjalanan jauh dan memakan waktu yang lama. Akibatnya petugas kesehatan pun sulit menjangkau warga. Penanganan kasus dinilai lambat, sementara pelayanan yang ada seringkali tidak berlanjut.


Keterbatasan tenaga kesehatan kemudian dengan kondisi kesehatan yang terpuruk, tak heran, warga memilih untuk tinggal saja di rumah, dengan pengobatan seadanya bahkan dengan kesiapan bila akan datang ajal kematian.


Faktor Ekonomi. Ini juga menjadi kandala yang sangat besar untuk warga Intan Jaya. Warga yang sakit bisa memilih untuk berobat di luar Intan Jaya, pada rumah sakit yang memiliki sarana dan prasarana yang memadai. Tapi itu suatu yang tidak mungkin untuk warga dengan ekonomi yang terbatas. Bagaimana mengantar si sakit ke bandara terdekat, bagaimana biaya pesawat, bagaimana biaya rumah sakit dan kehidupan selama berada di kota yang dekat dengan rumah sakit? Membayangkan saja sudah tidak mungkin, apalagi menjalaninya. Lagi-lagi, warga akhirnya memilih untuk tetap di rumah, menunggu ajal kematian.


Bagaimana dengan pola hidup sehat? Ini pun masih menjadi masalah, karena tingkat pengetahuan sebagian masyarakat masih tergolong sangat rendah. Jangankan hidup dengan pola makanan yang sehat dan bernilai gizi, sanitasi lingkungan rumah tangga pun belum semuanya dapat menjalankkannya dengan baik. 


Faktor ekonomi juga masalah kesadaran akan hidup sehat seringkali membuat perempuan Intan Jaya yang hendak melahirkan melakukannya sendiri  tanpa dibantu tenaga persalinan, seperti dukun anak, bidan apalagi dokter. Mereka umumnya melakukan  dengan peralatan seadanya, misalnya memotong tali pusar dengan gunting, silet bahkan batu tajam.


Kadang ada kunjungan petugas ke kampung-kampung tapi yang menemui juga sangat terbatas. Warga lebih memilih pergi ke kebun daripada harus menjumpai para petugas kesehatan. Hal yang sama juga terjadi pada tempat-tempat yang sudah memiliki tenaga medis, warga pun enggan untuk datang berkonsultasi. 


Kehidupan dengan iklim yang terus berubah-ubah, membuat warga sangat rentan dengan penyakit menular, bahkan dalam tindakan sehari-hari pun warga belum sadar kalau hal itu dapat menularkan penyakit ke orang lain. Berhubungan dengan hal ini, dengan kurangnya tenaga medis, masalah yang berhubungan imunisasi pun sangat terbatas.


Semuanya persoalan berhubungan satu dengan yang lain. Satu persoalan tak ditangani secara cepat dan tuntas akhirnya menyulitkan untuk menemukan akar masalah yang sesungguhnya. Akibatnya, solusi tak kunjung datang, serba pasrah dan menunggu. Kasus-kasus kesehatan di atas memperlihatkan bahwa anak-anak Papua sangat rentan terhadap penyakit.


SUDAH BANYAK PROGRAM


Usaha untuk mengatasi persoalan kesehatan di Papua bukan baru belakangan ini diperhatikan. Sudah sejak dulu, pemerintah dan para pihak yang berkepentingan sudah dan bahkan sering menurunkan program-program bidang kesehatan untuk mengatasi persoalan ini. Banyak program efektif dijalankan untuk mengatasi beberapa persoalan, namun tidak sedikit juga yang tidak berhasil.


Pemerintah daerah di Papua baik provinsi dan kabupaten termasuk Kabupaten Intan Jaya beberapa kali memasukan anggaran kesehatan dalam APBD. Kelangkaan  obat-obatan misalnya, seringkali menjadi perhatian pemerintah dengan memasukan dalam anggaran APBD. Namun yang terjadi tetap saja belum menjawabi kelangkaan obat-obatan. Bahkan dana otonomi khusus Papua juga disiapkan khusus untuk mengatasi persoalan kesehatan. Secara khusus di Papua dengan lahirnya Otonomi Khusus (Otsus), bidang kesehatan mendapat porsi penting dengan alokasi dana sekitar 15 persen. 


Upaya lain adalah membebaskan biaya kesehatan dan mengutamakan penanggulangan penyakit bagi warga kurang mampu. Selain itu ada upaya untuk meningkatkan penyediaan serta efektivitas berbagai pelayanan kesehatan masyarakat yang bersifat non personal seperti penyuluhan kesehatan, regulasi pelayanan kesehatan dan penyediaan obat, keamanan dan kesehatan makanan, pengawasan terhadap kesehatan dan kebersihan lingkungan pemukiman serta kesehatan dan keselamatan kerja.


Ada perhatian terutama bagi warga miskin dengan peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan masyarakat miskin, peningkatan partisipasi dan konsultasi terhadap masyarakat miskin dan relokasi berbagai sumber daya yang tersedia dengan memprioritaskan daerah miskin. Program Jamkesmas, Jamkespa Kartu Papua Sehat (KPS),tidak lain dimaksudkan untuk memenuhi keinginan masyarakat Papua dengan pelayanan kesehatan secara gratis.


Upaya lain lagi adalah membebaskan biaya kesehatan dan mengutamakan masalah-masalah kesehatan yang banyak diderita masyarakat miskin seperti Malaria, kurang gizi, PMS dan berbagai penyakit infeksi lain dan sanitasi lingkungan. Untuk penyakit manular seperti pencegahan penyakit HIV/AIDS serta TBC dan program lainnya terlihat ada keseriusan dalam penganan. Kendati belum dapat mengatasi semua persoalan dapat teratasi, perhatian terhadap penyakit manular seringkali membawa optimism akan adanya keseriusan untuk mengatasi persoalan. Ada program pengendalian nyamuk melalui kelambu kesehatan secara massal.


Belum maksimal, prioritas pembangunan dan penyediaan SDM bidang kesehatan untuk ditempatkan di seluruh pelosok Papua tetap menjadi prioritas. Dalam hal ini pemerintah juga membuka sekolah kesehatan D-1 yang lulusannnya bisa memenuhi permintaan tenaga kerja di pelosok Papua. Sementara tenaga kesehatan yang masih sangat dibutuhkan terdiri dari dokter spesialis, dokter umum, dokter gigi hingga tenaga perawat, bidan, analis dan tenaga kesehatan lainnya.


Terkait dengan hal ini, pemerintah juga  membiayai mahasiswa yang kuliah dibidang kesehatan dan para kesehatan yang sedang tugas belajar dibeberapa kota studi. Ada program penyiapan  tenaga medis yang profesional untuk ditempatkan di Papua dan mendorong dibukakan lapangan pekerjaan di bidang medis khusus rumah sakit di Provinsi Papua.


Para petugas kesehatan pun didorong untuk selalu turun ke kampung-kampung menjumpai pasien, daripada hanya duduk menunggu pasien datang di  puskesmas atau di rumah sakit. Kita pernah mendengar adanya program mobile clinic agar masyarakat  tak perlu lagi pergi ke pusat kesehatan untuk mencari petugas kesehatan, tapi petugas kesehatan yang akan mendatangi mereka. Ada juga program rujukan yakni kalau penderita sudah tak dapat diatasi maka akan diberi rujukan untuk berobat ke pusat kesehatan baik di kota maupun di luar Papua.


Dalam hal ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan seperti Pustu dan Posyandu, di beberapa tempat di Papua terus digalakan. Bahkan ada harapan bahwa setiap kampung akan memiliki pustu dan posyandu dengan dilengkapi tenaga medis. Pemerintah juga menaruh perhatian pada pembenahan fasilitas kesehatan dengan pengadaan alat-alat kesehatan yang baru dan  membangun ruang rawat inap, selain melakukan pembenahan fasilitas RSUD. Atau peningkatan RS type C yang sudah ada dan disiapkan ruang perawatan yang layak.


Tidak hanya pembangunan fisik, ada upaya lain seperti memberikan pelatihan penanganan ibu melahirkan yang menyasar pada petugas kesehatan (bidan kampung) dan dukun bayi. Juga pada promosi hidup sehat. Juga ada terobosan lain yakni mengirim makanan tambahan berupa biskuit untuk ibu hamil. Sepertinya, perbaikan kualitas pelayanan kesehatan di Papua masih memerlukan pendampingan intensif dari pemerintah pusat.


Di tingkat nasional kita mengenal ada Program Kerja Wajib Dokter Spesialis (KWDS) yang bertujuan menjadi solusi distribusi dan jangkauan dokter spesialis ke pulau dan daerah terpencil. Keberadaan dokter spesialis kebidanan dan kandungan dalam program ini diharapkan membantu program pemerintah menekan angka kematian ibu, peningkatan kesehatan ibu dan anak serta reproduksi. Program KWDS diadakan dan diharapkan menjadi solusi keterjangkauan dokter spesialis di daerah terpencil dan pulau.


Pada September 2012, pemerintah meluncurkan gerakan Seribu Hari Pertama Kehidupan yang bertujuan untuk mempercepat perbaikan gizi guna memperbaiki kehidupan anak Indonesia di masa datang. Dikutip dari artikel dr. Samsuridjal Djauzi ,  Anak Indonesia, Mampukah Berkompetisi? ,  (Kompas, 18 Nov 2017), Pemerintah mencanangkan intervensi gizi spesifik, yaitu pertama, promosi ASI dan makanan pendamping ASI yang bergizi.


Kedua, pemberian tablet zat besi-folat atau multivitamin dan mineral untuk ibu hamil dan menyusui. Ketiga, pemberian zat penambah gizi mikro untuk anak. Empat, pemberian obat cacing pada anak. Kelima, pemberian suplemen vitamin A untuk anak balita. Keenam, penanganan anak dengan gizi buruk. Ketujuh, fortifikasi makanan dengan zat gizi mikro seperti vitamin A, besi, dan yodium. Kedelapan, pencegahan dan pengobatan malaria bagi ibu hamil, bayi, dan anak-anak.


Masih dalam artikel yang sama, selain intervensi gizi spesifik, juga perlu dilakukan intervensi gizi tidak langsung, yaitu pertama, intervensi pola hidup bersih sehat (PHBS) seperti cuci tangan memakai sabun dan peningkatan akses air bersih. Kedua, stimulasi psikososial bagi bayi dan anak-anak. Ketiga, Keluarga Berencana. Keempat, kebun gizi di rumah atau di sekolah, diversifikasi pangan, pemeliharaan ternak dan perikanan. Kelima, bantuan langsung tunai yang digabungkan dengan intervensi lain seperti pemberian zat gizi dan pendidikan terkait dengan kesehatan dan gizi.


Begitu banyak program yang disiapkan seringkali membuat program-program itu bertumpuk. Begitupun akibat adanya singkronisasi dan penghematan dalam keuangan daerah,mengakibatkan dana-dana yang menjadi kebutuhan  di lingkungan Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Papua menjadi berkurang. Tidak sedikit program yang dipangkas.


KEBERPIHAKAN YANG JELAS


Masalah kesehatan di Papua dan Intan Jaya belum tuntas teratasi. Berhadapan dengan hal ini kita tak perlu pesimis. Kita sadar kondisi Papua berbeda dengan wilayah lain di Indonesia. Untuk membangun optimisme kita mesti memiliki tekad yang kuat. Kita harus akui bahwa kita belum masksimal bekerja. 


Beberapa program pemerintah yang diuraikan secara singkat diatas, belum semuanya menjawabi kebutuhan masyarakat di bidang kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesehatan penduduk yang baik, pertumbuhan ekonomi akan baik pula dengan demikian upaya mengatasi kemiskinan akan lebih mudah dengan prospek ke depan yang jauh lebih berhasil.


Pertama, bagi umat manusia, kesehatan merupakan kebutuhan yang mendasar. Memperoleh pelayanan kesehatan yang layak juga dipandang sebagai hak asasi, hak sosial, hak budaya yang harus dipenuhi. Kita membutuhkan masyarakat yang sehat agar dapat bekerja, dan menghadapi perubahan yang sedang terjadi. 


Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H dan Undang-Undang Nomor 23/ 1992 tentang kesehatan, menetapkan bahwa setiap orang berhak mendapat pelayanan kesehatan. Maka, setiap individu, keluarga, dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatanya, dan negara bertanggungjawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk masyarakat miskin dan tidak mampu.


Kedua, Motivasi dan keberpihakan yang jelas untuk mengatasi masalah kesehatan. Keberpihakan ini tidak mesti semuanya harus datang dari pemerintah, tetapi juga dari warga Papua sendiri dan lebih khusus adalah warga Intan Jaya. Hal yang harus lebih diperhatikan adalah penguatan prilaku hidup sehat di tengah masyarakat. Misalnya, bagaimana air bersih yang dikonsumsi masyarakat dan bagaimana sanitasinya yang memadai.


Dari lingkungan terdekat terutama dalam kehidupan rumah tangga mestinya setiap warga saling mengingatkan untuk hidup bersih dan patuh terhadap aturan-aturan kesehatan. Begitu pun dalam hubungan dengan penyakit manular HIV-AIDS misalnya, semua orang mestinya menyadari untuk tidak menularkan dan tertular HIV-AIDS. Demikian juga dalam masyarakat perlu ada strategi akselerasi dan komitmen untuk mencegah dan mengendalikan penyakit manular.


Kemiskinan dan penyakit hubungannya sangat erat, tidak akan pernah putus kecuali dilakukan intervensi pada salah satu atau kedua sisi, yakni pada kemiskinannya atau penyakitnya. Kemiskinan mempengaruhi kesehatan sehingga orang miskin menjadi rentan terhadap berbagai macam penyakit, karena mereka mengalami gangguan seperti :a. Menderita gizi buruk;b. Kurangnya pengetahuan warga tentang kesehatan;c. Kurangnya perilaku hidup sehat dan bersih;d. Lingkungan pemukiman yang kurang memadai;e. Sebalnya, masyarakat yang sehat akan menekan tingkat kemiskinan. Orang yang sehat mempunyai produktivitas kerja tinggi;


Ketiga, Keberpihakan pemerintah. Artinya pemerintah harus terus-menerus memberi perhatian pada persoalan kesehatan ini. Pemerintah harus pula menggandeng  pihak swasta, dan masyarakat untuk dapat bersama-sama mengatasi persoalan kesehatan hingga menjangkau seluruh kampung.


Tentu saja di tengah banyaknya hambatan dalam membuka akses kesehatan masyarakat, pemerintah pun harus  dapat lebih selektif dalam menguatamakan program terpenting dalam rangka pengetasan penyakit di masyarakat.


Sebagaimana uraian terdahulu, pemerintah harus konsisten menerapkan seluruh program kesehatan baik penyiapan sarana dan prasarana kesehatan, tenaga medis dan obat-obatan hingga ikut mendapingi masyarakat dalam menumbuhkan prilaku hidup sehat. Kerja pemerintah pun harus terus diawasi oleh masyarakat sehingga menjadi gerakan suatu gerakan bersama dalam menaikan derajat kesehatan masyarakat.


Sebagai suatu gerakan bersama, pemerintah juga dapat  mengakomodasi anak-anak muda Papua untuk terlibat menjadi  tenaga medis. Dari bangku sekolah dasar,  mesti ditumbuhkan minat peserta didik untuk menjadi tenaga medis. Cita-cita menjadi dokter, dan perawat mesti disambut  dengan pemberian beasiswa  untuk belajar ke perguruan-perguruan tinggi yang bermutu. Tidak sekedar beasiswa melainkan kepada calon-calon tenaga medis ini perlu diberi motivasi agar tetap dengan cita-cita kembali membangun masyarakat Intan Jaya.


Dalam penerimaan pegawai negeri  perlu memberikan perhatian yang lebih besar untuk tenaga kesehatan dan pendidikan, agar masyarakat tidak kesulitan memperoleh tenaga medis yang cukup. Tenaga kerja ini juga  disertai fasilitas kesehatan yang memadai.

Keempat, Perlu kerjasama semua pihak. Saya mengutip pendapat Pastor Neles Tebay sebagai berikut :

Orang Papua tidak boleh terus menerus mengulangi alasan-alasan ini. Orang Papua sudah harus pikir dan terlibat dalam upaya penanggulangan masalah kesehatan dan memajukan hidup sehat. mesti temukan solusi-solusi alternatif yang tepat-guna, sehingga tidak tergantung pada dokter, mantri/perawat, atau pihak-pihak lain.Orang Papua mesti memperlihatkan kemampuannya untuk memelihara kesehatannya sendiri, biarpun tidak ada dokter dan mantri.

Pemangku kepentingan lain selain pemerintah seperti pihak swasta, yakni perusahaan-perusahaan yang mengeksploitasi kekayaan alam Papua, ada lembaga keagamaan, lembaga gereja, lembaga adat, dan kelompok-kelompok, seperti kelompok perempuan dan pemuda.

Semua pemangku kepentingan ini dapat memberikan kontribusi yang khas dalam menangani masalah kesehatan dan mempromosikan hidup sehat di antara orang asli Papua. Bahkan setiap pribadi mesti bertanggung jawab atas perkembangan kesehatannya.

Semua pemangku kepentingan mesti dilibatkan dalam mengurus kesehatan di Papua.Mereka perlu dipertemukan secara bersama dalam pertemuan dan dilibatkan dalam diskusi yang membahas tentang sektor kesehatan dan mencarikan secara bersama solusi-solusi yang dapat dilaksanakan.

Dan tentunya, setiap pemangku kepentingan mempunyai peran yang berbeda, sehingga tugasnya dapat dibagi antara semua pemangku kepentingan sesuai peranan mereka masing-masing. Semua secara bersama berpartisipasi dalam mengurus kesehatan rakyat di bumi cenderawasih.

Mempertemukan semua pemangku kepentingan yang membahas sektor kesehatan, dialog sektoral perlu dilaksanakan di setiap kabupaten. Dalam dialog sektoral itu, semua pemangku kepentingan yang berkompeten dan berpengalaman dalam urusan kesehatan diundang sebagai peserta dialog.

Para peserta diundang bukan untuk saling menuduh, menuding, dan mempersalahkan satu sama lain, melainkan untuk secara bersama mengidentifikasi dan menganalisa masalah serta menetapkan solusi secara bersama.

Dengan melibatkan semua pemangku kepentingan, urusan kesehatan akan menjadi keprihatinan dan tanggungjawab bersama dari semua pemangku kepentingan.

Kelima, aspek Renovasi. Sebagaimana kita ketahui pelayanan kesehatan di Papua bukan baru saat ini saja di adakan. Sejak dulu sudah ada perhatian terhadap masalah kesehatan ini. Semua perhatian itu kini memiliki jejaknya sendiri. Jika kepada masyarakat Intan Jaya ditanya tentang pelayanan kesehatan, maka dengan begitu mudah kita dapatkan cerita tentang pelayanan kesehatan tempo dulu. Walau ketika itu dengan fasilitas yang terbatas, masyarakat dapat menunjukkan tempat-tempat mana masyarakat memperoleh perlayanan kesehatan.


Sekarang juga hal itu dapat kita lihat sendiri bahwa pelayanan kesehatan juga memang ada di setiap wilayah. Ada puskesmas di Ibukota kabupaten, ada pos-pos kesehatan di kampung. Namun, justru yang terjadi adalah ketiadaan fasilitas termasuk obat-obatan dan tenaga medis.


Maka dalam kerangka renovasi, sebenarnya hal ini membutuhkan pembenahan yang lebih serius. Bagunan yang ada mestinya ditingkatkan ditambah dengan fasilitas dan tenaga medis. Hal ini tentu tidak membutuhkan anggaran yang besar. Pemerintah daerah harus berusaha untuk membangun rumah sakit yang memenuhi syarat, sehingga masyarakat tidak lagi dirujuk keluar daerah.


Pemerintah daerah diminta siap, di antaranya dengan membenahi rumah sakit agar layak dan memiliki peralatan yang dibutuhkan. Jangan sampai dokter spesialis dikirim ke sana, tetapi peralatannya tak memadai sehingga dokter tak bisa bekerja.


Keenam, Inovasi.  Penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat  Intan Jaya yang hidupnya terpencil dan  terisolasi membutuhkan berbagai inovasi.  Sejak dimekarkan sampai dengan saat ini, pembangunan di bidang kesehatan di Intan Jaya dinilai berjalan di tempat karena semuanya menunggu tuntasnya infrastruktur.


Pemerintah mestinya menyusun peta permasalahan kesehatan. Peta permasalahan ini kemudian menjadi acuan dalam melakukan gebrakan baru dalam hal pembangunan kesehatan di Intan Jaya.


Dari uraian di atas, sepertinya kita tidak hanya memerlukan suatu konsep yang baik, namun memerlukan suatu kepemimpinan yang dapat mengatur dan menjalankan konsep-konsep baik tersebut.  Kepemimpinan yang dapat menunjukkan komitmen politis yang kuat untuk mewujudkan sistem kesehatan nasional yang berpihak kepada rakyat miskin. 


Kepemimpinan yang dapat memperkuat pondasi program pelayanan kesehatan dengan sistem pembiayaan yang tepat bagi Indonesia, ditunjang dengan sumber daya manusia yang berkualitas serta kepemimpinan yang dapat meningkatkan peran masyarakat secara langsung dalam bidang kesehatan bukan untuk curatif namun dimulai dari preventif dan promotif kesehatan”.@

(Tulisan ini merupakan ringkasan dari buku "Menatap Intan Jaya Bermartabat : Motivasi, Renovasi dan Inovasi. Penulis : Apolos Bagau, ST, Penerbit : Tollelegi 2018 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar