Senin, 23 November 2015

Jacques Ellul : Masyarakat Teknologi Selayang Pandang

 
Jacques Ellul
Jacques Ellul (6 Januari 191219 Mei 1994) adalah seorang filsuf, sosiolog, teolog. Ia merupakan satu satunya tokoh yang memperluas anaalisa tentang teknologi ke berbagai bidang kegiatan manusia sambil memperhatikan hubungan satu bidang dengan bidang lain.

·         Teknik dalam pengertian Jacques Ellul adalah serangkaian cara atau metode yang sudah distadarisasiuntuk mencapai hasil yang sudah dikalkukasi sebelumnya.

-       Teknik mengubah prilaku
-       Tindakan spontan dan nahluriah menjadi kegiatan yang diperhitungkan secara matematis.
-       Beroperasi dalam semua sector kehidupan manusia.
-       Menolak teknik sebagai pengetahuan terapan
-       Ilmu pengetahuan bergantung pada teknologi bukan sebaliknya

·         Ciri-ciri teknik masa kini

-       Rasionalitas
-       Artifisialitas
-       Automatisme
-       Self argumentation
-       Monism
-       Universalisme  
-       Otonom

·         Tiga Bidang Teknik

-       Bidang Ekonomi : Produksi > Teknik menghasilkan konsentrasi capital
-       Bidang Organisasional : administrasi pemerintahan, managemen, hukum dan militer.
-       Bidang Manusiawi : pendidikan, kerja, olahraga, hiburan, obat-obatan

·         Latar Belakang Human techniques :

-       Situasi Tertekan : Manusia mengalami sesuatu kebisiingan yang melebihi daya tahannya. Manusia dibuat sanggung menanggung apa yang dulu ia tidak sanggup menangung.
-       Perubahan Ruang dan lingkungan manusia : Ruang gerak yang terbatas juga cakrawala pandangannya menyusut.
-       Perubahan waktu dan gerak manusia waktu yang terpisah dari kehidupan alam dan manusia berpengaruh juga pada gerak yang menyesuaikan dengan gerak mesin bukan ekspresi spontan.
-       Terbentuknya suatu masyarakat massa : Hubungan sosial diganti dengan relasi-relasi teknik. Akibatnya neurosa
-       Tekni manusiawi dalam arti ketat

·         Tekni dalam Berbagai Bidang
-       Teknik Pendidikan
-       Teknik pekerjaan
-       Teknik bimbingan kejuruan
-       Teknik propaganda
-       Teknik hiburan
-       Teknik olah raga
-       Teknik kedokteran

·         Dampak Teknik dalam diri  Manusia
-       Manusia sebagai Titik temu dari berbagai teknik
-       Peneterasi teknik dalam alam sadar manusia




Minggu, 22 November 2015

Manusia Berhadapan dengan Teknologi


Mengapa Teknologi tidak begitu penting diperhatikan  dalam Studi Filsafat 
  1. Filasafat didominasi oleh filsafat “Platonis” , metafisik, dan kontemplatif. Kerja dipandang sebagai sesuatu yang negative. Atistoteles justru menggagap hina kerja yang menghambat dan menekan intelegensi. Cisero dan Seneca memuji pengangguran sebagai lebih tinggi dari kerja.
  2. Filasaft lebih merupakan “conceptual angineering “  bukan sebagai “Material engineering”
  3. Adanya pandangan dikotomis antara teori dan praksis. Erat hubungan dengan pembedaan antara Jiwa-Badan. Teori hasil Budi dan Praktek Hasil Badan
  4. Antropologi filsafat diperkembangkan dengan menganalisi kesadaran dalam hubungannya dengan mahkluk lain, dengan sesama dan dengan Allah. Lingkungan manusia hanya sebagai panggung dari moral dan religious. Tak pernah dipertanyakan tentang panggung itu sendiri atau mempertanyakan apakah panggung itu manusiawi.


Manusia tidak lagi ditentukan oleh alam (Alam Pertama) melainkan oleh teknologi (Alam kedua). Jaman dahulu alam kedua hanyalah imitasi.  Alam kedua bukan hanya melangkapi melainkan menggantikan. Manusia bahkan memanipulasi alam dan membentuk alam kedua dan yang bertentangan dengan alam pertama. Alam kedua bukan satu tetapi pluralitas. Tidak ada mekanisme pengaturan untuk mempertahankan keseimbangan dan menjamin survival walau adanya saling ketergantungan.

Penting memahami aliran filasafat Teknologi

  1. 1.   Kelompok Marxis : cara produksi kongkrit dan disitulah masalah teknologi diletakan. Kelompok ini tidak monolitis tetapi bermacam-macam aliran. Ada yang menekankan utopia marxis , ada juga yang mementingkan soal alineasi dan pesimisme. Alineasi dilihat dari penghasil dan yang dihasilkan dan bukan disatansi antara manusia dan alam.
  2. 2.       Theo-Eksistensialisme : memadukan pandangan religious dengan eksistensialisema modern. Alenasi yang ditekankan bukan antara penghasil dan hasilnya, melainkan alineasi manusia dengan essensinya. Teknologi dilihat secara negative sebagai sesuatu yang merongrong dan memisahkan manusia dengan esensinya.
  3. 3.       Filsafat Terapan : teknologi tidak dilihat pada dirinya sendiri , tetapi dipertanyakan dalam hubungan dengan akibatnya. Dipentingkan masalah implikasi etis tradisonal  dan penjelasan masalah dalam hubungan dengan keadilan sosial. Tendesinya adalah utilitarium. Teknologi dipandang netral yaitu semata-mata sebagai penemuan manusia.
  4. 4.       Phenomeno –Ontologis : Dari satu pihak teknologi dipandang tidak netral dan negative, dilain pihak teknologi dipandang sebagai cara berada dari dasein.
  5. 5.       Analisa Bahasa.

Aliran Filsafat Teknologi Menurut Pembagian Pengertian Teknologi 

  1.  Objek : Menyamakan dengan benda-benda. Mesin , alat-alat teknologi atau produksi-produksi untuk konsumsi alat-alat merupakan proyeksi dari bagian –bagian tubuh.  Pengikutnya adalah Ernt Kapp & Marshall McLuhan.
  2. Pengetahuan : abstraksi dan kesadaran. Teknologi tidak sebagai obyek tetapi pada sikap terhadap dunia. Sikap itu memanifestasi dalam teknologi secara praktis dan secara teoritis dalam pengethauan. Ilmu pengetahuan modern sebagai teknologi. Pendapat umum adalah teknologi adalah ilmu yang diterapkan.
  3. Proses : Misalnya Jacques Ellul yang menolak pandangan yang menyamakan tekonoli sebagai obyek. Teknologi modern adalah suatu kegiatan yang dicirikan tujuan efisiensi rasional.  Dapat diklasifikasikan dalam 3 bidang yaitu :a.       Ekonomi (Produksi Industrial), b.      Organisasional (Administrasi , pemerintahan, manajemen, hukum, c.       Manusiawi : (Obat-obatan, pendidikan, komunikasi , sport dll)  
  4. Kehendak : George Grant, Ernst Junger, Jose Ortega Y. Gasset. Status metafisik teknologi tidak terlepat pada obyek , pengetahuan ataupun perbuatan, tetapi pada kehendak. Menurut Ortega teknologi terjadi setiap kali citra diri manusia berusaha mencari realisasi duniawi.


Klasifikasi Teknologi menurut L. Winner :

1.       Aparatus : Alat-alat, instrument, mesin, senjata
2.       Kegiatan-kegiatan teknis : Keterampilan, metode, prosedur, rutin yang melibatkan manusia dalam menjalankan pekerjaannya
3.       Organisasi sosial : pabrik, birokrasi, jaringan-jaringan besar yang menghubungkan oran dengan aparatusnya.

Ciri Teknologi Masa Kini

1.       Masa Lampau
a.       Lingkungan sempit dan terbatas
b.      Jumlahnya sedikit dan terbatas lingkupnya
c.       Lokal dan kurang universal
d.      Kebebasan memilih masih dapat dipertahankan
2.       Masa Kini
a.       Rasionalisasi : Usaha menjadikan mekanis segalasesuatu yang spontan dan irasional
b.      Artifisialitas  : Sifat yang berlawanan dengan alamiah
c.       Automatisme :
-          Dalam lingkungan teknik. Pilihan metode, mekanisme , organisasi dan rumusandilaksanakan secara otomatis
-          Teknik mempunyai kekuatan untuk menyingkirkan yang non teknis. Atau mengubahnya menjadi kegiatan teknis.

3.       Pertambahan terus menerus : Segala sesuatu dihitung secara matematissehingga tidak lagi memberi tempat pada kebebasan. Selanjutnya teknik akan berkembang sendiri dan menuntut aplikasi yang baru.  

4.       Monisme : Kesatuan mencakup keseluruhan: teknik adalah metode kerja yang berdasarkan satu prinsip yakni efisien. Kalau demikian maka ada hubungan bersama dari berbagai teknik dari lingkungan yang bermacam-macam. 

5.       Universalisme : Kesatuan terjadi baik dalam lingkup geografis. Maupun lingkup perbedaan kualitatif tindakan-tindakan manusia. Teknik pada masa lampau hanya menyangkut satu kebudayaan dan satu unsur dari kegiatan non teknis.  Saat ini teknik telah menguasai seluruh kebudayaan.
   
6.       Otonomi  : teknik berkembang dengan prinsip-prinsipnya sendiri

Akibat-akibat yang mungkin dari Teklnologi

1.       Manusia mengendalikan tata kelakuan sesorang, Bermabagai masalah etis akan muncul dalam control prilaku ini. Penemuan teknologgi control memungkinkan manipulasi otak. Mengendalikan tata kelakukan manusia
2.       Ekonomis dan politis : multiplier effect  untuk meluaskan pembagian tidak merata dalam masyarakat. :
-          Perusahan dengan asset yang besar lebih mudah meminjam uang daripada perusahan kecil
-          Spesialisasi mengakibatkan konsentrasi tenaga ahli yang betujuan keuntungan kelompok tertentu teknologi mengimplikasikan control terhadap sumber-sumber tertentu
3.       Masyarakat teknologi kurang melahirkan pikiran-pikiran alternative Teknologi bersikap memusihi imajinasi, mitos dan impian. Padahal ini merupakan sumber dari munculnya kemungkinan baru.
-          Standarisasi
-          Uniformitas
-          Reproduksi
-          Alineasi
-          Restrukturisasi masyarakat
-          Pencemaran lingkungan
Tuntutan Teknologi : Nilai Manusiawi dan teknologis
-          Kebebasan
-          Keadilan sosial
-          Kualitas lingkungan


(Ringkasan dari Pidato Ceramah M. Sastrapratedja pada Pembukaan Tahun Kuliah Jurusan Filsafat Fakultas Sastra , Universitas Indoneisa, 1980 )

Minggu, 25 Oktober 2015

Roh Indonesia di Pameran Buku Frankfurt

Pengunjung melihat buku-buku yang dipamerkan di Paviliun Indonesia menjelang pembukaan Pameran Buku Frankfurt 2015 di Frankfurt, Jerman, Selasa (13/10). Indonesia menjadi tamu kehormatan dalam gelaran bertajuk "17.000 Islands of Imagination" itu, dengan menampilkan 75 pengarang Indonesia, yang berlangsung 14-18 Oktober 2015.


FRANKFURT, Kompas

Dengan mengenakan kebaya merah dan kain panjang, sinden Endah Laras menaiki podium Congress Center Messe Frankfurt, Jerman. Di layar, terbentang puisi Jawa abad ke-19, "Malang Sumirang", berganti-ganti dalam bahasa Jawa, Jerman, dan Inggris.

Latarnya seorang bocah perempuan bermain ayunan dalam tempo perlahan. Endah, dengan suara tinggi berbobot, membaca dan menembangkan puisi mengenai seorang yang dihukum bakar di sebuah alun-alun Jawa pada abad ke-15, tetapi di tengah nyala api, ia sempat menulis-mungkin-sebuah puisi. Orang itu dianggap melanggar hukum dan ajaran agama. Malang Sumirang namanya. 

Ketika Endah hendak turun, dengan setengah berlari penyair Goenawan Mohamad menghampirinya, mencium keningnya, lalu mengambil posisi untuk sebuah pidato selaku ketua Komite Nasional Pelaksana bagi Indonesia sebagai Tamu Kehormatan dalam Pameran Buku Frankfurt (14-18 Oktober) 2015. Demikian laporan wartawan Kompas,Salomo Simanungkalit, dari Frankfurt, Jerman, awal pekan ini. 

Pada pembukaan pameran buku terbesar di dunia itu, yang berlangsung pada Selasa, 13 Oktober petang, Goenawan dalam bahasa Indonesia yang puitis menjelaskan ihwal "Malang Sumirang". Pendengarnya, sekitar 2.400 orang yang hadir-termasuk kira-kira 320 orang Indonesia yang ambil bagian dalam pameran dan acara-acara yang digelar dalam kaitan itu-dan kelindannya dengan peran Indonesia sebagai tamu kehormatan.

"Kami sadar, Indonesia sebuah negeri yang amat jauh dan umumnya tak dikenal di sini. Namun, sambil mendengarkan Endah Laras menembang dan mengisahkan riwayat Malang Sumirang, saya berharap Anda bisa mengenal beberapa lapis alegori di dalamnya," kata Goenawan. "Saya percaya banyak hal yang bisa membangun percakapan antara kita meskipun kita datang dari benua yang berjauhan; misalnya dalam menampik kekejaman, merasakan sakitnya penindasan, dan mengalami paradoks kekuasaan."

Tentang penindasan itu sendiri, seperti ada perasaan bersama dengan pidato-pidato sebelumnya pada pembukaan pameran itu seperti dari Direktur Pameran Buku Frankfurt Juergen Boos, Menteri Kebudayaan dan Media Republik Federasi Jerman Monika Grutters, dan Wali Kota Frankfurt am Maim Peter Fieldmann. Mereka menyinggung migrasi dari Timur Tengah di Jerman yang sedang mengalami kesulitan di negerinya. Bahkan, dengan pidato pengarang Salman Rushdie dari Iran pada konferensi pers siang sebelumnya yang menyinggung pengarang dan kebebasan berekspresi, yang di beberapa negara mengalami hambatan atas nama kekuasaan: negara dan agama. 

"Saya bisa bicara bebas kepada Anda saat ini adalah hasil perjuangan untuk kebebasan melawan kekuasaan Gereja 200 tahun lalu," kata Salman Rushdie yang memamerkan roman terbarunya (2015), Two Years Eight Months and Twenty Eight Nights, dalam pameran ini.

Budaya

Pidato penutup dalam pembukaan itu datang dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan. "Saya ingin agar Indonesia, dengan hadir di Pekan Raya Buku ini, juga memandang ke era beyond books, era yang tak lagi mengandalkan buku dalam bentuknya yang sudah berumur ratusan tahun sejak mesin cetak ditemukan di Korea dan juga di Guttenberg, Jerman," katanya. "Sebab itu kami (dalam pameran ini) hadir dalam karya seni rupa, arsitektur, fotografi, film, kuliner, seni pertunjukan," ujarnya. 

Paviliun Indonesia menempati 2.400 meter persegi area pameran. Tak kalah dengan pidato Goenawan yang puitis, paviliun yang ditata artistik oleh arsitek Muhammad Thamrin dan kawan-kawan dari Bandung itu menyambut pengunjung dengan teks di sekitar pintu masuk: Words, Images, Myths, Movements-and Indonesia, 17.000 islands of Imagination Pavilion.

Paviliun Indonesia terdiri dari tujuh gugus pulau yang melambangkan ragam kegiatan dan satu sama lain dihubungkan "laut" sebagai watas imajinatif yang siap dieksplorasi: misterius dan kuyup kejutan. Ketujuh pulau itu masing-masing dengan subtema: Spice Island, Island of Tales, Island of Scenes, Island of Illumination, Island of Words, Island of Inquiry, danIsland of Images.

Spice Island, misalnya, memamerkan beragam rempah, baik dalam rupa mentah maupun olahan yang aromanya langsung dapat dirasakan pengunjung. Buku kuliner dan resep masakan dari nama-nama terpandang di Indonesia dan meluas berkat program televisi, dipajang. 

Manuskrip tua dalam replika yang apik di satu pulau ditata dalam kotak-kotak kaca, antara lain Buku Parhalaan berupa almanak atau kalender Batak, Pustaha Laklak yang berasal dari tradisi literer Batak untuk obat-obatan dan pengobatan, Bomakawya dari Hindu Bali, Negara Kartagama oleh Empu Prapanca (1365), La Galigo beraksara dan berbahasa Bugis, dan Babad Balambangan.

Buku cerita bergambar untuk anak-anak berupa dongeng dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris) yang dikarang penulis Indonesia ataupun yang bertema agama mendapat tempat strategis di Island of Tales.

Pemerintah Indonesia mengeluarkan dana Rp 150 miliar dalam perannya sebagai Tamu Kehormatan pameran itu. Seperti yang dikemukakan Goenawan, hanya ada waktu dua tahun untuk persiapan, termasuk untuk menerjemahkan karya-karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Jerman yang diminta panitia sebanyak 300 judul. "Kita baru bisa mencapai hampir 300 judul, tapi jumlah itu dalam bahasa Jerman dan Inggris," katanya.

Dalam penutup pidatonya, Goenawan menekankan bahwa menyambut kelahiran buku tak hanya berarti memamerkan kekenesan para pengarang. Juga tak hanya berarti memajang sejumlah besar komoditas di sebuah pasar yang ramai.

"Yang saya harapkan ialah bahwa kita semua bersedia mengingat kembali apa yang dilakukan Malang Sumirang: kita menulis untuk menegaskan kesetaraan manusia. Kita menulis untuk menghidupkan percakapannya. Dan, dengan demikian, kita menulis juga untuk menumbuhkan kemerdekaannya," kata Goenawan.
___

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Oktober 2015, di halaman 11 dengan judul "Roh Indonesia di Pameran Buku Frankfurt".


Asa Membangun Desa Wisata


Kekayaan dan keberagaman suku di Indonesia dapat terlihat dari seni dan budayanya. Hal itu antara lain tampak pada keberadaan rumah tradisional. Keunikan arsitektur rumah tradisional suku-suku di Tanah Air memperlihatkan kekayaan nilai estetik, bentuk, serta nilai filosofi. Pada setiap masyarakat, ketiga hal ini memiliki perbedaan tergantung adat, tradisi, dan kondisi lingkungan masing-masing daerah.

Selain menarik untuk digali, kekayaan arsitektur rumah tradisional Indonesia memiliki potensi lain yang dapat dimanfaatkan masyarakat adat untuk mengembangkan desa atau wilayah tempat tinggalnya. Potensi tersebut salah satunya adalah potensi wisata.
Hal inilah yang diperhatikan oleh PT Propan Raya sehingga menyelenggarakan Sayembara Arsitektur Nusantara 2 – 2014 dengan tajuk Desa Wisata Nusantara. Managing Director PT Propan Raya Kris Adidarma memaparkan, Indonesia sangat kaya akan arsitektur tradisional yang beragam dan unik. Arsitektur tradisional Indonesia mencerminkan kearifan budaya lokal yang pada dasarnya ramah lingkungan dan beradaptasi dengan alam. Warisan budaya dan teknologi yang sudah ada tersebut, apabila dikembangkan dengan inovasi dan ide kreatif, dapat melahirkan suatu karya arsitektur yang mampu membawa Indonesia ke tingkat dunia.
Setelah setahun berlangsung, hasil pemenang sayembara ini diumumkan pada 21 Agustus 2015. Pemenang Utama I sayembara ini diraih oleh Tobias Kea Suksmalana, Alexander Octa Kusuma, Lecia Mona Karlina, dan Heryanto Tirtoputro. Tobias dan kawan-kawan menciptakan konsep arsitektur desa wisata Sembalun Lawang, Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Bangun jiwa, bangun raga
Permasalahan yang ada di masyarakat Sembalun Lawang salah satunya adalah terputusnya hubungan masyarakat Sembalun Lawang dengan rumah adat Bleq. Kompleks rumah adat Bleq sudah tidak ditempati. Banyak masyarakat yang sudah tidak tinggal di Bleq dan banyak warganya yang sudah tidak membangun rumah adat karena keterbatasan material dan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan saat ini. Oleh karena itu, keberadaan rumah adat Bleq mulai tidak terlalu diperhatikan dan tentunya pembangunan rumah tradisional milik masyarakat Sembalun Lawang sudah berkurang jauh.
Ditambah lagi dengan keberadaan generasi muda Desa Sembalun Lawang yang benar-benar sudah merasa putus hubungan dengan warisan leluhur, salah satunya rumah adat tersebut. Jika dibiarkan begitu saja, tentu lamban laun masyarakat Desa Sembalun Lawang dapat kehilangan identitas dirinya.
Oleh karena itu, Tobias dan kawan-kawan mengadopsi semangat yang telah dimiliki oleh masyarakat Sembalun Lawang, yaitu gompar atena, gompar awakna yang berarti bangun jiwanya, bangun raganya dalam mengembangkan arsitektur desa wisata Sembalun Lawang.
Pengembangan arsitektur desa wisata Sembalun Lawang yang dirancang oleh Tobias dan kawan-kawannya adalah pembangunan berbasis komunitas. Pengembangan ini terdiri atas dua tahap. Tahap pertama, yaitu zona penyangga berupa pembangunan sanggar dan fasilitas pengolahan pupuk organik. Kemudian zona tersier yakni pembangunan pusat turisme. Tahap kedua, pengembangan zona inti dengan konservasi rumah adat Bleq dan zona tersier yakni renovasi rumah penduduk, renovasi bale perempuan tangguh yang biasanya digunakan oleh para perempuan Sembalun untuk menenun, dan renovasi pondok-pondok tani.
“Bukan hanya segi arsitekturnya, dalam pengembangan desa wisata, yang terutama untuk dikembangkan bukanlah aspek wisatanya. Lebih fundamental lagi, yang perlu dikembangkan adalah kemandirian desa dalam mengelola alam dan budayanya serta menumbuhkan kebanggaan atas budaya yang mereka hidupi. Jika hal ini bisa dicapai, desa memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menjaga lokalitas mereka secara berkesinambungan. Pada akhirnya, wisata dapat ditambahkan sebagai bonus atas lokalitas yang dapat dijaga oleh desa,” terang Tobias. [ACH]
FOTO-FOTO DOK TOBIAS KEA SUKSMALANA.

http://infoklasika.print.kompas.com/asa-membangun-desa-wisata/

Rabu, 21 Oktober 2015

JALAN PANJANG YANG BERLIKU : Refleksi 50 Tahun Integrasi Papua Kedalam NKRI



Judul Buku : Jalan Panjang Yang Berliku:
Refleksi 50 Tahun Integrasi Papua Kedalam NKRI

@ Hak Cipta : Paskalis Kossay,S.Pd. MM 

Penulis :
Paskalis Kossay, S.Pd. MM

Cetakan Pertama,    Oktober 2013

14 x 21 cm
x  + 146  halaman
ISBN : 978-602-98799-7-1

Penerbit
 TOLLELEGI



Cuplikan Pengantar Penulis

Mencermati fluktuasi dinamika sosial politik dan keamanan di Tanah Papua, antara lain dipengerahui oleh faktor belum tuntasnya pemahaman politik rakyat Papua terhadap proses Integrasi Papua kembali kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, hal ini menyebabkan sebagian besar orang Papua masih memiliki pemahaman yang berbeda tentang proses integrasi. Sebagian kalangan rakyat Papua berpendapat  integrasi Papua kedalam NKRI tanggal 1 Mei 1963 itu cenderung dipaksakan oleh kepentingan politik Amerika yang memboncengi Indonesia merebut hak kedaulatan bernegara orang Papua yang sudah memperoleh kemerdekaannya dari Belanda sejak 1 Desember 1961.  Dengan dilatari pemahaman demikian, maka posisi  orang Papua  saat ini sedang dalam menggugat realitas sejarah integrasi tersebut dengan berbagai upaya politik antara lain melalui jalur diplomasi dan gerakan internasionalisasi isu  Papua ke tingkat dunia.
                Menyadari akan perkembangan politik tersebut diatas, di usia lima puluh tahun Papua berintegrasi kedalam NKRI ini, penulis mencoba merefleksi perjalanan politik Papua. Adapun hasil refleksi tersebut diartikulasikan   dalam catatan atau tulisan berbentuk buku dengan judul “Jalan Panjang yang  Berliku : Refleksi 50 Tahun Integrasi Papua kedalam NKRI”. Adapun muatan buku ini, penulis mendeskripsikan perjuangan politik Indonesia untuk merebut kembali Papua kedalam NKRI, mulai dari upaya diplomasi, perundingan, sampai pada upaya konfrontasi terbuka dengan pihak Belanda.
                Selain itu penulis juga mengetengahkan dinamika pembangunan dan  politik setelah Papua berintegrasi kedalam Indonesia sampai dengan Lima Puluh Tahun hari ini, dan juga  pandangan masyarakat Papua sendiri terhadap nilai integrasi tersebut yang dikomparasikan dengan pandangan masyarakat Indonesia secara keseluruhan serta pandangan masyarakat Internasional terhadap nilai integrasi Papua kedalam Indonesia dan dikaitkan juga dengan upaya pergerakan internasionalisasi issu Papua di dunia internasional.    
                Setelah direfleksi,  ternyata  selama 50 tahun integrasi  isu Papua begitu berkembang luas diberbagai dunia internasional. Hal ini sangat mempengaruhi kredibilitas proses integrasi Papua kedalam Republik Indonesia akhirnya  berimplikasi negatif kepada stabilitas pembangunan nasional yang sedang dilaksanakan di Papua selama lima puluh tahun terakhir.  Hal ini dibuktikan oleh fakta di lapangan bahwa, dinamika pembangunan di Papua belum menunjukkan kemajuan yang berarti bagi kehidupan masyarakat sebagaimana yang diharapkan oleh semangat perjuangan integrasi. Akibatnya,  kehidupan rakyat Papua selama lima puluh tahun nyaris tertinggal. Hal ini juga memicu dampak psikologis bagi orang Papua yang semakin tertekan akhirnya tidak mudah mempercayai proses integrasi itu sendiri dan kepemimpinan nasional dari periode ke periode, kemudian rakyat Papua mulai berbalik arah berpikir ulang terhadap realitas politik masa lalu dan kembali beraksi  menggugat  pengembalian  hak politik orang Papua seperti sedia kala.
                Dengan penulisan refleksi lima puluh tahun integrasi Papua, penulis berharap agar buku ini dapat dibaca oleh orang Papua maupun semua orang Indonesia untuk menjadi inspirasi baru dalam berkontribusi positif menyelesaikan masalah-masalah krusial di Papua secara proporsional, jujur, adil dan menyeluruh. Dengan demikian, rakyat Papua tidak dibawa dalam suasana kebingungan oleh konspirasi dan perbedaan pemahaman politik yang merugikan keberlangsungan pembangunan daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat Papua
                Akhirnya, penulis menyadari sebagai manusia  tentu penulisan buku ini banyak terdapat hal-hal yang bertentangan dengan persepsi dan pemahaman para pembaca, namun selaku orang Papua, penulis mempunyai tanggung jawab moral untuk memberikan pencerahan  dan informasi yang berimbang   kepada siapa saja agar bisa dapat memahami masalah Papua secara utuh pula. Memang, penulis menyadari isi buku ini tidak sempurna seperti yang diharapkan, namun penulis tetap berusaha seoptimal mungkin, merangkaikan isi buku ini, dari permasalahan yang ada sejak dahulu sampai hari ini supaya dipahami oleh semua kalangan. Semoga bermanfaat bagi yang membacanya.

Jakarta,  1 Oktober  2013

Penulis
Paskalis Kossay, S.Pd. MM


Merawat Masa Depan Dunia Perbukuan

Sumber : http://infoklasika.print.kompas.com/merawat-masa-depan-dunia-perbukuan
Kompas Cetak/ Rubrik Klasika, Kamis 22 Oktober 2015
Kenikmatan yang bersumber dari menghidu aroma kertas pada buku, meraba teksturnya yang rapuh, menelusuri baris demi baris kalimat apik yang tertera di sana, atau membolak-balik halamannya yang menggugah rasa penasaran barangkali kini sudah tak lagi akrab dengan kita. Tren global menunjukkan konsumsi buku secara general turun drastis.
Studi yang dilakukan Gallup di Amerika Serikat menyebutkan, sekitar 48 persen responden membaca 11 buku atau lebih per tahun pada 1978, sementara pada 2014 persentasenya merosot menjadi 28 persen. Di Korea Selatan, penjualan buku menurun 20 persen pada 2012 dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, di tengah derap teknologi digitalnya, Korea Selatan kini juga giat meniupkan semangat untuk menumbuhkan kembali kebiasaan membaca buku
Sumber Foto : Kompas 

Upaya menggairahkan dunia perbukuan di Korea Selatan begitu kentara pada Oktober tahun ini. Beragam ajang digelar untuk kembali mendekatkan orang pada buku. Kegiatan tersebut antara lain Paju Book Award 2015, Seoul International Book Fair (SIBF), program Toji Cultural Centre Residency for Writers, dan Asian Publisher Fellowship Program in Seoul.
Semua penikmat buku rasa-rasanya akan jatuh cinta pada Paju, kota pusat industri buku di Korea Selatan. Selain menjadi wadah bagi penerbit dan percetakan, kafe buku dan perpustakaan menjadi daya tarik Paju. Atmosfer hangat menyambut begitu kita memasuki perpustakaan. Rak-rak kayu menjulang setinggi langit-langit, pendar kuning lampu membuat kita merasa tak berjarak dengan ruangan, kafe kecil yang terletak di tengahnya menghadirkan suasana akrab. Di tempat inilah malam penghargaan Paju Book Award diselenggarakan.
Paju Book Award terutama bertujuan merangkul penerbit, penulis, ilustrator, dan semua orang yang terlibat di industri buku untuk bersama-sama memajukan dunia perbukuan dan merekam geliat Asia Timur dengan buku. Apresiasi diberikan lewat sejumlah kategori penghargaan, yaitu Writing Award, Planning Award, Book Design Award, dan Special Award.
Otsuka Nobukazu, Paju Book Award Representative Committee Member dari Jepang begitu bangga ajang ini bisa konsisten terselenggara sampai yang keempat pada 2015. “Asia berperan penting pada pertumbuhan buku global. Dan pada buku sejati, saya bisa merasakan jiwanya,” ujar Nobukazu, Sabtu (6/10), pada malam penghargaan.
Pada forum Asian Publisher Fellowship Program in Seoul, peran editor berdiskusi tentang apa yang bisa dilakukan agar buku mampu menjadi dinamis dan mengikuti gerak zaman. Editor Gramedia Pustaka Utama Hetih Rusli juga berkesempatan memaparkan perkembangan buku di Indonesia. Dunia digital, dalam penjelasan Hetih, justru menjadi peluang untuk disinergikan dengan buku.
“Kita juga bisa mengolaborasikan buku dengan film. Film dapat membantu mempromosikan dan meningkatkan nilai jual buku,” tutur Hetih di Seoul, Rabu (7/10).
Tang Xuefeng dari Tshinghua University Press, Tiongkok, juga berbagi tentang salah satu proyek buku menarik yang sedang mereka garap. Menyadari daya tarik visual dan sains bisa digabungkan, Tsinghua akan menerbitkan buku yang menampilkan foto makro hasil rekam proses perubahan zat kimia lewat proyek Beautiful Chemistry. Tak dinyana, bentuk maupun perpaduan warna zat-zat kimia itu begitu indah.
Asian Publisher Fellowship Program in Seoul ditutup dengan makan malam yang sederhana tapi intim, berada di ruang kecil sehingga orang-orang bisa saling menyapa. Diiringi musik akustik yang volumenya tak mengganggu jalannya obrolan di antara semua yang hadir, penulis dan penerjemah V Ramaswamy dari India bercerita, ia baru saja mengikuti program residensi yang diadakan Toji Cultural Centre.
“Program ini luar biasa. Selama satu bulan, saya diberi ruang menulis yang hening dan dikelilingi perbukitan. Dari jendela yang lebar, setiap hari saya bisa menghirup udara segar dan mendengar kicauan burung. Ruang bebas interupsi seperti inilah yang saya butuhkan, tempat yang sempurna untuk menyelesaikan proyek penerjemahan yang sedang saya kerjakan,” kata Ramaswamy dengan begitu antusias.
Eratkan hubungan
Korea Selatan dan Indonesia sedang terus menjalin relasi, terutama dalam hal perbukuan. Tahun ini, Korea Selatan menjadi tamu kehormatan pada Indonesia International Book Fair September lalu. Upaya-upaya untuk mengenal Korea Selatan secara lebih mendalam juga ditempuh dengan beragam cara, termasuk lomba menulis yang diadakan penerbit Grasindo dan Korea Cultural Center dengan tema “Korea dalam Kata dan Rasa”.
Lewat kompetisi tersebut, para penulis ditantang untuk mengeksplorasi budaya Korea Selatan. Para pemenang, antara lain Pretty Angelia Wuisan, Indah Erminawati, Mega Marchelina, dan Debyanca Sagitasya Saputra berkesempatan mengunjungi Seoul dan mempresentasikan karya mereka di depan Korea Publishers Society.
“Kami tidak menyangka penulis-penulis yang belum pernah ke Korea ini bisa bercerita dengan baik tentang Korea. Ke depannya, Korea Publishers Society ingin membangun kerja sama bilateral antara penerbit Korea dengan penerbit Indonesia,” ujar President of Korea Publishers Society Chul Ho Yoon, Senin (5/10).
Lewat beragam cara, orang-orang dari penjuru dunia yang kebetulan bertemu di Seoul beberapa waktu lalu memperjuangkan sesuatu yang sama. Memberikan roh pada buku, memopulerkan lagi kebiasaan membaca. [NOV]