Sabtu, 08 Desember 2018

Yuk, Terbitkan Buku Sendiri!

KOMPAS.com - Anda senang menulis cerpen, atau cerita bersambung? Jangan biarkan tulisan Anda menumpuk di dalam komputer saja. Agar karya bisa dikonsumsi publik, sebagian penulis memilih untuk melakukan self publishing. Bagi Anda yang berniat mencoba cara ini, ikuti langkahnya.


Siapkan naskah
Siapkan naskah yang siap terbit. Jika ingin mendapat keuntungan finansial dari penjualan buku, sesuaikan dengan selera pasar. Kecuali jika Anda sudah punya target market sendiri.


Siapkan modal
Umumnya, modal yang dibutuhkan sekitar Rp 10-30 juta, tergantung dari jumlah halaman dan eksemplar. Jika Anda tak memiliki cukup modal, cobalah tawarkan kerja sama dengan teman atau lembaga tertentu.


Urus ISBN dan barcode
Setiap judul buku perlu identitas yang berlaku secara internasional dengan cara mendapatkan nomor ISBN (International Standard Book Number). Nomor ini bisa didapatkan di Perpustakaan Nasional. Setelah mengisi formulir keanggotaan ISBN, kita akan mendapatkan kartu keanggotaan dan penerbitan buku kita akan tercatat. Setelah itu tinggal buat barcode buku.


Pilih percetakan tepat
Usahakan memilih percetakan yang sudah biasa mencetak buku agar kualitas buku terjaga. Jika tidak, bisa jadi Anda justru sedang mempertaruhkan kredibilitas, kepercayaan pembaca.


Tentukan harga jual
Jumlahkan seluruh biaya produksi percetakan dibagi dengan jumlah oplah buku, lalu dikalikan lima, hasilnya adalah harga jual buku kita. Jangan menetapkan harga terlalu tinggi, karena akan memengaruhi minat beli konsumen. Cobalah berkonsultasi dengan distributor atau toko buku.


Pilih distributor
 Temukan distributor yang tepat, dan buatlah perjanjian distribusi. Bagaimana sistem penjualannya, apakah beli putus atau konsinyasi. Berapa keuntungan untuk distributor dan royalti untuk penulis. Jangan lupa, mintalah laporan penjualan buku Anda setiap bulannya.


Kerja sama dengan penerbit
Untuk diterbitkan menjadi sebuah buku oleh sebuah penerbit, Anda butuh trik khusus.


 Ide kreatif.
Kemungkinan lebih besar diterima bila ide naskah Anda itu kreatif dan tidak pasaran.


Penerbit tepat.
Pilih yang sesuai dengan ide tulisan. Jangan kirim cerita romantis ke penerbit khusus, seperti Yayasan Obor yang banyak menerbitkan buku ilmiah. Hati-hati pula terhadap kredibilitas penerbit, karena ada yang nakal, menerbitkan buku tanpa persetujuan penulis.


Buat surat pengantar.
Bila sudah menemukan penerbit yang tepat, kirim surat pengantar mengenai tulisan Anda. Buat surat yang menerangkan tema dan isi buku Anda. Mintalah penerbit untuk mengabarkan apakah karya Anda diterima atau ditolak.


Bicarakan royalti.
Bila naskah Anda diterima, jangan sungkan untuk membicarakan soal royalti. Biasanya, untuk pemula, penulis mendapat royalti 8 - 10 persen untuk cetakan 3.000 eksemplar pertama.


 Promosi sendiri.
Manfaatkan jejaring sosial untuk mempromosikan buku Anda. Semakin sering berpromosi, maka semakin dikenal buku Anda. Manfaatkan pula blog atau multiply untuk memperbesar kesempatan dilirik penerbit. Aktif di komunitas juga akan membantu, karena Anda punya jejaring teman banyak yang potensial jadi pembeli buku Anda.


Jangan patah semangat bila naskah Anda ditolak. Tanyakan pada penerbit alasan penolakannya agar Anda bisa memperbaikinya. Atau, kirimkan ke penerbit lain.


Masih ditolak juga? Terbitkan saja di dunia maya. (CHIC/Bestari Kumala Dewi/Erika Paula)


Artikel ini telah tayang di 
Kompas.com dengan judul "Yuk, Terbitkan Buku Sendiri!", https://lifestyle.kompas.com/read/2011/05/05/13103141/yuk.terbitkan.buku.sendiri

Rabu, 05 Desember 2018

BISA HIDUP DARI MENULIS BUKU?



Oleh : Robert Bala


Beberapa saat lalu, saya mendapatkan SMS (atau lebih tepat inbox FB) dari seorang ‘sahabat’ di Kupang. Saya sebut sahabat karena sama-sama memiliki hobi dalam menulis. Tetapi secara fisik kami belum saling bertemu.


Ia menayakan hal ‘sederhana’ tetapi cukup menggoda. ‘Apakah pa Robert bisa hidup dari menulis buku?’ Pertanyaan yang cukup lama saya tinggalkan kosong tanpa membalas. Bagi saya ini pertanyaan yang sangat sulit.


Berhenti Menulis

Pernah beredar protes dari Tere Liye yang berhenti menulis buku. Alasannya karena pajak yang dibebankan kepadanya (dan semua penulis) cukup banyak. Baginya, penulis buku adalah orang yang paling ‘dermawan’ kepada negara karena membayar pajak lebih banyak dibandingkan profesi lainnya.


Untuk penghasilan Rp 1 miliar, menurut hitung-hitungannya, profesi lain membayar di bawah 100 juta. Tetapi bagi sooerang penulis buku, karena ditempatkan sebagai ‘royalty’ maka ia bisa membayar sekitar Rp 250 ribu.


Pengalaman Tere Liye juga hampir sama diungkapkan sorang penulis senior. Saat saya masih berutak-atik hanya menulis artikel, ia sudah menulis buku. Ada sebuah kalimat yang saya tidak akan lupa: “Penulis itu sapi perahnya penerbit”. Artinya, yang ‘untung’ adalah penerbit. Penulis itu hanyalah sapi perahan yang diambil susunya ketika masih berguna tetapi ditinggal lepas kalau sudah tidak ada ‘susu lagi’.


Saya terkejut dengan ungkapan itu. Memang saya juga bertanya, kalau demikian penerbit adalah sapi perah, mengapa ia tak jerah juga menulis? Mengapa buku demi buku ia tampilkan. Kerap dibangga-banggakan, sementara sebenarnya ia merasakan diri begitu ‘diperas tenaganya?


Informasi dari senior ini membuat saya berhati-hati ketika memasuki dunia tulis menulis penuh ‘peras-memeras’ (dalam bahasa senior saya). Memang di satu pihak, apa yang dikatakan senior itu benar adanya. Seorang penulis hanya menerima royalti 6 bulan sekali, tepatnya pada Februari dan Agustus. Lebih dari itu tidak ada lagi.  Mungkin ini membenarkan diri penulis sebagai ‘sapi perah’.


Positifnya, selagi buku kita ‘laris, royalty pun mengalir tanpa henti. Artinya setiap 6 bulan, pada penjualan yang wajar (600 ex), maka penulis mendapatkan sekitar 3 jtau dipotong pajak.Artinya sekitar Rp 2,5 juta. Hal itu yang membuat penulis ikut menikmati hasilnya, meskipun harus menunggu setengah tahun.


Mengingat tidak ada lagi pemasukan, maka kiat yang ditawarkan penerbit biasanya pemberian ‘diskon’ 20-30% untuk setiap buku yang dijual. Di sinilah seorang penulis perlu mejalin relasi. Sebelum buku masuk ke pasaran, sudah ada tawaran kepada orang sekitar untuk bisa membelinya.  Di sini, ‘dana’ segar bisa diperoleh.


Bagi seorang penulis yang menerbitkan karyanya melewati proses seleksi di penerbitan, penjualan pribadi ini merupakan ‘income’ tambahan. Tetapi bagi penulis yang ‘membayar’ selurhnya untuk menerbitkan buku, royalty itu tidak diperoleh. Ataupun itu ada, semuanya bergantung pada pembeliannya sendiri.


Di sinilah masalah yang sering dihadapi. Buku yang dijual itulah yang diterbitkan. Semuanya tergantung pada relasi. Sudah pasti, seluruh marketing penjualan akan bergantung pada relasi pribadi. Tidak lebih dari itu.


Untuk hal ini, tentu ada banyak penulis buku yang merasa sudah puas dengan diterbitkannya karya itu. Kalau ia PNS, terbitan itu bisa saja memberikan angka kredit, hal mana sudah merupakan ‘upahnya’. Selain itu, ia sudah cukup bangga bisa menerbitkan sebuah karya.


Tetapi bagaimanapun juga, kerja menuju penerbitan buku itu tidak sedikit. Kalau pun tidak memberikan keuntungan, minimal semua biaya bisa ‘dicover’ dengan pembelian itu.  Itulah harapannya. Namun yang terjadi kerap tidak demikian. Jangankah tutup ongkos, kerap penulis sendiri harus ‘ngutang’ demi melunaskan jumlah buku yang telah ia beli.


Di sana, di balik sanjungan dan sorak-sorai, penulis justru merenungkannya sendiri dalam ‘duka’. Boro-boro dapat untung, tutup biaya saja kesulitan. Belum lagi lingkarang pertemanan yang turut menambah ‘hutang’ dengan tidak cepat membayar buku yang sudah dibeli.


Mengevaluasi


Setelah buku pertama, penulis cepat menyadari bahwa tebalnya buku berpengaruh pada harga. Tak tanggung-tanggung, pada buku pertama HOMILI YANG MEMBUMI, harga mencapai Rp 70.000 karena terdapat 320 halaman. Angka yang tentu tidak sedikit bagi banyak pembaca.


Setelah proses itu, saya jadi paham bahwa pembuatan film untuk buku menggunakan kelipatan 16. Artinya tebalnya buku harus dikalikan dengan angka 16 untuk menentukan jumlah halaman. Dari buku pertama di atas, terdapat 20 film buku. Bila dihitung ‘pukul rata’ maka sebuah film sekitar Rp 3.500.


Pengetahuan sederhana ini kemudian jadi catatan penting dalam penerbitan buku kedua. Pada buku MENJADI FASILITATOR, saya sudah ‘merampingkannya’ menjadi 144 halaman atau 9 film. Harga buku pun menjadi sekitar Rp 35.000. Deikian buku berikutnya BERBUAH DI USIA SENJA. Karena terdapat 11 film dari 176 halaman maka harga buku menjadi Rp 50.000 (Catatan: harga buku juga ditentukan oleh harga kertas, model kertas).


Adanya ‘ekonomisasi’ dalam jumlah halaman menjadi sebuah catatan tersendiri. Bila pada edisi perdana buku, karena belum terlalu ‘pede’ dalam menulis buku, maka perlu ada Kata Pengantar dari orang lain. Apalagi buku itu ditujukkan untuk lingkup Gereja, sehingga perlu ada otoritas yang lebih menambah daya dorong membeli buku.


Selain itu ada halaman yang saya dedikasikan untuk komentar pembaca. Hal itu antara lain cukup menambah harga buku, hal mana sangat saya perhatikan setelah buku selanjutnya. Singkatnya, menulis buku tidak bisa dibiarkan begitu saja ‘ide’ liar tanpa memperhitungkan dimensi ekonomis. Kemampuan baca pembeli serta usaha tidak bertele-tele dalam menulis menjadi pembelajaran yang akan diterima oleh penulis. Kalau bisa diungkapkan secara singkat dan padat, mengapa harus bertele-tele yang tidak saja membosankan tetapi juga menambah harga.


Bagi guru atau dosen yang menghasilkan buku, tentu analisis kemampuan daya beli ini kurang menjadi kecemasan. Banyaknya mahasiswa setiap tahun sudah bisa diprediksikan akan menjadi ‘sumber yang tidak mengering’. Selagi ia masih mengajar dan menjadikan bukunya sebagai ‘referensi utama’, maka pembelian itu akan terus ada. Bukan mustahil kalau bukunya bisa jadi ‘best seller’.


Tetapi pengalaman itu mesti jadi evaluasi ketika beralih menulis buku puler untuk khalayak. Ia akan memasuki alam yang tidak bisa diprediksikan, hal mana mulai sangat diperhitungkan. ‘Antusiasme’ pada satu buku kuliah, tidak serta merta menjadi kesimpulan bahwa demikian akan terjadi juga dalam buku bersifat umum.


Hidup dari Buku?


Lalu, apakah seroang penulis buku dapa thidup dari bukunya? Jawabannya tentu ya dan tidak. Semuanya tergantung pada pengemasan buku.


Pertama, seorang penulis bisa hidup dari buku kalau ia telah melewati proses analisis terhadap daya serap pembaca / pembeli. Dengan memesan jumlah exemplar, ia sudah mengasumsikan bahwa ketika keluar buku tersebut, sudah ada pembaca yang siap membeli. Hal ini sangat penting dibuat oleh penulis yang menerbitkan bukunya pada penerbit dengan jangkauan masih kecil.


Penentuan waktu ‘launching’ dan momen yang pas, tentu akan memengaruhi pembelian pada awalnya. Bila seorang penulis memesan 100 eksemplar minimal, maka ditargetkan maka ongkos cetak / terbit sekitar Rp 60.000 untuk buku di bawah 200 halaman. Dengan demikian ongkos yang harus dibayar penulis pada awalnya minimal Rp 6. 000.000. Sekali lagi, semuanya akan ditanggung oleh penulis buku.


Untuk yang menerbitkan buku melalui penerbit ‘besar’ tentu saja beban ini tidak ada lagi. Setelah buku terbit, ia tidak diwajibkan memesan buku. Tetapi pada sisi lain, ia bisa melakukannya dalam jangkauan terbatas buku-buku mengingat penerbit biasanya memberikan diskon sebesar 20-30% tergantung jumlah yang dipesan. Di sini ia bisa memiliki ‘sedikit’ dana sambil menunggu royalty (biasanya 10% ) yang baru akan diberikan penerbit tiap 6 bulan, pada bulan Agustuas dan Februari).


Kedua, seorang penulis bisa ‘hidup’ dari buku, ketika hadirnya buku segera diikuti dengan kegiatan ‘pelatihan’ atau ‘workshop’ sesuai buku. Pelaksanaan kegiatan seperti itu akan sangat membantu penjualan. Untuk sebuah kegiatan seminar, biasanya penjualan dapat mencapai 20 ex buku, belum lagi kalau penulis ‘diundang’ maka ada tambahan ‘uang transport’.


Dalam pengalaman pribadi, buku yang ada semuanya sudah mengarah kepada workshop. Buku ‘Homili yang Membumi’ dan Menjadi Fasilitator telah menjadi teman favorit darinya dilaksanakan beberapa workshop. Sementara buku Creative Teaching dan Menjadi Guru Hebat sebenarnya lahir dari worskhop yang sudah dilaksanakan. Harapannya, tentu ke depan, masih ada kegiatan serupa yang bisa membantu atau mendongkrak penjualan buku.


Buku BERBUAH DI USIA SENJA, masih dalam proses perencanaan. Sudah dalam agenda, pada tahun 2019, akan dilaksanakan workshop. Malah ketika sudah ada ancang-ancang, workshop, saya segera muncul ide menerbitkan buku ‘SUCCESSFUL AGING’ (Penuaan yang sukses) yang diharapkan bisa hadir di awal tahun 2019 nanti.


Kesimpulannya, ‘untung’ atau ‘ruginya’ seorang penulis buku tidak saja bergantung pada penerbit atau pasar tetapi juga pada penulis itu sendiri. Ia harus ‘kreatif’ menciptakan jaringan agar ketika buku ini muncul, ada sambutan. Pemanfaatan Media Sosial dapat menjadi sarana untuk promosi.


Pada sisi lain, media sosial juga dapat menjadi indikator mengukur antusiasme orang pada buku. Beberapa buku yang sudah diterbitkan sangat inspiratif terhadap peran media sosial. Tanggapan pembaca sungguh menjadi masukan berharga.


Demikian ‘sharing’ atas pengalaman menulis buku. Dalam dunia menulis buku, saya juga adalah pemula. Tetapi keberanian menerbitkan 6 buku dalam 2 tahun, minimal masih memberikan harapan bahwa antusiasme ini tidak akan terjadi kalau tanpa ada manfaat ekonomis. Kalau pun tidak terlalu banyak manfaatnya, minimal tidak membuat penulis ‘nombok’. Semoga bermanfaat.


Robert Bala. Menulis buku sejak tahun 2017 setelah 16 tahun menulis artikel di berbagai media massa.



Sumber Tulisan
https://bertoamigo.wordpress.com

Senin, 09 Juli 2018

Kepemimpinan

Oleh GINANDJAR KARTASASMITA


Setiap kali datang perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus, ada empat perasaan yang menyertainya. Sukacita, haru, prihatin, dan harapan. Pada saat-saat itu kita juga mengenang jasa para pemimpin pada masa sebelum dan awal kemerdekaan, masa panjang dan penuh pergolakan.  


Pada masa-masa menentukan itu, tampil pemimpin kaliber besar seperti Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Otto Iskandardinata, Supomo, M Yamin, Hasyim Asy'ari, Abdoel Moeis, Ki Bagus Hadikusumo, M Natsir, dan Sudirman. Para tokoh pergerakan itu berasal dari latar belakang berbeda, tetapi dipersatukan oleh kesamaan cita-cita perjuangan.  Karakter kuat para pemimpin itu terbentuk dalam perjuangan melawan penjajah. Mereka tampil sebagai pemimpin pergerakan pada usia muda sehingga tidak berlebihan jika dikatakan cikal bakal negeri dibentuk oleh para pemuda.


Mereka pejuang yang bukan hanya memiliki idealisme, melainkan juga intelektual, tecermin dalam pidato dan tulisan mereka. Sumpah Pemuda dan Pancasila, meski dengan rumusan singkat dan sederhana, adalah karya intelektual yang besar yang hingga kini dan sampai akhir zaman menjadi pedoman perjalanan dan kehidupan bangsa kita. UUD 1945 merupakan karya kolektif yang monumental.


Pemimpin yang tepat


Bangsa Indonesia tidak dapat mengharapkan selalu dapat memperoleh pemimpin yang besar seperti Bung Karno dan Bung Hatta, yang mempunyai kapasitas individu dan kualitas kepemimpinan yang luar biasa dan tampil bersama dengan peran yang historis dan teramat menentukan dalam perjalanan bangsa. Namun, dari beliau-beliau itu, kita dapat belajar mengenai bagaimana sosok pemimpin bangsa yang tepat untuk masanya. Tantangan bagi kita sekarang adalah mencari pemimpin yang tepat untuk masa sekarang dan ke depan.


Renungan ini dirangsang pandangan dua tokoh intelektual yang kebetulan saya kenal. Kishore Mahbubani (dekan pada Lee Kuan Yew School of Public Policy di National University of Singapore) dan Klaus Schwab (pendiri dan Ketua World Economic Forum, penulis buku The Fourth Industrial Revolution) mencoba menjawab  pertanyaan apa yang membuat seseorang menjadi seorang pemimpin besar (what makes a great leader)? Bagi Mahbubani, karakter kepemimpinan mencakup compassion(kepedulian), canniness (kecerdikan),  ancourage (keberanian). Sementara Schwab karakternya mencakup heart (hati), brain(kecerdasan), muscle (kekuatan), nerve(ketangguhan), dan soul (nurani). 


Kedua penulis ini menyebut beberapa pemimpin dengan karakter berbeda. Misalnya, Justin Trudeau, Perdana Menteri Kanada, memiliki empati yang tinggi dan komitmen menolong rakyat kecil. Masuk dalam kategori ini Nelson Mandela dan Mahatma Gandhi. Pemimpin kontemporer yang menonjol kecerdasannya, menurut mereka, adalah Xi Jinping dan Narendra Modi. Keduanya berhasil beradaptasi dengan perkembangan teknologi (khususnya teknologi informasi dan komunikasi/TIK) yang mengubah pola kehidupan manusia dengan pesat sekali. Mereka menempatkan Angela Merkel sebagai pemimpin yang memiliki keberanian yang ditunjukkan dengan menerima jutaan pengungsi yang datang dari masyarakat dengan budaya yang sangat berbeda. Langkah Merkel ini mendapatkan tantangan keras, tetapi ia konsisten melaksanakannya.


Yang menarik, mereka menempatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama dengan Angela Merkel. Presiden Jokowi disebut memiliki keberanian karena berupaya melawan dengan sepenuh hati kelompok-kelompok radikal dan populis di negaranya. Walaupun mendapatkan banyak tantangan karena dianggap tidak demokratis, Presiden Jokowi tegas dengan sikap untuk membubarkan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia karena jelas-jelas bertentangan dengan ideologi Pancasila. Pengakuan dunia luar atas kepemimpinan Jokowi itu telah mengilhami saya untuk menulis artikel ini.


 Apa yang dapat dipelajari dari pandangan Mahbubani dan Schwab? Pertama, pemimpin muncul dari zaman apa saja karena memang tidak ada yang disebut sebagai zaman normal. Setiap masa memiliki pergolakan dan tantangan sendiri. Indonesia, yang saat ini sudah berusia 72 tahun, tentunya berbeda dengan ketika negeri masih berupa gagasan dan awal pembentukannya, demikian pula kepemimpinan yang dibutuhkan.


Kedua, kita sebetulnya sudah berada pada jalan yang benar. Keyakinan itu diperkuat oleh data dari Gallup World Poll 2017 mengenai urutan negara dengan kepercayaan publik yang menempatkan Indonesia pada posisi teratas bersama Swiss. Hasil hampir serupa diperlihatkan oleh pengukuran yang dilakukan Edelman Trust Baromoter 2017, yang menempatkan Indonesia pada posisi kedua setelah India, dalam pengukuran atas 28 negara.


Namun, kita juga memerlukan pemimpin yang mumpuni di daerah, di sektor bisnis, partai politik, dan masyarakat sipil. Pemimpin di daerah memiliki peran yang cukup penting sebagai konsekuensi kebijakan desentralisasi. Walaupun saya merasa prihatin dengan banyaknya kepala daerah yang terkena kasus hukum, masih ada kepala daerah yang membanggakan dan muncul nama-nama seperti Nurdin Abdullah, Dedi Mulyadi, Ridwan Kamil, Emil Dardak, dan Tri Rismaharini yang dapat sedikit mengobati kekecewaan. Sayangnya, jumlah ini masih sedikit dibandingkan dengan kepala daerah yang gagal dan bahkan tersangkut hukum.


Pemimpin modern


Masalah utama yang kita hadapi sekarang adalah keadilan sosial. Untuk mencapai keadilan sosial tentu tak mudah. Ada banyak kesenjangan di negeri ini, mulai dari ekonomi, akses politik, hingga digital. Mengenai hal yang disebut terakhir, pemimpin harus jeli melihat karakter demografis penduduk yang saat ini banyak berasal dari kategori generasi Z atau milenial. Walaupun kelihatannya tidak terlalu peduli, mereka, dengan berbagai gawai di tangannya, mampu menyerap informasi lebih banyak.


Itu artinya mereka mampu merekam lebih banyak fakta. Rekaman inilah yang akan mereka ingat, olah, jadikan pangkal tolak pikiran dan tindakan serta wariskan ke depan. Tentunya kita tidak menginginkan rekaman tersebut menunjukkan bangsa ini berjalan di tempat atau maju merangkak, padahal bangsa-bangsa lain kemajuannya melompat-lompat.  


Memang masyarakat yang makin canggih, tuntutan kepada pemimpinnya akan kian canggih pula. Karena masa depan sangat padat teknologi, seorang pemimpin tak boleh merasa asing terhadap kemajuan ilmu dan teknologi. Hal ini tak berarti seorang pemimpin harus seorang ilmuwan (scientist). Yang lebih penting seorang pemimpin harus memiliki apresiasi terhadap ilmu pengetahuan dan peran teknologi sebagai unsur sangat pokok dalam membentuk kehidupan masa depan.  


Singkatnya, kepemimpinan modern, di samping memiliki sifat-sifat "tradisional" yang melambangkan nilai-nilai dan moral kepemimpinan bangsanya, juga harus merupakan sosok modern. Pemimpin yang demikian adalah yang memiliki jiwa kerakyatan-di dalamnya terangkum nilai-nilai demokrasi dan keadilan-tetapi juga seorang yang memiliki wawasan, inovatif, dan rasional. Ia harus mampu memahami masalah-masalah yang kompleks dan mampu menemukan pemecahan atas masalah-masalah yang kompleks itu tanpa menimbulkan masalah baru. Ia bukan hanya harus berani mengambil risiko, melainkan juga mampu menghitung risiko.


Bagaimana bisa menemukan pemimpin serupa itu, itu suatu persoalan yang harus bisa dijawab. Acap kali dikatakan pemimpin adalah cerminan masyarakatnya (you deserve your leader) atau pemimpin adalah "produk budaya" masyarakatnya. Sering dikatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan. Namun, sebenarnya kepemimpinan bisa dibentuk. Maka, sungguh penting menanam lahan yang subur dari sejak dini untuk menumbuhkan bibit-bibit kepemimpinan seperti yang dikehendaki.


Di sini peran pendidikan nasional teramat penting, baik yang diselenggarakan di sekolah, dalam masyarakat, maupun di lingkungan keluarga. Melalui sistem pendidikan akan tampil dan ditempa pemimpin-pemimpin masa depan. Oleh karena itu, kualitas pendidikan menentukan pula kualitas pemimpin masa depan.  



GINANDJAR KARTASASMITA Guru Besar Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS), Tokyo, Jepang Versi cetak artikel ini

Sumber : Kompas, Sabtu, 09 September 2017

Selasa, 19 Juni 2018

PELAYANAN KESEHATAN : Jangan Tunggu Pasien Datang

Di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang sehat”. Pepatah lama ini masih relevan hingga saat ini, manakala kita bicara tentang manusia Intan Jaya saat ini dan kedepan, dalam menghadapi berbagai perubahan. Bagaimana pun juga, warga Intan Jaya harus lah warga yang sehat jiwa dan raga agar cita-cita kita dapat menjadi masyarakat sejahtera terwujud.


Oleh : Apolos Bagau, ST 

Akan tetapi cita-cita yang besar itu selalu menjadi kendala karena kondisi kesehatan warga kita memang belum sepenuhnya dapat terwujud. Kita bisa melihat  dengan mata kita sendiri betapa masyarakat terutama ibu melahirkan dan bayi sangat rentan dengan kematian. Masyarakat umum pun masih mengalami kendala dalam pemeriksaan kesehatan bahkan warga yang sakit pun hanya bisa menunggu datangnya ajal kematian. Ancaman kematian memang ada di depan mata kita dimana dan kapan saja.


Kita masih mengalami bahwa kualitas hidup sehat masih jauh dari hidup warga setiap hari. Pola kehidupan sehat belum seluruhnya menjadi kebiasaan warga, bahkan minimnya asupan gizi menyebabkan bayi-bayi yang lahir, kalau tidak meninggal maka lahir dengan kualitas gizi yang buruk. Belum lagi dari kondisi yang ada seringkali menyebabkan penyakit menular begitu leluasa berkembang, hingga membawa kematian. Generasi Intan Jaya pun terancam untuk anak yatim piatu bahkan boleh jadi hilangnya generasi.


MASALAH YANG TERUS ADA


Minimnya pelayanan kesehatan atau akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan seringkali menjadi alasan mengapa masalah kesehatan di Intan Jaya tak kunjung teratasi. Pertama, ketiadaan sarana dan prasarana kesehatan. Hingga kini kabupaten sebesar Intan Jaya belum memiliki rumah sakit. Hanya ada satu puskesmas Rawat Inap di Sugapa ibukota kabupaten, tetapi puskesmas ini pun masih dengan  sarana dan prasarana yang terbatas. Jika pasien tidak tertampung karena ruangan penuh terpaksa harus dipulangkan. Ada puskesmas pembantu di beberapa distrik, tapi juga dengan sarana yang terbatas.   Ini berarti bahwa sarana kesehatan belum dekat dengan warga.


Kedua, kurangnya dokter dan tenaga medis. Di Intan Jaya memang sulit menemukan dokter. Dalam hubungan dengan kesehatan atau pemeriksaan penyakit, warga lebih mengenal mantri, perawat dan bidan. Itu pun lagi-lagi sangatlah terbatas. Minimnya tenaga medis ini membuat banyak warga tidak terlayani. Dalam kondisi demikian, warga hanya mengandalkan dukun kampung atau tindakan-tindakan lain yang seringkali dipercaya masyarakat untuk mengatasi sakit yang di derita.


Dari tenaga medis yang ada, warga pun mengalami kesulitan untuk menemuinya.  Sebagian tenaga medis tidak berada di tempat. Banyak tenaga medis, yang memilih tinggal di luar Intan Jaya. Tenaga medis yang ada juga enggan mengunjungi warga dan hanya berada di tempat menunggu pasien datang. Akibatnya, banyak warga yang  sakit tidak bisa tertolong dan dibiarkan saja.


Ketiga, minimnya obat-obatan dan peralatan medis. Untuk peralatan medis yang canggih memang tidak ada di Intan Jaya. Jika ada pun siapa yang mengoperasikan, sementara tenaga kesehatan yang ada saja sudah sangat terbatas dengan kemampuan yang juga terbatas. Masalah obat-obatan, seringkali menjadi keluhan warga bila sempat menemui bidan dan perawat. Ada perawat dan mantri, tapi kalau tidak ada obat pun sama saja. Warga tetap kembali ke rumah dengan membawa sakit yang dideritanya.


Ada faktor-faktor di luar dari medis yakni persoalan ekonomi, kondisi geografis dan kesadaran masyarakat sendiri untuk hidup sehat. Kondisi geografis memang sangat sulit untuk Intan Jaya. Masyarakat hidup terpisah sangat jauh di antara bukit dan lembah. Banyak warga justru tinggal di wilayah yang sangat terpencil. Prasarana jalan yang bisa dilalui kendaran pun sangat terbatas. Jarak puskesmas sangat jauh dari tempat tinggal masyarakat di distrik dan kampung. 


Ketiadaan sarana kesehatan yang dekat dengan warga memang mengharuskan warga harus pergi mencari sarana kesehatan yang ada di ibukota kabupaten ini. Tapi bagaimana itu bisa terjadi, kalau untuk menemui puskesmas atau barangkali mantri dan perawat saja harus ditempuh dengan jalan kaki berhari-hari lamanya.  Tidak adanya sarana kesehatan di kampung-kampung yang terisolasi juga menjadi tantangan tersendiri.


Kondisi ini bukan saja menjadi masalah warga, tapi juga para petugas medis. Di luar pilihan para tenaga medis untuk menunggu pasien datang, para petugas kesehatan ini pun merasakan minimnya dana dan sarana  transportasi untuk  menempuh perjalanan jauh dan memakan waktu yang lama. Akibatnya petugas kesehatan pun sulit menjangkau warga. Penanganan kasus dinilai lambat, sementara pelayanan yang ada seringkali tidak berlanjut.


Keterbatasan tenaga kesehatan kemudian dengan kondisi kesehatan yang terpuruk, tak heran, warga memilih untuk tinggal saja di rumah, dengan pengobatan seadanya bahkan dengan kesiapan bila akan datang ajal kematian.


Faktor Ekonomi. Ini juga menjadi kandala yang sangat besar untuk warga Intan Jaya. Warga yang sakit bisa memilih untuk berobat di luar Intan Jaya, pada rumah sakit yang memiliki sarana dan prasarana yang memadai. Tapi itu suatu yang tidak mungkin untuk warga dengan ekonomi yang terbatas. Bagaimana mengantar si sakit ke bandara terdekat, bagaimana biaya pesawat, bagaimana biaya rumah sakit dan kehidupan selama berada di kota yang dekat dengan rumah sakit? Membayangkan saja sudah tidak mungkin, apalagi menjalaninya. Lagi-lagi, warga akhirnya memilih untuk tetap di rumah, menunggu ajal kematian.


Bagaimana dengan pola hidup sehat? Ini pun masih menjadi masalah, karena tingkat pengetahuan sebagian masyarakat masih tergolong sangat rendah. Jangankan hidup dengan pola makanan yang sehat dan bernilai gizi, sanitasi lingkungan rumah tangga pun belum semuanya dapat menjalankkannya dengan baik. 


Faktor ekonomi juga masalah kesadaran akan hidup sehat seringkali membuat perempuan Intan Jaya yang hendak melahirkan melakukannya sendiri  tanpa dibantu tenaga persalinan, seperti dukun anak, bidan apalagi dokter. Mereka umumnya melakukan  dengan peralatan seadanya, misalnya memotong tali pusar dengan gunting, silet bahkan batu tajam.


Kadang ada kunjungan petugas ke kampung-kampung tapi yang menemui juga sangat terbatas. Warga lebih memilih pergi ke kebun daripada harus menjumpai para petugas kesehatan. Hal yang sama juga terjadi pada tempat-tempat yang sudah memiliki tenaga medis, warga pun enggan untuk datang berkonsultasi. 


Kehidupan dengan iklim yang terus berubah-ubah, membuat warga sangat rentan dengan penyakit menular, bahkan dalam tindakan sehari-hari pun warga belum sadar kalau hal itu dapat menularkan penyakit ke orang lain. Berhubungan dengan hal ini, dengan kurangnya tenaga medis, masalah yang berhubungan imunisasi pun sangat terbatas.


Semuanya persoalan berhubungan satu dengan yang lain. Satu persoalan tak ditangani secara cepat dan tuntas akhirnya menyulitkan untuk menemukan akar masalah yang sesungguhnya. Akibatnya, solusi tak kunjung datang, serba pasrah dan menunggu. Kasus-kasus kesehatan di atas memperlihatkan bahwa anak-anak Papua sangat rentan terhadap penyakit.


SUDAH BANYAK PROGRAM


Usaha untuk mengatasi persoalan kesehatan di Papua bukan baru belakangan ini diperhatikan. Sudah sejak dulu, pemerintah dan para pihak yang berkepentingan sudah dan bahkan sering menurunkan program-program bidang kesehatan untuk mengatasi persoalan ini. Banyak program efektif dijalankan untuk mengatasi beberapa persoalan, namun tidak sedikit juga yang tidak berhasil.


Pemerintah daerah di Papua baik provinsi dan kabupaten termasuk Kabupaten Intan Jaya beberapa kali memasukan anggaran kesehatan dalam APBD. Kelangkaan  obat-obatan misalnya, seringkali menjadi perhatian pemerintah dengan memasukan dalam anggaran APBD. Namun yang terjadi tetap saja belum menjawabi kelangkaan obat-obatan. Bahkan dana otonomi khusus Papua juga disiapkan khusus untuk mengatasi persoalan kesehatan. Secara khusus di Papua dengan lahirnya Otonomi Khusus (Otsus), bidang kesehatan mendapat porsi penting dengan alokasi dana sekitar 15 persen. 


Upaya lain adalah membebaskan biaya kesehatan dan mengutamakan penanggulangan penyakit bagi warga kurang mampu. Selain itu ada upaya untuk meningkatkan penyediaan serta efektivitas berbagai pelayanan kesehatan masyarakat yang bersifat non personal seperti penyuluhan kesehatan, regulasi pelayanan kesehatan dan penyediaan obat, keamanan dan kesehatan makanan, pengawasan terhadap kesehatan dan kebersihan lingkungan pemukiman serta kesehatan dan keselamatan kerja.


Ada perhatian terutama bagi warga miskin dengan peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan masyarakat miskin, peningkatan partisipasi dan konsultasi terhadap masyarakat miskin dan relokasi berbagai sumber daya yang tersedia dengan memprioritaskan daerah miskin. Program Jamkesmas, Jamkespa Kartu Papua Sehat (KPS),tidak lain dimaksudkan untuk memenuhi keinginan masyarakat Papua dengan pelayanan kesehatan secara gratis.


Upaya lain lagi adalah membebaskan biaya kesehatan dan mengutamakan masalah-masalah kesehatan yang banyak diderita masyarakat miskin seperti Malaria, kurang gizi, PMS dan berbagai penyakit infeksi lain dan sanitasi lingkungan. Untuk penyakit manular seperti pencegahan penyakit HIV/AIDS serta TBC dan program lainnya terlihat ada keseriusan dalam penganan. Kendati belum dapat mengatasi semua persoalan dapat teratasi, perhatian terhadap penyakit manular seringkali membawa optimism akan adanya keseriusan untuk mengatasi persoalan. Ada program pengendalian nyamuk melalui kelambu kesehatan secara massal.


Belum maksimal, prioritas pembangunan dan penyediaan SDM bidang kesehatan untuk ditempatkan di seluruh pelosok Papua tetap menjadi prioritas. Dalam hal ini pemerintah juga membuka sekolah kesehatan D-1 yang lulusannnya bisa memenuhi permintaan tenaga kerja di pelosok Papua. Sementara tenaga kesehatan yang masih sangat dibutuhkan terdiri dari dokter spesialis, dokter umum, dokter gigi hingga tenaga perawat, bidan, analis dan tenaga kesehatan lainnya.


Terkait dengan hal ini, pemerintah juga  membiayai mahasiswa yang kuliah dibidang kesehatan dan para kesehatan yang sedang tugas belajar dibeberapa kota studi. Ada program penyiapan  tenaga medis yang profesional untuk ditempatkan di Papua dan mendorong dibukakan lapangan pekerjaan di bidang medis khusus rumah sakit di Provinsi Papua.


Para petugas kesehatan pun didorong untuk selalu turun ke kampung-kampung menjumpai pasien, daripada hanya duduk menunggu pasien datang di  puskesmas atau di rumah sakit. Kita pernah mendengar adanya program mobile clinic agar masyarakat  tak perlu lagi pergi ke pusat kesehatan untuk mencari petugas kesehatan, tapi petugas kesehatan yang akan mendatangi mereka. Ada juga program rujukan yakni kalau penderita sudah tak dapat diatasi maka akan diberi rujukan untuk berobat ke pusat kesehatan baik di kota maupun di luar Papua.


Dalam hal ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan seperti Pustu dan Posyandu, di beberapa tempat di Papua terus digalakan. Bahkan ada harapan bahwa setiap kampung akan memiliki pustu dan posyandu dengan dilengkapi tenaga medis. Pemerintah juga menaruh perhatian pada pembenahan fasilitas kesehatan dengan pengadaan alat-alat kesehatan yang baru dan  membangun ruang rawat inap, selain melakukan pembenahan fasilitas RSUD. Atau peningkatan RS type C yang sudah ada dan disiapkan ruang perawatan yang layak.


Tidak hanya pembangunan fisik, ada upaya lain seperti memberikan pelatihan penanganan ibu melahirkan yang menyasar pada petugas kesehatan (bidan kampung) dan dukun bayi. Juga pada promosi hidup sehat. Juga ada terobosan lain yakni mengirim makanan tambahan berupa biskuit untuk ibu hamil. Sepertinya, perbaikan kualitas pelayanan kesehatan di Papua masih memerlukan pendampingan intensif dari pemerintah pusat.


Di tingkat nasional kita mengenal ada Program Kerja Wajib Dokter Spesialis (KWDS) yang bertujuan menjadi solusi distribusi dan jangkauan dokter spesialis ke pulau dan daerah terpencil. Keberadaan dokter spesialis kebidanan dan kandungan dalam program ini diharapkan membantu program pemerintah menekan angka kematian ibu, peningkatan kesehatan ibu dan anak serta reproduksi. Program KWDS diadakan dan diharapkan menjadi solusi keterjangkauan dokter spesialis di daerah terpencil dan pulau.


Pada September 2012, pemerintah meluncurkan gerakan Seribu Hari Pertama Kehidupan yang bertujuan untuk mempercepat perbaikan gizi guna memperbaiki kehidupan anak Indonesia di masa datang. Dikutip dari artikel dr. Samsuridjal Djauzi ,  Anak Indonesia, Mampukah Berkompetisi? ,  (Kompas, 18 Nov 2017), Pemerintah mencanangkan intervensi gizi spesifik, yaitu pertama, promosi ASI dan makanan pendamping ASI yang bergizi.


Kedua, pemberian tablet zat besi-folat atau multivitamin dan mineral untuk ibu hamil dan menyusui. Ketiga, pemberian zat penambah gizi mikro untuk anak. Empat, pemberian obat cacing pada anak. Kelima, pemberian suplemen vitamin A untuk anak balita. Keenam, penanganan anak dengan gizi buruk. Ketujuh, fortifikasi makanan dengan zat gizi mikro seperti vitamin A, besi, dan yodium. Kedelapan, pencegahan dan pengobatan malaria bagi ibu hamil, bayi, dan anak-anak.


Masih dalam artikel yang sama, selain intervensi gizi spesifik, juga perlu dilakukan intervensi gizi tidak langsung, yaitu pertama, intervensi pola hidup bersih sehat (PHBS) seperti cuci tangan memakai sabun dan peningkatan akses air bersih. Kedua, stimulasi psikososial bagi bayi dan anak-anak. Ketiga, Keluarga Berencana. Keempat, kebun gizi di rumah atau di sekolah, diversifikasi pangan, pemeliharaan ternak dan perikanan. Kelima, bantuan langsung tunai yang digabungkan dengan intervensi lain seperti pemberian zat gizi dan pendidikan terkait dengan kesehatan dan gizi.


Begitu banyak program yang disiapkan seringkali membuat program-program itu bertumpuk. Begitupun akibat adanya singkronisasi dan penghematan dalam keuangan daerah,mengakibatkan dana-dana yang menjadi kebutuhan  di lingkungan Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Papua menjadi berkurang. Tidak sedikit program yang dipangkas.


KEBERPIHAKAN YANG JELAS


Masalah kesehatan di Papua dan Intan Jaya belum tuntas teratasi. Berhadapan dengan hal ini kita tak perlu pesimis. Kita sadar kondisi Papua berbeda dengan wilayah lain di Indonesia. Untuk membangun optimisme kita mesti memiliki tekad yang kuat. Kita harus akui bahwa kita belum masksimal bekerja. 


Beberapa program pemerintah yang diuraikan secara singkat diatas, belum semuanya menjawabi kebutuhan masyarakat di bidang kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesehatan penduduk yang baik, pertumbuhan ekonomi akan baik pula dengan demikian upaya mengatasi kemiskinan akan lebih mudah dengan prospek ke depan yang jauh lebih berhasil.


Pertama, bagi umat manusia, kesehatan merupakan kebutuhan yang mendasar. Memperoleh pelayanan kesehatan yang layak juga dipandang sebagai hak asasi, hak sosial, hak budaya yang harus dipenuhi. Kita membutuhkan masyarakat yang sehat agar dapat bekerja, dan menghadapi perubahan yang sedang terjadi. 


Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H dan Undang-Undang Nomor 23/ 1992 tentang kesehatan, menetapkan bahwa setiap orang berhak mendapat pelayanan kesehatan. Maka, setiap individu, keluarga, dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatanya, dan negara bertanggungjawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk masyarakat miskin dan tidak mampu.


Kedua, Motivasi dan keberpihakan yang jelas untuk mengatasi masalah kesehatan. Keberpihakan ini tidak mesti semuanya harus datang dari pemerintah, tetapi juga dari warga Papua sendiri dan lebih khusus adalah warga Intan Jaya. Hal yang harus lebih diperhatikan adalah penguatan prilaku hidup sehat di tengah masyarakat. Misalnya, bagaimana air bersih yang dikonsumsi masyarakat dan bagaimana sanitasinya yang memadai.


Dari lingkungan terdekat terutama dalam kehidupan rumah tangga mestinya setiap warga saling mengingatkan untuk hidup bersih dan patuh terhadap aturan-aturan kesehatan. Begitu pun dalam hubungan dengan penyakit manular HIV-AIDS misalnya, semua orang mestinya menyadari untuk tidak menularkan dan tertular HIV-AIDS. Demikian juga dalam masyarakat perlu ada strategi akselerasi dan komitmen untuk mencegah dan mengendalikan penyakit manular.


Kemiskinan dan penyakit hubungannya sangat erat, tidak akan pernah putus kecuali dilakukan intervensi pada salah satu atau kedua sisi, yakni pada kemiskinannya atau penyakitnya. Kemiskinan mempengaruhi kesehatan sehingga orang miskin menjadi rentan terhadap berbagai macam penyakit, karena mereka mengalami gangguan seperti :a. Menderita gizi buruk;b. Kurangnya pengetahuan warga tentang kesehatan;c. Kurangnya perilaku hidup sehat dan bersih;d. Lingkungan pemukiman yang kurang memadai;e. Sebalnya, masyarakat yang sehat akan menekan tingkat kemiskinan. Orang yang sehat mempunyai produktivitas kerja tinggi;


Ketiga, Keberpihakan pemerintah. Artinya pemerintah harus terus-menerus memberi perhatian pada persoalan kesehatan ini. Pemerintah harus pula menggandeng  pihak swasta, dan masyarakat untuk dapat bersama-sama mengatasi persoalan kesehatan hingga menjangkau seluruh kampung.


Tentu saja di tengah banyaknya hambatan dalam membuka akses kesehatan masyarakat, pemerintah pun harus  dapat lebih selektif dalam menguatamakan program terpenting dalam rangka pengetasan penyakit di masyarakat.


Sebagaimana uraian terdahulu, pemerintah harus konsisten menerapkan seluruh program kesehatan baik penyiapan sarana dan prasarana kesehatan, tenaga medis dan obat-obatan hingga ikut mendapingi masyarakat dalam menumbuhkan prilaku hidup sehat. Kerja pemerintah pun harus terus diawasi oleh masyarakat sehingga menjadi gerakan suatu gerakan bersama dalam menaikan derajat kesehatan masyarakat.


Sebagai suatu gerakan bersama, pemerintah juga dapat  mengakomodasi anak-anak muda Papua untuk terlibat menjadi  tenaga medis. Dari bangku sekolah dasar,  mesti ditumbuhkan minat peserta didik untuk menjadi tenaga medis. Cita-cita menjadi dokter, dan perawat mesti disambut  dengan pemberian beasiswa  untuk belajar ke perguruan-perguruan tinggi yang bermutu. Tidak sekedar beasiswa melainkan kepada calon-calon tenaga medis ini perlu diberi motivasi agar tetap dengan cita-cita kembali membangun masyarakat Intan Jaya.


Dalam penerimaan pegawai negeri  perlu memberikan perhatian yang lebih besar untuk tenaga kesehatan dan pendidikan, agar masyarakat tidak kesulitan memperoleh tenaga medis yang cukup. Tenaga kerja ini juga  disertai fasilitas kesehatan yang memadai.

Keempat, Perlu kerjasama semua pihak. Saya mengutip pendapat Pastor Neles Tebay sebagai berikut :

Orang Papua tidak boleh terus menerus mengulangi alasan-alasan ini. Orang Papua sudah harus pikir dan terlibat dalam upaya penanggulangan masalah kesehatan dan memajukan hidup sehat. mesti temukan solusi-solusi alternatif yang tepat-guna, sehingga tidak tergantung pada dokter, mantri/perawat, atau pihak-pihak lain.Orang Papua mesti memperlihatkan kemampuannya untuk memelihara kesehatannya sendiri, biarpun tidak ada dokter dan mantri.

Pemangku kepentingan lain selain pemerintah seperti pihak swasta, yakni perusahaan-perusahaan yang mengeksploitasi kekayaan alam Papua, ada lembaga keagamaan, lembaga gereja, lembaga adat, dan kelompok-kelompok, seperti kelompok perempuan dan pemuda.

Semua pemangku kepentingan ini dapat memberikan kontribusi yang khas dalam menangani masalah kesehatan dan mempromosikan hidup sehat di antara orang asli Papua. Bahkan setiap pribadi mesti bertanggung jawab atas perkembangan kesehatannya.

Semua pemangku kepentingan mesti dilibatkan dalam mengurus kesehatan di Papua.Mereka perlu dipertemukan secara bersama dalam pertemuan dan dilibatkan dalam diskusi yang membahas tentang sektor kesehatan dan mencarikan secara bersama solusi-solusi yang dapat dilaksanakan.

Dan tentunya, setiap pemangku kepentingan mempunyai peran yang berbeda, sehingga tugasnya dapat dibagi antara semua pemangku kepentingan sesuai peranan mereka masing-masing. Semua secara bersama berpartisipasi dalam mengurus kesehatan rakyat di bumi cenderawasih.

Mempertemukan semua pemangku kepentingan yang membahas sektor kesehatan, dialog sektoral perlu dilaksanakan di setiap kabupaten. Dalam dialog sektoral itu, semua pemangku kepentingan yang berkompeten dan berpengalaman dalam urusan kesehatan diundang sebagai peserta dialog.

Para peserta diundang bukan untuk saling menuduh, menuding, dan mempersalahkan satu sama lain, melainkan untuk secara bersama mengidentifikasi dan menganalisa masalah serta menetapkan solusi secara bersama.

Dengan melibatkan semua pemangku kepentingan, urusan kesehatan akan menjadi keprihatinan dan tanggungjawab bersama dari semua pemangku kepentingan.

Kelima, aspek Renovasi. Sebagaimana kita ketahui pelayanan kesehatan di Papua bukan baru saat ini saja di adakan. Sejak dulu sudah ada perhatian terhadap masalah kesehatan ini. Semua perhatian itu kini memiliki jejaknya sendiri. Jika kepada masyarakat Intan Jaya ditanya tentang pelayanan kesehatan, maka dengan begitu mudah kita dapatkan cerita tentang pelayanan kesehatan tempo dulu. Walau ketika itu dengan fasilitas yang terbatas, masyarakat dapat menunjukkan tempat-tempat mana masyarakat memperoleh perlayanan kesehatan.


Sekarang juga hal itu dapat kita lihat sendiri bahwa pelayanan kesehatan juga memang ada di setiap wilayah. Ada puskesmas di Ibukota kabupaten, ada pos-pos kesehatan di kampung. Namun, justru yang terjadi adalah ketiadaan fasilitas termasuk obat-obatan dan tenaga medis.


Maka dalam kerangka renovasi, sebenarnya hal ini membutuhkan pembenahan yang lebih serius. Bagunan yang ada mestinya ditingkatkan ditambah dengan fasilitas dan tenaga medis. Hal ini tentu tidak membutuhkan anggaran yang besar. Pemerintah daerah harus berusaha untuk membangun rumah sakit yang memenuhi syarat, sehingga masyarakat tidak lagi dirujuk keluar daerah.


Pemerintah daerah diminta siap, di antaranya dengan membenahi rumah sakit agar layak dan memiliki peralatan yang dibutuhkan. Jangan sampai dokter spesialis dikirim ke sana, tetapi peralatannya tak memadai sehingga dokter tak bisa bekerja.


Keenam, Inovasi.  Penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat  Intan Jaya yang hidupnya terpencil dan  terisolasi membutuhkan berbagai inovasi.  Sejak dimekarkan sampai dengan saat ini, pembangunan di bidang kesehatan di Intan Jaya dinilai berjalan di tempat karena semuanya menunggu tuntasnya infrastruktur.


Pemerintah mestinya menyusun peta permasalahan kesehatan. Peta permasalahan ini kemudian menjadi acuan dalam melakukan gebrakan baru dalam hal pembangunan kesehatan di Intan Jaya.


Dari uraian di atas, sepertinya kita tidak hanya memerlukan suatu konsep yang baik, namun memerlukan suatu kepemimpinan yang dapat mengatur dan menjalankan konsep-konsep baik tersebut.  Kepemimpinan yang dapat menunjukkan komitmen politis yang kuat untuk mewujudkan sistem kesehatan nasional yang berpihak kepada rakyat miskin. 


Kepemimpinan yang dapat memperkuat pondasi program pelayanan kesehatan dengan sistem pembiayaan yang tepat bagi Indonesia, ditunjang dengan sumber daya manusia yang berkualitas serta kepemimpinan yang dapat meningkatkan peran masyarakat secara langsung dalam bidang kesehatan bukan untuk curatif namun dimulai dari preventif dan promotif kesehatan”.@

(Tulisan ini merupakan ringkasan dari buku "Menatap Intan Jaya Bermartabat : Motivasi, Renovasi dan Inovasi. Penulis : Apolos Bagau, ST, Penerbit : Tollelegi 2018 

BERBAGI DAN MENGINSPIRASI

RICHARDLEONARDY
SALING mendukung dan bertukar ide seputar penulisan buku menjadi topik hangat dalam pembicaraan di antara para penulis Penerbit Buku Kompas (PBK). Itulah yang dirasakan oleh Diana Damayanti, penulis buku 365 Hari MP-ASI, dalam kesempatan ramah tamah Komunitas Penulis (KP) PBK, sekaligus memeriahkan acara peluncuran buku Turki, Revolusi Tak Pernah Henti, karya wartawan senior Kompas, Trias Kuncahyono, di Menara Kompas, Rabu, 23 Mei 2018. Danthe–panggilan akrab Diana Damayanti–merasakan bahwa dukungan PBK untuk terus produktif menulis begitu kuat. Ia menyampaikan bagaimana dirinya terus didorong untuk menulis buku oleh editor PBK. Saat menulis buku 365 Hari MP-ASI bersama Lies Setyarini, Diana tidak pernah mengira bahwa bukunya akan menjadi best seller dan terus diterbitkan hingga cetakan ke-6 sejak terbit pertama tahun 2013.

Hal senada dirasakan oleh A. Bobby Pr. Penulis yang mengkhususkan diri untuk menulis buku-buku biografi ini juga merasakan dorongan yang baik dari para kolega dalam wadah KP-PBK. Bobby mendapatkan ide dan banyak masukan positif dalam mempertimbangkan, mendalami, dan mengeksekusi calon buku yang akan ia tulis. “Teman-teman di KP-PBK maupun dari redaksi PBK punya andil yang cukup baik dalam proses penulisan yang saya jalani,” tuturnya lugas. Beberapa buku biografi telah ditulisnya, seperti H. Adi Andojo Soetjipto, S.H.: Menjadi Hakim yang Agung (PBK, 2017) dan Romo Cassut, S.J.: Dalam Senyap Bangun Pendidikan Vokasi Indonesia (PBK, 2018).

Di KP-PBK, Bobby didaulat menjadi “Lurah”, sebutan untuk koordinator yang sekaligus menjadi fasilitator bagi kolega penulis yang lain. Selama ini, Bobby dibantu oleh Imelda Bachtiar untuk mengoordinasi pertemuan dan diskusi yang diikuti oleh para penulis PBK. Mereka ini sering disebut sebagai “Pak Lurah” dan “Bu Lurah” oleh sesama penulis PBK. Mereka berdua selama beberapa tahun ini “merawat” KP-PBK dalam diskusi-diskusi rutin, mulai dari berembug ide/topik, tempat, konsumsi, narasumber, dsb.

Gema pertemuan para penulis PBK tersebut seolah begitu berkesan bagi Bu Lurah, Imelda Bachtiar. Penyusun buku Dari Capung Sampai Hercules (PBK, 2017) dan Pak Harto, Saya, dan Kontainer Medik Udara (PBK, 2017) ini menuliskan dalam laman Facebooknya, “Berkumpul dan merayakan keberhasilan seorang teman satu komunitas atas terbit bukunya, itu saat yang luar biasa!” Dalam refleksinya, Imelda memahami bahwa keberhasilan seorang teman ternyata menjadi pemantik semangat untuk lebih bersemangat dalam menulis dan menyelesaikan buku-buku yang masih “terhutang”. Baginya, terbitnya sebuah buku ini merupakan kebahagiaan tersendiri bagi seorang penulis, sekaligus menjadi dorongan bagi sesama penulis untuk berbenah dan lebih produktif lagi dalam berkarya.

Sementara itu, sejarawan Didi Kwartanada menilai bahwa kualitas suatu buku dinilai dari konten yang terkandung di dalamnya. Dalam proses menyuguhkan konten yang berkualitas, tentu penulis dan editor harus memahami isi bukunya. Apalagi dalam proses mengedit, seorang editor harus tahu betul tentang kebenaran konten naskah. Baginya, kesalahan dalam mengutip sumber merupakan salah satu contoh sesuatu yang fatal. Didi tidak akan rela jika orang salah mengutip dari suatu sumber, terutama yang terkait dengan sejarah. Editor buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran sejak Nusantara sampai Indonesia (PBK, 2014) dan penulis buku Biografi A.R. Baswedan (PBK, 2014) ini tetap memegang teguh prinsip bahwa kebenaran adalah hal yang mutlak. Oleh karena itu, penggemar buku yang sudah mengoleksi ribuan judul ini mengusulkan agar PBK secara serius menerbitkan buku-buku seri sejarah unggulan. Dan, untuk menunjang konten yang berkualitas, ada baiknya penerbit juga memiliki “editor luar” yang benar-benar ahli di bidangnya.

Apresiasi terhadap temu KP-PBK juga disampaikan oleh Martin Aleida. Penulis cerpen dan novel ini ternyata juga menulis buku nonfiksi, Tanah Air yang Hilang (PBK, 2017). Buku tersebut mengisahkan pengalaman 19 orang Indonesia yang kehilangan Tanah Air dan hidup di sudut-sudut Eropa. Secara umum, Martin merasa cukup puas selama berproses dengan PBK. Dia pun menjadi tahu dan paham mengenai kehati-hatian PBK ketika menghadapi “isu-isu yang masih sensitif” untuk menjadi konsumsi publik. Meskipun secara faktual benar, hal-hal tersebut tetap harus dikemas secara santun dan jangan sampai menimbulkan kegaduhan yang berpotensi menceraiberaikan masyarakat. Hal-hal yang bisa menimbulkan penilaian sebagai bentuk sikap partisan juga dihindari, karena selain memilih kedalaman, PBK juga tampil netral. Itulah yang dipahami Martin selama berproses dengan PBK. “Kalau ada satu hal yang bisa saya sarankan, mungkin untuk cover bisa lebih dipercantik. Walaupun sebenarnya hal itu balik lagi ke selera masing-masing,” tambah penulis yang saat ini sedang diminta untuk menuliskan biografi oleh rekannya

Lain halnya dengan Bambang Murtianto, yang menyebut dirinya sebagai “spesialis penerjemah untuk PBK” walaupun dia juga menulis buku Kata-Kata Terakhir Romo Mangun (PBK, 2014). Bambang Murtianto bukanlah nama baru di KP-PBK. Beberapa karya terjemahannya yang sudah dipublikasikan antara lain Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (PBK, 2014) karya Peter Carey dan Jejak Hitler di Indonesia (PBK, 2017) karya Hoorst H. Geerken. Bambang sangat menghargai kinerja PBK yang selalu berupaya menghadirkan buku-buku berkualitas, yang sepertinya kurang mendapatkan perhatian dari penerbit besar lainnya. Menurut Bambang, inilah tanda bahwa PBK masih memegang idealisme, yang tidak melulu mengikuti tren pasar. PBK masih punya ciri edukatif bagi pembacanya, serta memilih kedalaman sebagai cara bekerjanya.

Selain itu, Bambang menilai bahwa PBK mampu menghadirkan nama-nama penulis besar dalam buku-buku terbitannya. Hanya dengan melihat namanya saja, pembaca pasti langsung mengamini kredibilitas serta kualitas hasil karya para penulis tersebut. Namun, Bambang juga mengingatkan bahwa PBK dinilai masih belum maksimal memanfaatkan kekayaan sumber data yang tersimpan di Litbang Kompas. “Kekayaan Litbang Kompas itu sangat luar biasa, harus dimanfaatkan. Tidak perlu selalu mencari penulis dari luar,” tandasnya.

Bambang merasa bahwa buku PBK yang kadang terkesan “serius dan berat” ternyata juga diminati pembaca. Terbukti bahwa sebagian judul berhasil dicetak ulang, bahkan hingga beberapa kali. Dia pun memaklumi sikap PBK yang selalu netral karena membawa nama besar Kompas sebagai media nasional yang tidak berpihak, meskipun hal tersebut kadang menjadikan PBK tidak bisa terlalu kontroversial dalam mengolah isi buku. Padahal, sebenarnya banyak isu yang menurutnya bisa lebih dikulik lagi dan dikemas secara bombastis. Namun, lagi-lagi, PBK memilih jalan “kedalaman” yang tidak populer untuk zaman ini. (IR, MIT, PAT, RBE)
 Sumber : bukukompas.com

RESENSI BUKU : Paulus Waterpauw, Sosok Sederhana Sang Jenderal

Judul : Abdi Papua : Pesan Singkat Kapolda Papua Irjen Pol. Paulus Waterpauw. Penerbit : Tollelegi, 2017 


KABARPAPUA.CO, Kota Jayapura – Kesederhanaan merupakan salah satu modal utama keberhasilan dalam perjalanan hidup seorang pemuda. Terlebih orang muda atau pemuda asli Papua.


Sebab, dalam kesederhanaan itulah lahir sikap rendah hati, kejujuran, dedikasi atau semangat berkorban, mau belajar dari pengalaman hidup diri sendiri dan pengalaman orang lain. Seperti kata pepatah, pengalaman adalah guru yang terbaik.


Begitupun dengan Irjen Pol Paulus Waterpauw, mantan Kapolda Papua yang saat ini menjabat sebagai Wakil Kepala Badan Intelijen Keamanan (Wakabaintelkam) Polri.


Dalam buku biografinya yang berjudul Mengabdi dengan Hati dan Buku Abdi Papua, Paulus menyebutkan hidup dalam keluarga sederhana dengan lingkungan kampung yang sederhana, tidak menjadi penghalang bagi tumbuh kembang dirinya sebagai anak adat asli Papua.


Justru kesederhanaan itulah yang mampu menjadikan dirinya sebagai pribadi yang setia kawan dengan sesama, terlebih khusus kepada sesama yang menderita dan berkekurangan.


Paulus Waterpauw lahir di Kampung Karas, Fakfak pada 25 Oktober 1963. Paulus kecil selalu mengenang masa-masa indah, tinggal bersama kedua orang tuanya dan saudara kandungnya.


Ayah Paulus bernama Ferdinan Waterpauw memiliki kebiasaan berburu di hutan rimba Papua yang menantang nyawa. Kebiasaan ini diturunkan kepada dirinya, sehingga Paulus sering mengikuti sang ayah masuk hutan rimba, membawa peralatan berburu dan kemana saja mengikuti jejak ayah mencari hewan buruan.


Kedua anjing jenis herder jantan, selalu menemani Paulus dan sang ayah dalam berburu ataupun kemana saja keduanya pergi.
Paulus mengaku selalu mendapatkan banyak hewan buruan untuk membantu ibu di dapur, guna menambah gizi keluarga.


Selain berburu di hutan rimba nan luas, Paulus kadang kala menemani sang ayah untuk mencari ikan di lautan lepas. Dengan perahu layar ukuran kecil dari bahan kain kantong terigu, Paulus bersama ayahnya melaut di tengah ombak ditemani angin kencang.


Walaupun laut sering ganas, namun Paulus selalu optimis untuk memiliki harapan yang teguh, tentang ziarah kehidupan di Tanah Papua yang penuh janji, harapan dan tantangan.


Keadaan ekonomi rumah tangga dengan pendapatan keluarga yang terbilang pas-pasan, membuat kebiasaan hobi berburu dan melaut, sebagai jalan satu-satunya meningkatkan persediaan makanan dalam rumah.


Ibunya, Yakomina Atiamuna yang berasal dari Suku Komoro, di Mimika Jauh, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua berprofesi sebagai ibu rumah tangga yang saban hari juga harus pergi ke hutan mencari bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan pangan di rumah.


Dengan kesederhanaan itu, Paulus selalu membantu pekerjaan di dalam rumah, seperti mencuci pakaian, bersih-bersih di sekitar rumah, biasa dia lakukan. Ia pun sudah terbiasa membantu ibunya mengasih adik-adik yang masih kecil. Saat itu, ia mempunyai empat adik Martha Waterpauw, Frans Waterpauw, Lina Waterpauw dan Kristianus Waterpauw. Seorang lagi, yang paling kecil, Matapina, lahir ketika Paulus sudah berpindah merantau sekolah di Surabaya.


Sosok ayah sebagai pemburu menjadikan dirinya sebagai pemuda asli Papua yang berani menghadapi dan mengatasi tantangan serta kesulitan hidup. Sedangkan sosok ibu terpateri di dalam dirinya sebagai pribadi yang sabar, rendah hati, berdedikasi dan merangkul sesama di sekitarnya.


Dari pengalaman hidup dengan kesederhanaan itulah, menjadikan modal utama dalam ziarah hidup Paulus hingga hari ini. Dirinya juga terus berbagi kasih kepada sesama dan anak-anak yang mengalami masalah sosial yang bertarung hidup di tengah kota dengan berbagai masalah sosial melanda diri mereka. Paulus mengaku tidak tega membiarkan anak-anak putus sekolah berkeliaran dengan membawa berbagai penyakit sosial.


Paulus pun selalu menyempatkan diri untuk merayakan sejumlah hari besar keagamaan. Natal ataupun Paskah, bahkan pada Idul Fitri sekalipun, Paulus berusaha meluangkan waktu untuk berkumpul bersama anak-anak terlantar, anak-anak yang terkendala masalah sosial di perkotaan.


Dirinya berharap, pemuda di Papua, untuk terus bergandengan tangan dalam semangat kesederhanaan, kejujuran dan berbelas kasih untuk menyongsong masa depan yang lebih baik, lebih adil, aman dan damai.


Paulus berpesan kepada pemuda dan seluruh masyarakat di Papua, agar jangan hidup dalam kotak-kotak suku,agama, ras dan golongan, karena hal itu hanya akan mengerdilkan diri sendiri. Bangkitlah dan berbuatlah yang terbaik untuk diri dan sesama di sekitarnya.


Pada 13-21 Juni 2016, Paulus dijadwalkan hadir dalam temu akbar Orang Muda Pegunungan Tengah Papua yang akan dilaksanakan di Hepuba, Kabupaten Jayawijaya. Dalam kegiatan tersebut, panitia meminta Paulus untuk memberikan motivasi kepada 600 kaum muda yang dijadwalkan hadir. *** (Katharina)

Sumber :

https://kabarpapua.co/paulus-waterpauw-sosok-sederhana-sang-jenderal/

Resensi buku : Sejarah Katolik di Hindia Belanda


WARTA KOTA, PALMERAH - Perkembangan agama Kristen, terutama Katolik, di kepulauan Nusantara mengalami kelesuan pada abad ke-18

.
Jemaat yang ada hanyalah sisa-sisa kecil dari masa penjajahan Portugis di Indonesia bagian timur. Persinggungan kembali mereka dengan dunia kekristenan baru terjadi pada abad ke-19 dan ke-20.


Sejumlah imam dari provinsi Yesuit Belanda berdatangan ke Hindia Belanda untuk menjalankan misi penyebaran agama Katolik setelah 1859.


Merujuk pada situasi tersebut, Karel Steenbrink membagi kiprah rohaniwan Katolik di Hindia Belanda menjadi dua periode, yakni antara 1808-1903 dan 1903-1940.


Dalam buku pertamanya, Orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1942: Suatu Pemulihan Bersahaja 1808-1903 (Penerbit Ladaero, 2005), Steenbrink mengisahkan Serikat Dagang Hindia Timur (VOC) melarang imam Katolik memasuki wilayah kekuasaannya selama periode 1602-1800.


Umat awam pribumi di Maluku dipaksa menganut Kristen Kalvanis (reformasi) setelah Belanda mengambil alih wilayah itu.


Steenbrink selanjutnya menjelaskan bagaimana penyebaran iman Katolik mulai dipulihkan. Revolusi Perancis mengubah kebijakan Pemerintah Belanda.


Parlemen nasional Belanda menghapus kedudukan istimewa Gereja Reformasi pada tahun 1796. Belanda kemudian mengumumkan kebebasan beragama di wilayah yang dikuasainya pada 1808.


Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal di Batavia saat itu, menjadi orang pertama yang secara terbuka menerima rohaniwan Katolik dan mendorong perayaan publik iman Katolik.


Mulai saat itu, para misionaris Yesuit berdatangan ke Hindia Belanda. Iman Katolik kembali diperkenalkan ke dalam budaya tradisional melalui sekolah dan fasilitas kesehatan yang mereka bangun khusus bagi orang Eropa dan keturunannya. Anak-anak inilah yang kemudian menjadi generasi pertama Katolik dalam tiap keluarga.
 


Setelah empat pos yang terdapat di Batavia, Semarang, Surabaya, dan Padang, pos-pos permanen baru dibentuk lengkap dengan stafnya. Misalnya di Sungai Selan (Bangka, 1853), Ambarawa (1859), Larantuka (Flores, 1860), Yogyakarta (1865), Maumere (Flores, 1874), Cirebon (1878), Medan (1878), Pantai Perak (Aceh untuk kapelan tentara Verbraak, 1881), Atapupu (Timor,1883), Sikka (Flores, 1883), Singkawang (Kalimantan, 1885), Bogor (1885), Kepulauan Kai (1888), Makassar (1893), dan Madiun (1897).


Jumlah orang Katolik pribumi mengalami pertumbuhan yang signifikan pada periode kedua kedatangan misionaris di Hindia Belanda antara tahun 1903-1940.


Pertumbuhan paling pesat terjadi tahun 1920-an, seperti dipaparkan Steenbrink dalam Orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1942: Pertumbuhan yang Spektakuler dari Minoritas yang Percaya Diri 1903-1942 (Penerbit Ladaero, 2006).


Peningkatan itu salah satunya disebabkan bertambahnya jumlah misionaris yang datang ke Hindia Belanda setelah Perang Dunia I.


Tahun 1920-an juga merupakan dasawarsa pertumbuhan ekonomi paling kuat.Terkait kehidupan sosial dan politik pada dasawarsa pertama abad ke-20, semakin banyak organisasi dibentuk untuk orang-orang Katolik, baik pada tingkat lokal maupun nasional.


Perjuangan mereka bukan sekadar soal iman Katolik, melainkan lebih luas dari itu.


Tak jarang mereka terlibat dalam upaya mempertahankan otonomi daerah melawan negara yang sentralistik. (DRA/Litbang Kompas)



Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Sejarah Katolik di Hindia Belanda, http://wartakota.tribunnews.com/2015/08/19/sejarah-katolik-di-hindia-belanda?page=2. Editor: Andy Pribadi