Oleh GINANDJAR
KARTASASMITA
Setiap kali datang
perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus, ada empat
perasaan yang menyertainya. Sukacita, haru, prihatin, dan harapan. Pada
saat-saat itu kita juga mengenang jasa para pemimpin pada masa sebelum dan awal
kemerdekaan, masa panjang dan penuh pergolakan.
Pada masa-masa
menentukan itu, tampil pemimpin kaliber besar seperti Tjokroaminoto, Soekarno,
Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Otto Iskandardinata, Supomo, M Yamin, Hasyim
Asy'ari, Abdoel Moeis, Ki Bagus Hadikusumo, M Natsir, dan Sudirman. Para tokoh
pergerakan itu berasal dari latar belakang berbeda, tetapi dipersatukan oleh
kesamaan cita-cita perjuangan. Karakter kuat para pemimpin itu terbentuk
dalam perjuangan melawan penjajah. Mereka tampil sebagai pemimpin pergerakan
pada usia muda sehingga tidak berlebihan jika dikatakan cikal bakal negeri
dibentuk oleh para pemuda.
Mereka pejuang yang
bukan hanya memiliki idealisme, melainkan juga intelektual, tecermin dalam
pidato dan tulisan mereka. Sumpah Pemuda dan Pancasila, meski dengan rumusan
singkat dan sederhana, adalah karya intelektual yang besar yang hingga kini dan
sampai akhir zaman menjadi pedoman perjalanan dan kehidupan bangsa kita. UUD
1945 merupakan karya kolektif yang monumental.
Pemimpin yang tepat
Bangsa Indonesia tidak
dapat mengharapkan selalu dapat memperoleh pemimpin yang besar seperti Bung
Karno dan Bung Hatta, yang mempunyai kapasitas individu dan kualitas
kepemimpinan yang luar biasa dan tampil bersama dengan peran yang historis dan
teramat menentukan dalam perjalanan bangsa. Namun, dari beliau-beliau itu, kita
dapat belajar mengenai bagaimana sosok pemimpin bangsa yang tepat untuk
masanya. Tantangan bagi kita sekarang adalah mencari pemimpin yang tepat untuk
masa sekarang dan ke depan.
Renungan ini dirangsang
pandangan dua tokoh intelektual yang kebetulan saya kenal. Kishore Mahbubani
(dekan pada Lee Kuan Yew School of Public Policy di National University of
Singapore) dan Klaus Schwab (pendiri dan Ketua World Economic Forum, penulis
buku The Fourth Industrial Revolution) mencoba menjawab pertanyaan
apa yang membuat seseorang menjadi seorang pemimpin besar (what makes a great
leader)? Bagi Mahbubani, karakter kepemimpinan
mencakup compassion(kepedulian), canniness (kecerdikan), ancourage (keberanian). Sementara Schwab karakternya mencakup heart (hati), brain(kecerdasan), muscle (kekuatan), nerve(ketangguhan),
dan soul (nurani).
Kedua penulis ini
menyebut beberapa pemimpin dengan karakter berbeda. Misalnya, Justin Trudeau,
Perdana Menteri Kanada, memiliki empati yang tinggi dan komitmen menolong
rakyat kecil. Masuk dalam kategori ini Nelson Mandela dan Mahatma Gandhi.
Pemimpin kontemporer yang menonjol kecerdasannya, menurut mereka, adalah Xi
Jinping dan Narendra Modi. Keduanya berhasil beradaptasi dengan perkembangan
teknologi (khususnya teknologi informasi dan komunikasi/TIK) yang mengubah pola
kehidupan manusia dengan pesat sekali. Mereka menempatkan Angela Merkel sebagai
pemimpin yang memiliki keberanian yang ditunjukkan dengan menerima jutaan
pengungsi yang datang dari masyarakat dengan budaya yang sangat berbeda.
Langkah Merkel ini mendapatkan tantangan keras, tetapi ia konsisten
melaksanakannya.
Yang menarik, mereka
menempatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama dengan Angela Merkel.
Presiden Jokowi disebut memiliki keberanian karena berupaya melawan dengan
sepenuh hati kelompok-kelompok radikal dan populis di negaranya. Walaupun
mendapatkan banyak tantangan karena dianggap tidak demokratis, Presiden Jokowi
tegas dengan sikap untuk membubarkan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia karena
jelas-jelas bertentangan dengan ideologi Pancasila. Pengakuan dunia luar atas
kepemimpinan Jokowi itu telah mengilhami saya untuk menulis artikel ini.
Apa yang dapat dipelajari dari pandangan Mahbubani
dan Schwab? Pertama, pemimpin muncul dari zaman apa saja karena memang tidak
ada yang disebut sebagai zaman normal. Setiap masa memiliki pergolakan dan
tantangan sendiri. Indonesia, yang saat ini sudah berusia 72 tahun, tentunya
berbeda dengan ketika negeri masih berupa gagasan dan awal pembentukannya,
demikian pula kepemimpinan yang dibutuhkan.
Kedua, kita sebetulnya
sudah berada pada jalan yang benar. Keyakinan itu diperkuat oleh data dari
Gallup World Poll 2017 mengenai urutan negara dengan kepercayaan publik yang
menempatkan Indonesia pada posisi teratas bersama Swiss. Hasil hampir serupa
diperlihatkan oleh pengukuran yang dilakukan Edelman Trust Baromoter 2017, yang
menempatkan Indonesia pada posisi kedua setelah India, dalam pengukuran atas 28
negara.
Namun, kita juga
memerlukan pemimpin yang mumpuni di daerah, di sektor bisnis, partai politik,
dan masyarakat sipil. Pemimpin di daerah memiliki peran yang cukup penting
sebagai konsekuensi kebijakan desentralisasi. Walaupun saya merasa prihatin dengan
banyaknya kepala daerah yang terkena kasus hukum, masih ada kepala daerah yang
membanggakan dan muncul nama-nama seperti Nurdin Abdullah, Dedi Mulyadi, Ridwan
Kamil, Emil Dardak, dan Tri Rismaharini yang dapat sedikit mengobati
kekecewaan. Sayangnya, jumlah ini masih sedikit dibandingkan dengan kepala
daerah yang gagal dan bahkan tersangkut hukum.
Pemimpin modern
Masalah utama yang kita
hadapi sekarang adalah keadilan sosial. Untuk mencapai keadilan sosial tentu
tak mudah. Ada banyak kesenjangan di negeri ini, mulai dari ekonomi, akses
politik, hingga digital. Mengenai hal yang disebut terakhir, pemimpin harus
jeli melihat karakter demografis penduduk yang saat ini banyak berasal dari
kategori generasi Z atau milenial. Walaupun kelihatannya tidak terlalu peduli,
mereka, dengan berbagai gawai di tangannya, mampu menyerap informasi lebih
banyak.
Itu artinya mereka mampu
merekam lebih banyak fakta. Rekaman inilah yang akan mereka ingat, olah,
jadikan pangkal tolak pikiran dan tindakan serta wariskan ke depan. Tentunya
kita tidak menginginkan rekaman tersebut menunjukkan bangsa ini berjalan di
tempat atau maju merangkak, padahal bangsa-bangsa lain kemajuannya
melompat-lompat.
Memang masyarakat yang
makin canggih, tuntutan kepada pemimpinnya akan kian canggih pula. Karena masa
depan sangat padat teknologi, seorang pemimpin tak boleh merasa asing terhadap
kemajuan ilmu dan teknologi. Hal ini tak berarti seorang pemimpin harus seorang
ilmuwan (scientist). Yang lebih penting seorang pemimpin harus memiliki apresiasi
terhadap ilmu pengetahuan dan peran teknologi sebagai unsur sangat pokok dalam
membentuk kehidupan masa depan.
Singkatnya, kepemimpinan
modern, di samping memiliki sifat-sifat "tradisional" yang
melambangkan nilai-nilai dan moral kepemimpinan bangsanya, juga harus merupakan
sosok modern. Pemimpin yang demikian adalah yang memiliki jiwa kerakyatan-di
dalamnya terangkum nilai-nilai demokrasi dan keadilan-tetapi juga seorang yang
memiliki wawasan, inovatif, dan rasional. Ia harus mampu memahami masalah-masalah
yang kompleks dan mampu menemukan pemecahan atas masalah-masalah yang kompleks
itu tanpa menimbulkan masalah baru. Ia bukan hanya harus berani mengambil
risiko, melainkan juga mampu menghitung risiko.
Bagaimana bisa menemukan
pemimpin serupa itu, itu suatu persoalan yang harus bisa dijawab. Acap kali
dikatakan pemimpin adalah cerminan masyarakatnya (you deserve your leader) atau
pemimpin adalah "produk budaya" masyarakatnya. Sering dikatakan bahwa
pemimpin itu dilahirkan. Namun, sebenarnya kepemimpinan bisa dibentuk. Maka,
sungguh penting menanam lahan yang subur dari sejak dini untuk menumbuhkan
bibit-bibit kepemimpinan seperti yang dikehendaki.
Di sini peran pendidikan
nasional teramat penting, baik yang diselenggarakan di sekolah, dalam
masyarakat, maupun di lingkungan keluarga. Melalui sistem pendidikan akan
tampil dan ditempa pemimpin-pemimpin masa depan. Oleh karena itu, kualitas
pendidikan menentukan pula kualitas pemimpin masa depan.
GINANDJAR KARTASASMITA
Guru Besar Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS), Tokyo, Jepang Versi
cetak artikel ini
Sumber : Kompas, Sabtu, 09 September 2017
Sumber : Kompas, Sabtu, 09 September 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar