Jumat, 24 Januari 2014

ARTIKEL PILIHAN : Kualitas Layanan dan Senyum Pelanggan

Kualitas Layanan dan Senyum Pelanggan 


Oleh: Alfons Taryadi 

NEGERI ini memerlukan revolusi kepuasan pelanggan, kata Handi Irawan, pencetus ide Hari Pelanggan Nasional, yang dicanangkan Presiden pada 4 September lalu (Iklan Senyum Pelanggan Indonesia, Kompas, 1/9/2003). Karena pelanggan hanya puas bila mendapat layanan yang baik, ucapan Chairman Frontier itu perlu dimaknai, yang diperlukan ialah perubahan radikal dalam sikap orang Indonesia terhadap pelanggan.

DI sini, pengertian pelanggan dan layanan tidak dipahami semata-mata dalam konteks transaksi bisnis, tetapi dalam konteks transaksi sosial yang lebih luas dan fundamental. Dalam konteks inilah tanggapan kritis Medelina K Hendyto terhadap pencanangan Hari Pelanggan Nasional dengan artikel Tiada Hari Tanpa Hari Pelanggan, (Kompas, 16/9/2003), yang memosisikan pemimpin negeri ini sebagai pihak yang wajib mengupayakan perbaikan layanan publik setiap hari sebagai ungkapan terima kasih kepada masyarakat yang memberinya mandat untuk mengemban kekuasaan politik.

Siapa pelangganku?

Akan tetapi, hanya sejumlah orang tertentu yang mengemban kekuasaan politik, sementara warga negara yang lain mempunyai peran masing-masing dalam tata kehidupan bermasyarakat. Karena itu, pertanyaan pokok yang perlu diajukan oleh setiap orang ialah apa dan bagaimana layanan yang harus ia berikan menurut peran yang sedang ia jalankan? Sehubungan dengan hal itu, ia perlu memahami siapa pelanggannya sebab dari pelangganlah ia bisa tahu, apakah layanannya sesuai atau tidak dengan harapan mereka. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu perlu diajukan oleh siapa saja, entah itu presiden, menteri, sopir taksi, politikus, loper koran, bankir, petani cengkeh, nelayan, atau siapa saja. Jawaban-jawaban jujur atas pertanyaan-pertanyaan itu mengandaikan kesediaan penanya untuk mengarungi jarak antara kenyataan dirinya secara de facto kini dan ekspektasi yang wajar dari masyarakat terhadap peran yang sedang diembannya.

Yang masih perlu dicermati ialah hubungan antara pihak pemberi layanan dan pelanggan tidak bersifat satu arah, tetapi resiprokal. Selain itu, kita perlu awas terhadap kandungan ambivalensi dalam apa yang disebut "kepuasan pelanggan", terutama dalam dunia budaya massa yang didominasi ideologi neoliberalisme, tempat setiap individu diperlakukan bukan sebagai seorang warga negara, melainkan sebagai konsumen semata-mata (Benjamin R Barber, 1995, 8).

Selamat datang keluhan

Kepedulian yang tulus untuk memuaskan pelanggan tentu membuat kita haus akan informasi tentang harapan atau keluhan pelanggan terhadap produk dan/atau layanan kita. Bila kita penerbit koran pagi, misalnya, kita akan berterima kasih kepada pelanggan yang mengeluh bahwa korannya hampir selalu datang kesiangan. Keluhan itu melecut kita untuk mengusut sebab-musabab keterlambatan lalu mengatasinya. Sebaliknya, bila kita pelanggan koran, listrik, atau air leding, kita akan menjaga agar uang abonemen terkirim tepat waktu.

Bagi politisi, tekad untuk memuaskan pelanggan akan menjadi pendorong untuk, misalnya, tidak menganut "tradisi tidur dalam sidang di DPR/MPR", tetapi sebaliknya tekun mendalami persoalan kepentingan umum dan berjuang mengatasinya. Untuk kalangan yudikatif, bayangan senyum pelanggan adalah stimulans untuk cepat merampungkan perkara yang menumpuk dan secara nyata mengikis indikasi "mafia peradilan" yang ditudingkan oleh masyarakat ke arah mereka.

Bila kepuasan pelanggan menjadi keprihatinan utama kalangan pendidik, mereka akan menggembleng anak didik untuk menuntut ilmu bukan sebagai komoditas penghasil uang, tetapi, seperti diserukan Prof Dr Sangkot Marzuki, sebagai modal untuk membangun budaya ilmiah. Menurut Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia itu, Indonesia terpuruk di segala bidang karena tidak berbudaya ilmiah. Budaya ilmiah yang kokoh membuat suatu bangsa selamat menghadapi perubahan dan krisis dunia. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh Cina yang pernah terpuruk pada masa revolusi kebudayaan, namun tetap selamat berkat budaya ilmiah yang mengakar (Kompas, 13/9/2003). Dari pihak anak didik, hasrat untuk memenuhi peran sebagai pelajar akan memicu upaya mengembangkan talenta mereka sejauh mungkin.

Para penggiat industri kultural pun akan memberi sumbangan penting ke arah pengembangan budaya ilmiah bila mereka mencermati suara warga yang mewaspadai ideologi neoliberalisme dengan hiburan yang menjebak ke arah kesesatan materialisme. Seminar Industri Kultural 1994 di Jakarta mengingatkan perlunya panduan bagi anak-anak untuk bisa menarik manfaat dari sajian media cetak, audiovisual, maupun elektronik tanpa terlumuri produk pop yang beraroma kekerasan, sikap hedonistis, dan orientasi sukses lewat jalan pintas.

Bila menyepakati tujuan mulia pencanangan Hari Pelanggan Nasional, para penyelenggara siaran televisi tentu akan terbuka terhadap sentilan segolongan pemirsa yang khawatir jangan-jangan banyak tayangan tentang alam gaib tidak berefek menyadarkan masyarakat untuk berakrab dengan Sang Pencipta, seperti dilakukan para mistisi sejati, tetapi cenderung mendorong orang ke arah klenik sebagai pemecahan instan atas persoalan hidup. Di sini, menarik untuk dicermati tulisan Victor Menayang, Moratorium Program Pembodohan Bangsa, dan Budiarto Danujaya, Pembodohan Publik (Kompas, 15/9/2003).

Memacu profesionalisme

Tekad membangkitkan senyum pelanggan jelas akan memacu profesionalisme. Bila profesionalisme terus ditingkatkan, diharapkan akan kian berkurang banyaknya kalimat-kalimat rancu atau pilihan kata yang tidak tepat, yang sering terbaca di media cetak atau terdengar lewat media audiovisual atau elektronik. Begitu juga diharapkan akan kian menyusut jumlah buku asing yang dalam beberapa tahun terakhir hadir dalam terjemahan yang rendah kualitasnya sehingga membuat jengkel pembaca karena kalimat-kalimat janggal, aneh, dan tidak berjalan. Seorang rekan pernah menanggapi gejala maraknya keberanian penerbit mengedarkan buku terjemahan semacam itu "sudah mengarah ke tindakan kriminal".

Dalam semangat untuk memberi kepuasan kepada pelanggan, seorang penerbit pasti akan gembira bila ada masukan kritis tentang produknya, apalagi bila itu menyangkut produk best-seller. Sebut, misalnya, sebuah kamus Inggris-Indonesia yang mengalami cetak ulang puluhan kali, ternyata tidak memuat cukup banyak kata yang selayaknya tercantum di dalamnya. Kata-kata itu antara lain abuzz; amend; beholden; beholder; camp; encamp; campaign; governance; give away; human-kind; opt; replicate; set out. Juga ada banyak kata yang penjelasan artinya terlalu sempit, misalnya kata-kata brash; charlatan; cringe; discursive; ominous; on the side; scramble; upbeat.

Atas dasar asumsi yang sama, para penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pasti akan gembira menerima masukan tentang karya mereka. Masukan itu, misalnya, dalam KBBI (1995, Balai Pustaka, Edisi II, Cetakan IV) pada halaman 1038 terbaca sebuah contoh kalimat dengan kata kerja "menemui" yang berbunyi: "polisi menemui mayat itu di semak dekat kebun". Ketika mendengar hal itu, Prof Dr Apsanti Djokosuyatno spontan berucap, "Wah, itu perlu ditulis!"

Alfons Taryadi Ketua I Himpunan Penerjemah Indonesia

ARTIKEL PILIHAN : Yang Heroik dari Warisan Driyarkara

Yang Heroik dari Warisan Driyarkara

Oleh Alfons Taryadi

27 Desember 2006 - 02:27

Sangat mungkin, Karya Lengkap Driyarkara yang berisi esai-esai filsafat setebal 1.501 halaman membuat orang berdecak kagum. Namun, tak kalah penting dari karya tulisnya yang diluncurkan baru-baru ini di Jakarta (Kompas, 2/12/2006) adalah warisannya yang heroik, yakni semangatnya yang pantang menyerah dalam menjalankan tugas-tugasnya maupun dalam mengembangkan sampai ke puncak bakat-bakat yang dimilikinya. 

Semangat seperti itulah yang kini paling dibutuhkan oleh bangsa Indonesia ketika hampir di semua aspek kehidupan kita terpuruk sedalam-dalamnya. 

Dari Prakata, Pengantar Penyunting, dan Kata Pengantar Karya Lengkap Driyarkara, yang secara keseluruhan mewakili para pemrakarsanya, yakni Kelompok Kompas Gramedia, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Universitas Sanata Dharma, dan Penerbit Kanisius, bisa disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 

* Gagasan-gagasan inspiratif Driyarkara masih relevan sebagai bahan diskusi dan inspirasi untuk kehidupan zaman sekarang, pada saat bangsa Indonesia mengalami kemunduran di segala aspek, termasuk kemunduran dalam menghargai Pancasila; 

* Jasa Driyarkara terutama dalam merintis, menantang, dan menghidupkan pembicaraan yang serius dan mendalam untuk menghadapi persoalan-persoalan masyarakat dan bangsa;

* Driyarkara lewat tulisannya mengajarkan filsafat sebagai sarana untuk berpikir jelas, kritis, dan bisa dipertanggungjawabkan;

* Teladan hidup Driyarkara memberi kesaksian bahwa ia seorang pendidik sejati, sedangkan karya tulisnya memberikan latar belakang dan pertanggungjawaban atas apa yang dilakukannya;

* Kebesaran Driyarkara ialah bahwa ia tak pernah seorang filsuf belaka, melainkan orang arif pandai yang ramah, rendah hati, dan tetap sederhana sampai akhir hayatnya.

Meneladani

Mencermati ungkapan keyakinan para pemrakarsa penerbitan Karya Lengkap Driyarkara, saya menangkap adanya aspirasi agar figur Driyarkara yang begitu dihormati oleh banyak tokoh intelektual Indonesia, seperti Prof Slamet Iman Santosa, Prof Dr Fuad Hassan, Soedjatmoko, dan Arief Budiman, diteladani oleh anak-anak muda masa kini. Kalangan muda tampaknya menangkap aspirasi tersebut.

Hal itu terbukti dari tanggapan Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STF) terhadap booklet Driyarkara Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, karya Romo F Danuwinata SJ, yang pada awal 2006 beredar di lingkungan STF dan kemudian ternyata menjadi Kata Pengantar untuk Karya Lengkap Driyarkara. Tanggapan tersebut berbunyi: "Tulisan Romo R Danuwinata SJ mudah-mudahan tidak saja mengembalikan mood kita membaca pemikiran Driyarkara, tapi terutama mengajak kita meneladani Driyarkara menjadikan filsafat sebagai sikap hidup yang emansipatif".

Meneladani Driyarkara bisa dalam hal berkarya dan dalam cara hidup serta bersikap. Karya Lengkap Driyarkara pastilah bisa menjadi lecutan bagi kalangan muda untuk menciptakan karya tulis yang monumental, sedangkan cara hidup dan bersikap Driyarkara bisa diambil sebagai inspirasi bagi siapa saja yang ingin hidup lurus, bersih, sederhana, ramah, dan penuh keprihatinan atas persoalan yang dihadapi bangsanya.

Hukum panen

Karya Lengkap Driyarkara seberat dua kilogram lebih satu ons itu mungkin membuat anak-anak muda terperangah. Namun, prestasi cemerlang Driyarkara sebagai filsuf ibarat suatu "panen", suatu hasil rangkaian panjang proses menggarap, mengolah, memupuk, dan mengembangkan potensi, dan bakat yang dimilikinya. Ada hukum panen yang menuntut orang untuk menyiapkan tanah, menabur benih, merawatnya, menyiangi, dan mengairinya jika ia ingin panen. Tak ada jalan pintas serba cepat untuk sukses yang besar, kata Covey (1991, Principle-centered Leadership).

Untuk "berpanen" seperti halnya Driyarkara, proses macam apa yang harus ditempuh oleh mereka yang mau meneladaninya? Apakah Romo F Danuwinata SJ dalam Kata Pengantar telah menggambarkan secara konkret perjuangan Driyarkara sebagai murid, mahasiswa, dosen, anggota MPRS, dan intelektual begitu rupa sehingga anak-anak muda masa kini dapat melihat apa yang menjadi kunci keberhasilannya? Dalam suatu percakapan penulis dengan Romo F Danuwinata SJ, belum lama ini, ia mengatakan bahwa Hukum Panen memang tak terpikir olehnya saat ia membuat 
Kata Pengantar tersebut.

Mungkin saja, catatan-catatan harian Driyarkara yang ditulisnya sejak 1 Januari 1941 hingga awal 1950 merekam hal-hal yang menyangkut cara ia belajar, kemelitannya untuk tahu, keasyikan yang terkait dengan pemecahan suatu problem yang dihadapinya, serta pengorbanan diri yang harus ditanggungnya demi keberhasilan studi, dan banyak lagi hal semacam itu. Dalam hal ini, saya teringat akan almarhum Sutan Takdir Alisjahbana, yang dalam dua kali pertemuan saya dengar mengatakan bahwa demi penyelesaian karya-karyanya ia biasa mengorbankan tidur siang.

Dari masa kecil Driyarkara dituturkan bahwa ia terbiasa berjalan kaki setiap hari sejauh 5 kilometer ketika bersekolah di Volkschool dan Vervolgschools di Cangkreb, dan 8 kilometer ketika ia bersekolah di HIS (Hollands Inlandsche Schools) di Purworejo. Di rumah, ia biasa membantu orangtuanya menyirami sirih, yang waktu itu merupakan tanaman pokok di Kedunggubah.

Dalam masa studi Driyarkara sebagai calon imam, tak banyak catatan Romo Danu tentangnya, selain bahwa ia dianggap layak mengajar filsafat di Seminari Tinggi, mulai 1943, meski sebagai Jesuit ia sendiri masih dalam tahap pendidikan. Ia ditahbiskan menjadi imam pada 1947 dengan persiapan yang sebagian besar berupa studi pribadi dalam bidang teologi. Dalam tahun itu pula ia harus berangkat ke negeri Belanda untuk menyelesaikan studi teologinya. Pada 1950-1952 ia melanjutkan studi filsafat program doktoral pada Universitas Gregoriana, Roma. Di situ ia meraih gelar doktor dengan predikat magna cum laude setelah mempertahankan disertasi tentang Malebranche.

Menarik bahwa selama menyelesaikan tesis doktoralnya, Driyarkara sempat menulis untuk Mingguan Bahasa Jawa, Praba, sebuah kolom bertajuk Serat Saking Rome.. Sepulang dari Roma, ia mengisi rubrik "Warung Pojok" dalam majalah yang sama dengan nama samaran Pak Nala. Dari 5 Oktober 1982 sampai 5 Juli 1988, semua tulisannya muncul dalam 58 terbitan, dengan sekitar 147 judul kecil.

Rupanya dari sejak kecil Driyarkara biasa hidup sederhana, bekerja keras, sadar kewajiban. Selama studinya ia juga mengamati kehidupan sosial di Tanah Air sehingga mampu menulis tentang kehidupan rakyat kecil secara ringan, tetapi menyentuh.

Bukan karena genius

Di antara komentar tentang Driyarkara, yang paling mengesankan saya ialah catatan NN dalam tulisan "Bekerja Mengusangkan-diri Dari Pegunungan Menoreh Hingga Tanah Abang" (Kompas, 13/2/1967). Di situ, NN antara lain menggambarkan kepribadian Driyarkara sebagai berikut:
Seorang yang serius, yang selalu bersungguh-sungguh dan berusaha sekuat tenaga dalam melakukan tugas-tugasnya. Ia dapat cemerlang prestasinya, bukan terutama karena ia seorang genius, tetapi terutama karena kesungguhan kerja dan usahanya. Inilah yang akhirnya berhasil memperkembangkan sampai ke puncaknya bakat-bakat yang dimilikinya… (aslinya dalam ejaan lama).

Kesaksian tersebut mengungkapkan apa yang heroik dari warisan Driyarkara. Heroisme, kata Chris Lowney, (2003, Heroic Leadership), tidak terletak dalam pekerjaan. Kitalah yang menginjeksikannya ke dalam pekerjaan dan tugas kita.

Alfons Taryadi Budayawan