Jumat, 24 Januari 2014

ARTIKEL PILIHAN : Yang Heroik dari Warisan Driyarkara

Yang Heroik dari Warisan Driyarkara

Oleh Alfons Taryadi

27 Desember 2006 - 02:27

Sangat mungkin, Karya Lengkap Driyarkara yang berisi esai-esai filsafat setebal 1.501 halaman membuat orang berdecak kagum. Namun, tak kalah penting dari karya tulisnya yang diluncurkan baru-baru ini di Jakarta (Kompas, 2/12/2006) adalah warisannya yang heroik, yakni semangatnya yang pantang menyerah dalam menjalankan tugas-tugasnya maupun dalam mengembangkan sampai ke puncak bakat-bakat yang dimilikinya. 

Semangat seperti itulah yang kini paling dibutuhkan oleh bangsa Indonesia ketika hampir di semua aspek kehidupan kita terpuruk sedalam-dalamnya. 

Dari Prakata, Pengantar Penyunting, dan Kata Pengantar Karya Lengkap Driyarkara, yang secara keseluruhan mewakili para pemrakarsanya, yakni Kelompok Kompas Gramedia, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Universitas Sanata Dharma, dan Penerbit Kanisius, bisa disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 

* Gagasan-gagasan inspiratif Driyarkara masih relevan sebagai bahan diskusi dan inspirasi untuk kehidupan zaman sekarang, pada saat bangsa Indonesia mengalami kemunduran di segala aspek, termasuk kemunduran dalam menghargai Pancasila; 

* Jasa Driyarkara terutama dalam merintis, menantang, dan menghidupkan pembicaraan yang serius dan mendalam untuk menghadapi persoalan-persoalan masyarakat dan bangsa;

* Driyarkara lewat tulisannya mengajarkan filsafat sebagai sarana untuk berpikir jelas, kritis, dan bisa dipertanggungjawabkan;

* Teladan hidup Driyarkara memberi kesaksian bahwa ia seorang pendidik sejati, sedangkan karya tulisnya memberikan latar belakang dan pertanggungjawaban atas apa yang dilakukannya;

* Kebesaran Driyarkara ialah bahwa ia tak pernah seorang filsuf belaka, melainkan orang arif pandai yang ramah, rendah hati, dan tetap sederhana sampai akhir hayatnya.

Meneladani

Mencermati ungkapan keyakinan para pemrakarsa penerbitan Karya Lengkap Driyarkara, saya menangkap adanya aspirasi agar figur Driyarkara yang begitu dihormati oleh banyak tokoh intelektual Indonesia, seperti Prof Slamet Iman Santosa, Prof Dr Fuad Hassan, Soedjatmoko, dan Arief Budiman, diteladani oleh anak-anak muda masa kini. Kalangan muda tampaknya menangkap aspirasi tersebut.

Hal itu terbukti dari tanggapan Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STF) terhadap booklet Driyarkara Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, karya Romo F Danuwinata SJ, yang pada awal 2006 beredar di lingkungan STF dan kemudian ternyata menjadi Kata Pengantar untuk Karya Lengkap Driyarkara. Tanggapan tersebut berbunyi: "Tulisan Romo R Danuwinata SJ mudah-mudahan tidak saja mengembalikan mood kita membaca pemikiran Driyarkara, tapi terutama mengajak kita meneladani Driyarkara menjadikan filsafat sebagai sikap hidup yang emansipatif".

Meneladani Driyarkara bisa dalam hal berkarya dan dalam cara hidup serta bersikap. Karya Lengkap Driyarkara pastilah bisa menjadi lecutan bagi kalangan muda untuk menciptakan karya tulis yang monumental, sedangkan cara hidup dan bersikap Driyarkara bisa diambil sebagai inspirasi bagi siapa saja yang ingin hidup lurus, bersih, sederhana, ramah, dan penuh keprihatinan atas persoalan yang dihadapi bangsanya.

Hukum panen

Karya Lengkap Driyarkara seberat dua kilogram lebih satu ons itu mungkin membuat anak-anak muda terperangah. Namun, prestasi cemerlang Driyarkara sebagai filsuf ibarat suatu "panen", suatu hasil rangkaian panjang proses menggarap, mengolah, memupuk, dan mengembangkan potensi, dan bakat yang dimilikinya. Ada hukum panen yang menuntut orang untuk menyiapkan tanah, menabur benih, merawatnya, menyiangi, dan mengairinya jika ia ingin panen. Tak ada jalan pintas serba cepat untuk sukses yang besar, kata Covey (1991, Principle-centered Leadership).

Untuk "berpanen" seperti halnya Driyarkara, proses macam apa yang harus ditempuh oleh mereka yang mau meneladaninya? Apakah Romo F Danuwinata SJ dalam Kata Pengantar telah menggambarkan secara konkret perjuangan Driyarkara sebagai murid, mahasiswa, dosen, anggota MPRS, dan intelektual begitu rupa sehingga anak-anak muda masa kini dapat melihat apa yang menjadi kunci keberhasilannya? Dalam suatu percakapan penulis dengan Romo F Danuwinata SJ, belum lama ini, ia mengatakan bahwa Hukum Panen memang tak terpikir olehnya saat ia membuat 
Kata Pengantar tersebut.

Mungkin saja, catatan-catatan harian Driyarkara yang ditulisnya sejak 1 Januari 1941 hingga awal 1950 merekam hal-hal yang menyangkut cara ia belajar, kemelitannya untuk tahu, keasyikan yang terkait dengan pemecahan suatu problem yang dihadapinya, serta pengorbanan diri yang harus ditanggungnya demi keberhasilan studi, dan banyak lagi hal semacam itu. Dalam hal ini, saya teringat akan almarhum Sutan Takdir Alisjahbana, yang dalam dua kali pertemuan saya dengar mengatakan bahwa demi penyelesaian karya-karyanya ia biasa mengorbankan tidur siang.

Dari masa kecil Driyarkara dituturkan bahwa ia terbiasa berjalan kaki setiap hari sejauh 5 kilometer ketika bersekolah di Volkschool dan Vervolgschools di Cangkreb, dan 8 kilometer ketika ia bersekolah di HIS (Hollands Inlandsche Schools) di Purworejo. Di rumah, ia biasa membantu orangtuanya menyirami sirih, yang waktu itu merupakan tanaman pokok di Kedunggubah.

Dalam masa studi Driyarkara sebagai calon imam, tak banyak catatan Romo Danu tentangnya, selain bahwa ia dianggap layak mengajar filsafat di Seminari Tinggi, mulai 1943, meski sebagai Jesuit ia sendiri masih dalam tahap pendidikan. Ia ditahbiskan menjadi imam pada 1947 dengan persiapan yang sebagian besar berupa studi pribadi dalam bidang teologi. Dalam tahun itu pula ia harus berangkat ke negeri Belanda untuk menyelesaikan studi teologinya. Pada 1950-1952 ia melanjutkan studi filsafat program doktoral pada Universitas Gregoriana, Roma. Di situ ia meraih gelar doktor dengan predikat magna cum laude setelah mempertahankan disertasi tentang Malebranche.

Menarik bahwa selama menyelesaikan tesis doktoralnya, Driyarkara sempat menulis untuk Mingguan Bahasa Jawa, Praba, sebuah kolom bertajuk Serat Saking Rome.. Sepulang dari Roma, ia mengisi rubrik "Warung Pojok" dalam majalah yang sama dengan nama samaran Pak Nala. Dari 5 Oktober 1982 sampai 5 Juli 1988, semua tulisannya muncul dalam 58 terbitan, dengan sekitar 147 judul kecil.

Rupanya dari sejak kecil Driyarkara biasa hidup sederhana, bekerja keras, sadar kewajiban. Selama studinya ia juga mengamati kehidupan sosial di Tanah Air sehingga mampu menulis tentang kehidupan rakyat kecil secara ringan, tetapi menyentuh.

Bukan karena genius

Di antara komentar tentang Driyarkara, yang paling mengesankan saya ialah catatan NN dalam tulisan "Bekerja Mengusangkan-diri Dari Pegunungan Menoreh Hingga Tanah Abang" (Kompas, 13/2/1967). Di situ, NN antara lain menggambarkan kepribadian Driyarkara sebagai berikut:
Seorang yang serius, yang selalu bersungguh-sungguh dan berusaha sekuat tenaga dalam melakukan tugas-tugasnya. Ia dapat cemerlang prestasinya, bukan terutama karena ia seorang genius, tetapi terutama karena kesungguhan kerja dan usahanya. Inilah yang akhirnya berhasil memperkembangkan sampai ke puncaknya bakat-bakat yang dimilikinya… (aslinya dalam ejaan lama).

Kesaksian tersebut mengungkapkan apa yang heroik dari warisan Driyarkara. Heroisme, kata Chris Lowney, (2003, Heroic Leadership), tidak terletak dalam pekerjaan. Kitalah yang menginjeksikannya ke dalam pekerjaan dan tugas kita.

Alfons Taryadi Budayawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar