Yang Heroik dari Warisan Driyarkara
Oleh Alfons Taryadi
27 Desember 2006 - 02:27
Sangat
mungkin, Karya Lengkap Driyarkara yang berisi esai-esai filsafat setebal 1.501
halaman membuat orang berdecak kagum. Namun, tak kalah penting dari karya
tulisnya yang diluncurkan baru-baru ini di Jakarta (Kompas, 2/12/2006) adalah
warisannya yang heroik, yakni semangatnya yang pantang menyerah dalam
menjalankan tugas-tugasnya maupun dalam mengembangkan sampai ke puncak
bakat-bakat yang dimilikinya.
Semangat
seperti itulah yang kini paling dibutuhkan oleh bangsa Indonesia ketika hampir
di semua aspek kehidupan kita terpuruk sedalam-dalamnya.
Dari
Prakata, Pengantar Penyunting, dan Kata Pengantar Karya Lengkap Driyarkara,
yang secara keseluruhan mewakili para pemrakarsanya, yakni Kelompok Kompas
Gramedia, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Universitas Sanata Dharma, dan
Penerbit Kanisius, bisa disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
*
Gagasan-gagasan inspiratif Driyarkara masih relevan sebagai bahan diskusi dan
inspirasi untuk kehidupan zaman sekarang, pada saat bangsa Indonesia mengalami
kemunduran di segala aspek, termasuk kemunduran dalam menghargai Pancasila;
*
Jasa Driyarkara terutama dalam merintis, menantang, dan menghidupkan
pembicaraan yang serius dan mendalam untuk menghadapi persoalan-persoalan
masyarakat dan bangsa;
*
Driyarkara lewat tulisannya mengajarkan filsafat sebagai sarana untuk berpikir
jelas, kritis, dan bisa dipertanggungjawabkan;
*
Teladan hidup Driyarkara memberi kesaksian bahwa ia seorang pendidik sejati,
sedangkan karya tulisnya memberikan latar belakang dan pertanggungjawaban atas
apa yang dilakukannya;
*
Kebesaran Driyarkara ialah bahwa ia tak pernah seorang filsuf belaka, melainkan
orang arif pandai yang ramah, rendah hati, dan tetap sederhana sampai akhir
hayatnya.
Meneladani
Mencermati
ungkapan keyakinan para pemrakarsa penerbitan Karya Lengkap Driyarkara, saya
menangkap adanya aspirasi agar figur Driyarkara yang begitu dihormati oleh
banyak tokoh intelektual Indonesia, seperti Prof Slamet Iman Santosa, Prof Dr
Fuad Hassan, Soedjatmoko, dan Arief Budiman, diteladani oleh anak-anak muda
masa kini. Kalangan muda tampaknya menangkap aspirasi tersebut.
Hal
itu terbukti dari tanggapan Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
(STF) terhadap booklet Driyarkara Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan
Bangsanya, karya Romo F Danuwinata SJ, yang pada awal 2006 beredar di
lingkungan STF dan kemudian ternyata menjadi Kata Pengantar untuk Karya Lengkap
Driyarkara. Tanggapan tersebut berbunyi: "Tulisan Romo R Danuwinata SJ
mudah-mudahan tidak saja mengembalikan mood kita membaca pemikiran Driyarkara,
tapi terutama mengajak kita meneladani Driyarkara menjadikan filsafat sebagai
sikap hidup yang emansipatif".
Meneladani
Driyarkara bisa dalam hal berkarya dan dalam cara hidup serta bersikap. Karya
Lengkap Driyarkara pastilah bisa menjadi lecutan bagi kalangan muda untuk
menciptakan karya tulis yang monumental, sedangkan cara hidup dan bersikap
Driyarkara bisa diambil sebagai inspirasi bagi siapa saja yang ingin hidup
lurus, bersih, sederhana, ramah, dan penuh keprihatinan atas persoalan yang
dihadapi bangsanya.
Hukum
panen
Karya
Lengkap Driyarkara seberat dua kilogram lebih satu ons itu mungkin membuat
anak-anak muda terperangah. Namun, prestasi cemerlang Driyarkara sebagai filsuf
ibarat suatu "panen", suatu hasil rangkaian panjang proses menggarap,
mengolah, memupuk, dan mengembangkan potensi, dan bakat yang dimilikinya. Ada
hukum panen yang menuntut orang untuk menyiapkan tanah, menabur benih,
merawatnya, menyiangi, dan mengairinya jika ia ingin panen. Tak ada jalan
pintas serba cepat untuk sukses yang besar, kata Covey (1991,
Principle-centered Leadership).
Untuk
"berpanen" seperti halnya Driyarkara, proses macam apa yang harus
ditempuh oleh mereka yang mau meneladaninya? Apakah Romo F Danuwinata SJ dalam
Kata Pengantar telah menggambarkan secara konkret perjuangan Driyarkara sebagai
murid, mahasiswa, dosen, anggota MPRS, dan intelektual begitu rupa sehingga
anak-anak muda masa kini dapat melihat apa yang menjadi kunci keberhasilannya?
Dalam suatu percakapan penulis dengan Romo F Danuwinata SJ, belum lama ini, ia
mengatakan bahwa Hukum Panen memang tak terpikir olehnya saat ia membuat
Kata
Pengantar tersebut.
Mungkin
saja, catatan-catatan harian Driyarkara yang ditulisnya sejak 1 Januari 1941
hingga awal 1950 merekam hal-hal yang menyangkut cara ia belajar, kemelitannya
untuk tahu, keasyikan yang terkait dengan pemecahan suatu problem yang
dihadapinya, serta pengorbanan diri yang harus ditanggungnya demi keberhasilan
studi, dan banyak lagi hal semacam itu. Dalam hal ini, saya teringat akan
almarhum Sutan Takdir Alisjahbana, yang dalam dua kali pertemuan saya dengar
mengatakan bahwa demi penyelesaian karya-karyanya ia biasa mengorbankan tidur
siang.
Dari
masa kecil Driyarkara dituturkan bahwa ia terbiasa berjalan kaki setiap hari
sejauh 5 kilometer ketika bersekolah di Volkschool dan Vervolgschools di
Cangkreb, dan 8 kilometer ketika ia bersekolah di HIS (Hollands Inlandsche
Schools) di Purworejo. Di rumah, ia biasa membantu orangtuanya menyirami sirih,
yang waktu itu merupakan tanaman pokok di Kedunggubah.
Dalam
masa studi Driyarkara sebagai calon imam, tak banyak catatan Romo Danu
tentangnya, selain bahwa ia dianggap layak mengajar filsafat di Seminari
Tinggi, mulai 1943, meski sebagai Jesuit ia sendiri masih dalam tahap
pendidikan. Ia ditahbiskan menjadi imam pada 1947 dengan persiapan yang
sebagian besar berupa studi pribadi dalam bidang teologi. Dalam tahun itu pula
ia harus berangkat ke negeri Belanda untuk menyelesaikan studi teologinya. Pada
1950-1952 ia melanjutkan studi filsafat program doktoral pada Universitas
Gregoriana, Roma. Di situ ia meraih gelar doktor dengan predikat magna cum
laude setelah mempertahankan disertasi tentang Malebranche.
Menarik
bahwa selama menyelesaikan tesis doktoralnya, Driyarkara sempat menulis untuk
Mingguan Bahasa Jawa, Praba, sebuah kolom bertajuk Serat Saking Rome.. Sepulang
dari Roma, ia mengisi rubrik "Warung Pojok" dalam majalah yang sama
dengan nama samaran Pak Nala. Dari 5 Oktober 1982 sampai 5 Juli 1988, semua
tulisannya muncul dalam 58 terbitan, dengan sekitar 147 judul kecil.
Rupanya
dari sejak kecil Driyarkara biasa hidup sederhana, bekerja keras, sadar
kewajiban. Selama studinya ia juga mengamati kehidupan sosial di Tanah Air
sehingga mampu menulis tentang kehidupan rakyat kecil secara ringan, tetapi
menyentuh.
Bukan
karena genius
Di
antara komentar tentang Driyarkara, yang paling mengesankan saya ialah catatan
NN dalam tulisan "Bekerja Mengusangkan-diri Dari Pegunungan Menoreh Hingga
Tanah Abang" (Kompas, 13/2/1967). Di situ, NN antara lain menggambarkan
kepribadian Driyarkara sebagai berikut:
Seorang
yang serius, yang selalu bersungguh-sungguh dan berusaha sekuat tenaga dalam
melakukan tugas-tugasnya. Ia dapat cemerlang prestasinya, bukan terutama karena
ia seorang genius, tetapi terutama karena kesungguhan kerja dan usahanya.
Inilah yang akhirnya berhasil memperkembangkan sampai ke puncaknya bakat-bakat
yang dimilikinya… (aslinya dalam ejaan lama).
Kesaksian
tersebut mengungkapkan apa yang heroik dari warisan Driyarkara. Heroisme, kata
Chris Lowney, (2003, Heroic Leadership), tidak terletak dalam pekerjaan.
Kitalah yang menginjeksikannya ke dalam pekerjaan dan tugas kita.
Alfons
Taryadi Budayawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar