Senin, 30 Desember 2013

Indonesia Suka Lupa

Catatan : Dibawah ini sengaja diturunkan artikel Paul Budi Kleden berjudul "Indonesia Suka Lupa" yang pernah dimuat di Pos Kupang, 20 Agustus 2011. 

Budi Kleden demikian ia biasa disapa adalah sorang imam Serikat Sabda Allah (SVD) yang  masih muda dan tergolong produktif dalam menulis. Selain menulis artikel di media massa, ia juga menulis buku dan menulis kata pengantar untuk sejumlah buku tentang teologi, kebudayaan dan sastra.

 Dari sekian karya tulis doktor teologi ini, artikel tentang"Indonesia suka lupa" ini sengaja dipilih karena dianggap relevan untuk tujuan praktis yakni soal membukukan ingatan.  Sementara sebagai bagian terpisah disertai  juga beberapa karya buku dari Budi Kleden.(Ben)

Indonesia Suka Lupa


(Dosen STFK Ledalero-Maumere)

Sumber : Pos Kupang, Sabtu, 20 Agustus 2011 

PADA bulan Juni-Juli lalu saya menda-pat kesempatan bersama seorang teman untuk mendampingi sekelompok mahasis-wa Universitas Indonesia yang ber-K2N di pulau Palue. K2N UI itu bersemboyan: “Merekat NKRI di Pulau-pulau Terluar dan Perbatasan menuju Masyarakat Mandiri”.
Salah satu program para mahasiswa adalah menyelenggarakan rumah kreatif. Maksud-nya, sebuah rumah tempat warga, khusus-nya anak-anak, dapat berkumpul untuk me-lakukan kegiatan-kegiatan kreatif bersama.

Judul Buku : Aku yang Solider,
Aku Dalam Hidup Bekaul.
Penulis : Budi Kleden
Penerbit : Ledalero
Pada satu hari Minggu, setelah misa, se-jumlah mahasiswa UI mengumpulkan anak-anak di aula pertemuan paroki Uwa. Mereka bermain dan belajar. Mereka juga bernyanyi, di antaranya lagu-lagi kebang-saan. Indonesia Raya dinyanyikan dengan penuh entusiasme. Anak-anak sekolah itu menghafal seluruh syair lagu tersebut.

Se-sudah kegiatan tersebut, seorang mahasis-wa bertanya: di pulau nun jauh ini mereka tidak lupa Indonesia. Apakah orang-orang penting Indonesia mengingat mereka? Indonesia tampaknya sangat berarti bagi mereka. Apakah mereka sungguh dihargai para pemimpin Indonesia? Dalam hati saya berkata: jangankan para pemimpin Indonesia di Jakarta, di hati dan pikiran para pemimpin di Sikka pun belum pasti mereka diingat dan dihargai.

Kita baru saja memperingati hari ulang tahun kemerdekaan. Berbagai kegiatan di-rancangkan untuk kemeriahan acara itu. Banyak tenaga dan waktu digunakan un-tuk peringatan tersebut. Kegiatan di seko-lah praktis dilumpuhkan oleh persiapan dan pelaksanaan perhelatan hari kenangan tersebut. Tampaknya, bangsa ini memang member perhatian dan anggaran yang be-sar untuk peringatan, hari kenangan. Ter-kesan, mengingat adalah satu keutamaan bangsa ini.


Judul Buku : Membongkar Derita
Penulis : Budi Kleden
Penerbit : Ledalero
Namun, ironisnya, kita serentak menjadi saksi betapa bangsa ini digerogoti penyakit lupa. Kalau ada desa bernama Suka Maju, maka bangsa ini bisa memenangkan kontes Negara Suka Lupa. Kita suka dan mengha-biskan banyak energi dan waktu efektif un-tuk ritual peringatan, namun kita demikian gampang lupa akan hal yang menjadi tu-gas utama dan keprihatinan pokok kita.

Lupa pun sering menjadi alasan untuk me-nyelamatkan diri dari tanggungjawab yang harus dipikul. Para pejabat Negara kita te-ngah mempertontonkan kecerdikan menja-dikan lupa sebagai alibi untuk membela diri dan berkelit dari jerat penilaian negatif publik. Pejabat di daerah menggunakan lupa sebagai penjelasan mengenai keterli-batannya dalam kasus korupsi.

Karena suka lupa dan pandai menyalah-gunakan kata lupa, maka para pejabat kita menjadi tokoh-tokoh yang pandai mem-buat kisah fiktif. Pertemuan dengan Naza-ruddin disangkal dengan mengarang kisah fiktif. Para penguasa anggaran dan benda-hara gampang berfantasi ria membuat kui-tansi fiktif untuk kegiatan-kegiatan yang hanya ada dalam khayalan. Akibatnya, dana bantuan sosial membengkak oleh pengeluaran fiktif, sementara laporan me-ngenai penderitaan warga yang ditolak de-ngan alasan berita palsu.



Judul Buku : Teologi Terlibat
Penulis : Budi Kleden
Penerbit : Ledalero
Yang dikhayalkan dijual sebagai kebenaran, sementara yang nyata disangkal sebagai yang fiktif. Keada-an menjadi lebih parah ketika para pene-gak hukum pun membiarkan diri dari menjadi bagian dari kisah fiktif. Bangsa kita sepertinya kegandrungan sinetron dan para politisi menyelenggarakan negara se-perti para pengarang sinetron. Sayangnya, konsekuensi yang harus ditanggung warga yang miskin adalah riil dan tidak bisa di atasi semudah mengarang kisah sinetron.

Di tengah hiruk pikuk memperingati dan mengenang sejarah, ternyata kita ter-lampau gampang kita lupa akan sejarah. Sejarah tidak diterima sebagai guru yang baik di tengah bangsa ini. Tokoh yang be-berapa waktu lalu dikenal luas karena du-gaan pelanggar HAM, bisa disambut gem-bira dan disinggasanakan sebagai tokoh kemanusiaan oleh para pejuang kemanu-siaan. Sebaliknya, politisi yang konsisten dalam sikapnya memerangi korupsi dan membongkar ketidakadilan, “dilenyap-kan” dari dunia kehidupan dan gampang pula terhapus dari ingatan warga. Maka bukan mustahil, lembaga-lembaga negara pun bisa terserang penyakit yang sama: tidak belajar dari sejarah.


Belajar dari sejarah perjuangan kemer-dekaan mungkin terlampau jauh. Sudah 66 tahun lalu kita menyebut diri sebagai bangsa yang merdeka. Ternyata, belajar dari reformasi yang baru terjadi 13 tahun lalu pun sudah teramat sulit.



Judul : Dialektika Sekularisasi
Penulis : Budi Kleden dan Sunarko
Penerbit : Lamalera 
Perang terhadap korupsi sebagai satu agenda penting  refor-masi terlampau gampang dilupakan. Refor-masi yang digulir dengan maksud untuk membuat pembaruan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara belum membawa dampak yang diharapkan. Sistem ketatane-garaan dan mental aparat negara dialami rakyat sebagai penghambat reformasi. Pe-ngaturan sistem penyelenggaraan kekua-saan dalam perangkat undang-undang memberi kesan bahwa perangkat hukum itu masih terlampau kuat melindungi kepenti-ngan pusat-pusat kekuasaan yang aktual.

Sementara itu, upaya pada tingkatan sis-tem seperti pengurangan kekuasaan lem-baga eksekutif dengan memperkuat posisi pembaga legislatif ternyata belum memba-wa dampak yang memuaskan, sebab pe-nguatan ini tidak didukung oleh kualitas mental dan intelektual yang mencukupi dari mereka yang menjadi para wakil rakyat. Praktik korupsi ternyata tidak lagi menjadi monopoli lembaga eksekutif.

Kedudukan politis yang lebih kuat dari lembaga legislatif dimanfaatkan untuk memperkuat posisi tawarnya, bukan terutama demi kepentingan politis, melainkan lebih demi kepentingan ekono-mis. Sebuah pertimbangan politis yang ma-tang tidak akan membiarkan penumpukan kekayaan seorang wakil rakyat secara be-sar-besaran dalam waktu yang terlampau singkat.

Seorang politisi kawakan akan mempertimbangkan dampak politis dari berbagai tindakan dan ungkapannya, termasuk tindakan pembengkakan keka-yaan secara terlampau mencolok. Karena orientasi politis yang kabur, sementara kebutuhan penguatan ekonomi adalah sangat riil, maka ada anggota lembaga legislatif yang cukup mudah diarahkan oleh pihak eksekutif yang menginginkan sebuah pelaksanaan kekuasaan yang tidak banyak diwarnai oleh kritik legislatif.


Judul Buku : Kampung, Bangsa
dan Dunia
Penulis : Budi Kleden
Penerbit Lamalera 
Ada wilayah di mana sejumlah warga yang mempunyai kesan, seolah lembaga legislatif adalah pembela lembaga eksekutif di hadapan kritikan rakyat.
Dalam kondisi seperti ini, bukan mustahil para anggota legislatif kembali tampil sebagai aktor yang memainkan dengan piawai kecerdikan melupakan dan membuat yang lain lupa.

Bukan sebuah keanehan dalam sejarah politik bangsa ini apabila ternyata kasus Nazarudin dilupakan karena kecerdikan para anggota DPR yang partainya tengah mengalami goncangan besar karena nyanyian si mantan bendahara partai. Sudah terlampau lihai para politisi kita, termasuk para wakil rakyat kita, untuk mencari kiat agar kita semua perlahan-lahan melupakan berita yang pernah demikian seru dan menyita begitu banyak perhatian.

Pada tingkat daerah, seperti di Kabupaten Sikka, bukan sebuah anomali politik apabila para anggota DPRD yang sebelumnya sangat nyaring berbicara membongkar kasus dana bantuan sosial, membuat daftar panjang para penerima bantuan dan daftar pengeluaran yang diduga fiktif, mulai melupakan kasus ini dan membuat warga pun lupa. Godaan dan tekanan untuk itu sangat banyak.


Menghadapi kecendrungan besar untuk lupa, membuat orang lupa dan menyalahgunakan lupa, kita butuh lembaga dan orang-orang yang terus-menerus bersuara, walaupun tidak selalu terdengar menyenangkan dan disenangi.



Paul Budi Kleden diantara pemain bola usia muda
John Baptist Metz pernah menyebut Gereja, dan kita bisa berbicara mengenai agama pada umumnya, sebagai wadah yang melembagakan peran anamnetis dan menghidupi memoria yang tak kunjung henti. Bersama wadah dan lembaga-lembaga lain, agama-agama perlu secara berani berjuang melawan amnesia kolektif yang sedang mewabah di dalam tubuh bangsa ini.

Agama-agama perlu berjejaring dengan lembaga-lembaga lain, agar anak-anak di wilayah-wilayah yang gampang diabaikan seperti di pulau Palue, tidak mudah dilupakan oleh para penguasa negri ini. Suara anamnetis agama-agama diperlukan supaya berbagai kasus ketidakadilan dan penggelapan tidak ditenggelamkan di bawah permukaan penampilan yang saleh. *


Tidak ada komentar:

Posting Komentar