Kamis, 19 Desember 2013

Merentas Karier di Dunia Perbukuan, Siapa sudi?

Oleh Hikmat Kurnia

 Senin, 24 Januari 2011 11:04 Hikmat Kurnia

Dalam sebuah seminar tentang pilihan kareir setelah keluar dari kampus, saya dihadapkan pada pertanyaan: mengapa memilih karier di dunia perbukuan? Apa nilai lebih yang didapatkan dengan bergiat di industri perbukuan dibandingan dengan industri lainnya? Kalau kita tertarik dengan industri buku, modal apa yang diperlukan? Pertanyaan-pertanyaan itu memang menjadi sangat mudah dijawab, kalau jawabannya mengambil kasus personal. Namun, tentu saja memerlukan penjelasan lebih panjang lebar ketika yang dibutuhkan adalah acuan-acuan yang bersifat umum dan bisa diterapkan dalam kondisi yang berbeda.

Memetakan Kemampuan

Ada sebuah pepatan yang selalu didengungkan kalangan praktis bisnis: jika ingin duit maka harus do it. Lakukanlah! Pepatan lain mengatakan jika Anda ingin berkarir hebat di satu bidang, optimalkanlah potensi yang Anda miliki dan jangan sangat sibuk menutupi kelemahan diri. Artinya apa? Kareir Anda akan hebat jika Anda melakukan sesuatu dengan sepenuh hati, konsisten, memilih bidang yang memang senang Anda lakukan, serta tidak jauh-jauh dari apa yang Anda miliki.

Kondisi tersebut bisa jadi menjadi acuan cukup ketika kita menetapkan karier di sebuah industri. Artinya, ketika memilih karier di dunia perbukuan, saya menyadari betul bahwa apa yang saya punyai adalah kegemaran akan buku. Buku sepertinya menjadi dunia yang saya mulai tekuni sejak duduk di bangku sekolah menengah walaupun tentu saja karena hidup di kota kabupaten tidak mudah menemukan buku. Untungnya ada perpustakaan umum daerah yang waktu itu cukup baik, sehingga dahaga itu sedikit terobati.

Bersinggungan dengan buku lantas menjadi rutinitas hidup. Apalagi, ketika menjadi mahasiswa. Banyaknya referensi tentang buku membuat saya tahu mana buku yang baik isinya, jelek gaya bahasanya, artistik tampilan covernya, tepat pilihan hurufnya, atau apa pun yang berkaitan dengan tampilan fisik dan isi buku. Modal itulah yang menjadikan saya mulai bikin-bikin resensi buku  dan artikel di media massa. Lewat resensi saya tidak hanya menikmati kandungan buku, tetapi juga mampu mendapat honor dan buku baru gratis dari penerbitnya. Bacaannya pun menjadi beragam. Tidak hanya berkaitan dengan sejarah atau budaya, tetapi melebar ke buku sastra, politik, ekonomi,  pertanian, dan lain-lain.

Dengan modal bacaan yang beragam, juga beberapa resensi buku dan artekel, ini merupakan modal awal yang baik untuk terlibat di dunia perbukuan. Masalahnya adalah bagaimana mengubah pola pikir dari penikmat buku menjadi pekerja perbukuan. Ini memang menjadi persoalan karena posisi buku menjadi berbeda. Sebagai penikmat buku, kacamata yang seringkali dipakai adalah bagaimana mendapatkan buku-buku yang sesuai minat dan ketuhan pribadi. Namun, pola pikir itu serta merta berubah saat buku tidak ditempatkan sebagai melulu produk budaya atau sumber pengetahuan. Dalam pola pikir industri, buku ternyata bersingguhan secara jelas  dengan kebutuhan konsumen, ketepatan dan kecepatan distribusi, efektivitas promosi, penentuan harga yang tepat, dan pengelolaan sumber daya manusia.

Dalam posisi tersebut, buku yang baik tidak hanya baik secara kualitas tetapi juga harus mampu diterima konsumen. Untuk mencapai target tersebut, peran penerbit menjadi sangat menentukan. Apalagi, industri perbukuan telah bergeser dari kultur  lama ke pola yang lebih agresif.  Dahulu, sebuah penerbit hanyalah bersifat "menunggu" naskah yang masuk dari penulis. Penerbit kategori ini nasibnya sangat ditentukan oleh kebaikan hati sang penulis. Jika penulisnya mampu menghasilkan naskah yang baik maka penerbit tersebut akan mendapat keuntungan. Celakanya, kalau buku yang dihasilkan sang penulis tidak peka dengan kebutuhan pasar, maka susahnya si penerbit, karena bukunya tidak laku. Dengan demikian, sinergi antara penerbit dan penulis kurang terjalin secara optimal. Penerbit dan penulis bekerja sendiri-sendiri.

Reaksi atas kondisi tersebut tentu saja sangat buruk, karena ketidakmampuan menghasilkan buku yang baik secara kualitas dan pasar akan menimbulkan keluhan-keluhan susulan. Coba tengok alasan yang seringkali dikemukan atas tidak berkembangnya industri buku Indonesia: rendahnya minat baca, kurangnya daya beli, susahnya mendapatkan buku, kurang pedulinya pemerintah, tidak mudahnya mendapatkan penulis, dan alasan-alasan yang sepertinya benar, padahal hanyalah bersifat pembenaran.

Alasan-alasan tersebut tentu saja melemahkan motivasi dan semangat kita untuk berkiprah dalam industri buku. Kita seolah-olah dihadapkan pada kondisi yang sangat buruk dan sama sekali tidak bisa diperbaiki. Industri buku pun seolah-olah tidak punya peluang untuk berkembang. Sikap mencari kambing hitam inilah yang menyebabkan industri buku Indonesia hanya mampu menghasilkan buku baru kurang dari 12.000 buku per tahun.

Dlam sikap seperti itu, maka wajarlah kalau penerbit-penerbit Indonesia lebih berorientasi proyek daripada pasar. Dalam jangka pendek tentu saja berkiprah di buku proyek lebih menguntungkan secara ekonomi daripada bersusah-payah menghasilkan buku yang diminati pasar. Namun, dalam jangka panjang, kepekaan penerbit atas kebutuhan konsumen semakin tumpul.  Penerbit jadinya sama sekali tidak berupaya memahami kebutuhan konsumen, tetapi berusaha mendekat pada kekuasaan (sebuah kondisi umum di Indonesia).  Untuk membuktikan asumsi ini coba bandingkan data anggota IKAPI dengan jumlah penerbit yang menjual bukunya lewat toko buku. Jika ada 700 lebih penerbit yang menjadi anggota asosiasi ini, mungkin kita hanya menemukan kurang dari 250 penerbit yang bukunya bisa dijumpai di toko buku. Kondisi yang memilukan. Pertanyaannya : apa yang dilakukan kita sebagai pekerja perbukuan yang notabene telah memilih karier di bidang ini.

Menjawab Tantangan

Dalam asumsi bidang keredaksian sebuah penerbit yang berorientasi pasar  selalu ada keyakinan bahwa instrumen pemasaran yang utama adalah produk itu sendiri. Pengertiannya, bagian redaksi harus mampu menghasilkan buku yang memang berkualitas, judul yang impresif,  tampilannya menarik, dan tema yang sesuai dengan kebutuhan pembaca. Sementara dalam pandangan pemasaran, buku yang baik adalah buku yang dengan mudah dijual, mampu menjawab trend yang berkembang, harga yang kompetitif, dan stok yang memadai. Kunci untuk menjawab tuntunan  tersebut adalah kreativitas, kecepatan, jejaring yang luas, dan kemampuan membaca pasar.

Dalam kondisi ini setiap elemen penerbitan (redaksi, pemasaran, distribusi, dan promosi) bisa memainkan peran yang sangat strategis. Alasannya,  berkembang tidaknya sebuah penerbit bukan hanya urusan seberapa banyak modal yang dimiliki, tetapi sangat terkait sejauh mana kreativitas bisa dioptimalkan. Celaknya, kreativitas itu urusan manusia.  Artinya, kalau kita berniat memilih karier di Industri buku, kreativitas kita tidak boleh mati. Setiap elemen industri buku harus bergerak untuk mencari celah  dari kondisi yang kurang menguntungkan ini.

Keterbatasan memang bisa menjadi hambatan, tetapi keterbatasan bisa juga memacu kreativitas. Jika kita berpikir bahwa kondisi perbukuan memang kurang menguntungkan bisa jadi justru disitulah peluangnya. Kasus-kasus buku best seller selamanya mampu keluar dari ruang gerak yang terbatas. Perhatikan kasus Jakarta Under Cover. Buku ini pertama kali muncul bukan dari penerbit besar yang ada di Jakarta, tetapi sebuah penerbit yang baru menggeliat dari Jogya. Artinya apa? Nama besar dan skala usaha tidak bisa menjamin kreativitas. Keberanian untuk menerbitkan buku dunia malam Jakarta saat situasi politik yang sedang mencari bentuk adalah bukti sebuah kejelian membaca peluang. Atau perhatikan kasus Supernova. Selama ini dunia selebriti sangat berjarak dengan dunia buku. Munculnya Supernova membuktikan bahwa buku memang bisa milik siapa saja.

Jika kita tidak hanya menempatkan buku terlalu berat, melulu sebagai mahakarya dan puncak pencaian si penulis, rasanya industri buku bisa sangat berkembang. Artinya, buku juga bisa sebagai hiburan, guru tanpa kelas, atau sumber inpirasi dan movitasi.  Namun, semua bisa dicapai jika kita sebagai pekerja perbukuan mampu mengoptimalkan kreativitas. Artinya, jika kita berniat berkarier di industri buku, siap-siaplah untuk memusuhi stagnasi dan mengarungi langit ketidakterbatasan.

Sumber :  http://www.hikmatkurnia.com/kronik-buku/2-merentas-karier-di-dunia-perbukuan-siapa-sudi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar