Oleh Hikmat Kurnia
Senin, 24 Januari 2011 11:04
Hikmat Kurnia
Dalam sebuah seminar tentang pilihan kareir
setelah keluar dari kampus, saya dihadapkan pada pertanyaan: mengapa
memilih karier di dunia perbukuan? Apa nilai lebih yang didapatkan
dengan bergiat di industri perbukuan dibandingan dengan industri
lainnya? Kalau kita tertarik dengan industri buku, modal apa yang
diperlukan? Pertanyaan-pertanyaan itu memang menjadi sangat mudah
dijawab, kalau jawabannya mengambil kasus personal. Namun, tentu saja
memerlukan penjelasan lebih panjang lebar ketika yang dibutuhkan adalah
acuan-acuan yang bersifat umum dan bisa diterapkan dalam kondisi yang
berbeda.
Memetakan Kemampuan
Ada sebuah pepatan yang selalu
didengungkan kalangan praktis bisnis: jika ingin duit maka harus do it.
Lakukanlah! Pepatan lain mengatakan jika Anda ingin berkarir hebat di
satu bidang, optimalkanlah potensi yang Anda miliki dan jangan sangat
sibuk menutupi kelemahan diri. Artinya apa? Kareir Anda akan hebat jika
Anda melakukan sesuatu dengan sepenuh hati, konsisten, memilih bidang
yang memang senang Anda lakukan, serta tidak jauh-jauh dari apa yang
Anda miliki.
Kondisi tersebut bisa jadi menjadi acuan cukup
ketika kita menetapkan karier di sebuah industri. Artinya, ketika
memilih karier di dunia perbukuan, saya menyadari betul bahwa apa yang
saya punyai adalah kegemaran akan buku. Buku sepertinya menjadi dunia
yang saya mulai tekuni sejak duduk di bangku sekolah menengah walaupun
tentu saja karena hidup di kota kabupaten tidak mudah menemukan buku.
Untungnya ada perpustakaan umum daerah yang waktu itu cukup baik,
sehingga dahaga itu sedikit terobati.
Bersinggungan dengan buku
lantas menjadi rutinitas hidup. Apalagi, ketika menjadi mahasiswa.
Banyaknya referensi tentang buku membuat saya tahu mana buku yang baik
isinya, jelek gaya bahasanya, artistik tampilan covernya, tepat pilihan
hurufnya, atau apa pun yang berkaitan dengan tampilan fisik dan isi
buku. Modal itulah yang menjadikan saya mulai bikin-bikin resensi buku
dan artikel di media massa. Lewat resensi saya tidak hanya menikmati
kandungan buku, tetapi juga mampu mendapat honor dan buku baru gratis
dari penerbitnya. Bacaannya pun menjadi beragam. Tidak hanya berkaitan
dengan sejarah atau budaya, tetapi melebar ke buku sastra, politik,
ekonomi, pertanian, dan lain-lain.
Dengan modal bacaan yang
beragam, juga beberapa resensi buku dan artekel, ini merupakan modal
awal yang baik untuk terlibat di dunia perbukuan. Masalahnya adalah
bagaimana mengubah pola pikir dari penikmat buku menjadi pekerja
perbukuan. Ini memang menjadi persoalan karena posisi buku menjadi
berbeda. Sebagai penikmat buku, kacamata yang seringkali dipakai adalah
bagaimana mendapatkan buku-buku yang sesuai minat dan ketuhan pribadi.
Namun, pola pikir itu serta merta berubah saat buku tidak ditempatkan
sebagai melulu produk budaya atau sumber pengetahuan. Dalam pola pikir
industri, buku ternyata bersingguhan secara jelas dengan kebutuhan
konsumen, ketepatan dan kecepatan distribusi, efektivitas promosi,
penentuan harga yang tepat, dan pengelolaan sumber daya manusia.
Dalam
posisi tersebut, buku yang baik tidak hanya baik secara kualitas tetapi
juga harus mampu diterima konsumen. Untuk mencapai target tersebut,
peran penerbit menjadi sangat menentukan. Apalagi, industri perbukuan
telah bergeser dari kultur lama ke pola yang lebih agresif. Dahulu,
sebuah penerbit hanyalah bersifat "menunggu" naskah yang masuk dari
penulis. Penerbit kategori ini nasibnya sangat ditentukan oleh kebaikan
hati sang penulis. Jika penulisnya mampu menghasilkan naskah yang baik
maka penerbit tersebut akan mendapat keuntungan. Celakanya, kalau buku
yang dihasilkan sang penulis tidak peka dengan kebutuhan pasar, maka
susahnya si penerbit, karena bukunya tidak laku. Dengan demikian,
sinergi antara penerbit dan penulis kurang terjalin secara optimal.
Penerbit dan penulis bekerja sendiri-sendiri.
Reaksi atas kondisi
tersebut tentu saja sangat buruk, karena ketidakmampuan menghasilkan
buku yang baik secara kualitas dan pasar akan menimbulkan
keluhan-keluhan susulan. Coba tengok alasan yang seringkali dikemukan
atas tidak berkembangnya industri buku Indonesia: rendahnya minat baca,
kurangnya daya beli, susahnya mendapatkan buku, kurang pedulinya
pemerintah, tidak mudahnya mendapatkan penulis, dan alasan-alasan yang
sepertinya benar, padahal hanyalah bersifat pembenaran.
Alasan-alasan
tersebut tentu saja melemahkan motivasi dan semangat kita untuk
berkiprah dalam industri buku. Kita seolah-olah dihadapkan pada kondisi
yang sangat buruk dan sama sekali tidak bisa diperbaiki. Industri buku
pun seolah-olah tidak punya peluang untuk berkembang. Sikap mencari
kambing hitam inilah yang menyebabkan industri buku Indonesia hanya
mampu menghasilkan buku baru kurang dari 12.000 buku per tahun.
Dlam
sikap seperti itu, maka wajarlah kalau penerbit-penerbit Indonesia
lebih berorientasi proyek daripada pasar. Dalam jangka pendek tentu saja
berkiprah di buku proyek lebih menguntungkan secara ekonomi daripada
bersusah-payah menghasilkan buku yang diminati pasar. Namun, dalam
jangka panjang, kepekaan penerbit atas kebutuhan konsumen semakin
tumpul. Penerbit jadinya sama sekali tidak berupaya memahami kebutuhan
konsumen, tetapi berusaha mendekat pada kekuasaan (sebuah kondisi umum
di Indonesia). Untuk membuktikan asumsi ini coba bandingkan data
anggota IKAPI dengan jumlah penerbit yang menjual bukunya lewat toko
buku. Jika ada 700 lebih penerbit yang menjadi anggota asosiasi ini,
mungkin kita hanya menemukan kurang dari 250 penerbit yang bukunya bisa
dijumpai di toko buku. Kondisi yang memilukan. Pertanyaannya : apa yang
dilakukan kita sebagai pekerja perbukuan yang notabene telah memilih
karier di bidang ini.
Menjawab Tantangan
Dalam
asumsi bidang keredaksian sebuah penerbit yang berorientasi pasar
selalu ada keyakinan bahwa instrumen pemasaran yang utama adalah produk
itu sendiri. Pengertiannya, bagian redaksi harus mampu menghasilkan buku
yang memang berkualitas, judul yang impresif, tampilannya menarik, dan
tema yang sesuai dengan kebutuhan pembaca. Sementara dalam pandangan
pemasaran, buku yang baik adalah buku yang dengan mudah dijual, mampu
menjawab trend yang berkembang, harga yang kompetitif, dan stok yang
memadai. Kunci untuk menjawab tuntunan tersebut adalah kreativitas,
kecepatan, jejaring yang luas, dan kemampuan membaca pasar.
Dalam
kondisi ini setiap elemen penerbitan (redaksi, pemasaran, distribusi,
dan promosi) bisa memainkan peran yang sangat strategis. Alasannya,
berkembang tidaknya sebuah penerbit bukan hanya urusan seberapa banyak
modal yang dimiliki, tetapi sangat terkait sejauh mana kreativitas bisa
dioptimalkan. Celaknya, kreativitas itu urusan manusia. Artinya, kalau
kita berniat memilih karier di Industri buku, kreativitas kita tidak
boleh mati. Setiap elemen industri buku harus bergerak untuk mencari
celah dari kondisi yang kurang menguntungkan ini.
Keterbatasan
memang bisa menjadi hambatan, tetapi keterbatasan bisa juga memacu
kreativitas. Jika kita berpikir bahwa kondisi perbukuan memang kurang
menguntungkan bisa jadi justru disitulah peluangnya. Kasus-kasus buku
best seller selamanya mampu keluar dari ruang gerak yang terbatas.
Perhatikan kasus Jakarta Under Cover. Buku ini pertama kali muncul bukan
dari penerbit besar yang ada di Jakarta, tetapi sebuah penerbit yang
baru menggeliat dari Jogya. Artinya apa? Nama besar dan skala usaha
tidak bisa menjamin kreativitas. Keberanian untuk menerbitkan buku dunia
malam Jakarta saat situasi politik yang sedang mencari bentuk adalah
bukti sebuah kejelian membaca peluang. Atau perhatikan kasus Supernova.
Selama ini dunia selebriti sangat berjarak dengan dunia buku. Munculnya
Supernova membuktikan bahwa buku memang bisa milik siapa saja.
Jika
kita tidak hanya menempatkan buku terlalu berat, melulu sebagai
mahakarya dan puncak pencaian si penulis, rasanya industri buku bisa
sangat berkembang. Artinya, buku juga bisa sebagai hiburan, guru tanpa
kelas, atau sumber inpirasi dan movitasi. Namun, semua bisa dicapai
jika kita sebagai pekerja perbukuan mampu mengoptimalkan kreativitas.
Artinya, jika kita berniat berkarier di industri buku, siap-siaplah
untuk memusuhi stagnasi dan mengarungi langit ketidakterbatasan.
Sumber : http://www.hikmatkurnia.com/kronik-buku/2-merentas-karier-di-dunia-perbukuan-siapa-sudi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar