Minggu, 15 Desember 2013

Bung Hatta dan Buku



Maret 14, 2010
Israr Iskandar, dosen sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang

Mohammad Hatta (1902-1980) dan buku adalah dua hal yang identik. Tokoh proklamator (bersama Bung Karno) dan pejuang kemerdekaan Indonesia itu dikenal sebagai sosok yang sulit dipisahkan dari buku.

Bahkan saat dibuang dan dipenjarakan, buku selalu mendampinginya. Ketika mendekam di penjara Den Haag, Belanda (1927-1928), karena dituduh merencanakan “makar” terhadap Pemerintah Kolonial, Hatta tetap dikelilingi buku-buku. Di penjara kolonial ini pula, ia menyiapkan diri untuk testamen ujian pendahuluan di Rotterdamse Handel Hooge School.

Saat hendak dibuang ke Boven Digoel (Papua) akhir 1935, Hatta meminta petugas kolonial mengulur waktu pemindahan untuk memberi kesempatan mengatur dan mengepak buku-buku yang akan dibawanya ke pengasingan. Puluhan peti berisi buku-buku kemudian diboyong Hatta ke Digoel, lalu Banda Naira, tempat pembuangan Hatta berikutnya. Di daerah-daerah pengasingan ini, Hatta mengisi sebagian besar hari-harinya dengan membaca, menulis, serta mengajar teman-temannya.

Sebagai seorang “bookmania”, Hatta memiliki koleksi buku yang luar biasa  baik dari segi jumlah maupun variasi bacaan. Bacaan Hatta sangat luas dengan bebeberapa bahasa dunia yang ia pahami dengan sangat baik, yakni Inggris, Jerman, Belanda dan Perancis.

Begitu dekatnya Hatta dengan buku, dengan nada berseloroh Ibu Rahmi pernah mengatakan bahwa ia adalah istri kedua Hatta. Istri pertamanya adalah buku. Laiknya memperlakukan seorang istri, Hatta amat telaten merawat bukunya. Hatta akan marah jika buku-buku yang dipinjamkannya ke orang lain atau anaknya sendiri tidak terawat baik.

Dengan modal itu, dari penjara dan tempat pembuangan, Hatta secara rutin menulis dan mengirimkan artikelnya ke surat-surat kabar yang terbit di Jawa maupun luar negeri. Honor artikelnya digunakan untuk tambahan biaya hidup, termasuk membeli buku dan berlangganan media massa. Tak mengherankan jika koleksi buku dan bacaan Hatta terus bertambah.

Hatta tak hanya memproduksi artikel, melainkan juga buku sebagai artikulasi pemikiran dan idealisme perjuangannya. Di samping intelektual-pejuang, Hatta juga dikenal sosok yang tampil secara mengesankan dengan sikap seorang sarjana. Ia selalu memberikan perhatian pada perkembangan ilmu pengetahuan dan mengumumkan tulisan-tulisannya menurut tata cara yang jamak dalam dunia akademis.

Meski ia bergelar doktorandus ekonomi, tapi Hatta tidak cuma berkutat pada bidang ilmu ekonomi semata. Ia juga mencurahkan perhatian pada sejumlah bidang ilmu lainnya. Hatta nampaknya juga memahami dengan baik ilmu tata negara, ilmu politik, sejarah, budaya dan bahkan filsafat.

Otoritas kesarjanaannya tercermin dari tiga buku teks untuk tiga cabang  ilmu sekaligus. Buku Pengantar ke Jalan Ekonomi Sosiologi untuk bidang ekonomi, Alam Pikiran Junani (1943) untuk bidang sejarah filsafat, dan Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan (1964) untuk disiplin filsafat ilmu.

Menurut Ignas Kleden (2002), di antara para Bapak Bangsa, barangkali hanya Hatta yang tekun menuliskan buku-buku teks semacam itu, sekalipun ia juga menuliskan banyak bidang masalah lain, sejalan minat dan perhatiannya yang luas, dalam wujud puluhan buku, ratusan artikel dan makalah.

Dalam soal menulis dan berbicara, Hatta dikenal sebagai seorang yang suka menulis langsung menukik ke persoalan. Ia tidak suka menggunakan kalimat yang berbelit-belit atau bahasa berbunga-bunga. Emil Salim, salah satu mahasiswanya di UI tahun 1950-an, menyebut tulisan maupun ceramah Hatta sebagai suatu pemaparan yang padat, rasional, zakelijk (detail), dan ilmiah. Karangan Hatta mencerminkan hasil pemikiran yang jernih, wawasan yang luas, sikap hidup tanpa pamrih dan pengalaman perjuangan yang matang.

Ini agaknya berbeda dengan kebanyakan pemimpin sekarang yang notabene mengandalkan diri pada penulis pidato sehingga kalimat-kalimat yang diucapkan tidak dihayatinya. Selain kering, pidato pemimpin sekarang banyak yang memakai bahasa klise.

Tulisan dan pidato Hatta sekaligus mencerminkan pribadinya. Hatta tak hanya dikenal sebagai sosok dengan cara berpikir runtut dan sistematis, melainkan juga pribadi telaten. Dalam berpakaian, misalnya, ia selalu tampak necis. Ciri khas Hatta lain, adalah pribadi yang “tepat waktu”, bukan tipe pribadi dengan kebiasaan “jam karet”.

Pelajaran penting dari Hatta dalam konteks ini, ia tidak mewariskan harta benda yang berlimpah kepada anak-anaknya. Ia justru mewariskan buku yang berlimpah ilmu. Inti pesannya, warisan ilmu pengetahuan lebih penting ketimbang harta kekayaan minus ilmu pengetahuan. Dari segi ini, Hatta menjalankan doktrin agama perihal kemestian mewariskan ilmu yang bermanfaat bagi orang lain.

Bung Hatta sebenarnya tidak hanya mewariskan semangat ilmiah  kepada anak-anaknya, melainkan juga kepada bangsa ini. Dalam pelbagai kesempatan, ia menganjurkan pentingnya penyebaran semangat ilmiah di kalangan intelektual agar bisa menjadi “juru penerang” bagi masyarakat. Kaum intelegensia  jelas menjadi amat penting perannya sebagai “penyambung lidah” rakyat.

Inti pesannya barangkali bahwa hanya dengan mengejar ketertinggalan di bidang ilmu dan teknologi, Indonesia bisa maju setara dengan bangsa-bangsa lain. Semua itu berkorelasi erat dengan tradisi membaca, buku dan semangat ilmiah (erudisi).
Sumber : http://israriskandar.wordpress.com/2010/03/14/bung-hatta-dan-buku/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar