Maret 14, 2010
Israr Iskandar, dosen sejarah
Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang
Mohammad Hatta (1902-1980) dan buku
adalah dua hal yang identik. Tokoh proklamator (bersama Bung Karno) dan pejuang
kemerdekaan Indonesia itu dikenal sebagai sosok yang sulit dipisahkan dari
buku.
Bahkan saat dibuang dan
dipenjarakan, buku selalu mendampinginya. Ketika mendekam di penjara Den Haag,
Belanda (1927-1928), karena dituduh merencanakan “makar” terhadap Pemerintah
Kolonial, Hatta tetap dikelilingi buku-buku. Di penjara kolonial ini pula, ia
menyiapkan diri untuk testamen ujian pendahuluan di Rotterdamse Handel Hooge
School.
Saat hendak dibuang ke Boven Digoel
(Papua) akhir 1935, Hatta meminta petugas kolonial mengulur waktu pemindahan
untuk memberi kesempatan mengatur dan mengepak buku-buku yang akan dibawanya ke
pengasingan. Puluhan peti berisi buku-buku kemudian diboyong Hatta ke Digoel,
lalu Banda Naira, tempat pembuangan Hatta berikutnya. Di daerah-daerah
pengasingan ini, Hatta mengisi sebagian besar hari-harinya dengan membaca,
menulis, serta mengajar teman-temannya.
Sebagai seorang “bookmania”,
Hatta memiliki koleksi buku yang luar biasa baik dari segi jumlah maupun
variasi bacaan. Bacaan Hatta sangat luas dengan bebeberapa bahasa dunia yang ia
pahami dengan sangat baik, yakni Inggris, Jerman, Belanda dan Perancis.
Begitu dekatnya Hatta dengan buku,
dengan nada berseloroh Ibu Rahmi pernah mengatakan bahwa ia adalah istri kedua
Hatta. Istri pertamanya adalah buku. Laiknya memperlakukan seorang istri, Hatta
amat telaten merawat bukunya. Hatta akan marah jika buku-buku yang
dipinjamkannya ke orang lain atau anaknya sendiri tidak terawat baik.
Dengan modal itu, dari penjara dan
tempat pembuangan, Hatta secara rutin menulis dan mengirimkan artikelnya ke surat-surat
kabar yang terbit di Jawa maupun luar negeri. Honor artikelnya digunakan untuk
tambahan biaya hidup, termasuk membeli buku dan berlangganan media massa. Tak
mengherankan jika koleksi buku dan bacaan Hatta terus bertambah.
Hatta tak hanya memproduksi artikel,
melainkan juga buku sebagai artikulasi pemikiran dan idealisme perjuangannya.
Di samping intelektual-pejuang, Hatta juga dikenal sosok yang tampil secara
mengesankan dengan sikap seorang sarjana. Ia selalu memberikan perhatian pada
perkembangan ilmu pengetahuan dan mengumumkan tulisan-tulisannya menurut tata
cara yang jamak dalam dunia akademis.
Meski ia bergelar doktorandus
ekonomi, tapi Hatta tidak cuma berkutat pada bidang ilmu ekonomi semata. Ia
juga mencurahkan perhatian pada sejumlah bidang ilmu lainnya. Hatta nampaknya
juga memahami dengan baik ilmu tata negara, ilmu politik, sejarah, budaya dan
bahkan filsafat.
Otoritas kesarjanaannya tercermin
dari tiga buku teks untuk tiga cabang ilmu sekaligus. Buku Pengantar
ke Jalan Ekonomi Sosiologi untuk bidang ekonomi, Alam Pikiran Junani
(1943) untuk bidang sejarah filsafat, dan Pengantar ke Jalan Ilmu dan
Pengetahuan (1964) untuk disiplin filsafat ilmu.
Menurut Ignas Kleden (2002), di
antara para Bapak Bangsa, barangkali hanya Hatta yang tekun menuliskan
buku-buku teks semacam itu, sekalipun ia juga menuliskan banyak bidang masalah
lain, sejalan minat dan perhatiannya yang luas, dalam wujud puluhan buku,
ratusan artikel dan makalah.
Dalam soal menulis dan berbicara,
Hatta dikenal sebagai seorang yang suka menulis langsung menukik ke persoalan.
Ia tidak suka menggunakan kalimat yang berbelit-belit atau bahasa
berbunga-bunga. Emil Salim, salah satu mahasiswanya di UI tahun 1950-an,
menyebut tulisan maupun ceramah Hatta sebagai suatu pemaparan yang padat,
rasional, zakelijk (detail), dan ilmiah. Karangan Hatta mencerminkan
hasil pemikiran yang jernih, wawasan yang luas, sikap hidup tanpa pamrih dan
pengalaman perjuangan yang matang.
Ini agaknya berbeda dengan
kebanyakan pemimpin sekarang yang notabene mengandalkan diri pada penulis
pidato sehingga kalimat-kalimat yang diucapkan tidak dihayatinya. Selain
kering, pidato pemimpin sekarang banyak yang memakai bahasa klise.
Tulisan dan pidato Hatta sekaligus
mencerminkan pribadinya. Hatta tak hanya dikenal sebagai sosok dengan cara
berpikir runtut dan sistematis, melainkan juga pribadi telaten. Dalam
berpakaian, misalnya, ia selalu tampak necis. Ciri khas Hatta lain, adalah
pribadi yang “tepat waktu”, bukan tipe pribadi dengan kebiasaan “jam karet”.
Pelajaran penting dari Hatta dalam
konteks ini, ia tidak mewariskan harta benda yang berlimpah kepada
anak-anaknya. Ia justru mewariskan buku yang berlimpah ilmu. Inti pesannya,
warisan ilmu pengetahuan lebih penting ketimbang harta kekayaan minus ilmu
pengetahuan. Dari segi ini, Hatta menjalankan doktrin agama perihal kemestian
mewariskan ilmu yang bermanfaat bagi orang lain.
Bung Hatta sebenarnya tidak hanya
mewariskan semangat ilmiah kepada anak-anaknya, melainkan juga kepada
bangsa ini. Dalam pelbagai kesempatan, ia menganjurkan pentingnya penyebaran
semangat ilmiah di kalangan intelektual agar bisa menjadi “juru penerang” bagi
masyarakat. Kaum intelegensia jelas menjadi amat penting perannya sebagai
“penyambung lidah” rakyat.
Inti pesannya barangkali bahwa hanya
dengan mengejar ketertinggalan di bidang ilmu dan teknologi, Indonesia bisa
maju setara dengan bangsa-bangsa lain. Semua itu berkorelasi erat dengan
tradisi membaca, buku dan semangat ilmiah (erudisi).
Sumber : http://israriskandar.wordpress.com/2010/03/14/bung-hatta-dan-buku/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar