Kita tentu sepakat bila suatu ilmu
yang kita geluti menjadi bermakna karena kita mengamalkannya, karena
juga oleh faktor tersedianya referensi yang menjadi sumber pengetahuan
ilmu tersebut. Segala sumber ilmu itu dapat termaktub pada buku-buku,
juga dapat berupa kliping-kliping koran yang terbit dari berbagai tahun
silam. Tetapi tidak semua orang yang memiliki sebuah gagasan besar untuk
mendokumentasikan semua literatur buku dan kliping-kliping itu secara
konsisten agar orang lain dapat dengan langgeng belajar dari
dokumentasinya. Hal itu tentu memerlukan kerja keras selama
bertahun-tahun.
Seorang HB Jassin, seperti yang
dikatakan Ignas Kleden (2004) merupakan seorang “dokumentator”. Negeri
ini boleh merasa beruntung seandainya dapat memiliki seorang Jassin lagi
dalam 50 atau 100 tahun mendatang. Dokumentasi Sastra HB Jassin, bukan
hanya menjadi saksi ketekunan dan komitmennya seumur hidup, tetapi juga
sebuah dokumentasi terbaik dan juga terbesar di dunia tentang apa yang
telah dicapai dalam sastra Indonesia modern. Lanjut Kleden, lebih dari
itu, dokumen itu telah dibangun selama bertahun-tahun tidak dengan
dukungan dari lembaga manapun —pemerintah maupun swasta, nasional maupun
asing— tetapi dilakukan sendiri dengan kekuatan fisik, kekuatan
finasial, kekuatan intelektual, dan juga kekuatan jiwa yang ada
padanya.
Baru setelah itu, Ali Sadikin
yang pada waktu itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, dapat
menghargai usaha tersebut dan meringankan beban keuangan dan menajemen
Jassin. Dalam dunia sastra Indonesia (modern) di Indonesia dewasa ini,
pertumbuhannya telah mengalami perkembangan yang pesat dan mengagumkan.
Perkembangan yang diiringi apresiasi yang memadai menjadikan pertumbuhan
sastra Indonesia mampu menunjukkan eksistensinya bukan hanya di
Indonesia tetapi juga di manca negara. Sebuah dokumentasi memiliki arti
penting untuk memajukan sebuah ilmu pengetahuan. Dia —dokumentasi itu—
sebagai tempat tumpuan, harapan, dan “pelarian” setelah sumber-sumber
lain tak dapat ditemukan. Maka sebuah dokumentasi mampu hadir sebagai
pencerminan dari, katakanlah “budaya baca” kita, inilah pentingnya dari
sebuah dokumentasi. Bukankah untuk menanamkan sikap budaya membaca juga
ditopang dari lengkapnya literatur dan sumber-sumber buku yang memadai
dan mudah didapat?
Dan kemudian, Pusat Dokumentasi
Sastra HB Jassin, dalam hal memajukan budaya baca, sungguh telah
memiliki peran dan andil besar. PDS HB Jassin bukan saja sebagai bentuk
perpustakaan, tetapi juga sebagai ruang publik untuk diskusi, pertemuan
sastra, dan gedung ilmu pengetahuan yang patut dijaga dan dilestarikan.
Mengingat begitu urgennya pusat dokumentasi ini, sudah semestinya
siapapun yang cinta akan dunia sastra patut menghargainya.
Namun belum lama ini, seperti
yang kita saksikan di tayangan berita-berita televisi atau juga di
media-media massa , mengabarkan bahwa PDS HB Jassin tidak lagi memiliki
dana subsidi yang memadai dari pemerintah. Ini tentu sangat menyedihkan.
Sebagai sebuah pusat perbukuan sastra terlengkap, keberadaan PDS ini
mampu menjadi tumpuan utama bagi semua pihak yang memiliki kepentingan
dalam masalah sastra.
Dari sepucuk surat yang diterima
Ajip Rosidi pada 16 Februari 2011 lalu, yang langsung ditandatangani
oleh Fauzi Bowo, sangat mengejutkan. Surat yang memiliki keterangan
nomor SK IV 215/2011 itu menetapkan secara jelas bahwa Pusat Dokumentasi
Sastra (PDS) HB Jassin tahun ini hanya memperoleh dana dari pemerintah
DKI Jakarta sebesar 50 juta rupiah. Hal ini menyedihkan Ajip Rosidi
selaku Ketua Dewan Pembina Yayasan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin,
sebab Ajip tahu betul bahwa angka Rp50 juta setahun tidak dapat menopang
perkembangan PDS.
Tak dapat disangkal, dengan
alokasi dana seperti itu tentu akan tidak memadai untuk perawatan
optimal. Pemerintah semestinya lebih jauh melihat betapa besar fungsi
dan peran PDS HB Jassin selama ini dalam menumbuhkan perkembangan
sastra. Harus diakui bahwa HB Jassin sebagai pendirinya benar-benar
berjuang untuk memajukan dunia sastra di Indonesia ini dengan semangat
dan cita-cita yang luhur juga tanpa mengenal lelah. Bertahun-tahun
Jassin mengumpulkan dan mendokumentasikan buku-buku sastra hingga orang
lain hari ini dengan mudah dapat menikmatinya tanpa kesulitan. Jassin
dengan kesadarannya ingin menunjukkan bahwa sastra Indonesia memiliki
sejarah perkembangan yang panjang dan perlu diapresiasi. Dia juga banyak
menulis, membela kritikan-kritikan tajam yang menyerang karya-karya
sastrawan Indonesia , mengulasnya dengan brilian nan menggugah bahwa
karya-karya sastrwan kita memiliki kualitas yang unggul. Semua itu
dilakukan oleh sang “Paus Sastra” Indonesia itu dengan loyalitas tinggi.
Seperti Ignas Kleden bilang, seandainya kita mempunyai lima orang
Jassin saja, maka mungkin sekali ingatan kita akan tertolong, mungkin
banyak kesalahan dapat terhindar, dan mungkin pula kita sudah maju
beberapa langkah lebih ke depan dari sekarang, dan tidak terlalu sering
salah alamat.
Jassin tidak sebatas
dokumentator, dia juga memberi contoh apa gunanya membangun sebuah
dokumentasi, karena itu dia menulis, melakukan kritik, menulis pengantar
teori, membuat studi, mengajar sastra dan mengajak orang lain melakukan
hal yang sama dengan memanfaatkan dokumentasinya tanpa meminta bayaran
dari menggunakan dokumentasinya. Upaya-upaya besar Jassin itu tentulah
harus dinilai dengan apresiasi A Plus dan gegapnya tepuk tangan kita
kalau kita sendiri, memang, mau menghargai sebuah dokumentasi itu. Budi
Darma (dalam Kleden) menyebutkan bahwa Jassin adalah kritikus tulen dan
juga kritikus plus. Dia menjadi kritikus tulen karena telah menghargai
sastra sebagai benar-benar suatu produk, bukan sekadar produk sampingan.
Dia juga kritikus plus, karena diantara banyak kritiknya, ada beberapa
yang matang menjadi kritik yang penting yang tak mungkin dilewatkan
peneliti lainnya.
Bercermin pada semua itu,
setidaknya pemerintah DKI Jakarta memiliki andil besar dalam
mempertahankan PDS HB Jassin. Sebab, jerih payahnya dalam menumbuhkan
ilmu pengetahuan sastra Indonesia telah jauh dan tanpa pamrih.
Sepatutnya kita memberi apresiasi tinggi dengan menjaga dan menghargai
PDS itu yang telah didirikannya. Arti penting dokumentasi tersebut baru
dapat dipahami, bila diingat bahwa untuk berbagai bidang studi lainnya
hampir tidak ada pusat dokumentasi di Indonesia yang dapat diandalkan.
Untuk belajar sejarah dan kebudayaan Indonesia mahasiswa dan sarjana
Indonesia akan pergi ke Leiden (Belanda). Untuk belajar politik mereka
harus ke Ithaca, Amerika Serikat. Untuk belajar ekonomi ke Canberra
(Australia). Dan untuk belajar asal-usul dan perkembangan bahasa sendiri
mungkin harus ke Hamburg (Jerman) atau Kyoto (Jepang). Hanya untuk
belajar sastra Indonesia modern seorang sarjana atau mahasiswa yang
tekun cukup indekos di Jakarta dan bisa mendapatkan hampir segala bahan
yang dibutuhkannya. Demikian pula mahasiswa asing yang ingin menulis
tentang sastra Indonesia modern niscaya belum mantap hatinya jika belum
pernah memanfaatkan PDS HB Jassin. Maka, betapa urgennya sebuah PDS HB
Jassin dalam menumbuhkembangkan sastra Indonesia di Tanah Air ini. Untuk
itu kita mesti menghargai jerih payahnya dan alangkah terpujinya kalau
kita turut menjaga Pusat Dokumentasi itu. Pemerintah DKI Jakarta dalam
hal ini, hendaklah berpikir kembali, berpikir jauh ke depan dalam
mengambil langkah-langkah sebuah kebijakan. Dan harus ada upaya konkret
dari pemerintah untuk mempertahankan PDS HB Jassin ini dengan perhatian
yang tinggi, selain memberi dana besar yang memadai untuk segala proses
perawatannya.
Membangun manusia Indonesia
seutuhnya bukan hanya dari segi finansial yang mati-matian mengejar
nilai ekonomis, bersifat hedonis, dan serba praktis, tetapi lebih luhur
kita mau menjaga dan menghargai juga melestarikan jasa-jasa penegak ilmu
pengetahuan yang bersifat humaniora, sastra dan budaya sebagai
contohnya. Semoga harapan kita Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin tetap
berdiri kokoh dan dikenang sampai kapanpun. Semoga.
***
Riki Utomi,
peminat
dan penikmat sastra. Menulis puisi, cerpen, esai dan dimuat di sejumlah
media dan terangkum dalam beberapa antologi bersama. Alumnus FKIP UIR
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Saat ini berproses di sekolah
kejuruan di Kep. Meranti. Tinggal di Selatpanjang.
Sumber: http://vcgemanasyidnyameranti.blogspot.com/2011/05/mari-menghargai-sebuah-dokumentasi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar