Kompas, Jumat, 12 Februari 1999
''In Memoriam'' YB Mangunwijaya : Pelajaran dari Sebuah Kematian
''In Memoriam'' YB Mangunwijaya : Pelajaran dari Sebuah Kematian
Oleh Ignas Kleden
MANGUNWIJAYA telah meninggal dunia dalam suatu kematian yang
demikian mudah dan cepat sehingga tidak segera meyakinkan teman-temannya pada
Rabu siang 10 Februari 1999, di Hotel Le Meridien Jakarta. Siang itu dia
menjadi pembicara pada simposium dua hari yang diselenggarakan oleh Yayasan
Obor Indonesia dengan tema ''Meningkatkan Peranan Buku dalam Upaya Membentuk
Masyarakat Baru Indonesia''.
Acara itu berakhir pukul 13.30 dan para peserta dipersilakan
menuju ruang lain untuk makan siang. Romo Mangunwijaya masih berbicara dengan
beberapa orang, dan terakhir bersama Sdr Mohamad Sobary. Kemudian dengan begitu
saja dia menjadi lemas dan menahankan dirinya pada bahu Sobary, yang lalu
membaringkannya di atas karpet dan mencoba menolongnya dengan melakukan pijatan.
Napas Mangunwijaya terdengar kencang, dan ciut juga hati saya karena dari
pengalaman saya ingat, itulah bunyi napas orang-orang yang sedang menghadapi
sakratulmaut.
Panitia segera memanggil dokter, dan dia dipindahkan ke medical
center hotel Le Meridien. Kami meneruskan makan siang dan kemudian
setelah kira-kira 10 menit mendapat kabar bahwa beliau telah meninggal dunia
pada pukul 13.55. Titian serambut dibelah tujuh antara hidup dan mati telah
dilewatinya dengan enteng bagaikan dalam sebuah permainan akrobatik. Kehidupan
yang penuh pergolakan dan perjuangan panjang telah berakhir dengan sebuah
kematian yang mulus, langsung dan tanpa komplikasi, dalam waktu kurang dari
duapuluh menit.
***
DILAHIRKAN di Ambarawa, Jawa Tengah pada 6 Mei 1929, Yusuf
Bilyarta Mangunwijaya bertumbuh besar dalam sebuah keluarga Jawa Katolik. Ini
artinya beberapa bulan lagi dia diharap merayakan ulang tahun ke 70 yang oleh
lingkungan kawan-kawannya telah dipersiapkan untuk disambut dengan sebuah
perayaan dan penerbitan buku-buku. Setengah dari niat itu tidak kesampaian
karena dia telah meninggal selagi bekerja bersama kawan-kawannya dalam
memikirkan Masyarakat Indonesia Baru, dan jalan menuju ke sana yang hendak
dicoba dirintis dengan menggalakkan peranan buku.
Dengan latar belakang kebudayaan Jawanya yang mantap,
Mangunwijaya selalu tampil sebagai pribadi santun yang sekaligus menyimpan
sejumlah besar bakat humor dan ironi yang selalu menghangatkan tiap pertemuan
dan membuat hidup tulisan-tulisannya yang amat banyak. Dalam berbagai kesempatan
berjumpa dengannya yang terlihat ialah bahwa dia sanggup menjaga keseimbangan
jiwa dan perasaan, ataumental equanimity, yang menjadi ideal pendidikan
dalam kebudayaan ini, tanpa takut menghadapi perbedaan pendapat dan
pertentangan kepentingan dan bahkan santai saja menghadapi konflik dengan
kekuasaan.
Dididik sebagai seorang rohaniwan katolik, Mangunwijaya
melihat dirinya pertama-tama sebagai seorang agamawan. Tetapi tema hidup
keagamaannya adalah pengembangan iman dan religius, dan bukan mengerasnya
lembaga agama yang dapat mengakibatkan kompartmentalisasi. Rabu siang dalam
simposium itu dia bahkan masih berkata: ''Agama cenderung, dan, sampai tingkat
tertentu, harus menjadi eksklusif, tetapi iman selalu terbuka dan inklusif.''
Dia bukanlah seorang yang betah hidup tenang intra muros di
antara tembok-tembok agamanya, tetapi mempunyai kebebasan seorang beriman, yang
mengembara ke mana-mana, berjumpa dengan siapa saja dari golongan mana saja
dari berbagai kelas sosial, yang diyakininya bisa menjadi kawan seperjuangan
dalam suatu pencarian bersama akan kebenaran, pembelaan bersama akan keadilan,
perlawanan bersama terhadap penindasan dan realisasi bersama akan kebaikan.
Dididik sebagai seorang arsitek, Mangunwijaya ternyata tidak
hanya terlatih untuk merencanakan dan membangun rumah dan gedung, tetapi juga
mahir mendesain pendidikan, merencanakan kebudayaan dan turut aktif membangun
suatu masyarakat baru. Dia bukan saja menguasai ilmu tentang ruang fisik tetapi
menunjukkan kepekaan yang tinggi dan intuisi yang tajam tentang ruang sosial
dan bahkan ruang politik.
Minatnya dan pengetahuannya yang mendalam tentang Iptek
justru tidak membuatnya menjadi seorang Fachidiot yang fanatik dengan
disiplinnya, tetapi memberinya pemahaman yang sensitif tentang batas-batas
kompetensi ilmu dan relatifnya manfaat teknologi dalam kehidupan masyarakat.
Kekeliruan yang sering dikritiknya, bahkan dalam makalahnya yang terakhir
kemarin, adalah bahwa Iptek telah menimbulkan salah paham bahwa sesuatu yang
secara teknis bisa dikerjakan secara moral juga dengan sendirinya boleh
dilakukan. Iptek adalah sebuah bidang yang juga mempunyai batas-batas secara etis,
karena jika tidak maka dia berubah menjadi sebuah kemampuan yang bisa
menciptakan apa saja, dan dapat menghancurkan apa saja. Iptek perlu diberi juga
rambu-rambu nilai-nilai. Di sana Mangunwijaya melihat (dan membela dengan
gigih) kaitan erat dan tak terpisahkan antara Iptek dan humaniora.
Dalam arti itulah barangkali kegiatan dan keterlibatannya
yang intensif dalam bersastra dapat dipahami. Karena dalam sastra khususnya dan
kesenian pada umumnya, selalu dituntut bukan saja kebebasan tetapi juga keberanian
untuk mengeksplorasi kemungkinan imajinasi untuk menerobos batas-batas yang
biasanya sudah diterima begitu saja berdasarkan berbagai dalam tradisi
kebudayaan mau pun konvensi ilmu pengetahuan. Sastra juga memberi bentuk
pengucapan lain untuk hal-hal yang tidak dapat diungkapkan secara memadai dalam
idiom-idiom ilmu pengetahuan.
Dalam pada itu pengembangan karya-karya tulis berupa
buku-buku dipandangnya tidak bisa lagi meniru gaya borjuasi Eropa, di mana
buku-buku mula-mula menjadi konsumsi kelas atas dan menengah barulah kemudian
menjadi milik lapisan bawah dalam masyarakat. Kira-kira sejam sebelum
meninggal, Mangunwijaya masih berpesan dalam simposium, bahwa peningkatan peran
buku di Indonesia perlu dicarikan modelnya bukan saja di negara-negara Barat,
tetapi juga di Cina. Di sana pengadaan buku-buku dilakukan dengan subsidi besar-besaran,
dicetak murah, dan terjangkau oleh daya beli rakyat biasa. Kecerdasan dan
pendidikan tidak perlu dikembangkan menurut strategi trickle down.
Kalau masyarakat menjadi cerdas yang untung adalah pemerintah karena banyak
urusan bisa diselesaikan oleh masyarakat sendiri.
***
KECERDASAN adalah suatu hal yang selalu diperjuangkan
Mangunwijaya dalam cita-cita dan usaha pendidikannya. Sebab, dengan keyakinan
teguh, dia sudah lama berpendapat bahwa banyak kebodohan tidak selalu dibawa
semenjak lahir tetapi seringkali diciptakan setelah orang dilahirkan ke dunia,
dan dilestarikan setelah orang menjadi dewasa di tengah-tengah masyarakatnya.
Pendidikan berfungsi, antara lain, mengurangi dan menyingkirkan
halangan-halangan yang ada dalam masyarakat, sehingga setiap orang dengan
inteligensi sederhana saja dapat mencapai suatu tingkat kecerdasan yang
mencukupi untuk mengurus dirinya sendiri dan bertanggung jawab sendiri atas apa
pun yang dilakukannya.
Kedekatannya dengan kelompok masyarakat kelas bawah rupanya
didorong oleh motivasi pendidikan semacam itu. Hendak dibuktikannya bahwa
orang-orang tanpa rumah, kaum gelandangan, dan mereka yang hidup di pinggir
kali adalah makhluk yang oleh keadaan dan struktur sosial yang ada diperlakukan
sebagai orang-orang bodoh, melalui sikap yang terus-menerus membodohi mereka.
Sekolah bukanlah menjadi alat untuk melestarikan perbedaan kelas sosial tetapi
sarana untuk memperkecil perbedaan tersebut, dengan kecerdasan sebagai hasil
usaha pembebasan. Perbedaan kelas tidak mungkin dihilangkan, tetapi dapat
dihadapi dengan wajar tanpa sikap diskrimanasi kelas.
***
MANGUNWIJAYA memang seorang tokoh dengan berbagai bakat,
beragam kegiatan, dan bermacam-macam prestasi. Sekalipun demikian, saya
menduga, dia mungkin paling senang dikenang sebagai seorang manusia yang selalu
mencoba ''menjadi orang'' dan membuat orang lain ''menjadi orang''.
Keterlibatan dan bacaan yang mendalam tentang teori evolusi sebetulnya
merupakan usaha untuk menyimak hubungan yang penuh misteri tetapi amat nyata
antara proses hominisasi (proses menjadi homo sapiens) dan
humanisasi (proses merealisasikan nilai-nilai dan kemampuan human).
Dalam arti itu, kesempurnaan bukanlah ideal seorang
Mangunwijaya, tetapi percobaan dan usaha yang terus-menerus, suatu determinasi
tanpa pretensi, untuk memikirkan suatu kemungkinan yang lebih baik, dan
mencobakannya dalam praktik. Sebuah istilah yang amat digemarinya adalah
''praksis''. Hidup adalah praksis dan bahkan teori adalah sebuah praksis.
Pendidikan adalah praksis dan cinta kepada manusia adalah sebuah praksis.
Politik adalah praksis. Kalau pada satu saat seseorang berteori tentang politik
dan pendidikan, maka di sana dia hanya menguji sebuah praksis dengan sebuah
praksis lainnya. Mangunwijaya pada dasarnya adalah seorang ''pembuat'' dan
bukan saja seorang ''pemikir''. Seluruh pemikirannya adalah praksis yang
dicobanya untuk mendukung atau menguji apa yang sedang atau hendak dibuatnya.
Karena itulah dia tidak pernah takut untuk mengajukan
gagasan yang kedengarannya kontroversial, seperti misalnya gagasan negara
federasi. Gagasan itu sebaiknya diterima sebagai sebuah praksis, sebuah
pemikiran yang diajukan supaya kita bekerja secara konseptual dan politis untuk
merumuskan kembali pengertian tentang kesatuan dan persatuan. Apakah kesatuan
nasional hanya mungkin terwujud dalam bentuk negara kesatuan? Praksis politik
selama setahun terakhir ini menunjukkan bahwa meskipun ada negara kesatuan,
berbagai friksi, perpecahan, dan bahkan kekerasan berkembang dengan kecepatan
api membakar hutan.
Di sanalah dilema seorang Mangunwijaya: kepercayaan kepada
perlunya membentuk pribadi yang matang dan otonom selalu diperhadapkan dengan
kecemasan tentang halangan-halangan struktural yang ada dalam masyarakat.
Seorang pribadi yang matang, hanya mungkin terwujud dalam masyarakat yang
matang, dan masyarakat yang matang hanya mungkin didukung oleh pribadi-pribadi
yang matang. Kesempurnaan moral bukan sekadar hasil usaha pribadi, tetapi juga
gejala dari perkembangan masyarakat. Suatu masyarakat yang membiarkan dengan
acuh, darah orang tertumpah di jalanan, niscaya merupakan halangan besar untuk
mewujudkan kesempurnaan, betapa banyak pun usaha kalangan agamawan, pendidik,
dan kaum moralis dikerahkan untuk kemajuan budi-pekerti dan kesempurnaan
pribadi.
Mangunwijaya juga bukanlah seorang yang sempurna.
Pemikirannya memang amat subur tetapi dia bukanlah pemikir sistematis yang
mengajukan teori. Pemikirannya adalah respons spontan kepada keadaan, tanpa
memberikan suatu kerangka besar yang dapat dipegang secara konseptual. Sebagai
seorang aktivis komitmennya kepada suatu cita-cita lebih jelas daripada teori
yang melandasinya. Kesempurnaan memang bukan milik setiap orang dan sebaiknya
demikian. Seorang yang terlalu sempurna hanya sanggup kita kagumi tetapi sulit
sekali untuk dicontohi. Kesempurnaan seseorang secara rohani bisa membawa orang
kepada sikap otoriter yang tidak kurang bahayanya seperti otoritarianisme
politik.
Kematian Romo Mangunwijaya adalah sebuah kematian yang
secara kiasan ingin saya namakan kematian ala Mangunwijaya dan ala Indonesia.
Dia meninggal di tengah sebuah simposium yang membahas peningkatan peran buku
untuk penciptaan masyarakat baru, di tengah pembahasan tema pendidikan dan
kebudayaan yang amat sentral, yang menjadi obsesinya dalam tigapuluh tahun
terakhir. Di sana juga dia hadir di tengah sahabat-sahabatnya: Prof Toeti
Heraty Noerhadi, Mochtar Lubis, Jakob Oetama, Dr Karlina Leksono, kalangan
penerbit buku dan IKAPI, perwakilan Ford Foundation dan UNDP, perwakilan dari
Library of Congress, perwakilan Obor Thailand, Dr Henri Chambert-Loir dari
EFEO, dan dan tentu saja para wartawan dan orang-orang media. Dia juga tidak
meninggal dalam pengawasan seorang rekan pastornya. Ketika dia merasa lemah dan
jatuh dalam pelukan Mohamad Sobary, teman ini berkata kepadanya: ''Ada apa
Romo?'' Dia menjawab ''He, kamu, kiaiku'' dan setelah itu rebah perlahan-lahan
di atas karpet. Kalau kehidupan sulit mempertemukan kita rupanya hanya kematian
yang dapat mempersatukan kita kembali. Burung Manyar itu telah terbang ke
tempat darimana tak seorang pun dapat memanggilnya kembali.
( * Ignas Kleden, sosiolog, tinggal di Jakarta.
)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar