Senin, 30 Desember 2013

ARTIKEL PILIHAN TENTANG BAHASA

Bahasa Indonesia dan Bahasa-bahasa Etnik

Oleh Prof. Stephanus Djawanai, Drs, MA, PhD
Sumber : Pos Kupang, Senin, 25 Oktober 2010 | 15:25 WIB

DALAM  rangka merayakan bulan bahasa, Oktober 2010, tulisan ini dibuat untuk mengingatkan tentang hari lahir bahasa Indonesia. Umumnya orang menganggap bahwa Bahasa Indonesia lahir bersamaan dengan Sumpah Pemuda, 28 oktober 1928. Tetapi penelusuran yang dilakukan oleh Prof. Harimurti Kridalaksana dan kawan-kawan di Universitas Indonesia menunjukkan bahwa nama Bahasa Indonesia lahir tanggal 2 Mei 1926. 

Profesor Stephanus Djawanai
Bahasa Indonesia lahir pada Kongres Pemuda Pertama yang diadakan di Jakarta, 30 April  -. 2 Mei 1926. Dalam kongres itu M. Yamin diberi tugas untuk menyusun usul resolusi untuk dimajukan dalam sidang umum kongres tentang Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa. Butir ke-3 konsep M. Yamin berbunyi: "Kami poetra dan poetri Indonesia menjoenjoeng bahasa persatoean Bahasa Melajoe', karena yang ada adalah bahasa Melayu. Konsep ini sebagian ditolak oleh M. Tabrani yang menyatakan: "Nama bahasa persatuan hendaknya bukan Bahasa Melayu, tetapi Bahasa Indonesia. Kalau belum ada harus dilahirkan melalui Kongres Pemuda Indonesia Pertama ini." Kongres menyetujuinya dan akhirnya memutuskan untuk menetapkan Sumpah Pemuda pada Kongres Pemuda Indonesia II,  tahun 1928, tetapi istilah bahasa Indonesia lahir tanggal 2 Mei 1926 itu.

Nama Indonesia dipopulerkan oleh etnolog Inggris, James Richard Logans tahun 1850, dan kemudian disebarluaskan oleh etnolog Jerman Adolf Bastian. Menelusuri nama dan asal-usul bahasa selalu menarik karena identitas bahasa kerapkali amat erat berkaitan dengan ikatan etnik. Tak ada hal lain apa pun yang lebih bersifat pribadi bagi seseorang daripada bahasanya: bahasa ibunya, yaitu bahasa yang membuka baginya dunia pengalaman hidup, yang menjadi alat pergaulannya sehari-hari dan yang di dalamnya ia berpikir, merenung, berdoa, bermimpi. Kedekatan atau ikatan etnis manusia sering ditentukan oleh bahasa lebih daripada oleh ciri fisik orang per orang  atau kelompok. Jadi bahasa dapat digunakan sebagai sarana untuk mempersatukan, atau menceraikan. Hal ini mengingatkan kita akan kisah kuno di negeri Babilonia, tentang kekacauan bahasa yang menyebabkan gagalnya pembangunan candi Babel.

Pertanyaan sering muncul tentang alasan mengapa bahasa nasional disejajarkan dengan jati diri nasional. Hal ini terutama terjadi di negeri-negeri yang memiliki banyak bahasa etnis, seperti di Indonesia. Kini kita terkejut oleh kenyataan bahwa terjadi penurunan drastis dari keanekaragaman bahasa, karena 40 sampai 50 persen bahasa-bahasa itu terancam mati (Harrison, 2007:7; Moeliono (2009:195); Kaswanti Purwo (2009:203); dan Evans, (2010:xviii).


Melayu jadi nasional

Pemilihan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional dan bukan bahasa lain dilakukan berdasarkan alasan-alasan yang bersifat politis, sosial dan ekonomis. Namun kenyataan yang harus dihadapi ialah bahwa dialek Melayu yang dipilih untuk menjadi bahasa nasional itu tidak memiliki penutur asli yang besar jumlahnya. Di banyak tempat di tanah air bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu itu diterima sebagai bahasa nasional, tetapi bukan bahasa ibu, dan tak jarang pula dipandang sebagai bahasa yang asing atau bahkan sebagai bahasa penjajah Belanda.

Dialek bahasa Melayu yang sering dirujuk sebagai cikal-bakal bahasa Indonesia adalah dialek Melayu Riau dan dialek yang digunakan di sepanjang Selat Malaka, baik di Sumatera maupun di Malaysia, yang mempunyai penutur asli.  Namun salah satu alasan pemilihan bahasa Melayu menjadi bahasa kemerdekaan Indonesia adalah bahwa dialek itu telah luas dikenal sebagai lingua franca di berbagai tempat di kawasan Hindia Belanda, dengan bentuk-bentuk seperti yang biasa disebut: Melayu Jakarta, Melayu Manado, Melayu Ambon, Melayu Larantuka, Melayu Kupang, dll.

Tetapi dialek itu adalah sebuah bentuk kreol tanpa penutur asli yang besar jumlahnya. Dialek itu digunakan sebagai lingua franca jadi tidak merasuk ke dalam kehidupan sehari-hari para penuturnya, kecuali untuk keperluan sesaat tertentu, yaitu untuk niaga. Jadi pemilihan dan pengembangan bahasa itu kemudian dilakukan dengan mengandalkan dinamika yang terdapat pada birokrasi pemerintahan dan pendidikan masa penjajahan Belanda, dan bukan pada kekuatan 'idiom bahasa' yang hidup di dalam masyarakat.

Dalam meneliti bahasa dan budaya, kita dihadapkan dengan kenyataan bahwa salah satu aspek hakiki dari mengetahui atau menguasai suatu bahasa itu adalah mengenal kelompok orang yang menggunakan bahasa itu dengan lingkungan kehidupan sosial, budaya dan alamnya. Kita ketahui pula bahwa bahasa sering membawa masalah keterikatan emosi yang kuat, tetapi lingua franca tidak membawa ikatan yang kuat dengan penuturnya.

Kalau benar demikian faktanya maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dialek Melayu yang dipilih untuk menjadi bahasa nasional itu 'dipaksakan' : pada mulanya oleh penjajah Belanda untuk kepentingan niaga dan menjalankan pemerintahan kolonial, dan dilanjutkan oleh para pencetus lahirnya bahasa Indonesia, dan akhirnya oleh pemerintah Indonesia sesudah kemerdekaan. Dengan kenyataan demikian itu bahasa Indonesia yang kita kenal ini barangkali adalah suatu dialek yang 'dipaksakan dengan kekuatan senjata' : senjata ekonomi, politik, militer, dll -- atau secara anekdotal dapat disebut sebagai sebuah dialek 'yang memiliki angkatan perang: angkatan, darat, laut maupun udara, dan ditambah pula dengan polisi bahasa'. 


Bahasa-bahasa etnik


Dalam tulisan ini dengan sengaja digunakan istilah bahasa etnik sebagai padanan bahasa daerah karena bahasa itulah yang hidup dan menjadi alat penunjuk jati diri kelompok etnis. Ada sebagian orang berpendapat bahwa bahasa etnik dan pengembangannya dapat membahayakan upaya penyatuan dan kesatuan Indonesia sebagai bangsa, tetapi penulis berpendapat bahwa kekhawatiran seperti demikian itu terlalu berlebihan, karena tak terjadi konflik di dalam masyarakat Indonesia karena alasan bahasa. Juga tidak terjadi tuntutan oleh penutur bahasa yang jumlahnya besar, seperti penutur bahasa Jawa, untuk menjadikan bahasa Jawa sebagai bahasa nasional. Kebanyakan konflik yang terjadi di dalam masyarakat dipicu oleh kepentingan politik dan ekonomi yang lalu merambat ke ranah etnik.

Sering terdapat pandangan yang keliru bahwa bahasa bertumbuh dari yang primitif menjadi modern, maju. Pendapat ini rupanya yang mendorong sebagian orang untuk berpendapat bahwa usaha melestarikan bahasa etnik itu tidak perlu atau hanya membuang energi dan biaya, karena semua bahasa kecil toh akan mati, atau berkembang menjadi bagian dari atau melebur menjadi satu dengan bahasa nasional. Bila ini juga terjadi di negeri kita berarti kita sebenarnya menganut sistem totaliter. Hal ini lebih menyedihkan lagi bila dilakukan dengan alasan demokrasi yang berdasarkan pemilihan, jadi yang kecil harus minggir, dikalahkan. Demokrasi lalu dapat menjadi pendorong terjadinya 'bunuh diri', euthanasia, bahasa etnis, karena seringkali bahasa-bahasa itu diabaikan.

Etnisitas biasa dipahami sebagai konsep yang memerikan kelompok orang yang memandang diri mereka memiliki ciri bersama yang membedakannya dari kelompok lain di dalam masyarakat, dan mereka dipandang mengembangkan perilaku budaya yang khas. Konsep masyarakat menggambarkan hubungan di mana orang merasa memiliki rasa identitas yang sama, yaitu hal-hal yang dirasakan dimiliki bersama. Dalam guyuban etnis orang merasa memiliki keakraban hubungan pribadi dan emosional yang mendalam, komitmen moral, kerekatan sosial, kesetiakawanan yang tinggi, dan keberlanjutan hubungan dalam waktu dan tempat tertentu. Nilai yang dijunjung tinggi adalah rukun sehingga anggota kelompok etnis itu selalu berusaha menghindari semua bentuk konflik.

Kita juga mengetahui bahwa bahasa merupakan bagian perilaku manusiawi di mana kategorisasi tampak paling jelas. Semua bahasa mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengungkapkan pikiran dan perasaan. Dalam meneliti bahasa etnik, peneliti perlu memerikan sosok budaya gagasan, perilaku, materi dan kosmologi dari kelompok etnik yang menggunakan bahasa yang diteliti itu. Catatan etnografis yang renik biasa dipandang merupakan aspek hakiki dari proses mengetahui dan memahami suatu bahasa melalui penutur asli bahasa itu.  Ciri-ciri ikatan emosional yang kuat kini mulai hilang dalam transisi dari guyuban yang berdasarkan kehidupan tani pedesaan menjadi kehidupan industri perkotaan di mana hubungan antarpribadi menjadi luas, longgar, impersonal, dan bersifat sementara.

Untuk menunjukkan pentingnya etnisitas kita dapat memperhatikan bahwa suatu peristiwa perhelatan budaya akan sangat menarik perhatian bila yang tampil adalah berbagai kelompok etnik dengan aneka ragam pakaian, musik, tarian, lagu, sampai makanan khas etnik yang bersama-sama membentuk mosaik Indonesia. Yang terjadi pada kesempatan seperti itu adalah bahwa kita merayakan kebhinekaan, merayakan etnisitas (celebration of ethnicity) yang dalam berbagai kapasitasnya menyumbang bagi pembentukan jati diri Indonesia.

Sebagaimana sering dikemukakan bahwa bahasa-bahasa etnik memberikan sumbangan untuk memperkaya bahasa Indonesia, dalam kosa kata, tatabunyi dan tatabahasa sehingga daya ungkap bahasa Indonesia ditingkatkan. Bahasa-bahasa etnik itulah sumber 'darah segar' bagi bahasa Indonesia dalam perkembangannya menyongsong masa yang akan datang. Semua bahasa itu juga menyumbangkan kisah-kisah besar pengalaman hidup penuturnya. Bukankah semua bahasa memiliki cerita yang berbeda yang ingin diungkapkan? (Evans, 2010:xviii).

Dalam kehidupan sehari-hari dapat pula diamati bahwa orang-orang yang menguasai dua bahasa atau lebih -- yang biasa disebut bilingual atau multilingual-- amat terbiasa dengan berpindah dari satu pola pikir ke pola pikir yang lain dan mereka memiliki manah yang lebih lentur (de Cuellar, 1996:179). Karena terbiasa dengan konsep yang berlainan dan mungkin bertentangan, para penutur bilingual dan multilingual itu menjadi lebih toleran, menerima perbedaan dan lebih terbuka untuk memahami sisi lain dari suatu masalah (Wijana, 2005:159).

Dalam hubungan ini dapat pula kita perhatikan kenyataan bahwa di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia, warga negara dianjurkan untuk mempelajari bahasa lain selain bahasa Inggris. Di Australia, warga remaja dan muda malah diwajibkan untuk mempelajari satu bahasa Asia sebagai bahasa tetangga terdekat  - mungkin karena terpengaruh oleh adagium bahwa 'tetangga dekat lebih bernilai daripada saudara kandung yang jauh tempat tinggalnya'.

Jika kita berminat mempelajari asal-usul dunia moderen, maka mau-tidak-mau kita harus pula memahami sifat dari guyuban-guyuban masa lalu, termasuk memahami organisasi sosial dari masyarakat dan rasa jati diri pribadi mereka yang akan membawa kita kepada pertanyaan tentang bahasa dan etnisitas (Renfrew, 1987:2-4). Bahasa-bahasa etnis memuat kisah  tentang apa yang pernah dipercakapkan di dalamnya, dan dalam pencarian moda untuk kejelasan dan cara menyampaikan pengalaman secara hidup dan indah, bahasa-bahasa itu dengan sendirinya menciptakan pola-pola tatabahasa dan kosakata baru dalam perjalanan waktu, dan bahasa menjadi khasanah pengetahuan.  *


Guru Besar Universitas Flores dan Universitas Gadjah Mada



Tidak ada komentar:

Posting Komentar