Senin, 30 Desember 2013

Indonesia Suka Lupa

Catatan : Dibawah ini sengaja diturunkan artikel Paul Budi Kleden berjudul "Indonesia Suka Lupa" yang pernah dimuat di Pos Kupang, 20 Agustus 2011. 

Budi Kleden demikian ia biasa disapa adalah sorang imam Serikat Sabda Allah (SVD) yang  masih muda dan tergolong produktif dalam menulis. Selain menulis artikel di media massa, ia juga menulis buku dan menulis kata pengantar untuk sejumlah buku tentang teologi, kebudayaan dan sastra.

 Dari sekian karya tulis doktor teologi ini, artikel tentang"Indonesia suka lupa" ini sengaja dipilih karena dianggap relevan untuk tujuan praktis yakni soal membukukan ingatan.  Sementara sebagai bagian terpisah disertai  juga beberapa karya buku dari Budi Kleden.(Ben)

Indonesia Suka Lupa


(Dosen STFK Ledalero-Maumere)

Sumber : Pos Kupang, Sabtu, 20 Agustus 2011 

PADA bulan Juni-Juli lalu saya menda-pat kesempatan bersama seorang teman untuk mendampingi sekelompok mahasis-wa Universitas Indonesia yang ber-K2N di pulau Palue. K2N UI itu bersemboyan: “Merekat NKRI di Pulau-pulau Terluar dan Perbatasan menuju Masyarakat Mandiri”.
Salah satu program para mahasiswa adalah menyelenggarakan rumah kreatif. Maksud-nya, sebuah rumah tempat warga, khusus-nya anak-anak, dapat berkumpul untuk me-lakukan kegiatan-kegiatan kreatif bersama.

Judul Buku : Aku yang Solider,
Aku Dalam Hidup Bekaul.
Penulis : Budi Kleden
Penerbit : Ledalero
Pada satu hari Minggu, setelah misa, se-jumlah mahasiswa UI mengumpulkan anak-anak di aula pertemuan paroki Uwa. Mereka bermain dan belajar. Mereka juga bernyanyi, di antaranya lagu-lagi kebang-saan. Indonesia Raya dinyanyikan dengan penuh entusiasme. Anak-anak sekolah itu menghafal seluruh syair lagu tersebut.

Se-sudah kegiatan tersebut, seorang mahasis-wa bertanya: di pulau nun jauh ini mereka tidak lupa Indonesia. Apakah orang-orang penting Indonesia mengingat mereka? Indonesia tampaknya sangat berarti bagi mereka. Apakah mereka sungguh dihargai para pemimpin Indonesia? Dalam hati saya berkata: jangankan para pemimpin Indonesia di Jakarta, di hati dan pikiran para pemimpin di Sikka pun belum pasti mereka diingat dan dihargai.

Kita baru saja memperingati hari ulang tahun kemerdekaan. Berbagai kegiatan di-rancangkan untuk kemeriahan acara itu. Banyak tenaga dan waktu digunakan un-tuk peringatan tersebut. Kegiatan di seko-lah praktis dilumpuhkan oleh persiapan dan pelaksanaan perhelatan hari kenangan tersebut. Tampaknya, bangsa ini memang member perhatian dan anggaran yang be-sar untuk peringatan, hari kenangan. Ter-kesan, mengingat adalah satu keutamaan bangsa ini.


Judul Buku : Membongkar Derita
Penulis : Budi Kleden
Penerbit : Ledalero
Namun, ironisnya, kita serentak menjadi saksi betapa bangsa ini digerogoti penyakit lupa. Kalau ada desa bernama Suka Maju, maka bangsa ini bisa memenangkan kontes Negara Suka Lupa. Kita suka dan mengha-biskan banyak energi dan waktu efektif un-tuk ritual peringatan, namun kita demikian gampang lupa akan hal yang menjadi tu-gas utama dan keprihatinan pokok kita.

Lupa pun sering menjadi alasan untuk me-nyelamatkan diri dari tanggungjawab yang harus dipikul. Para pejabat Negara kita te-ngah mempertontonkan kecerdikan menja-dikan lupa sebagai alibi untuk membela diri dan berkelit dari jerat penilaian negatif publik. Pejabat di daerah menggunakan lupa sebagai penjelasan mengenai keterli-batannya dalam kasus korupsi.

Karena suka lupa dan pandai menyalah-gunakan kata lupa, maka para pejabat kita menjadi tokoh-tokoh yang pandai mem-buat kisah fiktif. Pertemuan dengan Naza-ruddin disangkal dengan mengarang kisah fiktif. Para penguasa anggaran dan benda-hara gampang berfantasi ria membuat kui-tansi fiktif untuk kegiatan-kegiatan yang hanya ada dalam khayalan. Akibatnya, dana bantuan sosial membengkak oleh pengeluaran fiktif, sementara laporan me-ngenai penderitaan warga yang ditolak de-ngan alasan berita palsu.



Judul Buku : Teologi Terlibat
Penulis : Budi Kleden
Penerbit : Ledalero
Yang dikhayalkan dijual sebagai kebenaran, sementara yang nyata disangkal sebagai yang fiktif. Keada-an menjadi lebih parah ketika para pene-gak hukum pun membiarkan diri dari menjadi bagian dari kisah fiktif. Bangsa kita sepertinya kegandrungan sinetron dan para politisi menyelenggarakan negara se-perti para pengarang sinetron. Sayangnya, konsekuensi yang harus ditanggung warga yang miskin adalah riil dan tidak bisa di atasi semudah mengarang kisah sinetron.

Di tengah hiruk pikuk memperingati dan mengenang sejarah, ternyata kita ter-lampau gampang kita lupa akan sejarah. Sejarah tidak diterima sebagai guru yang baik di tengah bangsa ini. Tokoh yang be-berapa waktu lalu dikenal luas karena du-gaan pelanggar HAM, bisa disambut gem-bira dan disinggasanakan sebagai tokoh kemanusiaan oleh para pejuang kemanu-siaan. Sebaliknya, politisi yang konsisten dalam sikapnya memerangi korupsi dan membongkar ketidakadilan, “dilenyap-kan” dari dunia kehidupan dan gampang pula terhapus dari ingatan warga. Maka bukan mustahil, lembaga-lembaga negara pun bisa terserang penyakit yang sama: tidak belajar dari sejarah.


Belajar dari sejarah perjuangan kemer-dekaan mungkin terlampau jauh. Sudah 66 tahun lalu kita menyebut diri sebagai bangsa yang merdeka. Ternyata, belajar dari reformasi yang baru terjadi 13 tahun lalu pun sudah teramat sulit.



Judul : Dialektika Sekularisasi
Penulis : Budi Kleden dan Sunarko
Penerbit : Lamalera 
Perang terhadap korupsi sebagai satu agenda penting  refor-masi terlampau gampang dilupakan. Refor-masi yang digulir dengan maksud untuk membuat pembaruan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara belum membawa dampak yang diharapkan. Sistem ketatane-garaan dan mental aparat negara dialami rakyat sebagai penghambat reformasi. Pe-ngaturan sistem penyelenggaraan kekua-saan dalam perangkat undang-undang memberi kesan bahwa perangkat hukum itu masih terlampau kuat melindungi kepenti-ngan pusat-pusat kekuasaan yang aktual.

Sementara itu, upaya pada tingkatan sis-tem seperti pengurangan kekuasaan lem-baga eksekutif dengan memperkuat posisi pembaga legislatif ternyata belum memba-wa dampak yang memuaskan, sebab pe-nguatan ini tidak didukung oleh kualitas mental dan intelektual yang mencukupi dari mereka yang menjadi para wakil rakyat. Praktik korupsi ternyata tidak lagi menjadi monopoli lembaga eksekutif.

Kedudukan politis yang lebih kuat dari lembaga legislatif dimanfaatkan untuk memperkuat posisi tawarnya, bukan terutama demi kepentingan politis, melainkan lebih demi kepentingan ekono-mis. Sebuah pertimbangan politis yang ma-tang tidak akan membiarkan penumpukan kekayaan seorang wakil rakyat secara be-sar-besaran dalam waktu yang terlampau singkat.

Seorang politisi kawakan akan mempertimbangkan dampak politis dari berbagai tindakan dan ungkapannya, termasuk tindakan pembengkakan keka-yaan secara terlampau mencolok. Karena orientasi politis yang kabur, sementara kebutuhan penguatan ekonomi adalah sangat riil, maka ada anggota lembaga legislatif yang cukup mudah diarahkan oleh pihak eksekutif yang menginginkan sebuah pelaksanaan kekuasaan yang tidak banyak diwarnai oleh kritik legislatif.


Judul Buku : Kampung, Bangsa
dan Dunia
Penulis : Budi Kleden
Penerbit Lamalera 
Ada wilayah di mana sejumlah warga yang mempunyai kesan, seolah lembaga legislatif adalah pembela lembaga eksekutif di hadapan kritikan rakyat.
Dalam kondisi seperti ini, bukan mustahil para anggota legislatif kembali tampil sebagai aktor yang memainkan dengan piawai kecerdikan melupakan dan membuat yang lain lupa.

Bukan sebuah keanehan dalam sejarah politik bangsa ini apabila ternyata kasus Nazarudin dilupakan karena kecerdikan para anggota DPR yang partainya tengah mengalami goncangan besar karena nyanyian si mantan bendahara partai. Sudah terlampau lihai para politisi kita, termasuk para wakil rakyat kita, untuk mencari kiat agar kita semua perlahan-lahan melupakan berita yang pernah demikian seru dan menyita begitu banyak perhatian.

Pada tingkat daerah, seperti di Kabupaten Sikka, bukan sebuah anomali politik apabila para anggota DPRD yang sebelumnya sangat nyaring berbicara membongkar kasus dana bantuan sosial, membuat daftar panjang para penerima bantuan dan daftar pengeluaran yang diduga fiktif, mulai melupakan kasus ini dan membuat warga pun lupa. Godaan dan tekanan untuk itu sangat banyak.


Menghadapi kecendrungan besar untuk lupa, membuat orang lupa dan menyalahgunakan lupa, kita butuh lembaga dan orang-orang yang terus-menerus bersuara, walaupun tidak selalu terdengar menyenangkan dan disenangi.



Paul Budi Kleden diantara pemain bola usia muda
John Baptist Metz pernah menyebut Gereja, dan kita bisa berbicara mengenai agama pada umumnya, sebagai wadah yang melembagakan peran anamnetis dan menghidupi memoria yang tak kunjung henti. Bersama wadah dan lembaga-lembaga lain, agama-agama perlu secara berani berjuang melawan amnesia kolektif yang sedang mewabah di dalam tubuh bangsa ini.

Agama-agama perlu berjejaring dengan lembaga-lembaga lain, agar anak-anak di wilayah-wilayah yang gampang diabaikan seperti di pulau Palue, tidak mudah dilupakan oleh para penguasa negri ini. Suara anamnetis agama-agama diperlukan supaya berbagai kasus ketidakadilan dan penggelapan tidak ditenggelamkan di bawah permukaan penampilan yang saleh. *


ARTIKEL PILIHAN TENTANG BAHASA

Bahasa Indonesia dan Bahasa-bahasa Etnik

Oleh Prof. Stephanus Djawanai, Drs, MA, PhD
Sumber : Pos Kupang, Senin, 25 Oktober 2010 | 15:25 WIB

DALAM  rangka merayakan bulan bahasa, Oktober 2010, tulisan ini dibuat untuk mengingatkan tentang hari lahir bahasa Indonesia. Umumnya orang menganggap bahwa Bahasa Indonesia lahir bersamaan dengan Sumpah Pemuda, 28 oktober 1928. Tetapi penelusuran yang dilakukan oleh Prof. Harimurti Kridalaksana dan kawan-kawan di Universitas Indonesia menunjukkan bahwa nama Bahasa Indonesia lahir tanggal 2 Mei 1926. 

Profesor Stephanus Djawanai
Bahasa Indonesia lahir pada Kongres Pemuda Pertama yang diadakan di Jakarta, 30 April  -. 2 Mei 1926. Dalam kongres itu M. Yamin diberi tugas untuk menyusun usul resolusi untuk dimajukan dalam sidang umum kongres tentang Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa. Butir ke-3 konsep M. Yamin berbunyi: "Kami poetra dan poetri Indonesia menjoenjoeng bahasa persatoean Bahasa Melajoe', karena yang ada adalah bahasa Melayu. Konsep ini sebagian ditolak oleh M. Tabrani yang menyatakan: "Nama bahasa persatuan hendaknya bukan Bahasa Melayu, tetapi Bahasa Indonesia. Kalau belum ada harus dilahirkan melalui Kongres Pemuda Indonesia Pertama ini." Kongres menyetujuinya dan akhirnya memutuskan untuk menetapkan Sumpah Pemuda pada Kongres Pemuda Indonesia II,  tahun 1928, tetapi istilah bahasa Indonesia lahir tanggal 2 Mei 1926 itu.

Nama Indonesia dipopulerkan oleh etnolog Inggris, James Richard Logans tahun 1850, dan kemudian disebarluaskan oleh etnolog Jerman Adolf Bastian. Menelusuri nama dan asal-usul bahasa selalu menarik karena identitas bahasa kerapkali amat erat berkaitan dengan ikatan etnik. Tak ada hal lain apa pun yang lebih bersifat pribadi bagi seseorang daripada bahasanya: bahasa ibunya, yaitu bahasa yang membuka baginya dunia pengalaman hidup, yang menjadi alat pergaulannya sehari-hari dan yang di dalamnya ia berpikir, merenung, berdoa, bermimpi. Kedekatan atau ikatan etnis manusia sering ditentukan oleh bahasa lebih daripada oleh ciri fisik orang per orang  atau kelompok. Jadi bahasa dapat digunakan sebagai sarana untuk mempersatukan, atau menceraikan. Hal ini mengingatkan kita akan kisah kuno di negeri Babilonia, tentang kekacauan bahasa yang menyebabkan gagalnya pembangunan candi Babel.

Pertanyaan sering muncul tentang alasan mengapa bahasa nasional disejajarkan dengan jati diri nasional. Hal ini terutama terjadi di negeri-negeri yang memiliki banyak bahasa etnis, seperti di Indonesia. Kini kita terkejut oleh kenyataan bahwa terjadi penurunan drastis dari keanekaragaman bahasa, karena 40 sampai 50 persen bahasa-bahasa itu terancam mati (Harrison, 2007:7; Moeliono (2009:195); Kaswanti Purwo (2009:203); dan Evans, (2010:xviii).


Melayu jadi nasional

Pemilihan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional dan bukan bahasa lain dilakukan berdasarkan alasan-alasan yang bersifat politis, sosial dan ekonomis. Namun kenyataan yang harus dihadapi ialah bahwa dialek Melayu yang dipilih untuk menjadi bahasa nasional itu tidak memiliki penutur asli yang besar jumlahnya. Di banyak tempat di tanah air bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu itu diterima sebagai bahasa nasional, tetapi bukan bahasa ibu, dan tak jarang pula dipandang sebagai bahasa yang asing atau bahkan sebagai bahasa penjajah Belanda.

Dialek bahasa Melayu yang sering dirujuk sebagai cikal-bakal bahasa Indonesia adalah dialek Melayu Riau dan dialek yang digunakan di sepanjang Selat Malaka, baik di Sumatera maupun di Malaysia, yang mempunyai penutur asli.  Namun salah satu alasan pemilihan bahasa Melayu menjadi bahasa kemerdekaan Indonesia adalah bahwa dialek itu telah luas dikenal sebagai lingua franca di berbagai tempat di kawasan Hindia Belanda, dengan bentuk-bentuk seperti yang biasa disebut: Melayu Jakarta, Melayu Manado, Melayu Ambon, Melayu Larantuka, Melayu Kupang, dll.

Tetapi dialek itu adalah sebuah bentuk kreol tanpa penutur asli yang besar jumlahnya. Dialek itu digunakan sebagai lingua franca jadi tidak merasuk ke dalam kehidupan sehari-hari para penuturnya, kecuali untuk keperluan sesaat tertentu, yaitu untuk niaga. Jadi pemilihan dan pengembangan bahasa itu kemudian dilakukan dengan mengandalkan dinamika yang terdapat pada birokrasi pemerintahan dan pendidikan masa penjajahan Belanda, dan bukan pada kekuatan 'idiom bahasa' yang hidup di dalam masyarakat.

Dalam meneliti bahasa dan budaya, kita dihadapkan dengan kenyataan bahwa salah satu aspek hakiki dari mengetahui atau menguasai suatu bahasa itu adalah mengenal kelompok orang yang menggunakan bahasa itu dengan lingkungan kehidupan sosial, budaya dan alamnya. Kita ketahui pula bahwa bahasa sering membawa masalah keterikatan emosi yang kuat, tetapi lingua franca tidak membawa ikatan yang kuat dengan penuturnya.

Kalau benar demikian faktanya maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dialek Melayu yang dipilih untuk menjadi bahasa nasional itu 'dipaksakan' : pada mulanya oleh penjajah Belanda untuk kepentingan niaga dan menjalankan pemerintahan kolonial, dan dilanjutkan oleh para pencetus lahirnya bahasa Indonesia, dan akhirnya oleh pemerintah Indonesia sesudah kemerdekaan. Dengan kenyataan demikian itu bahasa Indonesia yang kita kenal ini barangkali adalah suatu dialek yang 'dipaksakan dengan kekuatan senjata' : senjata ekonomi, politik, militer, dll -- atau secara anekdotal dapat disebut sebagai sebuah dialek 'yang memiliki angkatan perang: angkatan, darat, laut maupun udara, dan ditambah pula dengan polisi bahasa'. 


Bahasa-bahasa etnik


Dalam tulisan ini dengan sengaja digunakan istilah bahasa etnik sebagai padanan bahasa daerah karena bahasa itulah yang hidup dan menjadi alat penunjuk jati diri kelompok etnis. Ada sebagian orang berpendapat bahwa bahasa etnik dan pengembangannya dapat membahayakan upaya penyatuan dan kesatuan Indonesia sebagai bangsa, tetapi penulis berpendapat bahwa kekhawatiran seperti demikian itu terlalu berlebihan, karena tak terjadi konflik di dalam masyarakat Indonesia karena alasan bahasa. Juga tidak terjadi tuntutan oleh penutur bahasa yang jumlahnya besar, seperti penutur bahasa Jawa, untuk menjadikan bahasa Jawa sebagai bahasa nasional. Kebanyakan konflik yang terjadi di dalam masyarakat dipicu oleh kepentingan politik dan ekonomi yang lalu merambat ke ranah etnik.

Sering terdapat pandangan yang keliru bahwa bahasa bertumbuh dari yang primitif menjadi modern, maju. Pendapat ini rupanya yang mendorong sebagian orang untuk berpendapat bahwa usaha melestarikan bahasa etnik itu tidak perlu atau hanya membuang energi dan biaya, karena semua bahasa kecil toh akan mati, atau berkembang menjadi bagian dari atau melebur menjadi satu dengan bahasa nasional. Bila ini juga terjadi di negeri kita berarti kita sebenarnya menganut sistem totaliter. Hal ini lebih menyedihkan lagi bila dilakukan dengan alasan demokrasi yang berdasarkan pemilihan, jadi yang kecil harus minggir, dikalahkan. Demokrasi lalu dapat menjadi pendorong terjadinya 'bunuh diri', euthanasia, bahasa etnis, karena seringkali bahasa-bahasa itu diabaikan.

Etnisitas biasa dipahami sebagai konsep yang memerikan kelompok orang yang memandang diri mereka memiliki ciri bersama yang membedakannya dari kelompok lain di dalam masyarakat, dan mereka dipandang mengembangkan perilaku budaya yang khas. Konsep masyarakat menggambarkan hubungan di mana orang merasa memiliki rasa identitas yang sama, yaitu hal-hal yang dirasakan dimiliki bersama. Dalam guyuban etnis orang merasa memiliki keakraban hubungan pribadi dan emosional yang mendalam, komitmen moral, kerekatan sosial, kesetiakawanan yang tinggi, dan keberlanjutan hubungan dalam waktu dan tempat tertentu. Nilai yang dijunjung tinggi adalah rukun sehingga anggota kelompok etnis itu selalu berusaha menghindari semua bentuk konflik.

Kita juga mengetahui bahwa bahasa merupakan bagian perilaku manusiawi di mana kategorisasi tampak paling jelas. Semua bahasa mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengungkapkan pikiran dan perasaan. Dalam meneliti bahasa etnik, peneliti perlu memerikan sosok budaya gagasan, perilaku, materi dan kosmologi dari kelompok etnik yang menggunakan bahasa yang diteliti itu. Catatan etnografis yang renik biasa dipandang merupakan aspek hakiki dari proses mengetahui dan memahami suatu bahasa melalui penutur asli bahasa itu.  Ciri-ciri ikatan emosional yang kuat kini mulai hilang dalam transisi dari guyuban yang berdasarkan kehidupan tani pedesaan menjadi kehidupan industri perkotaan di mana hubungan antarpribadi menjadi luas, longgar, impersonal, dan bersifat sementara.

Untuk menunjukkan pentingnya etnisitas kita dapat memperhatikan bahwa suatu peristiwa perhelatan budaya akan sangat menarik perhatian bila yang tampil adalah berbagai kelompok etnik dengan aneka ragam pakaian, musik, tarian, lagu, sampai makanan khas etnik yang bersama-sama membentuk mosaik Indonesia. Yang terjadi pada kesempatan seperti itu adalah bahwa kita merayakan kebhinekaan, merayakan etnisitas (celebration of ethnicity) yang dalam berbagai kapasitasnya menyumbang bagi pembentukan jati diri Indonesia.

Sebagaimana sering dikemukakan bahwa bahasa-bahasa etnik memberikan sumbangan untuk memperkaya bahasa Indonesia, dalam kosa kata, tatabunyi dan tatabahasa sehingga daya ungkap bahasa Indonesia ditingkatkan. Bahasa-bahasa etnik itulah sumber 'darah segar' bagi bahasa Indonesia dalam perkembangannya menyongsong masa yang akan datang. Semua bahasa itu juga menyumbangkan kisah-kisah besar pengalaman hidup penuturnya. Bukankah semua bahasa memiliki cerita yang berbeda yang ingin diungkapkan? (Evans, 2010:xviii).

Dalam kehidupan sehari-hari dapat pula diamati bahwa orang-orang yang menguasai dua bahasa atau lebih -- yang biasa disebut bilingual atau multilingual-- amat terbiasa dengan berpindah dari satu pola pikir ke pola pikir yang lain dan mereka memiliki manah yang lebih lentur (de Cuellar, 1996:179). Karena terbiasa dengan konsep yang berlainan dan mungkin bertentangan, para penutur bilingual dan multilingual itu menjadi lebih toleran, menerima perbedaan dan lebih terbuka untuk memahami sisi lain dari suatu masalah (Wijana, 2005:159).

Dalam hubungan ini dapat pula kita perhatikan kenyataan bahwa di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia, warga negara dianjurkan untuk mempelajari bahasa lain selain bahasa Inggris. Di Australia, warga remaja dan muda malah diwajibkan untuk mempelajari satu bahasa Asia sebagai bahasa tetangga terdekat  - mungkin karena terpengaruh oleh adagium bahwa 'tetangga dekat lebih bernilai daripada saudara kandung yang jauh tempat tinggalnya'.

Jika kita berminat mempelajari asal-usul dunia moderen, maka mau-tidak-mau kita harus pula memahami sifat dari guyuban-guyuban masa lalu, termasuk memahami organisasi sosial dari masyarakat dan rasa jati diri pribadi mereka yang akan membawa kita kepada pertanyaan tentang bahasa dan etnisitas (Renfrew, 1987:2-4). Bahasa-bahasa etnis memuat kisah  tentang apa yang pernah dipercakapkan di dalamnya, dan dalam pencarian moda untuk kejelasan dan cara menyampaikan pengalaman secara hidup dan indah, bahasa-bahasa itu dengan sendirinya menciptakan pola-pola tatabahasa dan kosakata baru dalam perjalanan waktu, dan bahasa menjadi khasanah pengetahuan.  *


Guru Besar Universitas Flores dan Universitas Gadjah Mada



Sabtu, 28 Desember 2013

ARTIKEL PILIHAN TENTANG ROMO MANGUN

Kompas, Jumat, 12 Februari 1999

''In Memoriam'' YB Mangunwijaya : Pelajaran dari Sebuah Kematian

Oleh Ignas Kleden

MANGUNWIJAYA telah meninggal dunia dalam suatu kematian yang demikian mudah dan cepat sehingga tidak segera meyakinkan teman-temannya pada Rabu siang 10 Februari 1999, di Hotel Le Meridien Jakarta. Siang itu dia menjadi pembicara pada simposium dua hari yang diselenggarakan oleh Yayasan Obor Indonesia dengan tema ''Meningkatkan Peranan Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Baru Indonesia''.

Acara itu berakhir pukul 13.30 dan para peserta dipersilakan menuju ruang lain untuk makan siang. Romo Mangunwijaya masih berbicara dengan beberapa orang, dan terakhir bersama Sdr Mohamad Sobary. Kemudian dengan begitu saja dia menjadi lemas dan menahankan dirinya pada bahu Sobary, yang lalu membaringkannya di atas karpet dan mencoba menolongnya dengan melakukan pijatan. Napas Mangunwijaya terdengar kencang, dan ciut juga hati saya karena dari pengalaman saya ingat, itulah bunyi napas orang-orang yang sedang menghadapi sakratulmaut.

Panitia segera memanggil dokter, dan dia dipindahkan ke medical center hotel Le Meridien. Kami meneruskan makan siang dan kemudian setelah kira-kira 10 menit mendapat kabar bahwa beliau telah meninggal dunia pada pukul 13.55. Titian serambut dibelah tujuh antara hidup dan mati telah dilewatinya dengan enteng bagaikan dalam sebuah permainan akrobatik. Kehidupan yang penuh pergolakan dan perjuangan panjang telah berakhir dengan sebuah kematian yang mulus, langsung dan tanpa komplikasi, dalam waktu kurang dari duapuluh menit.

***

DILAHIRKAN di Ambarawa, Jawa Tengah pada 6 Mei 1929, Yusuf Bilyarta Mangunwijaya bertumbuh besar dalam sebuah keluarga Jawa Katolik. Ini artinya beberapa bulan lagi dia diharap merayakan ulang tahun ke 70 yang oleh lingkungan kawan-kawannya telah dipersiapkan untuk disambut dengan sebuah perayaan dan penerbitan buku-buku. Setengah dari niat itu tidak kesampaian karena dia telah meninggal selagi bekerja bersama kawan-kawannya dalam memikirkan Masyarakat Indonesia Baru, dan jalan menuju ke sana yang hendak dicoba dirintis dengan menggalakkan peranan buku.

Dengan latar belakang kebudayaan Jawanya yang mantap, Mangunwijaya selalu tampil sebagai pribadi santun yang sekaligus menyimpan sejumlah besar bakat humor dan ironi yang selalu menghangatkan tiap pertemuan dan membuat hidup tulisan-tulisannya yang amat banyak. Dalam berbagai kesempatan berjumpa dengannya yang terlihat ialah bahwa dia sanggup menjaga keseimbangan jiwa dan perasaan, ataumental equanimity, yang menjadi ideal pendidikan dalam kebudayaan ini, tanpa takut menghadapi perbedaan pendapat dan pertentangan kepentingan dan bahkan santai saja menghadapi konflik dengan kekuasaan.

Dididik sebagai seorang rohaniwan katolik, Mangunwijaya melihat dirinya pertama-tama sebagai seorang agamawan. Tetapi tema hidup keagamaannya adalah pengembangan iman dan religius, dan bukan mengerasnya lembaga agama yang dapat mengakibatkan kompartmentalisasi. Rabu siang dalam simposium itu dia bahkan masih berkata: ''Agama cenderung, dan, sampai tingkat tertentu, harus menjadi eksklusif, tetapi iman selalu terbuka dan inklusif.'' Dia bukanlah seorang yang betah hidup tenang intra muros di antara tembok-tembok agamanya, tetapi mempunyai kebebasan seorang beriman, yang mengembara ke mana-mana, berjumpa dengan siapa saja dari golongan mana saja dari berbagai kelas sosial, yang diyakininya bisa menjadi kawan seperjuangan dalam suatu pencarian bersama akan kebenaran, pembelaan bersama akan keadilan, perlawanan bersama terhadap penindasan dan realisasi bersama akan kebaikan.

Dididik sebagai seorang arsitek, Mangunwijaya ternyata tidak hanya terlatih untuk merencanakan dan membangun rumah dan gedung, tetapi juga mahir mendesain pendidikan, merencanakan kebudayaan dan turut aktif membangun suatu masyarakat baru. Dia bukan saja menguasai ilmu tentang ruang fisik tetapi menunjukkan kepekaan yang tinggi dan intuisi yang tajam tentang ruang sosial dan bahkan ruang politik.

Minatnya dan pengetahuannya yang mendalam tentang Iptek justru tidak membuatnya menjadi seorang Fachidiot yang fanatik dengan disiplinnya, tetapi memberinya pemahaman yang sensitif tentang batas-batas kompetensi ilmu dan relatifnya manfaat teknologi dalam kehidupan masyarakat. Kekeliruan yang sering dikritiknya, bahkan dalam makalahnya yang terakhir kemarin, adalah bahwa Iptek telah menimbulkan salah paham bahwa sesuatu yang secara teknis bisa dikerjakan secara moral juga dengan sendirinya boleh dilakukan. Iptek adalah sebuah bidang yang juga mempunyai batas-batas secara etis, karena jika tidak maka dia berubah menjadi sebuah kemampuan yang bisa menciptakan apa saja, dan dapat menghancurkan apa saja. Iptek perlu diberi juga rambu-rambu nilai-nilai. Di sana Mangunwijaya melihat (dan membela dengan gigih) kaitan erat dan tak terpisahkan antara Iptek dan humaniora.

Dalam arti itulah barangkali kegiatan dan keterlibatannya yang intensif dalam bersastra dapat dipahami. Karena dalam sastra khususnya dan kesenian pada umumnya, selalu dituntut bukan saja kebebasan tetapi juga keberanian untuk mengeksplorasi kemungkinan imajinasi untuk menerobos batas-batas yang biasanya sudah diterima begitu saja berdasarkan berbagai dalam tradisi kebudayaan mau pun konvensi ilmu pengetahuan. Sastra juga memberi bentuk pengucapan lain untuk hal-hal yang tidak dapat diungkapkan secara memadai dalam idiom-idiom ilmu pengetahuan.

Dalam pada itu pengembangan karya-karya tulis berupa buku-buku dipandangnya tidak bisa lagi meniru gaya borjuasi Eropa, di mana buku-buku mula-mula menjadi konsumsi kelas atas dan menengah barulah kemudian menjadi milik lapisan bawah dalam masyarakat. Kira-kira sejam sebelum meninggal, Mangunwijaya masih berpesan dalam simposium, bahwa peningkatan peran buku di Indonesia perlu dicarikan modelnya bukan saja di negara-negara Barat, tetapi juga di Cina. Di sana pengadaan buku-buku dilakukan dengan subsidi besar-besaran, dicetak murah, dan terjangkau oleh daya beli rakyat biasa. Kecerdasan dan pendidikan tidak perlu dikembangkan menurut strategi trickle down. Kalau masyarakat menjadi cerdas yang untung adalah pemerintah karena banyak urusan bisa diselesaikan oleh masyarakat sendiri.

***

KECERDASAN adalah suatu hal yang selalu diperjuangkan Mangunwijaya dalam cita-cita dan usaha pendidikannya. Sebab, dengan keyakinan teguh, dia sudah lama berpendapat bahwa banyak kebodohan tidak selalu dibawa semenjak lahir tetapi seringkali diciptakan setelah orang dilahirkan ke dunia, dan dilestarikan setelah orang menjadi dewasa di tengah-tengah masyarakatnya. Pendidikan berfungsi, antara lain, mengurangi dan menyingkirkan halangan-halangan yang ada dalam masyarakat, sehingga setiap orang dengan inteligensi sederhana saja dapat mencapai suatu tingkat kecerdasan yang mencukupi untuk mengurus dirinya sendiri dan bertanggung jawab sendiri atas apa pun yang dilakukannya.

Kedekatannya dengan kelompok masyarakat kelas bawah rupanya didorong oleh motivasi pendidikan semacam itu. Hendak dibuktikannya bahwa orang-orang tanpa rumah, kaum gelandangan, dan mereka yang hidup di pinggir kali adalah makhluk yang oleh keadaan dan struktur sosial yang ada diperlakukan sebagai orang-orang bodoh, melalui sikap yang terus-menerus membodohi mereka. Sekolah bukanlah menjadi alat untuk melestarikan perbedaan kelas sosial tetapi sarana untuk memperkecil perbedaan tersebut, dengan kecerdasan sebagai hasil usaha pembebasan. Perbedaan kelas tidak mungkin dihilangkan, tetapi dapat dihadapi dengan wajar tanpa sikap diskrimanasi kelas.

***

MANGUNWIJAYA memang seorang tokoh dengan berbagai bakat, beragam kegiatan, dan bermacam-macam prestasi. Sekalipun demikian, saya menduga, dia mungkin paling senang dikenang sebagai seorang manusia yang selalu mencoba ''menjadi orang'' dan membuat orang lain ''menjadi orang''. Keterlibatan dan bacaan yang mendalam tentang teori evolusi sebetulnya merupakan usaha untuk menyimak hubungan yang penuh misteri tetapi amat nyata antara proses hominisasi (proses menjadi homo sapiens) dan humanisasi (proses merealisasikan nilai-nilai dan kemampuan human).

Dalam arti itu, kesempurnaan bukanlah ideal seorang Mangunwijaya, tetapi percobaan dan usaha yang terus-menerus, suatu determinasi tanpa pretensi, untuk memikirkan suatu kemungkinan yang lebih baik, dan mencobakannya dalam praktik. Sebuah istilah yang amat digemarinya adalah ''praksis''. Hidup adalah praksis dan bahkan teori adalah sebuah praksis. Pendidikan adalah praksis dan cinta kepada manusia adalah sebuah praksis. Politik adalah praksis. Kalau pada satu saat seseorang berteori tentang politik dan pendidikan, maka di sana dia hanya menguji sebuah praksis dengan sebuah praksis lainnya. Mangunwijaya pada dasarnya adalah seorang ''pembuat'' dan bukan saja seorang ''pemikir''. Seluruh pemikirannya adalah praksis yang dicobanya untuk mendukung atau menguji apa yang sedang atau hendak dibuatnya.

Karena itulah dia tidak pernah takut untuk mengajukan gagasan yang kedengarannya kontroversial, seperti misalnya gagasan negara federasi. Gagasan itu sebaiknya diterima sebagai sebuah praksis, sebuah pemikiran yang diajukan supaya kita bekerja secara konseptual dan politis untuk merumuskan kembali pengertian tentang kesatuan dan persatuan. Apakah kesatuan nasional hanya mungkin terwujud dalam bentuk negara kesatuan? Praksis politik selama setahun terakhir ini menunjukkan bahwa meskipun ada negara kesatuan, berbagai friksi, perpecahan, dan bahkan kekerasan berkembang dengan kecepatan api membakar hutan.

Di sanalah dilema seorang Mangunwijaya: kepercayaan kepada perlunya membentuk pribadi yang matang dan otonom selalu diperhadapkan dengan kecemasan tentang halangan-halangan struktural yang ada dalam masyarakat. Seorang pribadi yang matang, hanya mungkin terwujud dalam masyarakat yang matang, dan masyarakat yang matang hanya mungkin didukung oleh pribadi-pribadi yang matang. Kesempurnaan moral bukan sekadar hasil usaha pribadi, tetapi juga gejala dari perkembangan masyarakat. Suatu masyarakat yang membiarkan dengan acuh, darah orang tertumpah di jalanan, niscaya merupakan halangan besar untuk mewujudkan kesempurnaan, betapa banyak pun usaha kalangan agamawan, pendidik, dan kaum moralis dikerahkan untuk kemajuan budi-pekerti dan kesempurnaan pribadi.

Mangunwijaya juga bukanlah seorang yang sempurna. Pemikirannya memang amat subur tetapi dia bukanlah pemikir sistematis yang mengajukan teori. Pemikirannya adalah respons spontan kepada keadaan, tanpa memberikan suatu kerangka besar yang dapat dipegang secara konseptual. Sebagai seorang aktivis komitmennya kepada suatu cita-cita lebih jelas daripada teori yang melandasinya. Kesempurnaan memang bukan milik setiap orang dan sebaiknya demikian. Seorang yang terlalu sempurna hanya sanggup kita kagumi tetapi sulit sekali untuk dicontohi. Kesempurnaan seseorang secara rohani bisa membawa orang kepada sikap otoriter yang tidak kurang bahayanya seperti otoritarianisme politik.

Kematian Romo Mangunwijaya adalah sebuah kematian yang secara kiasan ingin saya namakan kematian ala Mangunwijaya dan ala Indonesia. Dia meninggal di tengah sebuah simposium yang membahas peningkatan peran buku untuk penciptaan masyarakat baru, di tengah pembahasan tema pendidikan dan kebudayaan yang amat sentral, yang menjadi obsesinya dalam tigapuluh tahun terakhir. Di sana juga dia hadir di tengah sahabat-sahabatnya: Prof Toeti Heraty Noerhadi, Mochtar Lubis, Jakob Oetama, Dr Karlina Leksono, kalangan penerbit buku dan IKAPI, perwakilan Ford Foundation dan UNDP, perwakilan dari Library of Congress, perwakilan Obor Thailand, Dr Henri Chambert-Loir dari EFEO, dan dan tentu saja para wartawan dan orang-orang media. Dia juga tidak meninggal dalam pengawasan seorang rekan pastornya. Ketika dia merasa lemah dan jatuh dalam pelukan Mohamad Sobary, teman ini berkata kepadanya: ''Ada apa Romo?'' Dia menjawab ''He, kamu, kiaiku'' dan setelah itu rebah perlahan-lahan di atas karpet. Kalau kehidupan sulit mempertemukan kita rupanya hanya kematian yang dapat mempersatukan kita kembali. Burung Manyar itu telah terbang ke tempat darimana tak seorang pun dapat memanggilnya kembali.

( * Ignas Kleden, sosiolog, tinggal di Jakarta. )

Artikel Pillihan : Tentang Romo Mangun

Tulisan Gus Dur di KOMPAS, 11/2/1999

PERJALANAN ROMO YANG BIJAK

Oleh Abdurrahman Wahid


Romo Mangunwijaya 
PADA malam itu kami bertiga mengobrol di halaman Candi Dasa, Karangasem, Bali. Ibu Gedong, Romo Mangun dan saya sendiri menjadi peserta diskusi bebas itu, yang berlangsung hampir tiga jam lamanya. Kami bertiga, saat itu, membicarakan masalah yang sederhana saja, konsep masing-masing tentang wali (saint).

Dari perbincangan itu kami mendapati bahwa ada kesamaan di antara kami bertiga mengenai konsep wali, hanya istilahnya saja yang berbeda, yang satu menggunakan bahasa Sansekerta, satunya lagi bahasa Latin, dan yang lainnya bahasa Arab.

Baik agama Hindu, Katolik, maupun Islam, memandang wali sebagai orang suci yang memiliki beberapa sifat yang membedakannya dari orang lain, yakni pengetahuan metafisis melebihi orang biasa, ciri-ciri istimewa yang diberikan Tuhan pada mereka, maupun pengorbanan mereka pada kepentingan kemanusiaan.

Persamaan pandangan inilah yang membuat kami bertiga saling menghormati dengan sepenuh hati. Bagi saya Ibu Gedong dan Romo Mangun lebih merupakan perwakilan dari dunia yang sama daripada perbedaan kami satu dari yang lain.

Dari perjumpaan di Candi Dasa, lebih dari dua puluh tahun yang lalu itu,timbul rasa saling menghormati satu dengan yang lain. Saya tidak pernah memikirkan perbedaan dari Romo Mangun dan Ibu Gedong, melainkan justru persamaan antara kami bertiga yang selalu kami jadikan sebagai titik pandang untuk melakukan pengabdian kemanusiaan.

Mungkin karena inilah sikap keterbukaan, saling pengertian, dan empati menjadi bagian dari hubungan kami bertiga.Bagaimanapun unsur yang mempersatukan kami bertiga jauh lebih banyak dari yang memisahkan.

***

KETIKA saya berpindah dari Jombang ke Jakarta, segera saya melihat betapa dalamnya rasa cinta kasih Romo Mangun pada umat manusia.

Hal itu tampak dalam sikapnya terhadap mereka yang nasibnya malang, pendidikannya kurang, dan mereka yang tingkat ekonominya rendah. Bagi mereka, Romo Mangun adalah hiburan yang menguatkan hati di kala susah, tetapi juga membawa harapan kemajuan dalam hidup. Mereka terdorong untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi karena simpati yang diperlihatkan oleh Romo Mangun dan kehangatan cinta kasihnya yang diberikan kepada sesama umat manusia.

Sosok Romo Mangun adalah pribadi yang mampu memancarkan sinar kasih keimanan dalam kehidupan umat manusia. Dalam diri Romo Mangun, keimanan tidak sekadar terbelenggu dalam sekat-sekat ritual agama atau simbol-simbol semata.

Lebih dari itu, cinta kasih keimanan Romo Mangun mampu menembus sekat-sekat formalisme dan simbolisme. Dia kasihi dan dia sentuh setiap manusia dengan ketulusan cinta kasihnya yang terpancar dari keimanan dan keyakinannya. Inilah yang menyebabkan Romo Mangun mampu hadir dalam hati setiap manusia, karena dia telah menyentuh dan menyapa setiap manusia.

Hal itu, tidak hanya tampak dalam kehidupan sehari-hari, melainkan juga dalam karya tulisnya. Kombinasi antara keterusterangan, kecintaan pada manusia, dan kepercayaan yang teguh akan masa depan yang baik merupakan modal utamanya.

Hal ini tidak hanya tampak dalam karya-karya sastranya melainkan juga dalam kupasan-kupasannya mengenai sejarah modern bangsa kita dalam kolom-kolomnya. Karya-karya tulis itu memperlihatkan keagungan jiwa manusia yang tahu benar apa yang menjadi kelebihan dan kekurangannya. Begitu juga tentang kehidupan yang menderanya dan janji kehidupan lebih baik yang menunggunya di masa depan.

Prinsip-prinsip di atas tampak dalam novel-novel yang ditulisnya, terutama tentang masyarakat Jawa masa lampau. Dunia Roro Mendut dan Pronocitro dalam kupasan Romo Mangun yang sangat tajam, ternyata adalah dunia kita juga dengan segala kemelut dan permasalahannya. Ketegaran jiwa Roro Mendut adalah juga ketegaran jiwa Romo Mangun yang memperjuangkan kemerdekaan umat manusia atau yang menentang militerisme.

Keyakinannya akan proses memberikan keyakinan padanya bahwa setiap zaman membawakan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kelebihan oknum-oknum ABRI dikupasnya dalam berbagai kolom bersama-sama kepengecutan sebagian perwira maupun ketololan sejumlah politikus.

Semua itu dia sajikan dengan bahasa yang halus namun tajam. Sindiran-sindirannya membuat setiap orang yang berpikiran cerdas dan peka merasa malu. Dalam hal ini, seolah Romo Mangun menjadi wakil masyarakat yang terlupakan dan tertinggalkan.

Di samping ketajaman batin dan kepekaan nuraninya yang tinggi, sosok Romo Mangun juga menjadi simbol kesederhanaan. Sebagai seorang tokoh yang sudah bertaraf internasional, Romo Mangun tidak pernah menampakkan sikap ketokohannya dalam performance dan penampilannya. Sikap glamour dan
berlebihan hampir tidak tampak dari Romo Mangun.

Sikapnya yang demikian seolah mengajarkan kita akan pentingnya makna kesederhanaan dan pentingnya pengekangan diri untuk tidak hanyut dalam setiap predikat yang disandandan prestasi yang diraih, apalagi kedudukan.

***

KINI Romo Mangun telah tiada. Kita kehilangan salah seorang tokoh humanis, seorang kritikus sosial yang andal sekaligus seorang pejuang agama yang gigih. Dunia terasa kosong tanpa kehadirannya. 

Akan tetapi, kita yakin akan datangnya seorang yang memperjuangkan cita-citanya. Kita semakin kaya
dengan pengabdian dan karya-karyanya semoga kita akan semakin bertambakaya dengan pengganti penggantinya.


Terima kasih Romo Mangun dan selamat jalan. Cita-cita dan perjuanganmu menjadi lentera dan cambuk bagi kita di sini.

Sabtu, 21 Desember 2013

ULASAN BUKU : MEDIA DAN DISKRIMINASI RASIAL



JUDUL :KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RASIAL: PANDUAN BAGI JURNALIS
PENULIS : Dicky Lopulalan dan Benjamin Tukan
PENERBIT : Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta 2001.
HALAMAN : 120 hlm
ISBN : 979-95032-11-2

Praktik diskriminasi rasial menjadi sumber utama konflik di berbagai belahan dunia. Dalam sambutannya pada peringatan ke 51 Deklarasi  Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), 9 Desember 1999, Sekjen PBB Kofi Annan dengan jelas mengatakan, bahwa diskriminasi rasial menjadi ancaman utama perdaimaian dunia. Dalam berbagai kasus : seperti pecahnya konflik di Eropa, Afrika, di Asia juga di Indonesia, perbedaan menjadi alasan terjadinya peperangan yang mengorbankan nyawa dan harta benda yang tak terkira.

 Meski konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (PSBDR) 1965, sebagai salah satu perangkat DUHAM, telah disebarluaskan sejak 1969, tetap saja terjadi peperangan antar kelompok, dengan mengangkat perbedaan suku, agam, dan ras sebagai simbol permusuhan. Lalu, bagaimana memecahkan persoalan yang berlarut-larut ini?

Tentu dibutuhkan kerja keras dan komitmen yang tinggi dari berbagai pihak : tidak saja pada tingkatan negara- tapi juga pada tingkat individu. Apalagi arus semangat diskriminasi tak dapat terbendung dengan "hanya" sebuah konvensi. Kentalnya aspek moral daripada legal, tidak menempatkan konvensi ini dalam posisi kekuatan hukum yang lebih pasti.

Indonesia sudah meratifikasi PSBDR pada 1999, dengan UU No. 29/1999. Sosialisasi konvensi ini memang sangat terbatas. Berbeda dengan persoalan yang menyangkut hak perempuan, masih sedikit kelompok masyarakat yang memberikan perhatian soal ini.

Jurnalis tentu memiliki peran penting. Disatu sisi jurnalis diharapkan memberikan informasi tentang konvensi ini kepada masyarakat. Tapi jauh dari itu jurnalis dalam pemberitaan harus memiliki pengetahuan dan kesadaran akan bahaya dari persoalan diskriminasi rasial.

Itulah sebabnya buku ini selain menguraikan tentang konvensi PSBDR, sebagaian besar isi buku ini mengulas tentang peliputan masalah-masalah rasial. Di tengah tugas media sebagai pengajaran kebudayaan (ini sering dilupaka), pemberitaan media seringkali menjadi cermin masyarakat dalam bersikap dan bertindak.

Buku ini menarik dibaca tidak saja untuk jurnalis tapi juga para pembaca media. Sebab, dalam kealpaan yang sering terjadi,  media kadang terlibat dalam memproduksi rasialisme  dengan tampil dalam bentuk yang tersamar, penuh prasangka, tidak langsung dan implisit.  (IN)

ULASAN BUKU : MELIPUT PEMILU, PANDUAN UNTUK JURNALIS



JUDUL :MELIPUT PEMILU : PANDUAN UNTUK JURNALIS
PENULIS : Benjamin Tukan, dkk
PENERBIT : Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta 2004
HALAMAN : viii + 121 hlm
ISBN : 979-9381-46-0

"Pemilu bagi reporter politik laksana olimpiade bagi reporter olahraga,"kata Denis Kavanagh, Komentator pemilu Inggris. Sebagai olimpiade dalam olahraga, pemilu memang dipandang sebagai peristiwa penting dalam politik. Tidak mengherankan bila berbagai pihak tak mau ketinggalan untuk terlibat dalam peristiwa yang di Indonesia sering disebut "pesta demokrasi" ini.

Media massa sudah pasti turut mengaggap penting Pemilu. Walaupun tidak semua media secara khusus menyiapkan liputan pemilu, tapi liputan demikian seakan telah menjadi ritual. Berbagai upaya dilakukan oleh banyak media untuk menyambut pemilu, misalnya menyediakan rubrik atau program khusus pemilu, menyiapkan tim reporter khusus, mengontrak komentator atau analis, hingga membentuk tim pemasaran dan pencari iklan. Maklum, selain berpotensi menjadi sumber berita untuk headline, pemilu juga berpotensi menjadi sumber iklan bagi media.

Jurnalis meliput pemilu tak sekedar melaporkan fakta. Jika dulu orang beranggapan bahwa jurnalis hanya melaporkan fakta atau peristiwa, maka anggapan ini tampaknya kini mulai bergeser. Orang beranggapan bahwa jurnalis tidak sekadar melaporkan fakta, tapi juga mempertimbangkan pertanyaan penting : "untuk apa fakta dilaporkan?"Pertanyaan inilah kemudian menghendaki jurnalis kembali membuka lagi catatan-catatan penting yang menyangkut tanggung jawab jurnalis.

Bagi Joann Byrd, Ombudsman harian Washington Post, jurnalis tak cuku hanya menggunakan formula tradisional 5 W + 1 H (who, what, when, where, why dan how) dalam menulis berita. Jurnalis perlu menambah formula "S" untuk SOLUSI dan "C" untuk COMMON GROUND atau dasar pijak bersama. Dengan kata lain jurnalis harus mempertimbangkan menyangkut tujuan memberitakan fakta.

Dengan uraian yang cukup lengkap tentang apa yang penting yang harus dilakukan jurnalis dalam pemilu, buku ini memberikan perhatian pada empat hal yang harus dilakukan jurnalis dalam liputan tentang pemilu. Keempatnya adalah mensosialisasikan sistem pemilu , memberikan pendidikan politik, memantau proses pemilu dan melakukan advokasi untuk kelompok marginal.

Buku ini juga memberikan perhatian pada potensi konflik dalam pemilu. Saat pemilu memiliki kecendrungan konflik, jurnalis dituntut untuk berpihak pada kepentingan yang lebih luas ketimbang kepentingan sebuah kolompok. Jurnalis perlu waspada dengan  politisi yang pandai memanfaatkan media sebagai ajang kampanye yang bukan ditujukan pada visi dan program, melainkan hanya propaganda dan menuding lawan politiknya.

Buku ini sangat relevan tidak hanya dalam peliputan pemilu, tapi juga dalam liputan-liputan politik umumnya.
(IN) 

 

ULASAN BUKU : MAMA SALLY DAN PERJUANGAN PEREMPUAN JAYAWIJAYA

JUDUL : Mama Sally dan Perjuangan Perempuan Jayawijaya
PENULIS : Benjamin Tukan
PENERBIT : Humi Inane-Jayawijaya, 2008
HALAMAN : xxv + 228
ISBN : 978-979-19127-0-9

Ketika masyarakat di belahan dunia sedang ramai membicarakan peran perempuan, maka di Lembah Balim-Jayawijaya Papua pergulatan yang sama terjadi pula. Ini juga alasan dari penulisan dan penerbitan buku ini.

Buku ini secara khusus menceritrakan tentang kiprah seorang aktivis perempuan Jayayawijaya, Salomina Yaboisembut atau biasa dipanggil Mama Sally. Melalui Yayasan Humi Inane yang dipimpinnya dia bergelut dengan persoalan perempuan.Beliau memulai karir sebagai petugas pastoral, guru, aktivis kemanusiaan hingga kemudian menduduki kursi legislatif DPRD Jayawijaya.

Apa yang dikerjakan oleh Mama Sally yang banyak diceritrakan dalam buku ini, sebenarnya bukan persoalan Mama Sally seorang diri, melainkan pergulatan dari banyak perempuan di Jayawijaya dan juga di Papua umumnya.

Sebagaimana perjalanan karir Mama Sally yang lebih banyak di bidang pendidikan, maka dari apa yang diuraikan dalam buku ini, nampak terlihat bagaimana peran beliau ketika memimpin sebuah asrama yang anggotanya adalah generasi perempuan Papua.

Pendidikan termasuk asrama memang hal yang penting diperhatikan di Tanah Papua, karena memang banyak sekali kampung yang terletak dari jauh dari sekolah. Asrama yang dikelola secara baik akan dapat lebih efektif bagi tumbuh kembangnya generasi muda termasuk perempuan didalamnya.

Dari pengasuhan pada pendidikan asrama, perhatian pun tertuju pada Mama Sally sebagai seorang perempuan Papua ingin agar masyrakatnya jangan sampai tertinggal dalam hal pendidikan. Hal yang sama ketika beliau harus terlibat dalam berbagai persoalan yang menyangkut hak-hak masyrakat dan hak perempuan dengan menakodahi Yayasan Humi Inane.

Ketika Mama Sally terjun dalam politik, sebagai perempuan tentu tugas ini sungguh menantang terlibih kehadirannya harus pula menjawabi satu persoalan pokok yakni keterlibatan perempuan di bidang politik sekurang-kurangnya dapat memberikan sumbangan positif bagi kemajuan masyarakat  terlebih pada level pengambilan keputusan.

Tujuan politik sebenarnya mengusahkan tercapainya kepentingan umum atau kesejahteraan bersama semua warga masyarakat. Tujuan ini pun menjadi peringatan awal agar para politisi tidak tergoda menjadi jagoan dalam akrobat kata-kata untuk memperoleh keuntungan diri sendiri, pencitraaan ataupun hendak mempertahankan kekuasaan.Sebagai politisi kepadanya dituntut untuk menjadi ahli runding untuk mencapai kesepakatan semua golongan dalam hal menyangkut kesejahteraan bersama.

Seluruh perjalanan Mama Sally sekurang-kurangnya hingga buku ini diterbitkan tahun 2008 terangkum dengan baik dalam buku ini. Tentu saja ini adalah permulaan yang sangat baik untuk mengungkapkan peran perempuan dalam masyarakatnya yang kemudian memberikan sedikit banyak pengetahuan bagi pembaca tentang masyarakat yang menjadi perhatian buku ini.

Buku ini terdiri dari enam bagian meliputi (1) Mama Sally dan Lembah Balim, (2)Mama Sally, Keluarga, dan Sekolah; (3) Mama Sally, Petugas Pastoral, Guru dan Ibu Asrama; (4) Mama Sally dan Pemberdayaan Perempuan; (5) Mama Sally dan Perempuan Politik; dan (6) Kesan dari Mantan Guru, Sahabat dan Rekan Kerja.   (BN)