--------------------------
Gerakan Perbukuan Kaum Muda
Eri Irawan
Mereka mewarnai koran-koran dengan kata yang menghipnotis, bukan melabur jalan dengan darah yang amis.
Ini tentang semangat itu. Semangat anak-anak muda di dunia
perbukuan. Semangat yang nyaris tak pernah redup, meski jalan makin pejal.
Muhidin M. Dahlan |
Jumat lalu (24/10), aku menghadiri peluncuran trilogi buku
soal Lekra. Disusun oleh dua anak muda perkasa, Muhidin M. Dahlan dan Rhoma Dwi
Aria Y.
Di tengah gegap-gempita diskursus "capres muda, politisi muda, et cetera", ada baiknya, kukira, republik ini berpaling pada gerakan perbukuan kaum muda. Singkirkan dulu perdebatan soal capres muda. Politik sudah terlalu pongah. Ia dibangun tanpa ilmu pengetahuan, karena hasrat kuasa mengaliri setiap inci jiwanya. Ia dibangun tanpa etik. Politik bukan lagi perjuangan ideologis. Politik adalah hal yang bengis.
Di tengah gegap-gempita diskursus "capres muda, politisi muda, et cetera", ada baiknya, kukira, republik ini berpaling pada gerakan perbukuan kaum muda. Singkirkan dulu perdebatan soal capres muda. Politik sudah terlalu pongah. Ia dibangun tanpa ilmu pengetahuan, karena hasrat kuasa mengaliri setiap inci jiwanya. Ia dibangun tanpa etik. Politik bukan lagi perjuangan ideologis. Politik adalah hal yang bengis.
Mungkin, kini tepat kita bicara soal gerakan perbukuan kaum muda. Bukan hanya
karena Oktober ini ada momen Sumpah Pemuda, tapi lebih jauh dari itu, republik
ini perlu suntikan semangat perbukuan yang lebih "gila".
Dewi Lestari |
Secuil kisah anak-anak muda di Iboekoe itu sebenarnya sudah pernah kuturunkan
di koran tempatku bekerja. Tapi, sejujurnya, aku tak kenal mereka secara
pribadi. Hanya pernah beberapa kali saling berkirim SMS. Bahkan, aku baru
bertatap muka dengan Muhidin dan Rhoma Aria, dua sumber utama dalam tulisan
yang pernah kuturunkan di koran tempatku bekerja, Jumat (24/10) malam lalu,
kala peluncuran buku di sebuah ruang senyap tak jauh dari Masjid Istiqlal.
Siapa yang tak bergetar membaca kisah soal jatuh-bangunnya FLP? Siapa yang tak
angkat topi melihat aksi Gola Gong? Dan, siapa yang tak salut melihat kegilaan
dua anak muda penulis Lekra Tak Membakar Buku itu?
Mungkin, salah satu indikasi menonjol makin hilangnya semangat menghikmati buku
dan dunianya adalah meriahnya kekerasan untuk menyelesaikan polemik. Contoh
mutakhir adalah saling serang kelompok FPI dan AKKBB.
Ayu Utami |
Padahal, perjalanan republik ini dibangun dengan polemik. Tapi, polemik itu
dibingkai dengan dunianya, caranya sendiri. Dua kubu yang berpolemik saling
beradu argumen, bukan bertukar pukulan. Mereka saling menyerang lewat tulisan,
bukan main pentungan. Mereka mewarnai koran-koran dengan kata yang
menghipnotis, bukan melabur jalan dengan darah yang amis.
Sejarah mencatat banyak polemik di negeri ini yang dilalui dengan perdebatan
ideologi dan argumentatif di ruang-ruang publik, macam koran, majalah, hingga
stensilan. Satu polemik yang membuat republik ini kian kaya adalah ketika
lembaran waktunya dilaburi polemik hebat antara kubu Manikebu dan
seniman-seniman "kiri". Mereka saling adu tulisan; urusan
benar-salah, saya memihak siapa, itu urusan nomor buncit. Dan tentu, masih
banyak lagi polemik hebat yang mengagumkan, menguras pikiran, menyentuh
mata-batin manusia. Kudengar, ada sekira 100-an polemik yang pernah ada di republik
ini yang coba disusun oleh teman-teman Iboekoe.
Kembali lagi, siapa yang tak bergetar mendengar kisah mereka, kaum muda di
dunia perbukuan kontemporer? "Dalam sehari, selama 15-18 jam kami menulis
hasil riset. Tiga hari tiga malam kami pernah tiada henti berkutat dengan
Harian Rakjat," cerita Muhidin saat peluncuran bukunya kemarin.
Sebuah semangat yang nekat, nyaris luput dari kewarasan otak manusia.
"(Saking minimnya biaya), sampai-sampai editor pun nggak ada.
Percetakannya pun sudah lama kami kenal, jadi ngutangnya mudah," cerita
Muhidin soal proses kelahiran bukunya.
Andrea Hirata |
Banyak anak muda datang ke Rumah Dunia-nya Gola Gong. Mereka mempelajari
teater, menggambar, membaca apa pun, dan tentu saja menulis.
Inilah mungkin kredo baru tentang bagaimana keindonesiaan di masa depan harus
dibangun: bahwa buku adalah kunci, lentera yang membawa benderang. Maka, jangan
ada lagi buku yang dibakar, buku yang dilarang hanya karena beda pendapat.
Dan Gola Gong berujar mantap, "Rumahku rumah dunia, kubangun dengan
kata-kata." Maka, ia pun merelakan tanah luas di belakang rumahnya sebagai
tempat sekolah. Bukan sekolah formal dengan seragam dan harus hormat bendera
tiap hari Senin, tapi sekolah kehidupan soal bagaimana pikir diasah dan rasa
dipertajam. Hingga, keduanya, pikir dan rasa itu, bisa menyatu menggapai sebuah
makna: bahwa hidup itu harus berguna bagi sesama.
JJ. Rizal |
Kisah "kegilaan" anak-anak Indonesia Buku (Iboekoe) mungkin bisa dijadikan contoh. Selain itu, juga ada komunitas Forum Lingkar Pena yang melesat kencang, Rumah Dunia-nya Gola Gong, Alpen Prosa, dan beberapa lagi komunitas penulis muda. Meski berderet, kalau kita bicara statistika, jumlah mereka mungkin hanya 5 persen dari total kaum muda republik ini, tempat di mana harapan masa depan keindonesiaan digantungkan.
Djenar Maesa Ayu |
Tapi, sebuah angka memang bukan statistika yang beku. Meski sedikit, gerakan perbukuan kaum muda ini masih lantang meninju langit, menantang apa pun hadangan. Bergelut dengan cerca dan dilema di sebuah koleseum besar; menuju peradaban atau kebiadaban.
Kisah anak-anak muda itu dalam bergelut dengan dunia buku sungguh luar biasa. "Ini sebuah dunia yang senyap," kata Muhidin kepadaku lewat telepon, Juni lalu.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar