Minggu, 16 Juli 2017

ARTIKEL PILIHAN : Melampaui Primordialisme (Mengenang 100 tahun wafatnya misionaris Yosef Freidanemetz)



Oleh : Dr. Paul Budi Kleden


----------------------------------------
Rabu, 30  Januari 2008
Dosen STFK Ledalero, Maumere, Flores. Lahir di Waibalun, Larantuka, 16 November 1965. Mulai belajar filsafat dan teologi di STFK Ledalero, 1986. Tahun 1988 belajar lanjut di Universitas Wina, Austria dan meraih gelar magister teologi. Tahun 1993 ditahbiskan menjadi imam di Wina. Tahun 2000 meraih gelar doktor dalam bidang teologi di Albert Ludwigs-Universität Freiburg, Jerman. Sejak Mei 2001 menjadi staf pengajar pada STFK Ledalero. Menulis beberapa buku teologi dan filsafat.
-----------------------------------------


SALAH satu ciri dasar manusia adalah kesanggupan bertransendensi. Dengan daya imaginasi, pikiran dan perasaannya, manusia mampu melampaui batas-batas yang sudah digariskan dan telah dipandang baku. Ikatan-ikatan tradisional dan alamiah dilampaui, manusia membuka bagi dirinya segudang kemungkinan baru. Peluang untuk bereksperimen terhampar di hadapannya. Apabila kemungkinan-kemungkinan baru itu ternyata lebih meningkatkan kualitas hidup, maka batas yang alamiah dan tradisional pun digeser. Batas-batas lama itu sebaliknya diperkuat, jika eksperimen manusia mengantarnya pada lebih banyak masalah. Kemajuan hanya tercapai karena kesanggupan bertransendensi. Ilmu pengetahuan dapat bertumbuh karena adanya daya bertransendensi, juga perkembangan peradaban manusia hanya dapat lahir dari rahim daya ini.
Religiositas, daya manusia untuk melampaui ruang dan waktu untuk bersentuhan dengan yang Tak Terbatas, yang Ilahi dan Kekal, adalah satu bentuk kesanggupan bertransendensi yang sudah sangat berperan sebagai satu daya ubah sejarah dan peradaban. Dalam keyakinan agama-agama, bakat religius atau daya trasendensi ini adalah akibat dari sentuhan Yang Kekal dan Ilahi itu sendiri. Manusia sanggup bertransendensi, karena Yang Transenden telah mendatanginya terlebih dahulu. 


Misionaris Yosef Freidanemetz
Terdorong oleh keyakinan religius, banyak orang bersedia mengatasi berbagai ikatan primordial dan alamiahnya. Ikatan dan kewajiban keluarga direlativisasi untuk memenuhi sebuah panggilan religius. Ideologi negara dan kerangka budaya dilampaui ketika berbenturan dengan pandangan religius. Itu bukan berarti bahwa semua ikatan itu tidak penting dan tidak bernilai. Dalam kesanggupan bertransendensi itu ikatan-ikatan itu tidak dialami lagi sebagai yang membelenggu, dan batasan-batasan itu tidak lagi menjadi penjara. 


Dorongan ini menjadi sangat nyata dalam agama-agama dunia. Selalu saja ada orang yang melintasi ikatan keluarga, melampaui batas wilayah dan budayanya, untuk bertemu dengan berbagai kelompok manusia demi sebuah panggilan keimanan. Panggilan keimanan itu tidaklah lain dari penerusan kesadaran dan pengalaman, bahwa setiap manusia dan seluruh dunia adalah ciptaan dari Yang Kekal dan Ilahi, dan karena itu mempunyai hak untuk diperlakukan secara adil dan bertanggung jawab. Dalam tradisi kekristenan, mereka ini disebut dan dikenal sebagai misionaris. 


Namun bukan mustahil, ketika melampaui berbagai batas itu, seorang misionaris justru membangun sebuah perangkap bagi dirinya sendiri. Agama yang diwartakannya menjadi sebuah ikatan primordial baru, yang mengurung dirinya dan orang lain dalam sebuah kesempitan. Ikatan keagamaan dapat menjadi sebuah belenggu yang tidak memerdekakan. Ketika inti transendensi religius diabaikan, maka agama-agama dunia justru melupakan dan meminggirkan manusia dan dunia, membiarkan dirinya menjadi kerangka pemikiran yang membenarkan penghancuran atas manusia lain dan eksploitasi penuh kerakusan atas alam. Pada saat seperti ini, agama-agama dunia mengingkari dirinya sebagai agama-agama dunia. 


Mengatasi bahaya penyempitan doktrinal seperti ini, semangat transendensi mesti selalu diwartakan ke dalam agama-agama. Triumfalisme merupakan bahaya yang mengantar kepada idolatri atau pemberhalaan agama. Karena itu, peringatan sosok-sosok dalam sejarah agama-agama yang telah menunjukkan apa makna sebenarnya dari transendensi religius, dapat membantu membongkar penyempitan itu. Salah seorang tokoh seperti itu adalah Yosef Freidanemetz, salah satu dari dua misionaris perdana Serikat Sabda Allah (SVD) yang dikirim ke China.


Yosef dilahirkan pada tanggal 15 April 1852 di Abtei, Oies, sebuah kampung kecil yang dikitari gunung-gunung yang menjulang. Sekarang wilayah itu menjadi bagian dari negara Italia. Yosef bergabung dalam serikat misi SVD yang baru saja didirikan Arnold Janssen pada tahun 1875. Saat bergabung, Yosef sudah ditahbiskan sebagai seorang imam. Sudah lama dia memendam dalam dirinya semangat untuk melampaui batas primordial yang dikenalnya saat itu. Pada tahun 1879 dia diutus ke China. Tentang perpisahannya dari keluarga, Yosef kemudian menulis: "Saya tidak mau melukiskan adegan-adegan perpisahan di rumah orangtuaku. Tiap-tiap orang bisa membayangkannya. Jangan orang lupa bahwa misionaris juga manusia seperti tiap orang lain. Di dalam dadanya terdapat juga sebuah hati yang penuh rasa. Dia juga berpikir dan merasa sebagai manusia. Dia melihat ayah yang baik dan ibu tercinta yang penuh kelembutan, dan delapan saudara/inya yang diliputi dukacita dan menangis... Cukup! Saya meminta berkat dari ayah lalu saya memberi berkat imam kepada sanak keluarga. Pada altar (keluarga) kami mengukuhkan ikatan kami, lalu saya meninggalkan Abtei, desaku tercinta, barangkali untuk tak kan melihatnya kembali" (dikutip dalam buku "Hidup - Mati untuk China. Mengenang 100 Tahun Wafatnya Santo Yosef Freinademetz", Maumere: Ledalero 2008, hlm. 4). Ikatan keluarga dikukuhkan, namun bukan untuk membelenggu, melainkan untuk mendukung sebuah pengembaraan seorang misionaris. 


Dorongan untuk melampaui batas-batas primordial dari seorang misionaris dapat pula membantu orang lain untuk memperluas carkrawalanya sendiri dan melihat kebutuhan-kebutuhan lebih luas. Hal ini menjadi nyata misalnya dalam diri Uskup Brixen, Mgr. Gassner. Dia memang sangat membutuhkan imam muda Freinademetz yang penuh semangat dan dedikasi dalam pelayanan umat di keuskupannya di Italia. Namun dia juga sadar bahwa di tempat lain ada kebutuhan yang penting dan mendesak, yang harus ditanggapi. Sebab itu, menanggapi surat Arnold Janssen yang meminta restunya membiarkan Freinademetz bergabung dengan SVD, Uskup Gassner menulis: "Sebagai Uskup Brixen saya katakan: Tidak; tetapi sebagai uskup Katolik saya katakan ya. Nah, silakan mengambil puteraku Freinademetz, dan jadikan dia seorang misionaris sejati" (ibid., hlm. 8). 

Freinademetz, dalam semangat zamannya, pergi ke China dalam satu semangat misi yang triumfalistis. Dia merasa membawa terang ke tengah kegelapan, dan ini dilihatnya sebagai legitimasi bagi penghargaan dan ketaatan orang-orang yang akan didatangnya. Tetapi justru yang dihadapinya adalah orang-orang yang memiliki keyakinan yang mendalam akan kuasa ilahi, orang-orang yang mempunyai rasa percaya diri yang kuat. Selama bertahun-tahun hidup di China, dalam melayani karya misi di China dengan berbagai peran, entah sebagai pastor paroki, sebagai pembesar serikat atau sebagai wakil uskup, dan terakhir sebagai perawat para penderita tipus, dia menjalani sebuah jalan panjang pertobatan batin. 


Kerendahan hati di hadapan kebudayaan lain, masuk ke dalam pola pikir orang lain, dan dari dalam membantu transendensi sosial dan kultural dari masyarakat tersebut, inilah yang menjadi tugas seorang misionaris. Freinademetz sadar akan hal ini. Dia menulis, tugas pertama seorang misionaris adalah 'mengadakan perubahan dalam batin: mempelajari pandangan hidup orang China, adat dan kebiasaannya, sifat dan bakat pembawaannya, dan ini bukan soal gampang yang dapat selesai dalam satu hari, tidak juga dalam satu tahun'. 

Hanya dari kesediaan untuk mengatasi batasan kesempitan pandangan sendiri tentang orang lain, seorang misionaris dapat menemukan daya transformatif yang ada di dalam agama dan kebudayaan lain. Dalam kerangka berpikirnya, mungkin saja kebudayaan lain disebut sebagai yang tidak beriman, namun ada banyak kekayaan yang terkandung di dalamnya, yang terbuka dan berdaya ubah. Freinademetz pernah mencatat: "Saya harus mengakui bahwa selama 23 tahun brada di China, saya tidak kehilangan sesuatu dari cinta saya terhadap orang-orang China. Sebagai satu bangsa yang tidak beriman (Kristen), mereka adalah dan tetap bangsa yang dibanggakan, yang tidak ada duanya di dunia, yang memiliki keistimewaan begitu banyak" (ibid., hlm. 12). Cinta dan penghargaan inilah yang sanggup membuat Freinademetz melakukan transendensi yang terus menerus, yang dapat mengubah pandangannya tentang orang lain dan melampaui penilaiannya mengenai budaya lain. Ini dilihatnya sebagai konsekuensi dari sentuhan Yang Transenden, yang tak bisa dan tak boleh dikurung atau dibelenggu dalam wadah agama manapun. 


Pada tanggal 28 Januari 1908 Freinademetz meninggal karena terjangkit tipus yang diderita dari para pasien yang dirawatnya di Taikia. Dalam revolusi pada tahun 50-60-an, makamnya di Taikio dihancurkan, tulang-tulangnya dibakar dan abunya dihamburkan di tanah. Dia menyatu dengan masyarakat dan tanah China. Daya transendensi inilah terutama menjadi alasan keyakinan gereja untuk melihatnya dalam dirinya karya istimewa Tuhan sendiri. Sebab itu, pada tanggal 19 Oktober 1975 dia dibeatifikasi, dan pada tanggal 5 Oktober 2003 digelar sebagai orang kudus. 


Bersama banyak orang lain dari berbagai agama lain, Freinademetz menjadi salah satu inspirasi bagi bangkitnya agama-agama di negara China yang secara resmi berideologi komunis. Ya, setelah rezim komunis mengambil alih kepemimpinan di China pada 1949, agama-agama mengalami mimpi buruk. Masa gelap ini dimulai dengan banyak aksi kekerasan negara, baik terhadap para misionaris, para biarawan/ti pribumi dan awam. Para misionaris dipaksa keluar dari China. Dari 300 lebih anggota SVD yang bekerja di China, pada tahun 1955 tinggal hanyalah 15 imam dan 19 bruder orang asli China. 


Selanjutnya negara mengontrol secara ketat kehidupan beragama. Kelima agama resmi China (Buddhisme, Taoisme, Islam, Protestan dan Katolik) berada sepenuhnya di bawah awasan aparat negara. Untuk mendukung patriotisme dan komunisme, Gereja Katolik mesti dipisahkan dari Roma. Maka pada tahun 1957 dibentuklah Perkumpulan Patriotis Gereka Katolik China, atau Gereja Patriotis. Bagai makan buah si malakama, di bawah tekanan pemerintah, banyak orang Katolik tidak melihat adanya pilihan lain selain mengikuti regulasi negara demi mempertahankan imannya. Karena itu, menjadi anggota Gereja Patriotis bukanlah satu pilihan karena orang hendak memberontak terhadap Roma, melainkan satu keputusan yang lahir dari kesetiaan kepada iman Katolik di tengah himpitan kesulitan. 


Represi pemerintah ternyata tidak dapat memadamkan daya transendensi manusia. Karena itu, kendati di bawah tekanan penmerintah, agama-agama berkembang pesat di China. Tak berlebihan ungkapan seorang sarjana China kepada seorang misionaris SVD: "Apa yang dibutuhkan oleh China sekarang adalah agama". Di dalam agama orang menemukan kekuatan dan inspirasi untuk membangun masyarakat. Konsep tentang Allah dan manusia, pandangan tentang harkat dan hak-hak asasi manusia merupakan gagasan-gagasan yang dicari. Tidak sedikit warga menemukan jalan ke agama-agama, termasuk agama-agama Kristen. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang muda dan kaum cendekiawan. 


Menurut perkiraan pada tahun 2005, jumlah orang Protestan sekitar 50 juta (ada yang menyebut 80 juta atau 5 persen dari jumlah penduduk seluruhnya). Sementara jumlah orang Katolik dewasa ini sekitar 13 juta manusia (sekitar 1 persen). Pada tahun 2005, tercatat 1800 imam dari gereja patriotis China, dan tidak kurang dari 1000 imam yang melayani gereja bawah tanah. Sebagian besarnya adalah orang-orang muda. Di seluruh China ada 19 seminari, masing-masingnya memiliki 10 sampai 20 calon yang masuk setiap tahun. Diperkirakan jumlah total calon imam sekitar seribu orang. Sekitar 3600 suster dari gereja patriotis, sementara dalam gereja bawah tanah berkarya 1200 orang suster.


Perkembangan di China menunjukkan bahwa keimanan merupakan daya transendensi manusia yang sanggup membuatnya melampaui ikatan-ikatan primordial. Memperhatikan situasi agama-agama di China dewasa ini, memperingati para misionaris yang pernah berkarya di China dapat merupakan momen yang penting untuk mengingatkan agama-agama agar terus mengawasi diri supaya tidak jatuh ke dalam bahaya penyembahan berhala. Agama yang sadar akan bahaya ini, tidak akan membiarkan diri menjadi kerangka untuk melegitimasi pembelengguan masyarakat secara politis dan sosial. Beriman berarti merelativisasi ikatan-ikatan primordial. *

Sumber Tulisan : Pos Kupang 

ARTIKEL PILIHAN : Sejarah, visi dan keberanian (Mengenang Mgr. Darius Nggawa, SVD)



Oleh : Dr. Paul Budi Kleden, SVD

Dosen STFK Ledalero, Maumere, Flores. Lahir di Waibalun, Larantuka, 16 November 1965. Mulai belajar filsafat dan teologi di STFK Ledalero, 1986. Tahun 1988 belajar lanjut di Universitas Wina, Austria dan meraih gelar magister teologi. Tahun 1993 ditahbiskan menjadi imam di Wina. Tahun 1996 belajar dalam bidang teologi di Albert Ludwigs-Universität Freiburg, Jerman dan meraih gelar doktor tahun 2000. Sejak Mei 2001 menjadi staf pengajar pada STFK Ledalero. Menulis beberapa buku teologi dan filsafat.
-------------------------------------

MEMILIKI dan merumuskan visi yang tajam dan transformatif tidak harus bertentangan dengan kuatnya ingatan akan masa lampau. Malah sebaliknya, kenangan akan sejarah, pengetahuan akan apa yang pernah diupayakan dan terjadi, merupakan landasan yang kokoh bagi perumusan visi. Dan kejelasan pandangan tentang sejarah dan ketajaman rumusan visi, pada gilirannya menjadi rahim yang melahirkan keberanian untuk mengambil langkah-langkah konkret perubahan demi perbaikan.







Sejarah, ingatan dan kenangan, kiranya ini merupakan satu kekuatan pribadi Mgr. Darius Wilhelmus Nggawa, SVD, Uskup (Emeritus) Keuskupan Larantuka. Sampai kematiannya pada tanggal 9 Januari yang lalu, ingatannya masih terpelihara sangat baik. Beberapa hari menjelang kematiannya dia masih sempat berkisah dibumbui humor tentang perjalanannya berkuda dari Pora, Nggela, tempat kelahirannya, menuju Ndona, Ende, untuk melanjutkan sekolahnya pada tahun 1939. Waktu itu kudanya tidak terlalu terbebani, karena Darius muda memang berbadan sangat kecil. Juga tentang kudanya yang selalu setia membawanya dari Kisol ke Borong (1956-1958), yang masih sempat datang ke kelas di Seminari Kisol dan seolah pamit dari tuannya sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir. Kuda ini pun pasti belum terlampau terbebani. Karena, Pater Darius masih seorang imam muda yang bertubuh ramping. Namun situasinya menjadi lain saat beliau harus berkuda misalnya dari Lewoleba ke Lerek, pada tahun 1979. Kali ini kudanya sudah harus terengah-engah, sebab pengendaranya adalah seorang uskup, dengan tubuh yang makin berbobot. Mgr. Darius menghafal semua stasi dalam wilayah keuskupannya, dan mengingat banyak nama dari mereka yang pernah digembalakannya. 



Mgr. Darius Nggawa, SVD
Bukan cuma kisah-kisah yang dialaminya sendiri; yang diingatnya adalah juga kisah dan kejadian dalam sejarah dunia, nasional dan lokal, dalam sejarah gereja sejagad dan gereja setempat. Sebab, dia memang membuat studi khusus dalam bidang sejarah Asia Timur dan Tenggara pada Universitas St. Thomas di Manila, Philipina (1959-1964). Pada universitas yang sama dia mengajar Sejarah Politik dan Kebudayaan Asia Tenggara sebagai dosen luar biasa. Baginya sejarah bukan serpihan-serpihan kejadian tanpa makna. Sejarah mengandung kekuatan yang dahsyat, karena di sana ada dialektika antargagasan, antarkepentingan dan antarpengalaman. 



Memahami sejarah secara demikian, orang tidak akan tenggelam dalam lautan detail sejarah. Orang tidak terobsesi pada sejarah, tetapi dapat mengambil jarak dan belajar dari sejarah. Belajar dari sejarah hanya mungkin apabila orang mau mendalami dan membaca sejarah. Dengan ini sejarah menjadi satu sumber inspirasi untuk membayangkan dan mengimpikan apa yang hendak diwujudkan di masa depan. Inilah yang menjadi kekuatan kedua dari pribadi Mgr. Darius Nggawa, memiliki dan merumuskan visi. 



Dalam refleksi pada ujung masa kegembalaannya sebagai Uskup Larantuka, Mgr. Darius menulis tentang saat-saat pertamanya kehidupannya di kediaman uskup di San Dominggo sebagai hari-hari yang dipenuhi dengan studi dan membaca. Dia mengutip satu penggal rumusan dari buku The Seven Habits of Highly Effective People karya Stephen Covey, "Tak ada cara yang lebih baik untuk menginformasikan dan meluaskan pikiran secara teratur dibandingkan dengan masuk ke dalam kebiasaan membaca literatur-literatur yang baik. Itu adalah salah satu aktivitas yang berdaya ungkit tinggi. Dengan membaca, kita dapat masuk ke dalam pikiran terbaik yang sekarang atau yang pernah ada di dunia. Orang yang tidak membaca tidaklah lebih baik daripada orang yang tidak dapat membaca." (Mgr. Darius Nggawa, SVD, "Menyingkap Jurus-jurus Penggembalaanku di Keuskupan Larantuka, Uskup Larantuka 1974-16 Juni-2004," diedit oleh Rm. Yos Gowing Bataona, Pr, Larantuka: Sekretariat Pastoral Keuskupan Larantuka, 2004, hlm. 35). 



Orang yang berakar dalam sejarah dan sanggup belajar darinya, namun serentak mampu membebaskan diri dari belenggu sejarah untuk membayangkan apa yang mestinya menjadi cita-cita ideal, akan memiliki keberanian untuk membuat keputusan dan mengambil langkah konkret. Keberanian ini diperlukan, karena tidak mustahil orang diombang-ambingkan oleh berbagai gagasan dan anjuran. Ketajaman pikiran dan kepekaan perasaan dibutuhkan untuk dapat mengambil keputusan pada waktunya. Kiranya hal ini menjadi kekuatan ketiga dari kepribadian Mgr. Darius Nggawa. Dalam refleksi pada akhir masa tugasnya sebagai uskup dia mengutip ungkapan dari penyair besar berkebangsaan Jerman, Johan Wolfgang Goethe, yang mengatakan, "Apa pun yang dapat engkau lakukan atau impikan dapat engkau lakukan, lakukanlah itu. Keberanian itu punya kuasa keajaiban serta kejeniusan di dalamnya". 



Namun sebagaimana dikatakan Uskup Helder Camara dari Brasil, apabila hanya seorang yang bermimpi, impian itu tidak berdaya ubah secara luas. Tetapi ketika banyak orang bermimpi, impian itu menjadi satu kekuatan yang dahsyat. Sebab itu, hal yang sangat penting adalah memilih rekan kerja yang tepat, meyakinkan orang lain akan visi yang dirumuskan dan memupuk keberanian bersama untuk mewujudkannya. Hal ini hanya tercapai apabila orang-orang itu diperlakukan dan dihargai sebagai subyek yang dewasa. Mgr. Darius terinspirasi oleh Johan M. Maxwell yang berbicara tentang prinsip BEST (Believe in them, Encourge them, Share with them, Trust them). Dengan pola ini dia berusaha meyakinkan para rekan kerjanya.



Berbekalkan ketiga kekuatan pribadi di atas dan dibantu oleh para rekan kerja yang terbuka, Mgr. Darius mencanangkan apa yang disebutnya sebagai inspirasi dari Bukit San Dominggo. Dalam pertemuan dengan para petugas pastoral pada tanggal 10 September 1975 dia memperkenalkan arah baru dalam hidup menggereja. Arah baru ini didahului oleh sebuah analisis situasi kontemporer, baik atas situasi sosial budaya masyarakat maupun kondisi khusus gereja keuskupan.
Dari analisis ini lahir keyakinan bahwa gereja harus berubah sikap. Dan salah satu mental yang mesti ditinggalkan gereja ialah apa yang disebut inward looking. Sikap hanya memandang diri sendiri, membanggakan kekayaan tradisi sendiri dan meratapi kekurangan dan kegagalan kelompok sendiri harus ditinggalkan. Gereja dituntut untuk terbuka terhadap agama-agama lain dan terhadap pemerintah. Mgr. Darius menulis "Komitmen Gereja ialah membuka diri dan membangun kerja sama dengan pemerintah dalam memajukan masyarakat. Namun Gereja juga harus berani bersuara ketika hak-hak asasi manusia dipasung dan martabat manusia dilecehkan atau diperkosa, baik oleh penguasa-penguasa tradisional maupun oleh para petinggi lainnya. Gereja tidak boleh terkooptasi dengan siapapun atau golongan manapun hanya karena suatu pertimbangan tertentu". Tentu saja, keterbukaan yang kritis ini hanya dapat tumbuh dari keberakaran dalam keyakinan iman sendiri. 


Untuk memperdalam iman dan menumbuhkan keterbukaan yang kritis tersebut, langkah yang dipilih adalah menghayati iman kristiani dalam komunitas-komunitas. Jauh sebelum Konferensi Waligereja Indonesia berbicara tentang umat basis, sudah pada paruh kedua dekade 70-an, umat Keuskupan Larantuka sudah memulainya. Untuk maksud ini, elemen yang sangat sentral adalah para pemimpin umat basis. Sebab itu, perhatian besar diberikan untuk memperluas wawasan dan melatih para pemimpin ini.



Keberakaran dan keterbukaan ini kemudian menyata dalam apa yang disebut sebagai Repelita. Istilahnya berbau Orde Baru. Maksudnya tidaklah lain daripada menetapkan program keuskupan sambil memperhatikan dan menempatkannya dalam dimensi waktu.
Selama masa kepemimpinannya, dilaksanakan tiga Repelita. Repelita pertama (1980-1985) berkonsentrasi pada upaya membangun komunitas kultis. Ibadat dilihat sebagai pendalaman relasi dengan Tuhan yang menjadi dasar bagi relasi dengan sesama. Karena pentingnya ibadat, maka para pemimpin awam dilatih untuk memimpin ibadat. Maka ibadat tanpa imam bukanlah hal yang luar biasa dalam kehidupan umat di Keuskupan Larantuka. Repelita kedua (1987-1992) bertujuan membentuk komunitas iman yang berbela rasa dan saling melayani. Tanggung jawab terhadap kehidupan bersama dan alam merupakan tuntutan yang lahir dari keimanan. Repelita ketiga (1997-2004) memusatkan perhatian pada penghayatan kehidupan umat basis sebagai persekutuan iman, harap dan kasih yang menyata dalam seluruh aspek kehidupan. 


Pentahapan yang tidak dirangkai begitu saja satu setelah yang lain menunjukkan bahwa yang terpenting bukanlah rencana. Pelaksanaan dan evaluasi atasnya menjadi dasar untuk menentukan apa dan kapan rencana berikut mesti disusun. Kualitas hidup dan pelayanan tidak ditentukan hanya dengan menghitung waktu, tetapi oleh kesanggupan belajar dari apa yang telah terjadi dalam waktu. 



Berbagai kualitas iman dan keutamaan manusiawi telah menjadikan Mgr. Darius Nggawa seorang pemimpin. Dia memimpin Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret sebagai preses (1969-1972), sebagai pemimpin SVD Regio Ende (1972-1974) dan kemudian ditugaskan menjadi pemimpin Keuskupan Larantuka sebagai uskup sejak 16 Juni 1974 serta berbagai tugas lain baik dalam rangka KWI maupun dalam Federasi para Uskup Katolik Asia (FABC). 



Bagi Mgr. Darius, kepemimpinan adalah sebuah seni. "Seni menggunakan jurus-jurus ampuh dan tepat sesuai situasi konkrit orang-orang yang dipimpin dan lingkungannya. Justru karena itu ia tidak boleh terpolakan dan terstruktur. Sebagai seni kepemimpinan harus memberi ruang gerak yang cukup luas kepada setiap pemimpin untuk mencari, menemukan dan menggelar jurus-jurus andalan yang tepat sasar bagi kelompoknya. Ketika ruang itu dipersempit dan kebebasan mencari jurus-jurus terpasung oleh struktur dan pola-pola baku, kepemimpinan menjadi kerdil dan mandul". Dengan ini dia hendak mengatakan, dirinya bukanlah personifikasi pola kepemimpinan yang berlaku sah dan absolut di mana-mana dan kapan saja.






Selama orang terpaku pada sosok dan pola kepemimpinannya, entah dalam kekaguman yang berlebihan ataupun dalam sakit hati yang tak terobati, sebenarnya orang sedang menyia-nyiakan peluang untuk melakukan sesuatu yang besar. Ya, rasa sakit hati dapat sangat membelenggu. Dan belenggu selalu membuat orang kurang berkembang. Tentu saja sebagai pribadi dengan keutamaan manusia dan kualitas kepemimpinan yang besar, Mgr. Darius Nggawa dapat membuat orang terpesona dalam rasa kagum yang berlebihan. Namun juga sebagai manusia yang tak luput dari serba kekurangan, dengan kekritisan intelektual yang tajam, dengan tugas kepemimpinan yang berat, dia dapat saja menuntut terlalu banyak, membuat sejumlah orang sakit hati dan merasa tersinggung. 



Mgr. Darius menunjukkan, baik obsesi pada rasa kagum maupun pembelengguan oleh rasa sakit hati dan ketersinggung yang berlarut, merupakan penghalang bagi berkembangannya potensi diri. Pembebasan dari obsesi dan belenggu ini hanya lahir dari kesediaan dan kemampuan untuk menghargai sejarah. Kalau orang tidak menghargai sejarah, orang tetap menjadi mangsa dari sejarah, dia terkurung oleh sejarah, menjadi kerdil oleh beban masa lalu. Pembebasan ini pulalah yang membuka ruang bagi visi yang jelas dan keberanian mengambil keputusan. Mgr. Darius adalah seorang sejarawan, yang tahu menghargai sejarah, seorang pemimpin yang visioner dan berani. Requiescat in pace. *  
    
Sumber Tulisan : Pos Kupang, 12 januari 2008



ARTIKEL PILIHAN : Waktu, Tanggung Jawab, dan Korban



Penulis: Dr Paul Budi Kleden
Dosen Teologi pada STFK Ledalero Maumere-Flores 


Waktu dialami secara berbeda-beda. Ketika menghadapi pengalaman yang negatif, orang mengimpikan segera berlalunya waktu. Yang baru diharapkan secepatnya menggantikan waktu penderitaan yang sudah mengurung orang dalam kesengsaraan. Waktu yang berlalu adalah sumber kebahagiaan. Badai pasti berlalu! Namun, saat tengah menikmati pengalaman yang menyenangkan, yang diinginkan adalah berhentinya aliran waktu. Orang mau tetap tenggelam di dalam pengalaman tersebut, dan berharap agar tidak ada desakan waktu yang mengempasnya pergi. Orang bertanya, "Mengapa tidak selalu begini?" Karena kenikmatan ingin menghentikan aliran waktu, para penguasa biasanya tidak menghendaki adanya perubahan. Semakin total sebuah kekuasaan, semakin ia tenggelam dalam waktu. Ia bertindak seolah kekuasaan itu bersifat abadi.


Namun, dengan tendensi waktu tanpa final ini, kekuasaan justru menunjukkan wajahnya yang paling kejam. Orang mengorupsi kekuasaan dengan membunuh orang lain, melakukan penggelapan kekayaan bersama, menghancurkan ruang bagi tumbuhnya diskursus kritis. Di tengah kondisi seperti itu, para korban, sosial dan politik, tidak menghendaki hal lain daripada segera beralihnya waktu. Semakin orang tenggelam di dalam penindasan dan ketidakadilan, semakin orang mendambakan perubahan.


Seorang filsuf yang merefleksikan makna waktu dari perspektif para korban ialah Walter Benjamin. Pemikir berkebangsaan Yahudi kelahiran Jerman ini mengalami kebiadaban rezim totaliter Nazi-Hitler. Refleksinya tentang waktu diungkapkannya antara lain dalam sebuah interpretasi yang menarik atas sebuah lukisan karya Paul Klee, yang berkebangsaan Swiss. Lukisan itu berjudul Angelus Novus, Malaikat Sejarah. Secara kreatif, Benjamin menafsir lukisan tersebut dalam kerangka teori sejarahnya. Benjamin mencari simbol karena simbol justru masih dapat berbicara ketika argumentasi menemukan keterbatasannya.


Angelus Novus melukiskan seorang malaikat yang kelihatan seolah hendak membebaskan diri dari sesuatu yang sedang ditatapnya dalam-dalam. Matanya terbelalak, mulutnya terbuka, dan sayap-sayapnya terbuka lebar. Begitulah seharusnya penampilan malaikat sejarah. Ia menatap wajah masa lampau. Kalau kita biasanya menatap rangkaian kejadian di masa mendatang, ia hanya melihat bencana yang mengakibatkan reruntuhan yang berlalu cepat di bawah kakinya. Tampaknya ia mau berhenti sejenak untuk membangkitkan yang mati dan menyatukan yang tercecer.

Foto Ilustrasi : Pantai Bita Ende


Tatapan mata sang malaikat yang terbelalak pada reruntuhan mengungkapkan kesadaran akan perlunya sikap tidak melepaskan masa lampau. Tidak ada pilihan lain bagi sang malaikat. Akan tetapi, untuk terus menatap dengan tatapan yang terbelalak, ia memerlukan daya yang sangat besar karena yang sedang dipunggunginya, artinya yang menantinya di masa depan, hanyalah tumpukan reruntuhan. Tidak ada masyarakat ideal, yang ada hanyalah bencana-bencana baru. Keselamatan bagi malaikat ini bukanlah saat untuk tiba pada tujuan, juga bukan tiba pada tujuan 'mula pertama', melainkan pemutusan, penghentian, perhatian aktif bagi mereka yang terlupakan.


Sang malaikat sejarah tidak mengenal adanya tujuan yang menanti. Baginya, Firdaus sudah ada di masa lampau, bukan lagi sebuah tujuan yang akan merangkul dan menampung semuanya yang mengembalikan segala sesuatu pada posisinya yang sebenarnya. Karena itu, kerinduan malaikat tersebut bukanlah untuk segera tiba di tempat tujuan, melainkan untuk berhenti agar dapat membangkitkan yang mati dan menyatukan yang tercecer.


Waktu akan terus berlalu, apa pun ongkosnya. Berlalunya waktu itu, kepastian akan kesementaraan segala sesuatu, perlahan menjadi sumber dari hiburan. Karena waktu akan berlalu, semua yang kita alami hanya bersifat sementara, waktu akan menyembuhkan semua luka. Penyembuhan bukan berarti bahwa yang hancur dan tercecer akan dipadukan sehingga akan muncul kembali satu identitas, melainkan bahwa semua itu akan dilupakan. Kita tidak mengatasi ketidakadilan dengan melawannya, tetapi dengan berharap bahwa waktu akan membuat kita lupa akan pengalaman tersebut. Harapan akan kemenangan dan keselamatan tidak lagi ditemukan dalam anamnesia, melainkan dalam amnesia.


Tentu saja kita dapat mengatakan bahwa pandangan Walter Benjamin terlampau ekstrem. Dunia belum seburuk itu. Sejarah peradaban memang diwarnai banyak periode penindasan dan kehancuran. Namun, mengatakan bahwa seluruh sejarah adalah padang reruntuhan dan keporak-porandaan tampaknya terlampau berlebihan. Juga apabila kita memperhatikan apa yang terjadi dalam setahun ini, memang tidak beralasan untuk menyebut sejarah sebagai gurun kehancuran. Baik dalam konteks global maupun nasional, 2007 masih belum pantas disebut sebagai tahun tanpa harapan.


Kendati begitu, Benjamin mengungkapkan sejumlah kecemasan yang patut mendapat perhatian, justru pada saat menjelang peralihan tahun. Beralih tahun bukan berarti menutup buku. Tahun akan beralih, namun kenyataan ini tidak menjadi alasan untuk membiarkan segala sesuatu terhempas pergi. Tahun 2007 bukanlah sebuah nisan sekadar untuk mengingatkan semua perkara yang pernah mulai dibongkar. Kita perlu waspada agar peralihan tahun tidak dijadikan sebagai kapal yang dilepas untuk membawa pergi segala pelanggaran kejahatan yang pernah diangkat ke permukaan. Kalau Benjamin berbicara tentang ketidakpercayaan para korban terhadap kemungkinan kemajuan di masa mendatang, tidak mustahil dalam konteks Indonesia para korban dan para simpatisannya berbicara mengenai ketidakmungkinan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran kekuasaan yang menumpuk. Tahun beralih, rezim berganti, namun yang sama adalah penyalahgunaan dan ketidaktersentuhannya dari penyelesaian yang sungguh-sungguh dan adil.


Walter Benjamin mengingatkan kita akan pentingnya memperhatikan sejarah dari perspektif para korban. Yang dikorbankan dalam masyarakat kita adalah para warga miskin yang ketiadaan perlindungan atas hak-haknya, para perempuan korban trafficking, anak-anak yang tidak dipolitisasi pendidikannya, para korban bencana yang dijadikan proyek. Dari perspektif mereka, sejarah adalah perpanjangan persekongkolan ekonomi-politik yang tetap memosisikan mereka pada pihak yang tidak berdaya.


Tahun 2008 sebenarnya mengandung sebuah kemungkinan perbaikan. Menjelang Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilu Presiden 2009 nanti, 2008 menjadi sebuah momen yang strategis untuk menangkap dan memasukkan perspektif para korban terhadap sejarah. Maksudnya, 2008 adalah waktu yang penting karena selambat-lambatnya pada tahun ini orang harus menunjukkan kepada publik komitmen politisnya. Pemberantasan berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan sebagai tekad politis mesti menunjukkan langkah-langkah konkretnya selambat-lambatnya dalam tahun 2008.