Penulis: Dr Paul Budi
Kleden
Dosen Teologi pada STFK
Ledalero Maumere-Flores
Waktu dialami secara berbeda-beda. Ketika menghadapi pengalaman
yang negatif, orang mengimpikan segera berlalunya waktu. Yang baru diharapkan secepatnya
menggantikan waktu penderitaan yang sudah mengurung orang dalam kesengsaraan.
Waktu yang berlalu adalah sumber kebahagiaan. Badai pasti berlalu! Namun, saat
tengah menikmati pengalaman yang menyenangkan, yang diinginkan adalah
berhentinya aliran waktu. Orang mau tetap tenggelam di dalam pengalaman
tersebut, dan berharap agar tidak ada desakan waktu yang mengempasnya pergi.
Orang bertanya, "Mengapa tidak selalu begini?" Karena kenikmatan
ingin menghentikan aliran waktu, para penguasa biasanya tidak menghendaki
adanya perubahan. Semakin total sebuah kekuasaan, semakin ia tenggelam dalam
waktu. Ia bertindak seolah kekuasaan itu bersifat abadi.
Namun, dengan tendensi waktu tanpa final ini, kekuasaan justru
menunjukkan wajahnya yang paling kejam. Orang mengorupsi kekuasaan dengan
membunuh orang lain, melakukan penggelapan kekayaan bersama, menghancurkan
ruang bagi tumbuhnya diskursus kritis. Di tengah kondisi seperti itu, para
korban, sosial dan politik, tidak menghendaki hal lain daripada segera beralihnya
waktu. Semakin orang tenggelam di dalam penindasan dan ketidakadilan, semakin
orang mendambakan perubahan.
Seorang filsuf yang merefleksikan makna waktu dari perspektif para
korban ialah Walter Benjamin. Pemikir berkebangsaan Yahudi kelahiran Jerman ini
mengalami kebiadaban rezim totaliter Nazi-Hitler. Refleksinya tentang waktu
diungkapkannya antara lain dalam sebuah interpretasi yang menarik atas sebuah
lukisan karya Paul Klee, yang berkebangsaan Swiss. Lukisan itu berjudul Angelus
Novus, Malaikat Sejarah. Secara kreatif, Benjamin menafsir lukisan tersebut
dalam kerangka teori sejarahnya. Benjamin mencari simbol karena simbol justru
masih dapat berbicara ketika argumentasi menemukan keterbatasannya.
Angelus Novus melukiskan seorang malaikat yang kelihatan
seolah hendak membebaskan diri dari sesuatu yang sedang ditatapnya dalam-dalam.
Matanya terbelalak, mulutnya terbuka, dan sayap-sayapnya terbuka lebar.
Begitulah seharusnya penampilan malaikat sejarah. Ia menatap wajah masa lampau.
Kalau kita biasanya menatap rangkaian kejadian di masa mendatang, ia hanya
melihat bencana yang mengakibatkan reruntuhan yang berlalu cepat di bawah
kakinya. Tampaknya ia mau berhenti sejenak untuk membangkitkan yang mati dan
menyatukan yang tercecer.
Foto Ilustrasi : Pantai Bita Ende |
Tatapan mata sang malaikat yang terbelalak pada reruntuhan
mengungkapkan kesadaran akan perlunya sikap tidak melepaskan masa lampau. Tidak
ada pilihan lain bagi sang malaikat. Akan tetapi, untuk terus menatap dengan
tatapan yang terbelalak, ia memerlukan daya yang sangat besar karena yang
sedang dipunggunginya, artinya yang menantinya di masa depan, hanyalah tumpukan
reruntuhan. Tidak ada masyarakat ideal, yang ada hanyalah bencana-bencana baru.
Keselamatan bagi malaikat ini bukanlah saat untuk tiba pada tujuan, juga bukan
tiba pada tujuan 'mula pertama', melainkan pemutusan, penghentian, perhatian
aktif bagi mereka yang terlupakan.
Sang malaikat sejarah tidak mengenal adanya tujuan yang menanti.
Baginya, Firdaus sudah ada di masa lampau, bukan lagi sebuah tujuan yang akan
merangkul dan menampung semuanya yang mengembalikan segala sesuatu pada
posisinya yang sebenarnya. Karena itu, kerinduan malaikat tersebut bukanlah
untuk segera tiba di tempat tujuan, melainkan untuk berhenti agar dapat
membangkitkan yang mati dan menyatukan yang tercecer.
Waktu akan terus berlalu, apa pun ongkosnya. Berlalunya waktu itu,
kepastian akan kesementaraan segala sesuatu, perlahan menjadi sumber dari
hiburan. Karena waktu akan berlalu, semua yang kita alami hanya bersifat
sementara, waktu akan menyembuhkan semua luka. Penyembuhan bukan berarti bahwa
yang hancur dan tercecer akan dipadukan sehingga akan muncul kembali satu
identitas, melainkan bahwa semua itu akan dilupakan. Kita tidak mengatasi
ketidakadilan dengan melawannya, tetapi dengan berharap bahwa waktu akan
membuat kita lupa akan pengalaman tersebut. Harapan akan kemenangan dan
keselamatan tidak lagi ditemukan dalam anamnesia, melainkan dalam amnesia.
Tentu saja kita dapat mengatakan bahwa pandangan Walter Benjamin
terlampau ekstrem. Dunia belum seburuk itu. Sejarah peradaban memang diwarnai
banyak periode penindasan dan kehancuran. Namun, mengatakan bahwa seluruh
sejarah adalah padang reruntuhan dan keporak-porandaan tampaknya terlampau
berlebihan. Juga apabila kita memperhatikan apa yang terjadi dalam setahun ini,
memang tidak beralasan untuk menyebut sejarah sebagai gurun kehancuran. Baik
dalam konteks global maupun nasional, 2007 masih belum pantas disebut sebagai
tahun tanpa harapan.
Kendati begitu, Benjamin mengungkapkan sejumlah kecemasan yang
patut mendapat perhatian, justru pada saat menjelang peralihan tahun. Beralih
tahun bukan berarti menutup buku. Tahun akan beralih, namun kenyataan ini tidak
menjadi alasan untuk membiarkan segala sesuatu terhempas pergi. Tahun 2007
bukanlah sebuah nisan sekadar untuk mengingatkan semua perkara yang pernah
mulai dibongkar. Kita perlu waspada agar peralihan tahun tidak dijadikan
sebagai kapal yang dilepas untuk membawa pergi segala pelanggaran kejahatan
yang pernah diangkat ke permukaan. Kalau Benjamin berbicara tentang
ketidakpercayaan para korban terhadap kemungkinan kemajuan di masa mendatang,
tidak mustahil dalam konteks Indonesia para korban dan para simpatisannya
berbicara mengenai ketidakmungkinan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran
kekuasaan yang menumpuk. Tahun beralih, rezim berganti, namun yang sama adalah
penyalahgunaan dan ketidaktersentuhannya dari penyelesaian yang sungguh-sungguh
dan adil.
Walter Benjamin mengingatkan kita akan pentingnya memperhatikan
sejarah dari perspektif para korban. Yang dikorbankan dalam masyarakat kita
adalah para warga miskin yang ketiadaan perlindungan atas hak-haknya, para
perempuan korban trafficking, anak-anak yang tidak dipolitisasi
pendidikannya, para korban bencana yang dijadikan proyek. Dari perspektif
mereka, sejarah adalah perpanjangan persekongkolan ekonomi-politik yang tetap
memosisikan mereka pada pihak yang tidak berdaya.
Tahun 2008 sebenarnya mengandung sebuah kemungkinan perbaikan.
Menjelang Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilu Presiden 2009 nanti, 2008
menjadi sebuah momen yang strategis untuk menangkap dan memasukkan perspektif
para korban terhadap sejarah. Maksudnya, 2008 adalah waktu yang penting karena
selambat-lambatnya pada tahun ini orang harus menunjukkan kepada publik
komitmen politisnya. Pemberantasan berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan
sebagai tekad politis mesti menunjukkan langkah-langkah konkretnya
selambat-lambatnya dalam tahun 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar