Minggu, 16 Juli 2017

ARTIKEL PILIHAN : Waktu, Tanggung Jawab, dan Korban



Penulis: Dr Paul Budi Kleden
Dosen Teologi pada STFK Ledalero Maumere-Flores 


Waktu dialami secara berbeda-beda. Ketika menghadapi pengalaman yang negatif, orang mengimpikan segera berlalunya waktu. Yang baru diharapkan secepatnya menggantikan waktu penderitaan yang sudah mengurung orang dalam kesengsaraan. Waktu yang berlalu adalah sumber kebahagiaan. Badai pasti berlalu! Namun, saat tengah menikmati pengalaman yang menyenangkan, yang diinginkan adalah berhentinya aliran waktu. Orang mau tetap tenggelam di dalam pengalaman tersebut, dan berharap agar tidak ada desakan waktu yang mengempasnya pergi. Orang bertanya, "Mengapa tidak selalu begini?" Karena kenikmatan ingin menghentikan aliran waktu, para penguasa biasanya tidak menghendaki adanya perubahan. Semakin total sebuah kekuasaan, semakin ia tenggelam dalam waktu. Ia bertindak seolah kekuasaan itu bersifat abadi.


Namun, dengan tendensi waktu tanpa final ini, kekuasaan justru menunjukkan wajahnya yang paling kejam. Orang mengorupsi kekuasaan dengan membunuh orang lain, melakukan penggelapan kekayaan bersama, menghancurkan ruang bagi tumbuhnya diskursus kritis. Di tengah kondisi seperti itu, para korban, sosial dan politik, tidak menghendaki hal lain daripada segera beralihnya waktu. Semakin orang tenggelam di dalam penindasan dan ketidakadilan, semakin orang mendambakan perubahan.


Seorang filsuf yang merefleksikan makna waktu dari perspektif para korban ialah Walter Benjamin. Pemikir berkebangsaan Yahudi kelahiran Jerman ini mengalami kebiadaban rezim totaliter Nazi-Hitler. Refleksinya tentang waktu diungkapkannya antara lain dalam sebuah interpretasi yang menarik atas sebuah lukisan karya Paul Klee, yang berkebangsaan Swiss. Lukisan itu berjudul Angelus Novus, Malaikat Sejarah. Secara kreatif, Benjamin menafsir lukisan tersebut dalam kerangka teori sejarahnya. Benjamin mencari simbol karena simbol justru masih dapat berbicara ketika argumentasi menemukan keterbatasannya.


Angelus Novus melukiskan seorang malaikat yang kelihatan seolah hendak membebaskan diri dari sesuatu yang sedang ditatapnya dalam-dalam. Matanya terbelalak, mulutnya terbuka, dan sayap-sayapnya terbuka lebar. Begitulah seharusnya penampilan malaikat sejarah. Ia menatap wajah masa lampau. Kalau kita biasanya menatap rangkaian kejadian di masa mendatang, ia hanya melihat bencana yang mengakibatkan reruntuhan yang berlalu cepat di bawah kakinya. Tampaknya ia mau berhenti sejenak untuk membangkitkan yang mati dan menyatukan yang tercecer.

Foto Ilustrasi : Pantai Bita Ende


Tatapan mata sang malaikat yang terbelalak pada reruntuhan mengungkapkan kesadaran akan perlunya sikap tidak melepaskan masa lampau. Tidak ada pilihan lain bagi sang malaikat. Akan tetapi, untuk terus menatap dengan tatapan yang terbelalak, ia memerlukan daya yang sangat besar karena yang sedang dipunggunginya, artinya yang menantinya di masa depan, hanyalah tumpukan reruntuhan. Tidak ada masyarakat ideal, yang ada hanyalah bencana-bencana baru. Keselamatan bagi malaikat ini bukanlah saat untuk tiba pada tujuan, juga bukan tiba pada tujuan 'mula pertama', melainkan pemutusan, penghentian, perhatian aktif bagi mereka yang terlupakan.


Sang malaikat sejarah tidak mengenal adanya tujuan yang menanti. Baginya, Firdaus sudah ada di masa lampau, bukan lagi sebuah tujuan yang akan merangkul dan menampung semuanya yang mengembalikan segala sesuatu pada posisinya yang sebenarnya. Karena itu, kerinduan malaikat tersebut bukanlah untuk segera tiba di tempat tujuan, melainkan untuk berhenti agar dapat membangkitkan yang mati dan menyatukan yang tercecer.


Waktu akan terus berlalu, apa pun ongkosnya. Berlalunya waktu itu, kepastian akan kesementaraan segala sesuatu, perlahan menjadi sumber dari hiburan. Karena waktu akan berlalu, semua yang kita alami hanya bersifat sementara, waktu akan menyembuhkan semua luka. Penyembuhan bukan berarti bahwa yang hancur dan tercecer akan dipadukan sehingga akan muncul kembali satu identitas, melainkan bahwa semua itu akan dilupakan. Kita tidak mengatasi ketidakadilan dengan melawannya, tetapi dengan berharap bahwa waktu akan membuat kita lupa akan pengalaman tersebut. Harapan akan kemenangan dan keselamatan tidak lagi ditemukan dalam anamnesia, melainkan dalam amnesia.


Tentu saja kita dapat mengatakan bahwa pandangan Walter Benjamin terlampau ekstrem. Dunia belum seburuk itu. Sejarah peradaban memang diwarnai banyak periode penindasan dan kehancuran. Namun, mengatakan bahwa seluruh sejarah adalah padang reruntuhan dan keporak-porandaan tampaknya terlampau berlebihan. Juga apabila kita memperhatikan apa yang terjadi dalam setahun ini, memang tidak beralasan untuk menyebut sejarah sebagai gurun kehancuran. Baik dalam konteks global maupun nasional, 2007 masih belum pantas disebut sebagai tahun tanpa harapan.


Kendati begitu, Benjamin mengungkapkan sejumlah kecemasan yang patut mendapat perhatian, justru pada saat menjelang peralihan tahun. Beralih tahun bukan berarti menutup buku. Tahun akan beralih, namun kenyataan ini tidak menjadi alasan untuk membiarkan segala sesuatu terhempas pergi. Tahun 2007 bukanlah sebuah nisan sekadar untuk mengingatkan semua perkara yang pernah mulai dibongkar. Kita perlu waspada agar peralihan tahun tidak dijadikan sebagai kapal yang dilepas untuk membawa pergi segala pelanggaran kejahatan yang pernah diangkat ke permukaan. Kalau Benjamin berbicara tentang ketidakpercayaan para korban terhadap kemungkinan kemajuan di masa mendatang, tidak mustahil dalam konteks Indonesia para korban dan para simpatisannya berbicara mengenai ketidakmungkinan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran kekuasaan yang menumpuk. Tahun beralih, rezim berganti, namun yang sama adalah penyalahgunaan dan ketidaktersentuhannya dari penyelesaian yang sungguh-sungguh dan adil.


Walter Benjamin mengingatkan kita akan pentingnya memperhatikan sejarah dari perspektif para korban. Yang dikorbankan dalam masyarakat kita adalah para warga miskin yang ketiadaan perlindungan atas hak-haknya, para perempuan korban trafficking, anak-anak yang tidak dipolitisasi pendidikannya, para korban bencana yang dijadikan proyek. Dari perspektif mereka, sejarah adalah perpanjangan persekongkolan ekonomi-politik yang tetap memosisikan mereka pada pihak yang tidak berdaya.


Tahun 2008 sebenarnya mengandung sebuah kemungkinan perbaikan. Menjelang Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilu Presiden 2009 nanti, 2008 menjadi sebuah momen yang strategis untuk menangkap dan memasukkan perspektif para korban terhadap sejarah. Maksudnya, 2008 adalah waktu yang penting karena selambat-lambatnya pada tahun ini orang harus menunjukkan kepada publik komitmen politisnya. Pemberantasan berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan sebagai tekad politis mesti menunjukkan langkah-langkah konkretnya selambat-lambatnya dalam tahun 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar