Oleh : Dr Paul Budi Kleden
Dosen Teologi pada STFK
Ledalero Maumere-Flores
Memperingati Hari Ulang
Tahun Kelahiran ke-70 dan Pancawindu Imamat dari Pater Niko Hayon, pada bulan Desember
2006 Penerbit Ledalero menerbitkan sebuah buku kenangan berjudul “Liturgi Autentik
dan Relevan” (editor Georg Kirchberger dan Bernard Boli Ujan). Liturgi yang otentik dan relevan adalah ungkapan lain dari inkulturasi
liturgi, satu tema yang digumuli Pater Niko selama hidupnya. Pada tahun
1970 Pater Niko menulis tesis doktoralnya yang berjudul A Liturgy for the Florenese People. Di sana dia menguraikan makna
dan penghayatan liturgi orang Flores. Sejak tahun 1971 beliau menjadi dosen
liturgi yang banyak berbicara, mendorong dan mengupayakan inkulturasi liturgi.
Liturgi Gereja harus autentik, mesti setia pada ajaran
dan warisan tradisi, tetapi serentak relevan, karena liturgi pada dasarnya
adalah perayaan umat akan imannya pada waktu dan tempat tertentu. Autentisitas menunjukkan keberakaran, sementara relevansi menyatakan daya
sapa aktual. Yang autentik adalah yang tidak menyimpang dari jati diri, yang
asli, sementara relevansi menunjukkan daya sentuh bagi seseorang atau satu
kelompokmasyarakat pada satu waktu dan tempat tertentu.
Autentik dan relevan,
hemat saya, adalah juga ungkapan yang dapat menyatakan seluruh pribadi Pater
Nikolaus Hayon, SVD. Dia adalah pribadi yang autentik, yang jujur dan polos. Pribadi
yang jujur selalu menampilkan kesederhanaan. Pribadi seperti ini tidak merasa
perlu membangun benteng berupa kewibawaan semu atau kekayaan yang dipamerkan. Dia
berwibawa bukan karena kekuasaan atau karena kekayaan. Apa adanya, diri yang
sejati, itulah yang ditunjukkan. Kepribadian yang autentik biasanya serentak
sanggup menunjukkan relevansinya. Dia mampu menempatkan diri di hadapan lawan
bicaranya. Sebab itu, pribadi seperti ini mudah merasa bergembira bersama orang
lain kendati alasan kegembiraan itu sangat sederhana, dan turut terlibat dalam
rasa duka saat orang lain menghadapi masalah atau mengalami kegagalan. Seorang
yang berkepribadian autentik dan relevan tidak mengalami kesulitan untuk berempati
dengan orang lain. Tentu saja, empati seperti ini tidak selalu memudahkan orang
untuk mengambil keputusan, saat berhadapan dengan pandangan dan
perasaan-perasaan yang saling bertentangan.
Peter Niko Hayon dan Pater Aleks Beding |
Banyak orang, entah
anggota keluarga, murid dan mantan murid, sama saudara atau sahabat dan
kenalan, yang mengenal Pater Niko, merasakan kesederhanaan yang terpancar dari
hatinya. Dia memang gampang menjadi akrab, karena kejujuran dirinya.
Kesederhanaan ini membuatnya peka terhadap situasi yang sedang dihadapi
seseorang. Sebab itu, Pater Niko dapat tertawa lepas dan membuat lelucon yang
menggembirakan. Tetapi dia dapat pula sangat serius dan penuh perhatian ketika
orang menceritakan masalahnya. Padanya menjadi sangat jelas kebenaran hidup
ini, bahwa menjadi penggembira tidak harus berarti kedangkalan, dan kesungguhan
dalam hidup tidak mesti membuat orang selalu menatap dunia dengan wajah murung.
Seseorang yang sungguh menghayati hidup dengan hati yang sederhana, dapat terseyum
polos dan meledak ria dalam tawa, serta terpekur diam merenung rumitnya benang
kehidupan. Karena keutamaan ini, Pater Niko menjadi seorang sahabat kehidupan
dan teman yang baik bagi banyak orang lain.
Pater Niko adalah
seorang anggota SVD, biarawan, imam dan misionaris yang autentik dan relevan. Dia
sungguh menghayati arti hidup sebagai biarawan, imam dan misionaris yang
sejati, yang memberikan seluruh diri, waktu dan perhatiannya untuk melaksanakan
misi Gereja dan mengemban kepentingan serikat. Dia dekat dengan keluarganya,
tetapi dia sadar bahwa hidupnya diabdikan untuk satu kepentingan yang melampaui
urusan keluarga. Pikiran misionaris seperti ini tidak hanya disibukkan dengan
apa yang menguntungkan keluarga sendiri, dan hatinya tidak diganggu dengan
pelbagai urusan hanya demi kepentingan kampung halamannya.
Dia berakar dalam
spiritualitas SVD yang telah dikenalnya melalui para misionaris yang bekerja di
paroki asalnya, Ritaebang, Solor. Para misionaris itu telah menjadi satu model penghayatan
hidup iman yang peka dan terbuka untuk melayani manusia tanpa kenal batas. Pengenalan
itu perlahan bertumbuh menjadi ketertarikan kepada SVD ketika dia menjadi siswa
seminari di Hokeng dan di Mataloko. Rasa tertarik itu kemudian berkembang menjadi
cinta kepada SVD sejak dia menjalani masa novisiatnya di Ledalero. Cinta
tersebut lalu membuahkan tanggung jawab dan rasa bangga dalam menjalankan berbagai
tugas dalam tarekat SVD.
Cintanya kepada SVD menjelma
dalam tanggung jawab. Cinta tidak pernah lepas dari tanggung jawab untuk
mengemban tugas yang dilihat penting. Sejak tahun 1971 sampai 1995, saat
ditunjuk menjadi sekretaris eksekutif komisi Liturgi Konperensi Waligereja
Indonesia (KWI), beliau bertugas sebagai dosen dan pendidik di Ledalero. Selama
menjadi sekretaris komisi Liturgi KWI sampai tahun 2002, ketika diangkat
menjadi Provinsial SVD Ende hingga wafatnya, beliau masih terus menjadi
pengasuh matakulia Liturgi pada STFK Ledalero. Tidak gampang menjadi betah
dengan tugas yang tidak selalu menyajikan variasi, seperti tugas sebagai seorang
dosen di Seminari Tinggi. Namun Pater Niko bertahan sekian lama, karena hatinya
sederhana dan terbuka, karena pribadinya autentik dan relevan. Rutinitas
keseharian hidup di sebuah lembaga pendidikan calon imam diimbanginya dengan variasi
keterlibatan emosional dan tegang kendornya pikiran yang rela berziarah secara
intensif bersama anak-anak muda yang sedang bergumul menjernihkan panggilannya.
Pater Niko adalah salah seorang dari barisan para saksi yang menunjukkan bahwa
kekayaan makna hidup tidak ditentukan banyaknya tempat yang pernah disinggahi,
tetapi oleh banyaknya hati manusia yang membuka diri dan menuturkan kisahnya
karena berhadapan dengan hati yang mendengarkan.
Cinta menyatakan diri
dalam kesediaan menerima tanggung jawab. Pater Niko mencintai SVD, karena itu dia
bersedia menerima tugas dan tanggung jawab sebagai provinsial dalam usia 66
tahun, ketika sejumlah orang lain lebih memilih menikmati ketenangan masa
pensiun. Dia sadar, masih banyak sama saudaranya membutuhkannya sebagai bapa
dan sahabat, saudara dan pemimpin yang sederhana, yang mendengarkan dan
berempati. Dia melaksanakan tanggung jawab ini, dan meninggal dalam tugas
sebagai provinsial.
Perkenalannya dengan
para misionaris SVD di Ritaebang, Solor, membuahkan tanggung jawab dan rasa
bangga. Pater Niko berbangga karena anugerah iman yang dihidupi di tengah
keluarganya yang sederhana, dan atas panggilan yang boleh diterimanya dari
Allah. Setahun yang lalu dia boleh merayakan syukur Pancawindu anugerah imamat.
Dia berbangga atas SVD sebagai sebuah serikat misi yang membuka hati dan
pikirannya untuk berempati dengan banyak orang tanpa kenal batas ras,
kebudayaan dan agama. Dia mengalami dan
merayakan kebanggaan ini secara istimewa dalam keikutsertaannya dalam sidang
umum (Kapitel Jenderal) SVD dalam bulan Juni-Juli tahun lalu. Pater Niko memang
patut berbangga, karena dia telah menjadi pendidik yang sudah turut membentuk
kepribadian banyak orang lain yang bekerja baik sebagai awam maupun sebagai imam,
biarawan dan misionaris. Dia berbangga dapat menyumbang bagi pemberdayaan
masyarakat dan pembaruan kehidupan keagamaan melalui banyak orang yang telah
dididiknya. Pada Pater Niko terbaca jelas, bahwa kebanggaan bukanlah
kesombongan atau keangkuhan. Rasa bangga adalah ungkapan syukur atas kekayaan
leluhur yang telah turut menghidupkan kita, dan kesanggupan untuk terlibat dalam
kegembiraan karena prestasi dan keberhasilan orang lain.
Pater Nikolaus Hayon,
SVD adalah seorang tokoh pendidik. Melalui berbagai cara, seperti melalui
khotbahnya yang selalu disiapkan dengan sangat baik, terlebih lagi melalui
contoh hidupnya, dia menghendaki lahirnya manusia-manusia yang autentik dan
relevan. Pendidikan pada umumnya, dan pendidikan calon imam khususnya, mestinya
selalu bertujuan membantu setiap orang untuk menjadi diri yang autentik dan
relevan. Itu berarti, pendidikan perlu memberanikan orang untuk jujur dengan
diri sendiri, mengenal bakat dan kemampuan serta mengakui kelemahan dan
kekurangannya. Pendidikan juga hendaknya membuat seseorang peka terhadap
lingkungan dan masyarakat tempat dia berada, agar di sana dia dapat meringankan
beban hidup orang lain dan bukannya menjadi beban tambahan.
Kematian adalah ekspresi
diri manusia yang paling jujur. Di dalam kematian manusia menjadi telanjang di
hadapan Allahnya. Dia tak punya apa-apa untuk dapat mengelakkan diri dari
kematian. Jumlah buku yang sudah ditulis, seminar dan kurus yang telah
diberikan, dan permasalahan yang masih harus ditangani, tidak mempan dijadikan
alasan untuk memperpanjang usia hidup. Kematian menyingkapkan secara jujur jati
diri seseorang. Namun, serentak kematian menyatakan relevansi orang tersebut. Di
dalam dan melalui kematian seseorang menyapa dan menunjukkan keberartiannya
bagi yang masih hidup. Melalui dan di dalam kematiannya Pater Niko menggarisbawahi
nilai satu kepribadian yang autentik dan relevan. Kita sampaikan terima kasih
buatnya, guru yang sederhana dan baik itu. Requiescat in Pace.
Sumber Tulisan : Flores Pos 30 April 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar