Senin, 16 Juni 2014

Berkelana ke Alam Feminsme

Pengantar
Artikel ini hanyalah sebuah percobaan dalam mengurai tema feminism dan akan terus dikembangkan. Karena itu artikel ini tidak dimaksudkan untuk dikutip.   

Beberapa artikel percobaan tentang feminism sudah diturunkan di blog ini, namun hal yang dilupakan adalah pengertian dan hal ikwal tentang feminism itu sendiri. Sebagai sebuah usaha percobaan, beberapa pengertian akan diuraikan secara ringkas dibawah ini.

Feminisme adalah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan & keadilan hak dengan lelaki. Feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837.

Perempuan yang terus berubah
Gerakan feminisme yang bermula di Eropa, kemudian berpindah ke Amerika dan disana feminism ini berkembang sangat pesat. Dalam literature feminism, buku yang ditulis John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869), sangat memberi insiprasi bagi perjuangan gerakan feminism.  Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama yaitu mengenai gerakan pembebasan perempuan dari rasisme, stereotyping, seksisme dan penindasan perempuan.

Dari gelombang pertama, kemudian muncul gelombang kedua, 1960 yang dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous. dan Julia Kristeva bersamaan dengan kelahiran perspektif dekonstruksionis yang dipelopori oleh Derrida.

Gerakan feminism menghadir tiga jenis gerakan yakni feminsme liberal, feminism radikal dan feminism sosialis. Feminisme liberal menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Dalam feminism liberal setiap manusia mempunyai kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional. Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi.

Feminisme Radikal muncul pada pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasarkan jenis kelamin pada tahun 1960-an di barat. Tujuannya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi.

Feminsme radikal mempersoalkan penindasan lelaki terhadap perempuan sebagai satu fakta dalam sistem masyarakat. Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan lelaki. Tidak berlebihan kalau feminism radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik.

Feminisme Sosialis merupakan sebuah paham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme".  Dengan menggunakan analisis kelas dan gender  gerakan ini berusaha memahami penindasan terhadap perempuan. Kendati menyetujui persoalan patriaki yang diwacanakan dalam feminism radikal, feminism sosialis yang terpengaruh dari aliran Marxis yang mengemukakan bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan.

Feminisme merupakan suatu bentuk teori kritis, yang menggunakan perspektif serta pengalaman perempuan, dan penindasan yang mereka alami, sebagai titik tolak sekaligus fokus analisisnya. Sebagai teori kritis, feminisme mengakui adanya kepentingan di baliknya dan selalu melihat kaitan yang erat antara refleksi teoritis di satu sisi dengan praktis di sisi lain.

Feminisme berupaya menganalisis setiap bentuk dominasi dan penindasan yang ada dan menunjukkan struktur-struktur menindas yang ada dibaliknya. Teori feminisme berupaya mengungkapkan berbagai bias, seperti seksis, kelas, dan gender, kepentingan, serta kekuasaan yang ada dibaliknya, sehingga semua itu dapat disadari.

Feminsme berkerja dalam dua level pendekatan yakni objektif yang menggunakan data empiric dan pendekatan subjektif.yang menggunakan data non-empirik seperti etnografi . Dengan menggunakan perspektif critical cultural, yang menggabungkan 2 pendekatan, yaitu pendekatan positivisme dan interpretatif, coba didekati pada realita yang terselubung dan memerlukan perhatian yang lebih. Inti dari perspektif critical cultural bertujuan untuk merubah masyarakat sehingga dalam studinya didasari oleh konteks (space) dan waktu/kesinambungan (continum) serta melihat aspek sejarah.

Dipengaruhi oleh teori kritis Mazhab Frankfurt dan teori budaya konstruktivis, yang tidak memandang teori sebagai penggambaran realitas apa adanya, tetapi selalu sudah mendapatkan pengaruh dari nilai-nilai dan dinamika sosial budaya, di mana teori tersebut diciptakan.

Metodologi feminisme lebih tepat menggunakan paradigma teori kritis seperti hermeneutika, semiotika, fenomenologi, dan metode kualitatif.Alasannya karena metode-metode tersebut melihat pengaruh konteks sosial, politik, maupun budaya terhadap studi feminisme.  Selain itu, ada beberapa metode sosiologi yang dapat digunakan untuk metodologi feminisme, seperti fungsionalisme, teori analisis konflik, dan teori Marxis. Teori-teori ini digunakan dengan menjadikan pengalaman perempuan dan perbedaan gender sebagai unsur utama analisisnya

Sasaran utama dan titik tolak seluruh penelitian adalah situasi dan pengalaman perempuan dalam masyarakat. Dalam penelitiannya, perempuan dijadikan sasaran pusat, dengan melihat dunia khusus dari sudut pandang perempuan terhadap dunia sosial. Teori Feminisme dikembangkan oleh pemikir kritis dan aktivis /pejuang demi kepentingan perempuan. 


Beberapa tokoh feminism yang dapat disebutkan diantaranya : Dorothy E. Smith (1926 -), Sandra Harding (1935 -) , Patricia Bukit Collins (1948 -), Carol Gilligan (1936 -), Joan Jacob Brumberg, Barbara Risman dll.

Thx untuk Ardian atas info ttg tema Feminis

Benjamin Tukan

Pekerja  komunikasi  dan Penerbitan, Mahasiswa Pasca Sarjana Komunikasi 

Feminisme dalam Komunikasi

Pengantar
Artikel ini hanyalah sebuah percobaan dalam mengurai tema feminism dan akan terus dikembangkan. Karena itu artikel ini tidak dimaksudkan untuk dikutip.   


Setelah memberikan sedikit penggambaran tentang aspek media dan feminis pada artikel sebelumnya, maka disasadari bahwa ada satu hal yang terlewatkan adalah masalah komunikasi dan feminism. Tentu saja, dalam praktek komunikasi sebagaina juga praktek yang berlaku pada media yang menggambarkan tentang pengalaman dan kehidupan perempuan, maka aspek komunikasi juga tidak terlepas dari hal itu.

Tak Sekadar mengurus kebutuhan pokok 

Dalam hal komunikasi, stereotip jender selalu mwarnai setiap bentuk-bentuk komunikasi. Jika tak ada pemahaman yang baik dan kesadaran yang mumpuni, maka pola-pola komunikasi diwarnai dengan alam pikiran tentang gender yang dibentuk dalam kontruksi social tradisional yang mensubordinasikan perempuan.

Sedimikian buruknya komunikasi yang streotip juga yang bias gender, seringkali melanggengkan kekuasaan maskulinitas yang menempatkan perempuan tidak lebih dari pelayan laki-laki. Dimensi heteroseksual yang ramai diperguncingkan tidak memberikan warna positif akan kebebasan tetapi justru mengambil nilai keuntungan karena terbuka ruang  yang lebar untuk suatu ekspolitasi.

Tentu saja kesenjangan yang  mudah diperoleh dari suatu bentuk komunikasi yang menempatkan lawan bicara hanya sebagai pihak yang perlu mendengar, dan bila perlu hanya menuruti apa yang diinginkan dalam percakapan dominan itu.

Sebagaimana dalam model transmisi komunikasi,  perempuan yang yang digambarkan hanya berkutat pada bentuk komunikasi satu arah. Padahal yang mesti dilakukan adalah bagaimana komunikasi itu membuka ruang yang selebar-lebarnya kepada perempuan untuk mengambil posisi menyatakan kesejatian dirinya.

 Komunikasi dalam ranah ketidakpahaman akan feminis dan gender, telah memberikan ruang yang dominan bagi laki-laki untuk menganggap bahwa dirinya lah penentu segalanya dan perempuan hanyalah obyek penyerta. Bagaimana bisa dibayangkan, manakalah komunikasi antara laki-laki dapat terjadi dengan mengabaikan aspek perempuan didalamnnya dan itu tidak berlaku sebalaiknya.

Kita bisa memasuki ranah percakapan yang sederhana seperti mob dan jok yang berbauh pornografi, sepertinya menenmpati perempuan sebagai biang atau akar masalah moralitas. Di wilayah pornografi yang ditampilkan tidak lebih dari sosok-sosok perempuan yang termanivestasi dalam khalayan maskulinitas.

Sekarang tiba saatnya untuk memberi perhatian lebih pada komunikasi yang setara termasuk membuka ruang baru agar perempuan secara bebas mengungkapkan dan menggambarkan siapa sebenarnya diri mereka sendiri.  Disamping tuntutan pada penutur laki-laki, perempuan pun harus terlibat mengambil peran-peran baru, berkomunikasi pada jatidiri dan keinginan yang dimilikinya. Tidak perlu harus membatasi diri, perempuan harus mulai memperkenalkan siapa diri mereka sesungguhnya.

Benjamin Tukan
Pekerja  Komunikasi dan Penerbitan, Mahasiswa Pasca Sarjana Komunikasi 

Minggu, 15 Juni 2014

Masih Relevan Bicara Tentang Media dan Feminisme

Pengantar


Artikel ini hanyalah sebuah percobaan dalam mengurai tema feminism dan akan terus dikembangkan. Karena itu artikel ini tidak dimaksudkan untuk dikutip.   

Setelah berselancar ke alam feminism melalui percakapan dengan seorang sahabat pada artikel sebelumnya, lalu pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana feminism ini memotret persoalan media. Sekalipun telah banyak literature, dan terbitan termasuk berbagai skripsi, tesis dan disertasi yang mengulas tentang media dan feminism, tetap saja berselanjar kea lam media feminism merupakan langkah awal mengarungi samudra wacana feminism.

Foto Ilustrasi Perempuan Penenun 

Tanpa harus berambisi untuk mengarungi samudra nan luas itu, pokok-pokok tentang potret media dalam beragam teori memang menjadi godaan awal untuk memulai mendayung perahu feminism. Sebelum jauh mendayung, rupanya keraguan awal segera terlontar, apakah penting membicarakan perempuan dalam potret media? Lalu sumbangan apa yang diberikan dari kajian-kajian perepmpuan untuk media dan masyarakat umum yang penuh dengan mekanisme struktur material, simbolik dan pengalaman manusia.

Tampaknya ada keragu-raguan untuk mendekat media dan pembacanya pada aspek feminism. Namun hal ini tidak berarti bahwa isu-isu seputar kekerasan maskulin, seksualitas, pornografi, pelecehan, keindahan tubuh, fashion dan studi yang khusus tentang perempuan sebagai sebuah genre telah menjadi perhatian media dan pemirsa  termasuk dalam konteks yang lebih luas yang menyangkut komunikasi.

Kurang lebih sepuluh tahun lalu, beberapa lembaga studi pers mulai merancang pelatihan-pelatihan bagi jurnalis yang diberi topic tetang gender pemberitaan media. Topik ini kemudian diambil oper oleh beberapa lembaga yang konsen terhadap persoalan gender termasuk kementerian pemberdayaan perempuan.

Apakah pemberitaan gender yang dimaksud adalah media didorong untuk memberitakan hal-hal yang berhubungan dengan perempuan? Tentu saja tidak. Hampir setiap hari media selalu memberitakan tentang perempuan, untuk tidak  mengatakan bahwa perempuan yang direpresentasikan media sudah menggambarkan sebuah kesetaraan.

Dengan kata lain, perempuan yang digambarkan media, dinilai cendrung menjadi subordinasi dan dieksplotasikan sedemikian rupa untuk melanggengkan kekuasaan maskulin. Tidak berlebihan, perempuan yang menjadi istri, ibu, perempuan seksi, dan buruh perempuan termasuk perempuan yang terlibat dalam pengedaran narkotika dan obat terlarang. Berita tentang perempuan tidak lebih dari pemberitaan mengenai kegiatan-kegiatan ibu-ibu pejabat, darma wanita dan sector-sektor lain yang langgengkan sebagai pekerjaan perempuan.

Nilai-nilai social  dominan yang dilanggengkan oleh media masa seringkali menyembunyikan media sebagai factor penting perubahan social dalam masyarakat. Sekalipun setelah masukan-masukan yang berarti tentang kesetaraan pada media, kemudian  pembaca dapat dengan mudah menemukan pemberitaan media yang menempatkan perempuan bersamaan dengan laki-laki dalam peran-peran baru non tradisional.  

Sumbangan gerakan feminism atau pun dalam hal menempatkan perspektif gender, adalah bagaimana membangun kesadaran para jurnalisme tentang  bahaya  stereotip dan efeknya bila perempuan tetap menjadi hal yang tersubordnasi dalam peran-peran tradisonal.

Bahaya pun segera bermunculan manakalah gelombang baru budaya konsumerisme tidak segera membawa perempuan dari peran dan anggapan tradisonal kepada suatu model kesetaraan yang baru. Karena itu studi media dan feminism tetap menarik dilakukan, karena masih ada kepercayaan bahwa media sebagai intrumen utama perubahan masyarakat.

Benjamin Tukan

Pekerja  Komunikasi dan Penerbitan, Mahasiswa Pasca Sarjana Komunikasi 

Sabtu, 14 Juni 2014

Feminim untuk menjadi Diri Sendiri

Pengantar


Artikel ini hanyalah sebuah percobaan dalam mengurai tema feminism dan akan terus dikembangkan. Karena itu artikel ini tidak dimaksudkan untuk dikutip.   

SUATU sore di akhir bulan Mei 2014, seorang sahabat menelpon untuk janjian bertemu. Ada sesuatu yang ingin dibicarakan selain, keisengan  karena beberapa waktu lamanya kami memang tidak bertemu. Dia sahabatku, demikian dari persahabatan ini, baik dia dan keluarganya adalah sahabat kami juga.

Metropolis-Lukisan Tato Kastareja

Sore itu, di kedai kopi samping Gramedia Matraman kami bertemu. Kali ini ia dating sendiri, tidak ditemani anaknya ataupun suaminya. Ia tetap selalu menganggap saya temannya, tempat ia membagikan keluh kesah hidup diantara rutinitas kerumah tanggaannya. Sekalipun awalnya saya adalah temannya, saya pun salalu menempatkan diri sebagai sahabat suaminya. Dan dari situ ia barangkali akan lebih mudah membicarakan tentang dirinya.

Setelah basa-basi seadanya, ia pun masuk ke inti soal yakni  tentang beberapa perubahan yang ia alami saat ini. Dari ceritanya, ia tetap menampilkan diri dan berceritra tentang pilihan-pilihan hidup yang dijalani sejak dulu hingga kini. Ia hanya mengulang dan barangkali hanya mempertegas saja.

Ia katakan, sebagai ibu rumah tangga yang sebagian waktu dari hari sebagai pegawai di salah satu perusahan penitipan kilat, ia benar-benar telah melewati semua waktu dan peran itu dengan sebaik-baiknya. Ia katakana bahwa disamping pekerjaaan-pekerjaan ala kadarnya seperti itu, kini ia mulai memasuki kehidupan baru dengan menulis.  

Dalam keluarganya, sebagaimana diceritrakannya, suaminya sejak awal perkawinan sungguh menaruh perhatian pada perkembangannya. Ia bebas memilih untuk menjadi sesuatu termasuk bagaimana ia memilih untuk berpenampilan. Sekarang, anak-anakya sudah tumbuh menjadi anak yang mandiri, yang berarti ia juga memiliki banyak waktu untuk menjadi sesuatu yang diinginkannya.

Barangkali saya hanya dijadikan tempat untuk menyampaikan mimpinya, dan sekali-sekali saya harus menimpali dengan beberapa pendapat atau komentar  yang membuatnya merasa berarti dengan pertemuan sore itu.
Beberapa tegukan kopi telah dilewati. Ceritranya semakin masuk pada mimpi-mimpinya kedepan. Ia menyebutkan bahwa ia ingin menjadi perempuan yang bebas menentukan pilihan lebih-lebih bebas mengalaminya dalam keluarga. Beberapa kata tentang feminisme, ia utarakan yang sesungguhnya mau mengatakan bahwa Ia mau menjadi dirinya sendiri.

Perempuan, perempuan pegawai rendahan, perempuan ibu rumah tangga,  perempuan yang mandiri dan ingin menjadi sesuatu. Sekurang-kurangnya ia mengatakan bahwa pertemuan sore ini sebagai bukti bahwa ia sungguh menjalani mimpinya sebagai seorang feminism yang dalam pengertiannya ia sebuatkan perempuan yang mandiri.

Ceritra demi ceritra, ia utrakan kebiasaan hidup hariannya.  Ia yakin, ia adalah perempuan mandiri  termasuk perempuan yang beruntung karena dapat melakukan apa saja  sesuai kemauannya. Sampai di situ ceritra pun berakhir lantaran  jam menunjukkan pukul 21:00, kami harus berpamitan dan petugas pun mulai berkemas tanda warung ini akan berakhir.

Perempuan Mandiri

Menjadi perempuan mandiri, bukanlah hal yang gampang dan mudah dijalani oleh sahabatku itu. Walau kebebasan dalam keluarga, dorongan suaminya dan pengertian anak-anaknya, ia masih terbawa dalam beban masa lalu, sebagai anak perempuan yang tumbuh dan besar dalam budaya yang sangat patriaki.
Rupanya tepat, beberapa kali ia sebutkan istilah feminis yang menunurutnya cendrung menjadi mode yang pas untuk ia jalani saat ini. Walau tak banyak literature yang ia punyai, dari obrolan-obrolan lepas juga dari bacaan yang sempat ia baca feminism barangkali tepat menggambarkan tenang hal yang dijalaninya.

Feminisme sebagai gerakan yang menuntut emanisipasi barangkali hal yang tidak ia temukan dalam kelarganya. Bagaimana mungkin dapat meyakinkan pemberontakannya beraroma feminism jika dalam keluargannya, suami dan anak-anak memberikan kebebasan memilih untuknya? Ia juga tidak menularkan gerakan feminism untuk public yang lebih luas, kecuali beragam kontradiksi yang ia akan tulis melalui bukunya tentang pengalamannya sendiri.

Sebagai sebuah gerakan kritis, tentu saja feminism tidak bergerak dalam generalisasi yang berlebihan kecuali merayakan kompleksitas hidup. Dalam konteks hidup keluarga misalnya, keluarga sebagai wilayah produksi ekonomi, jaringan kekerabatan dengan hubungan otoritas-otoritas yang beroperasi didalamnya, tentu tidak mudah megeneraliasikan begitu saja pada kasus-kasus yang ditemukannya.

Sejarah urbanisasi yang ia alami dari desa dengan budaya patriaki yang kental, memasuki dunia urban yang longkar dan cendrung tak beraturan, menyodorkan individalisme pada pola-pola kekarabatan yang kian hari kian memudar. Ia mengalami bahwa aktualisasi diri dan prestasi individu mesti terus dikedepankan sebagai jawaban pada bentuk bentuk baru dari produksi ekonomi baru.

Banyak hal tentang keluarga dan perkawinan yang kini harus ia selesaikan, apalagi kepuasan psikologi yang diharapkan dating dari keluarga selalu memberikan porsi berlebihan dari anggota keluarga untuk memenuhinya. Jika keluarga dibesarkan dan dihidupkan semata memenuhi kepuasan pribadi, maka kebebasan apapaun yang dialami dalam keluarga, selalu menjadi situasi dilematis bermuka dua.

Pernikahan psikologis menempatkan keluarga kepuasan pribadi dan pemenuhan masing-masing anggota dalam nuklir, pengaturan dua-orangtua.  Nilai utama dari pernikahan adalah kepuasan psikologis. Jika bukan teman yang sungguh memerankan diri sebagai teman yang merayakan arti hidup keluarga sesungguhnya, maka teman yang dijumpai hanyalah pelampisan yang berujung pada bentuk-bentuk baru yang menyingkirkan arti keluarga. Banyak sudah kasus-kasus itu bermunculan yang berakhir dengan kepedihan yang tak beralasan. Hidup yang bebas dan terpercaya segera tergantikan dengan berbagai kebohongan dan nafsu-nafsu yang kemudian dirasionalisasikan. Relasi baru yang tumbuh dari ada kesempatan, kesediaan untuk mengambil keuntungan dari kesempatan serta harapan untuk memperoleh kepuasan hanya berakhir dengan kebencian pada pihak lain yang tak diikut sertakan dalam urusan itu.

Memang, feminisme  terutama  menyerang gagasan yang hanya melihat perempuan selama tidak lebih dari tugas melahirkan anak dan pekerjaan rumah tangga. Sebagaimana feminisme yang tiba-tiba muncul pada tahun 1960, kebanyakan selalu bereferensi pada iklim social dan da Point of View  sebagai respon dari masyarakat urban. Feminisme sebagai gerakan tidak lain adalah upaya untuk mengakhiri dominasi dan membebaskan siapa saja menjadi dirinya sendiri. Hidup yang bermakna selalu dikaitkan dengan kebebasan mencintai,  keadilan dan kedaiamaian. Sebagai mana yang selalu dibicarakan dalam gerakan ini, “ Feminisme adalah untuk semua orang. "

Terlepas dari budaya patriaki yang membesarkan sahabatku ku ini, perempuan-perempuan termasuk dirinya masih juga menemukan perlakukan tidak semestinya dalam masyarakat. Undang-undang hingga peraturan dilevel yang paling kecil, masih saja berkutat untuk menyempelehkan pribadi perempuan ke dalam suatu ranah yang sangat sub ordinasi.

Dalam struktur social yang demikian, perempuan menumbuhkembangkan ketidakpercayaan diri yang akut.Para wanita dari gerakan hak-hak sipil yang berjuang untuk kesetaraan keseluruhan, tidak memisahkan ras, kelas, atau gender. Bagaimana pun gerakan feminism harus dimulai dari mereka yang mengalami terutama dan lebih khusus adalah perempuan. Walau  gerakan feminism selalu dikritik karena terlalu esensialis, yang juga terlalu mementingkan esensialisme.

Benjamin Tukan
Pekerja Komunikasi dan Penerbitan, Mahasiswa Pasca Sarjana Komunikasi 

Jumat, 24 Januari 2014

ARTIKEL PILIHAN : Kualitas Layanan dan Senyum Pelanggan

Kualitas Layanan dan Senyum Pelanggan 


Oleh: Alfons Taryadi 

NEGERI ini memerlukan revolusi kepuasan pelanggan, kata Handi Irawan, pencetus ide Hari Pelanggan Nasional, yang dicanangkan Presiden pada 4 September lalu (Iklan Senyum Pelanggan Indonesia, Kompas, 1/9/2003). Karena pelanggan hanya puas bila mendapat layanan yang baik, ucapan Chairman Frontier itu perlu dimaknai, yang diperlukan ialah perubahan radikal dalam sikap orang Indonesia terhadap pelanggan.

DI sini, pengertian pelanggan dan layanan tidak dipahami semata-mata dalam konteks transaksi bisnis, tetapi dalam konteks transaksi sosial yang lebih luas dan fundamental. Dalam konteks inilah tanggapan kritis Medelina K Hendyto terhadap pencanangan Hari Pelanggan Nasional dengan artikel Tiada Hari Tanpa Hari Pelanggan, (Kompas, 16/9/2003), yang memosisikan pemimpin negeri ini sebagai pihak yang wajib mengupayakan perbaikan layanan publik setiap hari sebagai ungkapan terima kasih kepada masyarakat yang memberinya mandat untuk mengemban kekuasaan politik.

Siapa pelangganku?

Akan tetapi, hanya sejumlah orang tertentu yang mengemban kekuasaan politik, sementara warga negara yang lain mempunyai peran masing-masing dalam tata kehidupan bermasyarakat. Karena itu, pertanyaan pokok yang perlu diajukan oleh setiap orang ialah apa dan bagaimana layanan yang harus ia berikan menurut peran yang sedang ia jalankan? Sehubungan dengan hal itu, ia perlu memahami siapa pelanggannya sebab dari pelangganlah ia bisa tahu, apakah layanannya sesuai atau tidak dengan harapan mereka. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu perlu diajukan oleh siapa saja, entah itu presiden, menteri, sopir taksi, politikus, loper koran, bankir, petani cengkeh, nelayan, atau siapa saja. Jawaban-jawaban jujur atas pertanyaan-pertanyaan itu mengandaikan kesediaan penanya untuk mengarungi jarak antara kenyataan dirinya secara de facto kini dan ekspektasi yang wajar dari masyarakat terhadap peran yang sedang diembannya.

Yang masih perlu dicermati ialah hubungan antara pihak pemberi layanan dan pelanggan tidak bersifat satu arah, tetapi resiprokal. Selain itu, kita perlu awas terhadap kandungan ambivalensi dalam apa yang disebut "kepuasan pelanggan", terutama dalam dunia budaya massa yang didominasi ideologi neoliberalisme, tempat setiap individu diperlakukan bukan sebagai seorang warga negara, melainkan sebagai konsumen semata-mata (Benjamin R Barber, 1995, 8).

Selamat datang keluhan

Kepedulian yang tulus untuk memuaskan pelanggan tentu membuat kita haus akan informasi tentang harapan atau keluhan pelanggan terhadap produk dan/atau layanan kita. Bila kita penerbit koran pagi, misalnya, kita akan berterima kasih kepada pelanggan yang mengeluh bahwa korannya hampir selalu datang kesiangan. Keluhan itu melecut kita untuk mengusut sebab-musabab keterlambatan lalu mengatasinya. Sebaliknya, bila kita pelanggan koran, listrik, atau air leding, kita akan menjaga agar uang abonemen terkirim tepat waktu.

Bagi politisi, tekad untuk memuaskan pelanggan akan menjadi pendorong untuk, misalnya, tidak menganut "tradisi tidur dalam sidang di DPR/MPR", tetapi sebaliknya tekun mendalami persoalan kepentingan umum dan berjuang mengatasinya. Untuk kalangan yudikatif, bayangan senyum pelanggan adalah stimulans untuk cepat merampungkan perkara yang menumpuk dan secara nyata mengikis indikasi "mafia peradilan" yang ditudingkan oleh masyarakat ke arah mereka.

Bila kepuasan pelanggan menjadi keprihatinan utama kalangan pendidik, mereka akan menggembleng anak didik untuk menuntut ilmu bukan sebagai komoditas penghasil uang, tetapi, seperti diserukan Prof Dr Sangkot Marzuki, sebagai modal untuk membangun budaya ilmiah. Menurut Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia itu, Indonesia terpuruk di segala bidang karena tidak berbudaya ilmiah. Budaya ilmiah yang kokoh membuat suatu bangsa selamat menghadapi perubahan dan krisis dunia. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh Cina yang pernah terpuruk pada masa revolusi kebudayaan, namun tetap selamat berkat budaya ilmiah yang mengakar (Kompas, 13/9/2003). Dari pihak anak didik, hasrat untuk memenuhi peran sebagai pelajar akan memicu upaya mengembangkan talenta mereka sejauh mungkin.

Para penggiat industri kultural pun akan memberi sumbangan penting ke arah pengembangan budaya ilmiah bila mereka mencermati suara warga yang mewaspadai ideologi neoliberalisme dengan hiburan yang menjebak ke arah kesesatan materialisme. Seminar Industri Kultural 1994 di Jakarta mengingatkan perlunya panduan bagi anak-anak untuk bisa menarik manfaat dari sajian media cetak, audiovisual, maupun elektronik tanpa terlumuri produk pop yang beraroma kekerasan, sikap hedonistis, dan orientasi sukses lewat jalan pintas.

Bila menyepakati tujuan mulia pencanangan Hari Pelanggan Nasional, para penyelenggara siaran televisi tentu akan terbuka terhadap sentilan segolongan pemirsa yang khawatir jangan-jangan banyak tayangan tentang alam gaib tidak berefek menyadarkan masyarakat untuk berakrab dengan Sang Pencipta, seperti dilakukan para mistisi sejati, tetapi cenderung mendorong orang ke arah klenik sebagai pemecahan instan atas persoalan hidup. Di sini, menarik untuk dicermati tulisan Victor Menayang, Moratorium Program Pembodohan Bangsa, dan Budiarto Danujaya, Pembodohan Publik (Kompas, 15/9/2003).

Memacu profesionalisme

Tekad membangkitkan senyum pelanggan jelas akan memacu profesionalisme. Bila profesionalisme terus ditingkatkan, diharapkan akan kian berkurang banyaknya kalimat-kalimat rancu atau pilihan kata yang tidak tepat, yang sering terbaca di media cetak atau terdengar lewat media audiovisual atau elektronik. Begitu juga diharapkan akan kian menyusut jumlah buku asing yang dalam beberapa tahun terakhir hadir dalam terjemahan yang rendah kualitasnya sehingga membuat jengkel pembaca karena kalimat-kalimat janggal, aneh, dan tidak berjalan. Seorang rekan pernah menanggapi gejala maraknya keberanian penerbit mengedarkan buku terjemahan semacam itu "sudah mengarah ke tindakan kriminal".

Dalam semangat untuk memberi kepuasan kepada pelanggan, seorang penerbit pasti akan gembira bila ada masukan kritis tentang produknya, apalagi bila itu menyangkut produk best-seller. Sebut, misalnya, sebuah kamus Inggris-Indonesia yang mengalami cetak ulang puluhan kali, ternyata tidak memuat cukup banyak kata yang selayaknya tercantum di dalamnya. Kata-kata itu antara lain abuzz; amend; beholden; beholder; camp; encamp; campaign; governance; give away; human-kind; opt; replicate; set out. Juga ada banyak kata yang penjelasan artinya terlalu sempit, misalnya kata-kata brash; charlatan; cringe; discursive; ominous; on the side; scramble; upbeat.

Atas dasar asumsi yang sama, para penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pasti akan gembira menerima masukan tentang karya mereka. Masukan itu, misalnya, dalam KBBI (1995, Balai Pustaka, Edisi II, Cetakan IV) pada halaman 1038 terbaca sebuah contoh kalimat dengan kata kerja "menemui" yang berbunyi: "polisi menemui mayat itu di semak dekat kebun". Ketika mendengar hal itu, Prof Dr Apsanti Djokosuyatno spontan berucap, "Wah, itu perlu ditulis!"

Alfons Taryadi Ketua I Himpunan Penerjemah Indonesia