Senin, 16 Juni 2014

Feminisme dalam Komunikasi

Pengantar
Artikel ini hanyalah sebuah percobaan dalam mengurai tema feminism dan akan terus dikembangkan. Karena itu artikel ini tidak dimaksudkan untuk dikutip.   


Setelah memberikan sedikit penggambaran tentang aspek media dan feminis pada artikel sebelumnya, maka disasadari bahwa ada satu hal yang terlewatkan adalah masalah komunikasi dan feminism. Tentu saja, dalam praktek komunikasi sebagaina juga praktek yang berlaku pada media yang menggambarkan tentang pengalaman dan kehidupan perempuan, maka aspek komunikasi juga tidak terlepas dari hal itu.

Tak Sekadar mengurus kebutuhan pokok 

Dalam hal komunikasi, stereotip jender selalu mwarnai setiap bentuk-bentuk komunikasi. Jika tak ada pemahaman yang baik dan kesadaran yang mumpuni, maka pola-pola komunikasi diwarnai dengan alam pikiran tentang gender yang dibentuk dalam kontruksi social tradisional yang mensubordinasikan perempuan.

Sedimikian buruknya komunikasi yang streotip juga yang bias gender, seringkali melanggengkan kekuasaan maskulinitas yang menempatkan perempuan tidak lebih dari pelayan laki-laki. Dimensi heteroseksual yang ramai diperguncingkan tidak memberikan warna positif akan kebebasan tetapi justru mengambil nilai keuntungan karena terbuka ruang  yang lebar untuk suatu ekspolitasi.

Tentu saja kesenjangan yang  mudah diperoleh dari suatu bentuk komunikasi yang menempatkan lawan bicara hanya sebagai pihak yang perlu mendengar, dan bila perlu hanya menuruti apa yang diinginkan dalam percakapan dominan itu.

Sebagaimana dalam model transmisi komunikasi,  perempuan yang yang digambarkan hanya berkutat pada bentuk komunikasi satu arah. Padahal yang mesti dilakukan adalah bagaimana komunikasi itu membuka ruang yang selebar-lebarnya kepada perempuan untuk mengambil posisi menyatakan kesejatian dirinya.

 Komunikasi dalam ranah ketidakpahaman akan feminis dan gender, telah memberikan ruang yang dominan bagi laki-laki untuk menganggap bahwa dirinya lah penentu segalanya dan perempuan hanyalah obyek penyerta. Bagaimana bisa dibayangkan, manakalah komunikasi antara laki-laki dapat terjadi dengan mengabaikan aspek perempuan didalamnnya dan itu tidak berlaku sebalaiknya.

Kita bisa memasuki ranah percakapan yang sederhana seperti mob dan jok yang berbauh pornografi, sepertinya menenmpati perempuan sebagai biang atau akar masalah moralitas. Di wilayah pornografi yang ditampilkan tidak lebih dari sosok-sosok perempuan yang termanivestasi dalam khalayan maskulinitas.

Sekarang tiba saatnya untuk memberi perhatian lebih pada komunikasi yang setara termasuk membuka ruang baru agar perempuan secara bebas mengungkapkan dan menggambarkan siapa sebenarnya diri mereka sendiri.  Disamping tuntutan pada penutur laki-laki, perempuan pun harus terlibat mengambil peran-peran baru, berkomunikasi pada jatidiri dan keinginan yang dimilikinya. Tidak perlu harus membatasi diri, perempuan harus mulai memperkenalkan siapa diri mereka sesungguhnya.

Benjamin Tukan
Pekerja  Komunikasi dan Penerbitan, Mahasiswa Pasca Sarjana Komunikasi 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar