Pengantar
Artikel ini hanyalah sebuah percobaan
dalam mengurai tema feminism dan akan terus dikembangkan. Karena itu artikel
ini tidak dimaksudkan untuk dikutip.
Setelah memberikan sedikit penggambaran tentang aspek media
dan feminis pada artikel sebelumnya, maka disasadari bahwa ada satu hal yang
terlewatkan adalah masalah komunikasi dan feminism. Tentu saja, dalam praktek
komunikasi sebagaina juga praktek yang berlaku pada media yang menggambarkan
tentang pengalaman dan kehidupan perempuan, maka aspek komunikasi juga tidak
terlepas dari hal itu.
Tak Sekadar mengurus kebutuhan pokok |
Dalam hal komunikasi, stereotip jender selalu mwarnai setiap
bentuk-bentuk komunikasi. Jika tak ada pemahaman yang baik dan kesadaran yang
mumpuni, maka pola-pola komunikasi diwarnai dengan alam pikiran tentang gender
yang dibentuk dalam kontruksi social tradisional yang mensubordinasikan
perempuan.
Sedimikian buruknya komunikasi yang streotip juga yang bias
gender, seringkali melanggengkan kekuasaan maskulinitas yang menempatkan
perempuan tidak lebih dari pelayan laki-laki. Dimensi heteroseksual yang ramai
diperguncingkan tidak memberikan warna positif akan kebebasan tetapi justru
mengambil nilai keuntungan karena terbuka ruang
yang lebar untuk suatu ekspolitasi.
Tentu saja kesenjangan yang
mudah diperoleh dari suatu bentuk komunikasi yang menempatkan lawan
bicara hanya sebagai pihak yang perlu mendengar, dan bila perlu hanya menuruti
apa yang diinginkan dalam percakapan dominan itu.
Sebagaimana dalam model transmisi komunikasi, perempuan yang yang digambarkan hanya berkutat
pada bentuk komunikasi satu arah. Padahal yang mesti dilakukan adalah bagaimana
komunikasi itu membuka ruang yang selebar-lebarnya kepada perempuan untuk
mengambil posisi menyatakan kesejatian dirinya.
Komunikasi dalam
ranah ketidakpahaman akan feminis dan gender, telah memberikan ruang yang
dominan bagi laki-laki untuk menganggap bahwa dirinya lah penentu segalanya dan
perempuan hanyalah obyek penyerta. Bagaimana bisa dibayangkan, manakalah
komunikasi antara laki-laki dapat terjadi dengan mengabaikan aspek perempuan
didalamnnya dan itu tidak berlaku sebalaiknya.
Kita bisa memasuki ranah percakapan yang sederhana seperti
mob dan jok yang berbauh pornografi, sepertinya menenmpati perempuan sebagai
biang atau akar masalah moralitas. Di wilayah pornografi yang ditampilkan tidak
lebih dari sosok-sosok perempuan yang termanivestasi dalam khalayan
maskulinitas.
Sekarang tiba saatnya untuk memberi perhatian lebih pada
komunikasi yang setara termasuk membuka ruang baru agar perempuan secara bebas
mengungkapkan dan menggambarkan siapa sebenarnya diri mereka sendiri. Disamping tuntutan pada penutur laki-laki,
perempuan pun harus terlibat mengambil peran-peran baru, berkomunikasi pada
jatidiri dan keinginan yang dimilikinya. Tidak perlu harus membatasi diri,
perempuan harus mulai memperkenalkan siapa diri mereka sesungguhnya.
Benjamin Tukan
Pekerja Komunikasi dan Penerbitan, Mahasiswa Pasca Sarjana Komunikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar