Pengantar
Artikel ini hanyalah sebuah percobaan
dalam mengurai tema feminism dan akan terus dikembangkan. Karena itu artikel
ini tidak dimaksudkan untuk dikutip.
SUATU sore di akhir bulan Mei 2014, seorang sahabat menelpon untuk janjian bertemu. Ada sesuatu yang ingin dibicarakan selain, keisengan karena beberapa waktu lamanya kami memang tidak bertemu. Dia sahabatku, demikian dari persahabatan ini, baik dia dan keluarganya adalah sahabat kami juga.
Metropolis-Lukisan Tato Kastareja
|
Sore itu, di kedai kopi samping Gramedia Matraman kami
bertemu. Kali ini ia dating sendiri, tidak ditemani anaknya ataupun suaminya.
Ia tetap selalu menganggap saya temannya, tempat ia membagikan keluh kesah
hidup diantara rutinitas kerumah tanggaannya. Sekalipun awalnya saya adalah
temannya, saya pun salalu menempatkan diri sebagai sahabat suaminya. Dan dari
situ ia barangkali akan lebih mudah membicarakan tentang dirinya.
Setelah basa-basi seadanya, ia pun masuk ke inti soal
yakni tentang beberapa perubahan yang ia
alami saat ini. Dari ceritanya, ia tetap menampilkan diri dan berceritra
tentang pilihan-pilihan hidup yang dijalani sejak dulu hingga kini. Ia hanya
mengulang dan barangkali hanya mempertegas saja.
Ia katakan, sebagai ibu rumah tangga yang sebagian waktu
dari hari sebagai pegawai di salah satu perusahan penitipan kilat, ia
benar-benar telah melewati semua waktu dan peran itu dengan sebaik-baiknya. Ia katakana
bahwa disamping pekerjaaan-pekerjaan ala kadarnya seperti itu, kini ia mulai
memasuki kehidupan baru dengan menulis.
Dalam keluarganya, sebagaimana diceritrakannya, suaminya
sejak awal perkawinan sungguh menaruh perhatian pada perkembangannya. Ia bebas
memilih untuk menjadi sesuatu termasuk bagaimana ia memilih untuk
berpenampilan. Sekarang, anak-anakya sudah tumbuh menjadi anak yang mandiri,
yang berarti ia juga memiliki banyak waktu untuk menjadi sesuatu yang
diinginkannya.
Barangkali saya hanya dijadikan tempat untuk menyampaikan
mimpinya, dan sekali-sekali saya harus menimpali dengan beberapa pendapat atau
komentar yang membuatnya merasa berarti
dengan pertemuan sore itu.
Beberapa tegukan kopi telah dilewati. Ceritranya semakin
masuk pada mimpi-mimpinya kedepan. Ia menyebutkan bahwa ia ingin menjadi
perempuan yang bebas menentukan pilihan lebih-lebih bebas mengalaminya dalam
keluarga. Beberapa kata tentang feminisme, ia utarakan yang sesungguhnya mau
mengatakan bahwa Ia mau menjadi dirinya sendiri.
Perempuan, perempuan pegawai rendahan, perempuan ibu rumah
tangga, perempuan yang mandiri dan ingin
menjadi sesuatu. Sekurang-kurangnya ia mengatakan bahwa pertemuan sore ini
sebagai bukti bahwa ia sungguh menjalani mimpinya sebagai seorang feminism yang
dalam pengertiannya ia sebuatkan perempuan yang mandiri.
Ceritra demi ceritra, ia utrakan kebiasaan hidup hariannya. Ia yakin, ia adalah perempuan mandiri termasuk perempuan yang beruntung karena
dapat melakukan apa saja sesuai kemauannya.
Sampai di situ ceritra pun berakhir lantaran jam menunjukkan pukul 21:00, kami harus
berpamitan dan petugas pun mulai berkemas tanda warung ini akan berakhir.
Perempuan Mandiri
Menjadi perempuan mandiri, bukanlah hal yang gampang dan
mudah dijalani oleh sahabatku itu. Walau kebebasan dalam keluarga, dorongan
suaminya dan pengertian anak-anaknya, ia masih terbawa dalam beban masa lalu,
sebagai anak perempuan yang tumbuh dan besar dalam budaya yang sangat patriaki.
Rupanya tepat, beberapa kali ia sebutkan istilah feminis
yang menunurutnya cendrung menjadi mode yang pas untuk ia jalani saat ini.
Walau tak banyak literature yang ia punyai, dari obrolan-obrolan lepas juga
dari bacaan yang sempat ia baca feminism barangkali tepat menggambarkan tenang
hal yang dijalaninya.
Feminisme sebagai gerakan yang menuntut emanisipasi
barangkali hal yang tidak ia temukan dalam kelarganya. Bagaimana mungkin dapat
meyakinkan pemberontakannya beraroma feminism jika dalam keluargannya, suami
dan anak-anak memberikan kebebasan memilih untuknya? Ia juga tidak menularkan
gerakan feminism untuk public yang lebih luas, kecuali beragam kontradiksi yang
ia akan tulis melalui bukunya tentang pengalamannya sendiri.
Sebagai sebuah gerakan kritis, tentu saja feminism tidak
bergerak dalam generalisasi yang berlebihan kecuali merayakan kompleksitas
hidup. Dalam konteks hidup
keluarga misalnya, keluarga sebagai wilayah produksi ekonomi, jaringan
kekerabatan dengan hubungan otoritas-otoritas yang beroperasi didalamnya, tentu
tidak mudah megeneraliasikan begitu saja pada kasus-kasus yang ditemukannya.
Sejarah
urbanisasi yang ia alami dari desa dengan budaya patriaki yang kental, memasuki
dunia urban yang longkar dan cendrung tak beraturan, menyodorkan individalisme
pada pola-pola kekarabatan yang kian hari kian memudar. Ia mengalami bahwa
aktualisasi diri dan prestasi individu mesti terus dikedepankan sebagai jawaban
pada bentuk bentuk baru dari produksi ekonomi baru.
Banyak hal tentang keluarga dan perkawinan yang kini harus
ia selesaikan, apalagi kepuasan psikologi yang diharapkan dating dari keluarga
selalu memberikan porsi berlebihan dari anggota keluarga untuk memenuhinya.
Jika keluarga dibesarkan dan dihidupkan semata memenuhi kepuasan pribadi, maka
kebebasan apapaun yang dialami dalam keluarga, selalu menjadi situasi dilematis
bermuka dua.
Pernikahan psikologis menempatkan keluarga kepuasan pribadi
dan pemenuhan masing-masing anggota dalam nuklir, pengaturan dua-orangtua. Nilai utama dari pernikahan adalah kepuasan
psikologis. Jika bukan teman yang sungguh memerankan diri sebagai teman yang
merayakan arti hidup keluarga sesungguhnya, maka teman yang dijumpai hanyalah
pelampisan yang berujung pada bentuk-bentuk baru yang menyingkirkan arti
keluarga. Banyak sudah kasus-kasus itu bermunculan yang berakhir dengan
kepedihan yang tak beralasan. Hidup yang bebas dan terpercaya segera
tergantikan dengan berbagai kebohongan dan nafsu-nafsu yang kemudian
dirasionalisasikan. Relasi baru yang tumbuh dari ada kesempatan, kesediaan
untuk mengambil keuntungan dari kesempatan serta harapan untuk memperoleh kepuasan
hanya berakhir dengan kebencian pada pihak lain yang tak diikut sertakan dalam
urusan itu.
Memang, feminisme
terutama menyerang gagasan yang
hanya melihat perempuan selama tidak lebih dari tugas melahirkan anak dan
pekerjaan rumah tangga. Sebagaimana feminisme yang tiba-tiba muncul pada tahun
1960, kebanyakan selalu bereferensi pada iklim social dan da Point of View sebagai respon dari masyarakat urban.
Feminisme sebagai gerakan tidak lain adalah upaya untuk mengakhiri dominasi dan
membebaskan siapa saja menjadi dirinya sendiri. Hidup yang bermakna selalu dikaitkan
dengan kebebasan mencintai, keadilan dan
kedaiamaian. Sebagai mana yang selalu dibicarakan dalam gerakan ini, “
Feminisme adalah untuk semua orang. "
Terlepas dari budaya patriaki yang membesarkan sahabatku ku
ini, perempuan-perempuan termasuk dirinya masih juga menemukan perlakukan tidak
semestinya dalam masyarakat. Undang-undang hingga peraturan dilevel yang paling
kecil, masih saja berkutat untuk menyempelehkan pribadi perempuan ke dalam
suatu ranah yang sangat sub ordinasi.
Dalam struktur social yang demikian, perempuan
menumbuhkembangkan ketidakpercayaan diri yang akut.Para wanita dari gerakan
hak-hak sipil yang berjuang untuk kesetaraan keseluruhan, tidak memisahkan ras,
kelas, atau gender. Bagaimana pun gerakan feminism harus dimulai dari mereka
yang mengalami terutama dan lebih khusus adalah perempuan. Walau gerakan feminism selalu dikritik karena
terlalu esensialis, yang juga terlalu mementingkan esensialisme.
Benjamin Tukan
Pekerja Komunikasi dan Penerbitan, Mahasiswa Pasca Sarjana
Komunikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar