Sabtu, 14 Juni 2014

Feminim untuk menjadi Diri Sendiri

Pengantar


Artikel ini hanyalah sebuah percobaan dalam mengurai tema feminism dan akan terus dikembangkan. Karena itu artikel ini tidak dimaksudkan untuk dikutip.   

SUATU sore di akhir bulan Mei 2014, seorang sahabat menelpon untuk janjian bertemu. Ada sesuatu yang ingin dibicarakan selain, keisengan  karena beberapa waktu lamanya kami memang tidak bertemu. Dia sahabatku, demikian dari persahabatan ini, baik dia dan keluarganya adalah sahabat kami juga.

Metropolis-Lukisan Tato Kastareja

Sore itu, di kedai kopi samping Gramedia Matraman kami bertemu. Kali ini ia dating sendiri, tidak ditemani anaknya ataupun suaminya. Ia tetap selalu menganggap saya temannya, tempat ia membagikan keluh kesah hidup diantara rutinitas kerumah tanggaannya. Sekalipun awalnya saya adalah temannya, saya pun salalu menempatkan diri sebagai sahabat suaminya. Dan dari situ ia barangkali akan lebih mudah membicarakan tentang dirinya.

Setelah basa-basi seadanya, ia pun masuk ke inti soal yakni  tentang beberapa perubahan yang ia alami saat ini. Dari ceritanya, ia tetap menampilkan diri dan berceritra tentang pilihan-pilihan hidup yang dijalani sejak dulu hingga kini. Ia hanya mengulang dan barangkali hanya mempertegas saja.

Ia katakan, sebagai ibu rumah tangga yang sebagian waktu dari hari sebagai pegawai di salah satu perusahan penitipan kilat, ia benar-benar telah melewati semua waktu dan peran itu dengan sebaik-baiknya. Ia katakana bahwa disamping pekerjaaan-pekerjaan ala kadarnya seperti itu, kini ia mulai memasuki kehidupan baru dengan menulis.  

Dalam keluarganya, sebagaimana diceritrakannya, suaminya sejak awal perkawinan sungguh menaruh perhatian pada perkembangannya. Ia bebas memilih untuk menjadi sesuatu termasuk bagaimana ia memilih untuk berpenampilan. Sekarang, anak-anakya sudah tumbuh menjadi anak yang mandiri, yang berarti ia juga memiliki banyak waktu untuk menjadi sesuatu yang diinginkannya.

Barangkali saya hanya dijadikan tempat untuk menyampaikan mimpinya, dan sekali-sekali saya harus menimpali dengan beberapa pendapat atau komentar  yang membuatnya merasa berarti dengan pertemuan sore itu.
Beberapa tegukan kopi telah dilewati. Ceritranya semakin masuk pada mimpi-mimpinya kedepan. Ia menyebutkan bahwa ia ingin menjadi perempuan yang bebas menentukan pilihan lebih-lebih bebas mengalaminya dalam keluarga. Beberapa kata tentang feminisme, ia utarakan yang sesungguhnya mau mengatakan bahwa Ia mau menjadi dirinya sendiri.

Perempuan, perempuan pegawai rendahan, perempuan ibu rumah tangga,  perempuan yang mandiri dan ingin menjadi sesuatu. Sekurang-kurangnya ia mengatakan bahwa pertemuan sore ini sebagai bukti bahwa ia sungguh menjalani mimpinya sebagai seorang feminism yang dalam pengertiannya ia sebuatkan perempuan yang mandiri.

Ceritra demi ceritra, ia utrakan kebiasaan hidup hariannya.  Ia yakin, ia adalah perempuan mandiri  termasuk perempuan yang beruntung karena dapat melakukan apa saja  sesuai kemauannya. Sampai di situ ceritra pun berakhir lantaran  jam menunjukkan pukul 21:00, kami harus berpamitan dan petugas pun mulai berkemas tanda warung ini akan berakhir.

Perempuan Mandiri

Menjadi perempuan mandiri, bukanlah hal yang gampang dan mudah dijalani oleh sahabatku itu. Walau kebebasan dalam keluarga, dorongan suaminya dan pengertian anak-anaknya, ia masih terbawa dalam beban masa lalu, sebagai anak perempuan yang tumbuh dan besar dalam budaya yang sangat patriaki.
Rupanya tepat, beberapa kali ia sebutkan istilah feminis yang menunurutnya cendrung menjadi mode yang pas untuk ia jalani saat ini. Walau tak banyak literature yang ia punyai, dari obrolan-obrolan lepas juga dari bacaan yang sempat ia baca feminism barangkali tepat menggambarkan tenang hal yang dijalaninya.

Feminisme sebagai gerakan yang menuntut emanisipasi barangkali hal yang tidak ia temukan dalam kelarganya. Bagaimana mungkin dapat meyakinkan pemberontakannya beraroma feminism jika dalam keluargannya, suami dan anak-anak memberikan kebebasan memilih untuknya? Ia juga tidak menularkan gerakan feminism untuk public yang lebih luas, kecuali beragam kontradiksi yang ia akan tulis melalui bukunya tentang pengalamannya sendiri.

Sebagai sebuah gerakan kritis, tentu saja feminism tidak bergerak dalam generalisasi yang berlebihan kecuali merayakan kompleksitas hidup. Dalam konteks hidup keluarga misalnya, keluarga sebagai wilayah produksi ekonomi, jaringan kekerabatan dengan hubungan otoritas-otoritas yang beroperasi didalamnya, tentu tidak mudah megeneraliasikan begitu saja pada kasus-kasus yang ditemukannya.

Sejarah urbanisasi yang ia alami dari desa dengan budaya patriaki yang kental, memasuki dunia urban yang longkar dan cendrung tak beraturan, menyodorkan individalisme pada pola-pola kekarabatan yang kian hari kian memudar. Ia mengalami bahwa aktualisasi diri dan prestasi individu mesti terus dikedepankan sebagai jawaban pada bentuk bentuk baru dari produksi ekonomi baru.

Banyak hal tentang keluarga dan perkawinan yang kini harus ia selesaikan, apalagi kepuasan psikologi yang diharapkan dating dari keluarga selalu memberikan porsi berlebihan dari anggota keluarga untuk memenuhinya. Jika keluarga dibesarkan dan dihidupkan semata memenuhi kepuasan pribadi, maka kebebasan apapaun yang dialami dalam keluarga, selalu menjadi situasi dilematis bermuka dua.

Pernikahan psikologis menempatkan keluarga kepuasan pribadi dan pemenuhan masing-masing anggota dalam nuklir, pengaturan dua-orangtua.  Nilai utama dari pernikahan adalah kepuasan psikologis. Jika bukan teman yang sungguh memerankan diri sebagai teman yang merayakan arti hidup keluarga sesungguhnya, maka teman yang dijumpai hanyalah pelampisan yang berujung pada bentuk-bentuk baru yang menyingkirkan arti keluarga. Banyak sudah kasus-kasus itu bermunculan yang berakhir dengan kepedihan yang tak beralasan. Hidup yang bebas dan terpercaya segera tergantikan dengan berbagai kebohongan dan nafsu-nafsu yang kemudian dirasionalisasikan. Relasi baru yang tumbuh dari ada kesempatan, kesediaan untuk mengambil keuntungan dari kesempatan serta harapan untuk memperoleh kepuasan hanya berakhir dengan kebencian pada pihak lain yang tak diikut sertakan dalam urusan itu.

Memang, feminisme  terutama  menyerang gagasan yang hanya melihat perempuan selama tidak lebih dari tugas melahirkan anak dan pekerjaan rumah tangga. Sebagaimana feminisme yang tiba-tiba muncul pada tahun 1960, kebanyakan selalu bereferensi pada iklim social dan da Point of View  sebagai respon dari masyarakat urban. Feminisme sebagai gerakan tidak lain adalah upaya untuk mengakhiri dominasi dan membebaskan siapa saja menjadi dirinya sendiri. Hidup yang bermakna selalu dikaitkan dengan kebebasan mencintai,  keadilan dan kedaiamaian. Sebagai mana yang selalu dibicarakan dalam gerakan ini, “ Feminisme adalah untuk semua orang. "

Terlepas dari budaya patriaki yang membesarkan sahabatku ku ini, perempuan-perempuan termasuk dirinya masih juga menemukan perlakukan tidak semestinya dalam masyarakat. Undang-undang hingga peraturan dilevel yang paling kecil, masih saja berkutat untuk menyempelehkan pribadi perempuan ke dalam suatu ranah yang sangat sub ordinasi.

Dalam struktur social yang demikian, perempuan menumbuhkembangkan ketidakpercayaan diri yang akut.Para wanita dari gerakan hak-hak sipil yang berjuang untuk kesetaraan keseluruhan, tidak memisahkan ras, kelas, atau gender. Bagaimana pun gerakan feminism harus dimulai dari mereka yang mengalami terutama dan lebih khusus adalah perempuan. Walau  gerakan feminism selalu dikritik karena terlalu esensialis, yang juga terlalu mementingkan esensialisme.

Benjamin Tukan
Pekerja Komunikasi dan Penerbitan, Mahasiswa Pasca Sarjana Komunikasi 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar