Minggu, 15 Juni 2014

Masih Relevan Bicara Tentang Media dan Feminisme

Pengantar


Artikel ini hanyalah sebuah percobaan dalam mengurai tema feminism dan akan terus dikembangkan. Karena itu artikel ini tidak dimaksudkan untuk dikutip.   

Setelah berselancar ke alam feminism melalui percakapan dengan seorang sahabat pada artikel sebelumnya, lalu pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana feminism ini memotret persoalan media. Sekalipun telah banyak literature, dan terbitan termasuk berbagai skripsi, tesis dan disertasi yang mengulas tentang media dan feminism, tetap saja berselanjar kea lam media feminism merupakan langkah awal mengarungi samudra wacana feminism.

Foto Ilustrasi Perempuan Penenun 

Tanpa harus berambisi untuk mengarungi samudra nan luas itu, pokok-pokok tentang potret media dalam beragam teori memang menjadi godaan awal untuk memulai mendayung perahu feminism. Sebelum jauh mendayung, rupanya keraguan awal segera terlontar, apakah penting membicarakan perempuan dalam potret media? Lalu sumbangan apa yang diberikan dari kajian-kajian perepmpuan untuk media dan masyarakat umum yang penuh dengan mekanisme struktur material, simbolik dan pengalaman manusia.

Tampaknya ada keragu-raguan untuk mendekat media dan pembacanya pada aspek feminism. Namun hal ini tidak berarti bahwa isu-isu seputar kekerasan maskulin, seksualitas, pornografi, pelecehan, keindahan tubuh, fashion dan studi yang khusus tentang perempuan sebagai sebuah genre telah menjadi perhatian media dan pemirsa  termasuk dalam konteks yang lebih luas yang menyangkut komunikasi.

Kurang lebih sepuluh tahun lalu, beberapa lembaga studi pers mulai merancang pelatihan-pelatihan bagi jurnalis yang diberi topic tetang gender pemberitaan media. Topik ini kemudian diambil oper oleh beberapa lembaga yang konsen terhadap persoalan gender termasuk kementerian pemberdayaan perempuan.

Apakah pemberitaan gender yang dimaksud adalah media didorong untuk memberitakan hal-hal yang berhubungan dengan perempuan? Tentu saja tidak. Hampir setiap hari media selalu memberitakan tentang perempuan, untuk tidak  mengatakan bahwa perempuan yang direpresentasikan media sudah menggambarkan sebuah kesetaraan.

Dengan kata lain, perempuan yang digambarkan media, dinilai cendrung menjadi subordinasi dan dieksplotasikan sedemikian rupa untuk melanggengkan kekuasaan maskulin. Tidak berlebihan, perempuan yang menjadi istri, ibu, perempuan seksi, dan buruh perempuan termasuk perempuan yang terlibat dalam pengedaran narkotika dan obat terlarang. Berita tentang perempuan tidak lebih dari pemberitaan mengenai kegiatan-kegiatan ibu-ibu pejabat, darma wanita dan sector-sektor lain yang langgengkan sebagai pekerjaan perempuan.

Nilai-nilai social  dominan yang dilanggengkan oleh media masa seringkali menyembunyikan media sebagai factor penting perubahan social dalam masyarakat. Sekalipun setelah masukan-masukan yang berarti tentang kesetaraan pada media, kemudian  pembaca dapat dengan mudah menemukan pemberitaan media yang menempatkan perempuan bersamaan dengan laki-laki dalam peran-peran baru non tradisional.  

Sumbangan gerakan feminism atau pun dalam hal menempatkan perspektif gender, adalah bagaimana membangun kesadaran para jurnalisme tentang  bahaya  stereotip dan efeknya bila perempuan tetap menjadi hal yang tersubordnasi dalam peran-peran tradisonal.

Bahaya pun segera bermunculan manakalah gelombang baru budaya konsumerisme tidak segera membawa perempuan dari peran dan anggapan tradisonal kepada suatu model kesetaraan yang baru. Karena itu studi media dan feminism tetap menarik dilakukan, karena masih ada kepercayaan bahwa media sebagai intrumen utama perubahan masyarakat.

Benjamin Tukan

Pekerja  Komunikasi dan Penerbitan, Mahasiswa Pasca Sarjana Komunikasi 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar