Pengantar
Artikel ini hanyalah sebuah percobaan
dalam mengurai tema feminism dan akan terus dikembangkan. Karena itu artikel
ini tidak dimaksudkan untuk dikutip.
Setelah berselancar ke alam feminism melalui percakapan dengan seorang sahabat pada artikel sebelumnya, lalu pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana feminism ini memotret persoalan media. Sekalipun telah banyak literature, dan terbitan termasuk berbagai skripsi, tesis dan disertasi yang mengulas tentang media dan feminism, tetap saja berselanjar kea lam media feminism merupakan langkah awal mengarungi samudra wacana feminism.
Foto Ilustrasi Perempuan Penenun |
Tanpa harus berambisi untuk mengarungi samudra nan luas itu,
pokok-pokok tentang potret media dalam beragam teori memang menjadi godaan awal
untuk memulai mendayung perahu feminism. Sebelum jauh mendayung, rupanya
keraguan awal segera terlontar, apakah penting membicarakan perempuan dalam
potret media? Lalu sumbangan apa yang diberikan dari kajian-kajian perepmpuan
untuk media dan masyarakat umum yang penuh dengan mekanisme struktur material, simbolik
dan pengalaman manusia.
Tampaknya ada keragu-raguan untuk mendekat media dan
pembacanya pada aspek feminism. Namun hal ini tidak berarti bahwa isu-isu
seputar kekerasan maskulin, seksualitas, pornografi, pelecehan, keindahan
tubuh, fashion dan studi yang khusus tentang perempuan sebagai sebuah genre telah
menjadi perhatian media dan pemirsa
termasuk dalam konteks yang lebih luas yang menyangkut komunikasi.
Kurang lebih sepuluh tahun lalu, beberapa lembaga studi pers
mulai merancang pelatihan-pelatihan bagi jurnalis yang diberi topic tetang gender
pemberitaan media. Topik ini kemudian diambil oper oleh beberapa lembaga yang
konsen terhadap persoalan gender termasuk kementerian pemberdayaan perempuan.
Apakah pemberitaan gender yang dimaksud adalah media
didorong untuk memberitakan hal-hal yang berhubungan dengan perempuan? Tentu
saja tidak. Hampir setiap hari media selalu memberitakan tentang perempuan,
untuk tidak mengatakan bahwa perempuan
yang direpresentasikan media sudah menggambarkan sebuah kesetaraan.
Dengan kata lain, perempuan yang digambarkan media, dinilai
cendrung menjadi subordinasi dan dieksplotasikan sedemikian rupa untuk
melanggengkan kekuasaan maskulin. Tidak berlebihan, perempuan yang menjadi
istri, ibu, perempuan seksi, dan buruh perempuan termasuk perempuan yang
terlibat dalam pengedaran narkotika dan obat terlarang. Berita tentang
perempuan tidak lebih dari pemberitaan mengenai kegiatan-kegiatan ibu-ibu
pejabat, darma wanita dan sector-sektor lain yang langgengkan sebagai pekerjaan
perempuan.
Nilai-nilai social dominan yang dilanggengkan oleh media masa
seringkali menyembunyikan media sebagai factor penting perubahan social dalam
masyarakat. Sekalipun setelah masukan-masukan yang berarti tentang kesetaraan
pada media, kemudian pembaca dapat
dengan mudah menemukan pemberitaan media yang menempatkan perempuan bersamaan
dengan laki-laki dalam peran-peran baru non tradisional.
Sumbangan gerakan feminism atau pun dalam hal menempatkan
perspektif gender, adalah bagaimana membangun kesadaran para jurnalisme tentang
bahaya stereotip dan efeknya bila perempuan tetap
menjadi hal yang tersubordnasi dalam peran-peran tradisonal.
Bahaya pun segera bermunculan manakalah gelombang baru
budaya konsumerisme tidak segera membawa perempuan dari peran dan anggapan
tradisonal kepada suatu model kesetaraan yang baru. Karena itu studi media dan feminism
tetap menarik dilakukan, karena masih ada kepercayaan bahwa media sebagai
intrumen utama perubahan masyarakat.
Benjamin Tukan
Pekerja Komunikasi dan
Penerbitan, Mahasiswa Pasca Sarjana Komunikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar