Esai-esai Filsafat untuk Sang Guru
Franz Magnis Suseno |
Jakarta, Kompas – Duabelas orang
murid filsuf dan ilmuwan Dr Franz Magnis-Suseno (70), menghormati dan
memperingati hari ulang tahun guru filsafat itu dengan cara meluncurkan buku
Sesudah Filsafat: Esai-esai untuk Franz Magnis-Suseno, Kamis (21/9) malam, di
Gedung Goethe House di Jakarta.
Nyaris semua ahli pikir dari Sekolah
Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta—tempat Magnis mengajar selama 25 tahun
hingga kini—hadir. Karena itu, perhelatan berlangsung khidmat dan hadirin
tenggelam dalam renungan filsafati. Namun pada bagian lain suasana berubah
dalam gelak tawa saat Slamet Gundono dan teman-temannya dari Solo mementaskan
wayang rumput (suket) lakon Banjaran Karna.
Tokoh Karna, yang bernama lengkap
Karna ”Basuseno” Suryoseputro itulah yang dikagumi Franz von Magnis (kelahiran
Jerman), dan dari sana pula nama Indonesia Magnis diperolehnya: Franz
Magnis-Suseno.
Judul Buku : Pijar-Pijar Filsafat : Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Posmodernisme. Penulis : Frans Magnis-Suseno Penerbit : Kanisius, 2005 |
Dr Karlina Supeli, dosen STF
Driyarkara yang secara khusus mengulas buku tersebut saat peluncuran
mengemukakan, dari 12 esai yang ada hanya sebagian yang berisi uraian filsafat
murni. Selebihnya khas pendekatan ilmu-ilmu, teologi, dan spiritualitas
biografis.
Daya batin senyap
Khususnya esai spiritualitas
biografis Sindhunata yang menerangkan ”sejarah” nama Suseno sebagai pijakan
untuk menyimak spiritualitas yang melatarbelakangi hidup Magnis, oleh Karlina
dinilai sebagai esai yang merangkum seluruh isi buku.
”Setelah selesai membaca semua esai,
dan kembali lagi ke esai pertama, barulah potongan-potongan puzzle yang
terserak memperlihatkan ’kemiripan suasana’,” kata Karlina.
Judul Buku : Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utapis ke Perselisihan Revisionisme. Penulis : Franz Magnis-Suseno Penerbit : Gramedia, Cetakan Kedua 1999 |
Adakah dunia akademik itu kering
sebagaimana anggapan selama ini? Menurut Karlina tidak kering, jika kita
melekatkannya dengan beban dunia. ”Artinya tradisi akademik menuntut sekaligus
ketajaman intelektual, keterlibatan dengan dunia, dan kepekaan afeksi.
Keterlibatan dan afeksi ternyata tidak mengurangi keketatan berpikir.”
Karlina menegaskan, itulah
sebenarnya tantangan bagi kita semua, jika kita masih bersedia mencari sumber
gejala di belakang hiruk-pikuk dunia. Jika kita masih setia merasakan daya yang
mendesak-desak di dalam diri untuk melampaui ketidaklengkapan diri. ”Itu pula
sebenarnya tantangan bagi pemikir muda akademik selanjutnya. Ia tetap berjaga
ketika dunia terlelap, dan bersiaga sebelum dunia terjaga.”
Judul Buku : Berebut Jiwa Bangsa : Dialog Perdamaian dan Persaudaraan Penulis : Franz Magnis-Suseno Penerbit : Gramedia, 2006 |
Magnis-Suseno, menurut Stukenberg,
membuat relasi antara tokoh pemikiran dan filsafat serta weltanschauung Barat
dan tokoh wayang. Sehingga tercipta kemungkinan dialog antara filsafat Barat
dan etika Jawa.
Tragedi
Franz Magnis-Suseno sendiri pada
bagian akhir sambutannya, secara khusus mengingatkan tentang kondisi negeri ini
dan suasana masyarakat yang kacau, dengan menyebut situasi kita masih dalam
tragedi. ”Indonesia tidak lain dari sebagian negara yang tidak mengalami garis
lurus.”
Itu sebabnya, salah satu fungsi
filsafat menurut Magnis-Suseno untuk membukakan hati nurani supaya belajar
betul-betul menghargai nyawa orang, dan keinginan orang untuk mencapai sedikit
ketenteraman, keamanan, serta pengakuan.
Pencapaian Slamet Gundono, malam
itu, mirip dengan sublimnya lakon Aswatama beberapa tahun silam. Gundono tak
sebatas membanyol. Ia memeras pikiran untuk mempersembahkan temuannya, tragedi
Karna. Seperti dalam Aswatama, dialektika Karna menyakitkan batin. (HRD)
Sumber: Sumber artikel dari Kompas, 23 September 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar