Tulisan Gus Dur di KOMPAS, 11/2/1999
PERJALANAN ROMO YANG BIJAK
Oleh Abdurrahman Wahid
Romo Mangunwijaya |
PADA malam itu kami bertiga mengobrol di halaman Candi Dasa,
Karangasem, Bali. Ibu Gedong, Romo Mangun dan saya sendiri menjadi peserta
diskusi bebas itu, yang berlangsung hampir tiga jam lamanya. Kami bertiga,
saat itu, membicarakan masalah yang sederhana saja, konsep masing-masing
tentang wali (saint).
Dari perbincangan itu kami mendapati bahwa ada kesamaan di
antara kami bertiga mengenai konsep wali, hanya istilahnya saja yang berbeda,
yang satu menggunakan bahasa Sansekerta, satunya lagi bahasa Latin, dan
yang lainnya bahasa Arab.
Baik agama Hindu, Katolik, maupun Islam, memandang wali
sebagai orang suci yang memiliki beberapa sifat yang membedakannya dari orang
lain, yakni pengetahuan metafisis melebihi orang biasa, ciri-ciri istimewa
yang diberikan Tuhan pada mereka, maupun pengorbanan mereka pada
kepentingan kemanusiaan.
Persamaan pandangan inilah yang membuat kami bertiga saling
menghormati dengan sepenuh hati. Bagi saya Ibu Gedong dan Romo Mangun lebih
merupakan perwakilan dari dunia yang sama daripada perbedaan kami satu dari
yang lain.
Dari perjumpaan di Candi Dasa, lebih dari dua puluh tahun
yang lalu itu,timbul rasa saling menghormati satu dengan yang lain. Saya tidak
pernah memikirkan perbedaan dari Romo Mangun dan Ibu Gedong, melainkan justru
persamaan antara kami bertiga yang selalu kami jadikan sebagai titik pandang
untuk melakukan pengabdian kemanusiaan.
Mungkin karena inilah sikap keterbukaan, saling pengertian,
dan empati menjadi bagian dari hubungan kami bertiga.Bagaimanapun unsur yang
mempersatukan kami bertiga jauh lebih banyak dari yang memisahkan.
***
KETIKA saya berpindah dari Jombang ke Jakarta, segera saya
melihat betapa dalamnya rasa cinta kasih Romo Mangun pada umat manusia.
Hal itu tampak dalam sikapnya terhadap mereka yang nasibnya
malang, pendidikannya kurang, dan mereka yang tingkat ekonominya rendah. Bagi
mereka, Romo Mangun adalah hiburan yang menguatkan hati di kala susah, tetapi
juga membawa harapan kemajuan dalam hidup. Mereka terdorong untuk mengatasi
kesulitan yang dihadapi karena simpati yang diperlihatkan oleh Romo Mangun dan
kehangatan cinta kasihnya yang diberikan kepada sesama umat manusia.
Sosok Romo Mangun adalah pribadi yang mampu memancarkan
sinar kasih keimanan dalam kehidupan umat manusia. Dalam diri Romo Mangun,
keimanan tidak sekadar terbelenggu dalam sekat-sekat ritual agama atau
simbol-simbol semata.
Lebih dari itu, cinta kasih keimanan Romo Mangun mampu
menembus sekat-sekat formalisme dan simbolisme. Dia kasihi dan dia sentuh
setiap manusia dengan ketulusan cinta kasihnya yang terpancar dari keimanan dan
keyakinannya. Inilah yang menyebabkan Romo Mangun mampu hadir dalam hati
setiap manusia, karena dia telah menyentuh dan menyapa setiap manusia.
Hal itu, tidak hanya tampak dalam kehidupan sehari-hari,
melainkan juga dalam karya tulisnya. Kombinasi antara keterusterangan,
kecintaan pada manusia, dan kepercayaan yang teguh akan masa depan yang
baik merupakan modal utamanya.
Hal ini tidak hanya tampak dalam karya-karya sastranya
melainkan juga dalam kupasan-kupasannya mengenai sejarah modern bangsa kita
dalam kolom-kolomnya. Karya-karya tulis itu memperlihatkan keagungan
jiwa manusia yang tahu benar apa yang menjadi kelebihan dan kekurangannya.
Begitu juga tentang kehidupan yang menderanya dan janji kehidupan lebih baik
yang menunggunya di masa depan.
Prinsip-prinsip di atas tampak dalam novel-novel yang
ditulisnya, terutama tentang masyarakat Jawa masa lampau. Dunia Roro Mendut dan
Pronocitro dalam kupasan Romo Mangun yang sangat tajam,
ternyata adalah dunia kita juga dengan segala kemelut dan permasalahannya.
Ketegaran jiwa Roro Mendut adalah juga ketegaran jiwa Romo Mangun yang
memperjuangkan kemerdekaan umat manusia atau yang menentang militerisme.
Keyakinannya akan proses memberikan keyakinan padanya bahwa
setiap zaman membawakan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kelebihan
oknum-oknum ABRI dikupasnya dalam berbagai kolom bersama-sama kepengecutan
sebagian perwira maupun ketololan sejumlah politikus.
Semua itu dia sajikan dengan bahasa yang halus namun tajam.
Sindiran-sindirannya membuat setiap orang yang berpikiran cerdas dan peka
merasa malu. Dalam hal ini, seolah Romo Mangun menjadi wakil masyarakat yang
terlupakan dan tertinggalkan.
Di samping ketajaman batin dan kepekaan nuraninya yang
tinggi, sosok Romo Mangun juga menjadi simbol kesederhanaan. Sebagai seorang
tokoh yang sudah bertaraf internasional, Romo Mangun tidak pernah
menampakkan sikap ketokohannya dalam performance dan penampilannya. Sikap
glamour dan
berlebihan hampir tidak tampak dari Romo Mangun.
Sikapnya yang demikian seolah mengajarkan kita akan
pentingnya makna kesederhanaan dan pentingnya pengekangan diri untuk tidak
hanyut dalam setiap predikat yang disandandan prestasi yang diraih, apalagi
kedudukan.
***
KINI Romo Mangun telah tiada. Kita kehilangan salah seorang
tokoh humanis, seorang kritikus sosial yang andal sekaligus seorang pejuang
agama yang gigih. Dunia terasa kosong tanpa kehadirannya.
Akan tetapi, kita yakin akan datangnya seorang yang
memperjuangkan cita-citanya. Kita semakin kaya
dengan pengabdian dan karya-karyanya semoga kita akan
semakin bertambakaya dengan pengganti penggantinya.
Terima kasih Romo Mangun dan selamat jalan. Cita-cita dan
perjuanganmu menjadi lentera dan cambuk bagi kita di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar