Minggu, 02 Mei 2010 | 16:53 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta
- Anda senang mengikuti perkembangan dunia sastra dan perbukuan di
Indonesia? Jika ya, sepertinya Anda perlu "mengintip" situs web
Indonesia Buku. Sesuai dengan namanya, situs web yang dapat diakses di
alamat http://indonesiabuku.com ini memang berisi informasi dan
catatan-catatan tentang dunia perbukuan di Indonesia.
Seperti
yang tertulis di halaman Ihwal Kami, Indonesia Buku didirikan pada 23
April 2006 di Yogyakarta oleh beberapa orang, antara lain Taufik Rahzen,
Galam Zulkifli, Dipo Andy Muttaqien, Eddy Susanto, dan Muhidin M.
Dahlan. "Komunitas perbukuan" ini awalnya merupakan sayap Gelaran
Budaya, sebuah galeri seni dan budaya yang didirikan pada akhir 1999 di
Yogyakarta.
Komunitas ini didirikan untuk merekam kronik atau
catatan berbagai peristiwa perbukuan yang pernah terjadi di Indonesia.
Selain mengumpulkan peristiwa perbukuan dari tahun ke tahun, komunitas
ini membuat catatan-catatan dan kritik, yang kemudian dituangkan ke
situs web Indonesia Buku.
Situs web ini sejatinya sudah
dipublikasikan tiga tahun yang lalu. Awalnya hanya berupa blog, tetapi
karena informasi yang disajikan semakin banyak, Indonesia Buku akhirnya
membuat situs web sendiri. Menurut salah satu pendirinya, Muhidin M.
Dahlan, situs web Indonesia Buku pada awalnya dirancang sebagai tempat
penyimpanan data informasi kronik perbukuan di Indonesia.
Namun
tak hanya menyimpan data kronik perbukuan, kini Indonesia Buku juga
memuat resensi, esai, bahkan liputan khusus soal dunia perbukuan yang
terjadi di Tanah Air.
"Kami punya rencana besar membuat kronik
perbukuan Indonesia selama dua abad, dari abad ke-20 sampai abad ke-21,"
kata Muhidin, yang juga berperan sebagai Pemimpin Redaksi Indonesia
Buku. Rencana tersebut diakuinya sangat ambisius.
Agar rencana
tersebut bisa tercapai, setiap hari pihaknya melakukan pemutakhiran
informasi berbagai peristiwa perbukuan yang terjadi. Indonesia Buku juga
melakukan penelusuran dan penggalian resensi-resensi yang pernah
ditulis sejak awal abad ke-20.
Salah satu resensi buku lama yang
diangkat kembali oleh Indonesia Buku adalah Satu Abad Kartini
(1879-1979), yang ditulis oleh Aristides Katoppo, yang resensinya
ditulis di majalah Tempo edisi 12 Mei 1978. Resensi lawas ini diposting
kembali pekan lalu, bertepatan dengan Hari Kartini, yang jatuh pada 21
April.
Tapi bukan berarti Indonesia Buku cuma jadi pengumpul
resensi lama yang pernah ditulis. "Kami juga meresensi sendiri buku-buku
lama maupun baru," ujar pria berusia 32 tahun ini kepada iTempo pekan
lalu.
Hal menarik lain yang ada di Indonesia Buku adalah program
"pengadilan buku". Pengadilan dalam program ini mirip pengadilan yang
sebenarnya. Bedanya, sementara pada pengadilan sebenarnya yang diadili
adalah manusia, di pengadilan ini bukulah yang menjadi terdakwa.
Buku-buku
yang diajukan ke sidang bakal didakwa alias "dikuliti" luar-dalam oleh
para anggota dewan buku dari Indonesia Buku. Dewan penilai ini berperan
sebagai jaksa penuntut buku sekaligus hakim yang akan menentukan apakah
sebuah buku layak dibaca atau tidak. Persidangan biasanya dilakukan dua
kali dalam sebulan. “Karena baru seumur jagung, baru enam buku yang kami
sidangkan."
Muhidin sendiri berperan sebagai panitera yang
menyediakan buku serta membuat berita acara pemeriksaan yang akan
diposting di situs Indonesia Buku. "Program ini dibuat karena buku
bukanlah sebuah benda suci atau tak dapat diutak-atik," kata Muhidin,
yang masih aktif berprofesi sebagai penyunting.
Hasilnya, buku
yang disidangkan bisa saja divonis sebagai buku yang layak baca atau
sebaliknya, dianggap buku "rombengan" alias tidak mutu. Meski
disidangkan, pihaknya mempersilakan pengarang buku membuat pleidoi atau
pembelaan layaknya sidang sebenarnya.
Pihaknya menetapkan kriteria
buku yang bisa diresensi atau disidangkan di Indonesia Buku. Kriteria
utamanya adalah harus buku Indonesia atau buku terjemahan tapi tetap
membahas Indonesia. Buku yang bisa disidangkan juga tak harus selalu
buku yang memicu pro-kontra di masyarakat, atau karya dari penulis
terkenal. "Kita ambil tengah-tengahnya," kata lulusan IKIP Yogyakarta
ini.
Selain membuat kronik perbukuan, pihaknya berencana melobi
pemerintah agar dapat menerbitkan buku-buku yang usianya sudah lebih
dari 50 tahun ke dalam versi digital. DIMAS
Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2010/05/02/072244906/Merekam-Peristiwa-Perbukuan-Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar