Kamis, 14 Juni 2018

MENATA BIROKRASI : Pelayanan dari Kampung ke Kampung



“Pelayanan Publik” kini banyak dibicarakan orang berhubungan dengan keberadaan pemerintah dan birokrasi. Dalam hal pemekaran wilayah, misalnya,  termasuk pemekaran Kabupaten Intan Jaya tujuan dari pemekaran kabupaten ini tidak lain adalah mendekatkan pelayanan publik.


Pelayanan publik sering diartikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Wikipedia).


Mengapa pelayanan publik begitu penting dibicarakan saat ini ? Ini pertanyaan penting karena sebelumnya, katakan sebelum reformasi pelayanan publik belum banyak dibicarakan. Ada perubahan besar yang terjadi dalam pemerintahan yakni perubahan dari  paradigma government (pemerintah) ke governance (tata kelola). Jika dulu segala sesuatu menjadi urusan pemerintah maka sekarang sudah bergeser ke para pemangku kepentingan (stakeholders). Konsekuensinya, peran pemerintah lebih sebagai fasilitator dan regulator daripada sebagai pelaksana program dan kegiatan. Pola pemerintahan yang dulu sangat hirarkis kini menjadi sangat partisipatif, terbuka dan menghendaki adanya kolaborasi antara sektor. 


Kalau merujuk pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik disana diatur secara khusus prinsip-prinsip pemerintahan yang baik yang merupakan efektifitas fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri. Asas pelayanan publik yang dimaksudkan dalam undang-undang ini meliputi kepentingan umum,  kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif,  persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas,  fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.


Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Commission on Human Rights) mengidentifikasi beberapa prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan yang baikyakni transparansi, pertanggungjawaban (responsibility), akuntabilitas, partisipasi, dan ketanggapan (responsiveness) sebagai prinsip kunci good governance.


The UN Development Program (UNDP) pada tahun 1997 mengemukakan 8 (delapan) prinsip good governance yakni :1) Kesetaraan untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan, 2) Ketanggapan atas kebutuhan stakeholder (responsiveness), 3) Kemampuan untuk memediasi perbedaan di antara stakeholder untuk mencapai konsensus bersama, 4) Akuntabilitas kepada stakeholder yang dilayani, 5) Transparansi dalam proses pengambilan kebijakan, 6)  Aktivitas didasarkan pada aturan/kerangka hukum, 7)  Memiliki visi yang luas dan jangka panjang untuk memperbaiki proses tata kelola yang menjamin keberlanjutan pembangunan sosial dan ekonomi dan 8) Jaminan atas hak semua orang untuk meningkatkan taraf hidup melalui cara-cara yang adil dan inklusif.


Dengan diperkanalkan asas dan prinsip pelayanan publik sebagaimana disebutkan di atas, maka sangat terlihat adanya perubahan yang berpengaruh pada kerja-kerja pemerintahan. Perubahan itu menyangkut nilai, persepsi, dan acuan perilaku yang berhubungan erat dengan tata kelola pemerintahan. Perubahan ini pada gilirannya menghendaki birokrat dan aparatur pemerintahan untuk menemukan kembali maknanya sebagai pelayan publik dan bukan sekadar penguasa publik.


Persoalannya, hingga saat ini pergeseran paradigma ini belum semuanya dapat dijalankan dengan baik. Hal ini menyebabkan birokrasi seringkali  disorot sebagai lembaga yang penuh dengan masalah. Pelayanan publik tidak berkorelasi dengan pengurangan kemiskinan. Lebih dari itu, sistem penataan brokrasi  yang ada belum menjawabi kebutuhan birokrasi sebagai pelayan masyarakat. 


Hasil jajak pendapat Kompas 4 September 2017 menunjukkan mayoritas dari responden meyakini tindakan itu akan mempermudah urusan mereka. Dalam berurusan dengan birokrasi, entah secara terbuka atau diam-diam, publik menganggap uang pelicin masih diperlukan. Birokrasi masih dinilai separuh lebih responden sebagai lekat dengan uang suap, nilainya mahal, urusannya berbelit-belit, dan membutuhkan koneksi jika ingin melamar masuk ke dalam birokrasi. 


Dalam jejak pendapat ini disebutkan bahwa kondisi ini memperlihatkan adanya dua sisi masalah yang menjerat birokrasi kita. Di satu sisi, ada oknum aparatur sipil negara (ASN) atau birokrat yang masih bermental korup. Sementara di sisi lain, sebagian masyarakat masih menghidupi budaya koruptif itu. (Lihat : Menemukan Kembali Makna Pelayan Publik Kompas 4 September 2017). 


Memang, tidak mudah mempraktikan prinsip-prinsip pelayanan publik sebagai sebuah paradigma baru dalam tata kelola pemerintahan saat ini. Sebab, sudah lama birokrasi tumbuh dan berkembang sebagai penguasa. Namun demikian, dengan mengarahkan perhatian pada pelayanan publik untuk memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia, mempromosikan kemakmuran ekonomi,  praktik-praktik di banyak pemerintahan daerah menunjukkan bahwa perubahan ini dapat dengan mudah dilakukan dan masyarakat pun memberikan aspresiasi positif atas perubahan yang dialami birokrasi ini. 


Dari penjelasan singkat tentang perubahan yang dialami dalam tata kelola pemerintahan yang berhubungan dengan pelayanan publik ini, kita bisa memasuki pembahasan tentang birokrasi di Intan Jaya. Dalam tulisan di bawah ini akan saya uraikan secara singkat apa yang saya lihat dan alami berhubungan dengan respon birokrasi Intan Jaya terhadap perubahan paradigma pelayanan ini. Selanjutnya saya mencoba memberikan beberapa saran untuk dapat meningkatkan kinerja birokrasi Intan Jaya. 


Saya berpendapat bahwa kendati sebuah perubahan membutuhkan proses namun perlu juga ada usaha untuk mempercepat proses dengan membangun berbagai inovasi yang menyentuh pelayanan di masyarakat. Praktik untuk bisa menyesuaikan perubahan bisa dimulai dari pemahaman dan motivasi bersama, kemudian diikuti dengan penyepurnaan strukutr kerja dan penegakan aturan dan penciptaan inovasi untuk mempercepat perubahan itu. Jika menghendaki perubahan terjadi di Intan Jaya maka birokrasi harus lebih diperhatikan dan diarahkan sebagai pelayan publik serta dijalankan dengan prinsip-prinsip pelayanan publik. 



BIROKRASI DALAM USIA YANG RELATIF MASIH MUDA


Pemerintahan dan birokrasi di Intan Jaya tergolong masih muda usianya. Pemekaran kabupaten ini baru terjadi tahun 2008. Baru dua kali terjadi pemilihan kepala daerah langsung dengan masyarakat yang dulunya sangat terisolasi. 


Intan Jaya sebelum pemerkaran dari Kabupaten Paniai, merupakan daerah yang terisolasi. Saat itu hanya ada satu pemerintahan administratif yang berada di Sugapa, dan perwakilan di Homeyo.Dalam perkembangannya Pemerintah kabupaten Paniai kemudian mengesahkan Sugapa dan Homeyo menjadi kecamatan.  


Tidak seperti layaknya pemerintahan kecamatan yang sudah mapan, Di atas kertas, tugas dan fungsi utama dua kecamatan ini pada waktu itu hanya menyiapkan data penduduk, menyiapkan data peta wilayah, membuat program pembangunan kecamatan dan menyiapkan dan melaporkan kondisi perkembangan masyarakat wilayah tersebut. Kenyataannya, belum banyak program pembangunan fisik apa lagi pembangunan ekonomi masyarakat.  Pegawai Negeri Sipil (PNS) kecamatan pun tidak banyak hanya 2 sampai 4 orang saja.


Seiring bergulirnya waktu, reformasi menghendaki perubahan tatanan pemerintahan kearah yang lebih baik masyarakat. Desentralisasi menjadi kata kunci untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Mulai ada kesadaran bahwa wilayah kabupaten Paniai demikian luas sehingga perlu dilakukan pemekaran. 


Tahun 2008 berdirinya kabupaten Intan Jaya sebagai bagian dari upaya pemekaran kabupaten Paniai. Kosekuensi lanjutannya adalah dua kecamatan yang ada itu pun dimekarkan menjadi 8 kecamatan. Penempatan pegawai untuk mengisi kekosongan mulai dilakukan tidak hanya untuk kecamatan tapi juga untuk pemerintahan kabupaten. Struktur pemerintahan kabupaten dibentuk, menghendaki pengisian aparatur pemerintahan. 


Bukan hal yang mudah dalam pengisian jabatan untuk menyesuaikan dengan struktur birokrasi yang terbentuk. Masalah ketersediaan pegawai, itu masalah pertama. Jumlah pegawai sangat terbatas kendati bisa didatangkan dari kabupaten induk dan kabupaten tetangga. Dalam keterbatasan jumlah itu pun tidak semua pegawai mau ditempatkan di kabupaten baru dengan medan yang sangat sulit. 


Masalah kedua, adalah masalah kapasitas dan kompetensi. Di tengah keterbatasan jumlah pegawai, terdapat juga masalah kompetensi dan kapasitas. Tidak banyak PNS yang bisa ditempatkan pada jabatan-jabatan yang sesuai dengan kompetensi. Karena itu, banyak jabatan diisi oleh birokrat yang tidak sesuai dengan kompetensi. Semuanya dijalankan dengan harapan akan ada perbaikan dan penyempurnaan di kemudian hari.


Saat Intan Jaya sudah memiliki Bupati dan wakil Bupati defenitif, mulai ada pembenahan birokrasi.Banyak pertembangan yang dijadikan dasar penempatan birokrasi yang tidak sekedar kapasitas dan kompetensi. Ada pertimbangan lain, yakni pertimbangan politik dan budaya. Loyalitas aparatur yang dibentuk dari proses politik dukung mendukung dalam pilkada, misalnya juga dijadikan alasan siapa yang pantas menduduki jabatan birokrasi yang ada. Ada pertimbangan budaya yakni soal mengakomodasi keterwakilan kelompok-kelompok masyarakat dalam birokrasi. 


Sekalipun penempatan birokrasi tidak seideal seperti yang dibayangkan, kondisi birokrasi di Intan Jaya mulai menunjukkan harapan. Kantor-kantor pemerintahan mulai dibangun, dinas-dinas mulai bekerja, dan di kecamatan atau distrik mulai ada penempatan pegawai. Bagaimana pun selain tuntutan kinerja, penempatan pegawai yang lebih dekat dengan kehidupan masyarakat dipandang sebagai cara untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat.


Roda pemerintahan di Kabupaten Intan Jaya mulai berjalan sebagaimana yang terjadi di kabupaten-kabupaten. Program pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten Intan Jaya sendiri mulai memberi warna tersendiri bagi pembangunan kabupaten ini.


Namun demikian, sebagaimana hal yang dikatakan tidak ideal, birokrasi di Intan Jaya masih dibelit persoalan yang kalau tidak diperbaiki akan berdampak pada jalannya roda pemerintahan di Intan Jaya. Dari pembicaraan dengan masyarakat, muncul keluhan bahwa  pegawai di Intan Jaya seringkali meninggalkan Intan Jaya dengan alasan yang tidak jelas. Hal ini mengakibatkan banyak urusan masyarakat  tertunda atau pun diabaikan. Tidak ada sanksi yang tegas terhdap birokrasi yang memiliki kinerja yang rendah membuat para aparat yang meninggalkan tugas merasa hal yang biasa-biasa saja.


Pemerintah pun dinilai tidak transparan dalam pengelolaan keuangan maupun hal lain yang menyangkut kebijakan, Banyak perencanaan kebijakan yang tidak melibatkan masyarakat. Masyarakat hanya tahu saat implementasi kebijakan itu. Ada kesan usulan-usulan masyarakat tidak didengar oleh aparat pemerintah, yang menyebabkan lambat laun masyarakat menjadi apatis dan partisipasi masyarakat pun menjadi macet.


Sikap apatis dan serba menunggu dari masyarakat lantaran usulan-usulan  dari masyarakat selalu tidak ditanggapi membuat masyarakat menjadi pasif. Orang tidak mau berbuat apa-apa kecuali menunggu apa yang dilakukan pemerintah. Sementara apa yang dilakukan pemerintah pun tidak segera dilaksanakan atau didukung, karena orang tidak merasa bagian dari program dan kebijakan yang digulirkan pemerintah.


Pemerintah yang tertutup hanya menyebabkan masyarakat menduga-duga  apa yang sedang di
kerjakan pemerintah. Karena soalnya adalah menduga-duga, maka bisa saja masyarakat salah dalam memahami jalannyakebijakan pemerintah. Lebih fatal lagi kalau dugaan disertai dengan kecurigaan. Apapun baiknya sebuah kebijakan yang dilakukan, tetap saja dalam pelaksanaannya selalu mendapat hambatan.


Memang, tidak semua masukan masyarakat dapat terakomidasi dalam sebuah rumusan kebijakan. Ada begitu banyak pertimbangan yang boleh jadi membuat masukan sekelompok masyarakat diabaikan. Tapi hal ini pun lagi-lagi harus disertai dengan keterbukaan menyampaikan alasan mengapa usulan tidak diterima. Masyarakat harus tahu mengapa usulannya tidak diterima. Dengan mengetahui, ia akan menerima dan pada gilirannya akan melaksanakan keputusan itu walau bukan usulannya. Pada tataran yang lebih luas, konflik pun dapat diatasi sedini mungkin.


Tentu tidak mudah melaksanakan pemerintahan yang baik dengan mengedepankan pelayanan publik yang maksimal pada masyarakat yang baru belajar politik dan baru mengenal pemerintahan modern. Semuanya harus dibingkai dalam sebuah proses yang menuntut kesabaran, komitmen dan kamauan yang kuat.


Sebab, bukan saja soal kemauan pemerintah saja tapi juga kesiapan rakyat. Memang di awal sangatlah sulit karena masyarakat belum terbiasa ikut dalam pengelolaan pemerintahan, tapi lama kelamaan semua itu akan menjadi hal yang biasa dan membawa optisme bahwa pembangunan dapat terlaksana karena ada dukungan masyarakat. 


PELAYANAN DARI KAMPUNG KE KAMPUNG 


Membangun Intan Jaya membutuhkan tindakan yang luar biasa, tidak sekedar tindakan yang biasa-biasa saja. Tindakan luar biasa ini membutuhkan kerja birokrasi yang juga luar biasa. Disamping kesiapan sumber daya manusia yang masih menjadi masalah, topografi kabupaten ini sungguh menantang. Distrik dan kampung berada sangat berjauhan yang belum didukung dengan infrastrukur yang memadai. Jika aparat birokrasi digerakan untuk melakukan pelayanan maksimal dari kampung ke kampung maka kerjanya harus dua kali lipat dari kerja biasa.




Sebagai mana maksud dari buku ini yakni memberikan motivasi, mengusulkan bagian-bagian mana yang perlu direnovasi, dan merangsang tindakan inovasi, maka di bawah ini saya ungkapan beberapa catatan saya dalam mendorong penyelenggaraan pemerintahan yang baik di Intan Jaya.


Pertama, Perlu komitmen pemimpin. Pelaksanaan tata kelola pemerintahan membutuhkan peran dan komitmen pemimpin. Pemimpin harus dapat memulai memperkenalkan pelayanan publik baik di lingkungan intansinya maupun ke tengah masyarakat.  Tanpa peran pemimpin maka sia-sia.


Saya mengutip pendapat   Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng yang mengatakan bahwa keluhan publik tidak akan efektif diatasi tanpa komitmen kuat pemimpin birokrasi, terutama di lingkungan pemerintah daerah. Me­nurut Robert Endi Jaweng, pemerintah daerah perlu lebih responsif untuk meningkatkan penghargaan terhadap pelayanan publik. (KOMPAS – Selasa, 14 Juni 2016).


Pada tingkat internal, peran pemimpin  menjadikan birokrasi sebagai institusi pelayanan masyarakat yang profesional dan dipercaya. Ia harus pandai menyeleksi orang-orang yang akan membantunya. Kepandaian yang dimaksud adalah kemampuan mengenal kompetensi bawahannya sehingga akan terwujud suatu birokrasi yang profesional yang siap melayani. Pemimpin juga harus memulai memperkenalkan sistem birokrasi yang efektif termasuk sistem keuangan yang transparan dan efisien. Pemimpin menjunjung tinggi  prinsip akuntabel, proporsional dan berkeadilan, serta menjunjung prinsip organisasi birokrasi yang modern. Dengan penerapan sistem birokrasi modern maka yang menjadi arah capaian adalah pelayanan prima yang diberikan oleh birokrasi.


Pada tingkat eksternal, yakni dalam hubungan dengan masyarakat maka pemimpin harus menunjukkan sikap terbuka dan mau menjumpai masyarakat untuk mendengar keluhan masyarakat. Ia harus mempelopori berbagai mekanisme penyampaian aspirasi dan pengaduan masyarakat. Ia juga mempelopori akses masyarakar atas informasi. Baik tugas internal maupun eksternal, kehadiran pemimpin diharapkan dapat memberi motivasi pada tujuan bersama yang hendak dicapai.


Kedua, Penataan Kelembagaan. Dari peran dan komitmen pemimpin, maka selanjutnya adalah penataan kelembagaan. Penataan kelembagaan tentu disesuaikan dengan kewenangan pemerintah daerah. Penataan kelembagaan harus mengedepangkan prinsip : miskin struktur kaya fungsi agar memudahkan pembiayaan dan penganggaran daerah. Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada pemerintah daerah, dengan pengaturan tersebut, dalam hal ini pada dasarnya pemerintah menerapkan prinsip ; uang mengikuti fungsi.


Di dalam Undang-Undang mengenai Keuangan Negara, terdapat penegasan di bidang pengelolaan keuangan, yaitu bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara adalah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintah pusat. Dalam kerangka penghematan maka diperlukan upaya untuk memperpendek rentang kendali birokrasi.  Apa yang bisa dilakukan di kabupaten, biarlah diurus di kabupaten. Demikian juga apa yang bisa diurus di kecamatan dan desa biarlah diurus di kecamatan dan desa. Sementara pengawasan atas kinerja birokrasi dilakukan dengan melibatkan instansi terkait untuk mengaudit dan melibatkan masyarakat untuk melakukan kontrol. 


Ketiga, Penataan Aparat. Penataan kelembagaan pemerintahan akan berimplikasi terhadap aparat sebagai unsur pelaksana dalam kelembagaan tersebut. Penataan aparat harus diawali dengan melakukan beberapa hal, antara lain; analisis pekerjaan (job analysis), spesifikasi pekerjaan (Job Specifikation), uraian pekerjaan (Job Description). Atas dasar analisis ini maka akan diketahui kebutuhan aparat, baik jumlah maupun spesifikasinya. Dengan cara ini maka aparat akan memahami apa yang menjadi tugas, fungsi, kewenangan, kewajiban, dan haknya.


Penataan aparat berhubungan dengan proses rekrutmen, seleksi, penempatan jabatan, mutasi jabatan, pengembangan dan pelatihan, dan kesejahteraan. Penataan yang dimaksud harus dilakukan dengan memperhatikan beberapa prinsip dasar antara lain; transparan dan terbuka kepada siapa saja, objektif terhadap apa saja, profesional dan menempatkan aparat berdasarkan keahlihan. 


Dalam rekrutmen dan penempatan jabatan, baiknya dilakukan fit and proper tes . Dengan cara ini maka setiap  promosi jabatan hanya bisa dilakukan dengan penilaian kinerja dan kompetensi secara terbuka. Dalam mewujudkan perubahan yang diimpikan, penempatan jabatan harus sesuai dengan dasar pendidikan atau bidang pendidikannya atau ;The Right Man On The Right Place (penempatan jabatan sesuai keahlian). Selanjutnya, dari seluruh aspek perencanaan, proses dan hasil yang dijalankan benar dapat diukur dan dievaluasi.


Kelima, Penataan Keuangan. Pemerintah era reformasi telah bertekad untuk menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah berdasarkan kepada prinsip luas, nyata dan bertanggung jawab secara proporsional. Kewenangan pemerintahan daerah dimaksud dalam hal mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat daerah setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. 


Penyerahan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus masyarakat setempat seharusnya diikuti dengan penyerahan kewenangan pengelolaan bidang keuangan. Kewenangan pengelolaan bidang keuangan yang dimaksudkan meliputi; menentukan sumber-sumber keuangan, Penyusunan sampai dengan pengesahan anggaran dan evaluasi atau pelaporan. Untuk menjamin pelaksanaan pengelolaan keuangan, maka perlu disusun standar akutansi keuangan daerah.


Namun kenyataan, belanja pegawai yang besar ini menunjukan minimnya keberpihakan pemerintah terhadap persoalan rakyat. Belum lagi soal fungsi kontrol yang lemah. Maka mau tidak mau perlu ada kepastian bahwa anggaran negara benar-benar dibelanjakan untuk kepentingan rakyat dan mengalokasikan anggaran secara tepat, menentukan prioritas yang kriterianya demi kepentingan masyarakat. Langkah terbaik adalah efisiensi dengan melakukan restrukturisasi belanja atau mengurangi belanja-belanja yang tidak perlu, seperti perjalanan dinas, pembelian kendaraan yang tidak produktif, dan pengetatan anggaran.


Untuk itu diperlukan penerapkan disiplin anggaran yang dimulai dari dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga  evaluasi. Dalam seluruh proses ini diperlukan  sensibilitas dan prioritas anggaran. Artinya,  anggaran negara benar-benar dibelanjakan untuk kepentingan rakyat. Terkait dengan hal ini maka diperlukan sistem pengadaan barang dan jasa dan reformasi birokrasi di sektor anggaran.


Reformasi birokrasi di sektor anggaran dimaksudkan untuk menjamin penghematan belanja pegawai. Langkah pertama adalah dengan melakukan restrukturisasi belanja atau mengurangi belanja-belanja yang tidak perlu, seperti perjalanan dinas, pembelian kendaraan, pembelajan  yang tidak produktif, dan pengetatan anggaran. Perlu disiapkan kerangka hukum yang rinci mengenai pelelangan, menyiapkan sumber daya, iklim kompetisi dan lembaga pemantau.


Keenam, Koordinasi antar Instansi. Koordinasi diantara instansi juga merupakan cara agar sebuah program menjadi program bersama tanpa harus tumpag tindih. Program bersama akan menjamin efektivitas program itu sendiri.


karena itu, menurut pendapat saya, birokrasi menjadi ujung tombak pelayanan publik mesti dimulai dari birokrasi itu sendiri. Artinya pandangan bahwa pekerjaan birokrasi hanya untuk melayani masyarakat menjadi modal awal untuk melaksanakan suatu pemerintah yang baik demi pelayanan masyarakat.



Konsekuensinya pada tingkat birokrasi harus ada koordinasi yang baik, harus memahami tugas dan fungsinya dan bersedia turun ke menemui masyarakat. Birokrasi tidak bisa hanya memikirkan program pelayanan publik untuk masyarakat tanpa memperhatikan masukan dari masyarakat, dan tanpa pula memperhatikan kapasitas birokrasi itu sendiri dalam melaksanakan program. Koordinasi diantara instansi juga merupakan cara agar sebuah program menjadi program bersama tanpa harus tumpag tindih. Program bersama akan menjamin efektivitas program itu sendiri.


Menurut pendapat saya, birokrasi menjadi ujung tombak pelayanan publik mesti dimulai dari aparat birokrasi itu sendiri. Artinya pandangan bahwa pekerjaan birokrasi hanya untuk melayani masyarakat sudah menjadi modal awal untuk melaksanakan suatu pemerintah yang baik demi pelayanan masyarakat. Konsekuensinya pada tingkat birokrasi harus ada koordinasi yang baik, harus memahami tugas dan fungsinya dan bersedia turun ke menemui masyarakat. Birokrasi tidak bisa hanya memikirkan program pelayanan publik untuk masyarakat tanpa memperhatikan masukan dari masyarakat, dan tanpa pula memperhatikan kapasitas birokrasi itu sendiri dalam melaksanakan program.


Ketujuh. Budaya Birokrasi. Pembaruhan birokrasi akan tidak lengkap jika tidak menyasar pada budaya birokrasi. Dalam birokrasi modern yang hendak dimasuki, titik tolak budaya birokrasi menyangkut birokrasi yang efektif, efisien,  profesional dan berintegritas tinggi. Sudah saatnya kebangaan pada birokrasi di Intan Jaya bukan pada status dan jabatan, melainkan pada kinerja dan kesungguhan melakukan pelayanan prima bagi masyarakat. Pengakuan itu datang pada diri sendiri, atau pun pada atasan tapi datang dari masyarakat sendiri. Itulah birokrasi modern yang berorientasi pada pelayanan masyarakat.


Sikap mental pelayanan aparat birokrasi pemerintah yang cenderung dilayani memang perlu disuntikkan mental perubahan. Aparat birokrasi sudah seharusnya melayani kepentingan umum, sebaliknya mengurangi secara signifikan mengenai ongkos-ongkos pelayanan yang memberatkan masyarakat. Birokrasi yang melayani sangat didambakan rakyat. Lebih lagi jika birokrasi tidak menghabiskan anggaran secara sia-sia.


Saya mengutip apa yang ditulis Kompas 4 Sep 2017  dengan judul “Menemukan Kembali Makna Pelayan Publik” : Pelatihan menjadi upaya untuk mengatasi rendahnya kualitas kinerja ASN. Hal ini telah didukung dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Dalam peraturan ini PNS wajib mengikuti pelatihan minimal 20 jam setahun dengan harapan agar kualitasnya tidak lagi hanya dalam taraf administrasi umum, tetapi sesuai dengan keahliannya.


 Namun, berbeda dengan pembenahan atas kinerja, pembenahan atas integritas aparat birokrasi adalah lebih sulit. Kondisi gaji dan fasilitas saat ini sudah jauh lebih baik daripada beberapa dekade yang lalu. Namun, perilaku mencari keuntungan pribadi tetap berlangsung. Dalam kaitan ini publik menilai problem utama yang menimpa birokrasi adalah soal mental, yakni kedisiplinan untuk tidak menerima suap. Dua kata kunci, yakni pembenahan mentalitas dan pengawasan yang diperkuat, dipercaya publik akan membenahi wajah birokrasi kita.


Bersamaan dengan itu, dilakukan pula peningkatan kompetensi birokrasi dan kejelasan dalam sistem regulasi perundangan agar mempersempit celah untuk melakukan perbuatan tercela.  Hanya dengan langkah nyata untuk membenahi sistem dan sumber daya manusia birokrasi, maka harapan positif publik yang saat ini telah tumbuh akan terwujud secara nyata. Selanjutnya, birokrasi akan kembali menemukan maknanya sebagai pelayan publik dan bukan sekadar penguasa publik.


Kedelapan, Penataan DPRD. Undang_Undang No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, telah melegitimasi posisi DPRD sebagai mitra sejajar pemerintah daerah. DPRD bersama-sama dengan Pemerintah Daerah diposisikan sebagai pemerintah daerah. Kedudukan ini tentunya akan memberikan peluang yang lebih besar bagi DPRD untuk melaksanakan fungsi kontrolnya. Jadi tugas dan fungsi  DPRD adalah; Legislasi , pengesahan dan pengawasan.


Kedudukan DPRD sebagai mitra sejajar pemerintah daerah (eksekutif), harus diimbangi dengan kemampuannya dalam menimplementasikan tugas dan fungsi yang diemban. Ketidakmampuan DPRD dalam mengimplementasikan  tugas dan fungsinya sebagai wakil rakyat, akan mengakibatkan timbulnya konflik terhadap proses demokratisasi. Kinerja DPRD yang tidak memadai, berdampak negatif terhadap pelaksanaan fungsi pemerintahan, dalam hal melayani, memperdayakan, dan membangun masyarakat.


Pengamatan dan analisa saya selama ini tugas dan fungsi DPRD kabupaten Intan Jaya tidak berjalan sesuai fakta pada tugas dan fungsi tersebut, di sebabkan karena tidak berprofesional dalam jabatan sebagai DPRD, yang sering disebut datang, duduk, diam, dengar, duit di sebut DPRD 5 (lima) D. Sebenarnya DPRD ini datang dari suara rakyat, maka Anda duduk sebagai DPRD rakyat dan menyuarakan suara rakyat anda kepada pemerintah sebagai wakil dan aspirasi rakyat anda kepada pemerintah. Dalam legalita demokratisasi DPRD merupakan wakil rakyat yang akan menyampaikan aspirasi rakyat anda kepada pemerintah.


Oleh karena itu, maka penataan lembaga DPRD menjadi penting dalam rangka perbaikan dan peningkatan kinerjanya sebagai lembaga aspirasi rakyat. Anggota DPRD banyak memahami dan pelajari buku petunjuk tata tertib lembaga DPRD yang tersediah dan dapat di implementasikan di lapangan. 


Kepada anggota DPRD sekarang dapat mempelajari pengalaman yang baik dan benar untuk meningkatkan wibawa dan martabat sebagai wakil rakyat yang terhormat untuk dapat di sandung oleh banyak orang dan publik di mana anda bertugas. Untuk ke depan rakyat harus melihat dan memilih para calon anggota DPRD yang berpengetahuan dan yang memiliki profesi dan cerdik, agar lembaga DPRD  berjalan baik dan bisa bertanggung jawab rakyat.


Kesembilan, Birokrasi Berbasis Ekonomi. Birokrasi perlu didorong untuk mendatangkan nilai tambah sektor ekonomi. Ditengah keluhan kita tentang minimnya sumber daya, kita lupa bahwa sumberdaya yang mendekati kesiapan adalah sumber daya yang ada di birokrasi. Bayangkan, begitu banyak SDM Intan Jaya  lulusan perguruan tinggi kini berada di birokrasi baik yang telah berstatus pegawai negeri maupun yang masih honorer.  SDM ini hingga kini belum dimaksimalkan baik ditingkat pelayanan publik maupun mendatangkan nilai tambah ekonomi.


Untuk menjawab hal itu maka setiap instansi dalam lingkungan pemerintah perlu didorong untuk ambil bagian sekaligus proaktif mengambil tanggung jawab dalam mendukung investasi dan pemberdayaan ekonomi. Dalam kerangka kerja ini perlu memastikan koordinasi dan komunikasi diantara intstansi terkait.


Sebagai contoh, Intan Jaya adalah salah satu daerah wisata serta bersifat unik yang sangat berpotensi untuk dijaga, dipelihara dan di rawat untuk menarik perhatian para wisatawan manca negara, termasuk yang sekarang sedang di kunjungi oleh wisatawan di gunung cartenz. Semua itu merupakan usaha tempat pencarian kerja atau membuka lapangan kerja  (kesibukan masyarakat) bagi yang belum berpendidikan.


Ekonomi Intan Jaya juga perlu diperhatikan dari segi belanja pegawai sendiri. Jika para pegawai negeri sipil di kabupaten ini tidak tinggal di tempat kerja (pemerintahan berjalan di tempat) artinya pegawai sering tinggal di luar kabupaten Intan Jaya, siapa yang akan membeli hasil dari masyarakat? Penyebaran uang di luar Intan Jaya oleh pegawai atau pengusaha yang berkarya di Intan Jaya, sehingga hasil jualan masyarakat tidak laku atau dari pada hasil bumi yang jual busuk, antara mereka sendiri lakukan sistem “Bartel” saling menukar hasil jualan mereka sendiri dari pada bawah pulang kerumah dibuang atau jadi busuk.


Kesepuluh, Hukum dan HAM. Hal yang dimaksudkan di sini adalah, mengintensifkan penegakan hukum demi percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial. Laporan yang dikeluarkan oleh United Nations Development Program (UNDP) pada tahun 2008 mengakui bahwa upaya penganggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan tidak mungkin dapat tercapai bila penduduk yang terpinggirkan tidak terlindungi secara hukum.


Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa ketidakadilan yang dialami masyarakat miskin juga semakin bertambah karena ketidakmampuan mereka mengakses lembaga peradilan atau terpinggirkannya mereka dari jalur-jalur pencapaian keadilan lainnya. Dalam laporan ini disebutkan bahwa perlindungan dan pemberdayaan hukum adalah salah satu strategi kunci bagi penghapusan kemiskinan.


Dalam hubungan dengan penegakan HAM, salah satu konsekuensi dari pembangunan adalah dinamika sosial yang semakin kompleks. Karena itu tugas pemerintah adalah memastikan ketertiban umum agar setiap warga  tidak saling berkonflik dengan warga lainnya. Pemerintah hadir untuk melindungi kesejahteraan umum rakyatnya.


Untuk mengintensifkan penegakan hukum demi percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial maka mesti ditempuh langkah-langkah sebagai berikut :


a. Pelayanan program yang fokus pada rakyat miskin, rentan atau terpinggirkan.  Program difokuskan pada pemenuhan hak-hak dasar, penyelesaian sengketa dan konflik yang efektif.  Pemberikan perlindungan hak asasi manusia dan Pemberian bantuan hukum.

b.       
b. Pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam yang berkepastian hukum dan berkeadilan. Peningkatan luas alokasi ruang, tanah dan sumber daya bagi masyarakat dalam kebijakan perencanaan ruang wilayah dan perencanaan pembangunan kehutanan,  pertambangan dan pesisir.  Dalam hubungan dengan investasi maka investasi yang ada harus dapat mengakomodir hak masyarakat adat atas tanah adat.


c. Penataan kependudukan dari Akta lahir, hingga dokumen kependudukan lainnya seperti KTP dan Kartu Keluarga.  Sebab kepemilikan identitas hukum seringkali mempengaruhi beragam aspek kehidupan, terutama terkait dengan pemenuhan hak-hak dasar, perlindungan, dan akses terhadap beragam pelayanan dasar, pelayanan sosial, dan pelayanan hukum.

    
Mengunjugi warga dalam beberapa kesempatan, bercerita dan mendengar keluhan rakyat saya bisa memastikan bahwa pembangunan selama ini tidak sampai memperhitungkan pengalaman, realitas, dan kebutuhan warga miskin. Padahal, persoalan yang sering dialami baik dibidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan lingkungan tidak lain adalah ketiadaan layanan publik yang menyentu warga miskin.  Dalam menjawabi kebutuhan akan akses layanan publik ini maka perlu  memastikan keadilan sosial terintegrasi dengan keadilan hukum.


Untuk itu perlu ada berbagai kebijakan yang pro kaum miskin. termasuk kebijakan-kebijakan sebelumnya yang menjamin hak-hak dasar  untuk bisa hidup, bekerja, dan mendapatkan berbagai layanan publik. Kebijakan itu pun disertai dengan sosialiasi kebijakan, penyadaran hukum, dan keterbukaan informasi. Peningkatan penyediaan sarana prasarana dan monitoring penyediaan kebutuhan bahan pokok.


Kesebelas, Keterbukaan dan Partisipasi. Dalam hal keterbukaan pun, sebenarnya masyarakat bisa ikut serta memberi masukan dalam proses pembuatan kebijakan. Sebuah kebijakan harus mendengar dari pihak yang mendapat manfaat dari kebijakan tersebut. Dengan memberikan masukan terhadap perumusan sebuah kebijakan, maka dengan sendirinya masyarakat sudah bersedia untuk melaksanakan kebijakan itu. Kemudahan dalam melaksanakan kebijakan sudah didapat sejak dari perumusan sebuah kebijakan.


Keterbukaan dan partisipasi masyarakat pada gilirannya membuka dengan leluasa kesediaan masyarakat untuk memantau dan mengawasi jalannya pemerintahan. Pemerintah bukan segala-galanya sehingga tidak pernah berbuat salah. Itulah sebabnya, maka pengawasan masyarakat itu penting demi jalannya suatu pemerintahan.


Mekanisme partisipasi tentu menghendaki dibukanya kanal-kanal partisipasi yang memungkinkan masyarakat dapat terlibat. Di sini pun kita bicara tentang akuntabilitas  dimana ada mekanisme tanggung-gugat antara pembuat kebijakan dengan stakeholder yang dilayani. Masyarakat diberi ruang untuk meminta penjelasan dan pertanggungjawaban apabila terdapat ketidaksesuaian antara apa yang direncanakan secara bersama-sama dengan pelaksanaannya.


Keduabelas, Pelembagaan Sistem Pengaduan dan Akses Informasi. Pelayanan publik berhubungan erat dengan mekanisme pengaduan publik. Kurangnya penanganan keluhan masyarakat merupakan cermin pelayanan publik masih bermasalah. Karena itu pemerintah daerah perlu lebih responsif mendengar dan menindaklanjuti setiap pengaduan masyarakat. Oleh karena itu perlu diciptakan instrumen pengaduan. Misalnya, layanan telepon gawat darurat, mekanisme pengaturan lelang, tunjangan berbasis kinerja, penyiapan kotak pengaduan di setiap instansi yang berhubungan dengan pelayanan masyarakat, dan penyiapan informasi.


Dalam hubungan ini diperlukan penataan informasi daerah. Manejemen Birokrasi beserta perangkatnya harus mampu menjawabi kebutuhan masyarakat saat ini yang mengandalkan perkembangan di sektor informasi dan teknologi. Tentu saja yang dikehendaki adalah penggunaan teknologi informasi berupa internet, namun saat ini seperti Intan Jaya masih belum bisa melaksanakan hal itu. Namun demikian dari keterbatasan yang ada pemerintah dapat membuatkan website agar apa yang menjadi program dan potensi daerah bisa memancing orang luar datang ke Intan Jaya juga penerbitan berbagai buku, brosur, pemberitaan media.


Melalui informasi pemerintah dapat melakukan sosialiasi kebijakan, penyadaran  hukum, keterbukaan informasi. Efisiensi Kebijakan Publik  : Pengambilan kebijakan publik dengan  mengutamakan pada aspek  yang memberikan dampak positif bagi masyarakat melalui mekanisme mendengarkan aspirasi masyarakat secara berkesinambungan. - Sistem informasi kebijakan pemerintah (Perda dan Peraturan Kepala Daerah) yang dapat diakses oleh masyarakat dengan mudah.       


PENUTUP

Cara kerja dan sikap baru dituntut dari birokrasi. Budi Santoso, (Budaya Inovatif, Inovatif Budaya, Kompas 13 November 2017) menuliskan : “Kita juga harus berinovasi di dalam budaya. Inovasi di dalam budaya diharapkan menghasilkan cara kerja dan sikap baru yang lebih bermanfaat. Budaya di sini tidak melulu soal seni, warisan peninggalan, bangunan kuno, pakaian adat atau kuliner. Tetapi lebih luas adalah budaya di pemerintahan, hukum dan politik. Budaya melayani dan membuat yang sulit jadi mudah haruslah dikembangkan. Budaya ”kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah” harus ditinggalkan. Di sisi pemerintahan, kita perlu menciptakan inovasi dalam birokrasi dan perizinan serta hukum.”Sekalipun pelayanan publik melekat dalam tugas-tugas pemerintahan, tidak berarti bahwa urusan pelayanan publik sudah tidak menjadi masalah. Justru sebaliknya, di banyak pemerintahan daerah pelayanan publik ini pun baru diterapkan sehingga diperlukan persiapan-persiapan baik sarana dan prasarana maupun kesiapan sumberdaya manusia terutama kesiapan birokrasi pemerintahan.


Memang tidak mudah menjadikan pemerintahan sebagai lembaga yang mengurusi pelayanan publik. Sebab selama ini lebih terkesan publik lah yang melayani pemerintah. Segalanya tergantung pemerintah dan tak ada tuntutan apapun jika pemerintah tidak melakukan tugasnya dalam pelayanan publik. Setelah diketahui bahwa tugas pemerintah melayani kebutuhan warganya, baru dimana-mana ramai dibicarakan pentingnya pelayanan publik ini.


Perencanaan yang matang membuat hidup kita teratur, mempunyai prioritas, waktu menjadi efektif, dan fokus kita menjadi lebih terarah. Sebaliknya, tanpa sebuah perencanaan yang matang, kita kerap menjadi bingung dengan apa yang hendak kita tuju dan lakukan dalam hidup kita. Akibatnya, aktifitas berantakan, waktu terbuang sia-sia, dan tanpa fokus yang berarti.


Dalam membangun sebuah kabupaten, diperlukan perencanaan karena akan menjadi acuan bagi suatu pembanganuan dalam jangka panjang. Perencanaan tersebut harus disesuaikan dengan kondisi yang ada, agar tetap realistis saat akan dilaksanakan.


Dengan inovasi maka akan ada cara bekerja baru sebagai bagian dari peningkatan kinerja. Kinerja yang dimaksud adalah kinerja yang lebih memperhatikan sisi-sisi transparansi, akuntabel, efektivitas dan efisiensi. Hal ini dapat meningkatkan keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan. Semua pihak dalam masyarakat dapat turut terlibat dalam menciptakan nilai-nilai publik yang baru dalam masyarakat. Dengan demikian, akan berdampak pula dalam  mengurangi penyalagunaan wewenang yang mengurangi kepentingan publik.


Perubahan ini menuntut semua pemimpin di semua level untuk mengubah cara dan gaya kepemimpinan. Dalam kaitan itu, maka perlu kerja sama dengan semua pihak yang berkepentingan dengan mengedepankan partisipatif, transparansi, dan akuntabel. Bangun data yang akurat dengan berbagai informasi agar semua mengetahui jalannya pemerintahan dan bisa terlibat di dalamnya sesuai tugas dan fungsi masing-masing. @


Tulisan ini disari dari Buku "MENATAP INTAN JAYA BERMARTBAT : MOTIVASI, RENOVASI DAN INOVASI, Penulis : Apolos Bagau, ST, Penerbit : Tollelegi 2018 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar