“Pelayanan Publik”
kini banyak dibicarakan orang berhubungan dengan keberadaan pemerintah dan
birokrasi. Dalam hal pemekaran wilayah, misalnya, termasuk pemekaran Kabupaten Intan Jaya
tujuan dari pemekaran kabupaten ini tidak lain adalah mendekatkan pelayanan publik.
Pelayanan publik sering diartikan sebagai segala
bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang
pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau
Badan Usaha Milik Daerah dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat
maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(Wikipedia).
Mengapa pelayanan publik begitu penting dibicarakan saat ini ? Ini pertanyaan penting karena sebelumnya, katakan sebelum reformasi pelayanan publik belum banyak dibicarakan. Ada perubahan besar yang terjadi dalam pemerintahan yakni perubahan dari paradigma government (pemerintah) ke governance (tata kelola). Jika
dulu segala sesuatu menjadi urusan pemerintah maka sekarang sudah bergeser ke
para pemangku kepentingan (stakeholders). Konsekuensinya, peran pemerintah lebih sebagai fasilitator dan regulator daripada
sebagai pelaksana program dan kegiatan. Pola pemerintahan yang dulu sangat hirarkis kini menjadi sangat partisipatif, terbuka dan menghendaki adanya kolaborasi antara sektor.
Kalau merujuk pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik disana diatur secara khusus prinsip-prinsip pemerintahan yang baik yang merupakan
efektifitas fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri. Asas pelayanan publik yang dimaksudkan dalam undang-undang ini meliputi kepentingan umum,
kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban,
keprofesionalan, partisipatif, persamaan
perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok
rentan, ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Commission on Human Rights) mengidentifikasi beberapa prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan yang baikyakni transparansi, pertanggungjawaban (responsibility), akuntabilitas, partisipasi, dan ketanggapan (responsiveness) sebagai prinsip kunci good governance.
The UN Development Program (UNDP) pada tahun 1997 mengemukakan 8 (delapan) prinsip good governance yakni :1) Kesetaraan untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan, 2) Ketanggapan atas kebutuhan stakeholder (responsiveness), 3) Kemampuan untuk memediasi perbedaan di antara stakeholder untuk mencapai konsensus bersama, 4) Akuntabilitas kepada stakeholder yang dilayani, 5) Transparansi dalam proses pengambilan kebijakan, 6) Aktivitas didasarkan pada aturan/kerangka hukum, 7) Memiliki visi yang luas dan jangka panjang untuk memperbaiki proses tata kelola yang menjamin keberlanjutan pembangunan sosial dan ekonomi dan 8) Jaminan atas hak semua orang untuk meningkatkan taraf hidup melalui cara-cara yang adil dan inklusif.
Dengan diperkanalkan asas dan prinsip pelayanan publik sebagaimana disebutkan di atas, maka sangat terlihat adanya perubahan yang berpengaruh pada kerja-kerja pemerintahan. Perubahan itu menyangkut nilai, persepsi, dan acuan perilaku yang berhubungan erat dengan tata kelola pemerintahan. Perubahan ini pada gilirannya menghendaki birokrat dan aparatur pemerintahan untuk menemukan kembali maknanya sebagai pelayan publik dan bukan sekadar penguasa publik.
Persoalannya, hingga saat ini pergeseran paradigma ini belum semuanya dapat dijalankan dengan baik. Hal ini menyebabkan birokrasi seringkali disorot sebagai lembaga yang penuh dengan masalah. Pelayanan publik tidak berkorelasi dengan pengurangan kemiskinan. Lebih dari itu, sistem penataan brokrasi yang ada belum menjawabi kebutuhan birokrasi sebagai pelayan masyarakat.
Hasil jajak pendapat Kompas 4 September 2017 menunjukkan mayoritas
dari responden meyakini tindakan itu akan mempermudah urusan mereka. Dalam
berurusan dengan birokrasi, entah secara terbuka atau diam-diam, publik
menganggap uang pelicin masih diperlukan. Birokrasi masih dinilai separuh lebih
responden sebagai lekat dengan uang suap, nilainya mahal, urusannya
berbelit-belit, dan membutuhkan koneksi jika ingin melamar masuk ke dalam
birokrasi.
Dalam jejak pendapat ini disebutkan bahwa kondisi ini memperlihatkan adanya dua sisi masalah yang menjerat
birokrasi kita. Di satu sisi, ada oknum aparatur sipil negara (ASN) atau
birokrat yang masih bermental korup. Sementara di sisi lain, sebagian
masyarakat masih menghidupi budaya koruptif itu. (Lihat : Menemukan Kembali
Makna Pelayan Publik Kompas 4 September 2017).
Memang, tidak mudah mempraktikan prinsip-prinsip pelayanan publik sebagai sebuah paradigma baru dalam tata kelola pemerintahan saat ini. Sebab, sudah lama birokrasi tumbuh dan berkembang sebagai penguasa. Namun demikian, dengan mengarahkan perhatian pada pelayanan publik untuk memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia, mempromosikan
kemakmuran ekonomi, praktik-praktik di banyak pemerintahan daerah menunjukkan bahwa perubahan ini dapat dengan mudah dilakukan dan masyarakat pun memberikan aspresiasi positif atas perubahan yang dialami birokrasi ini.
Dari penjelasan singkat tentang perubahan yang dialami dalam tata kelola pemerintahan yang berhubungan dengan pelayanan publik ini, kita bisa memasuki pembahasan tentang birokrasi di Intan Jaya. Dalam tulisan di bawah ini akan saya uraikan secara singkat apa yang saya lihat dan alami berhubungan dengan respon birokrasi Intan Jaya terhadap perubahan paradigma pelayanan ini. Selanjutnya saya mencoba memberikan beberapa saran untuk dapat meningkatkan kinerja birokrasi Intan Jaya.
Saya berpendapat bahwa kendati sebuah perubahan membutuhkan proses namun perlu juga ada usaha untuk mempercepat proses dengan membangun berbagai inovasi yang menyentuh pelayanan di masyarakat. Praktik untuk bisa menyesuaikan perubahan bisa dimulai dari pemahaman dan motivasi bersama, kemudian diikuti dengan penyepurnaan strukutr kerja dan penegakan aturan dan penciptaan inovasi untuk mempercepat perubahan itu. Jika menghendaki perubahan terjadi di Intan Jaya maka birokrasi harus lebih diperhatikan dan diarahkan sebagai pelayan publik serta dijalankan dengan prinsip-prinsip pelayanan publik.
BIROKRASI DALAM USIA YANG RELATIF MASIH MUDA
Pemerintahan dan birokrasi di Intan Jaya tergolong masih muda usianya. Pemekaran kabupaten ini baru terjadi tahun 2008. Baru dua kali terjadi pemilihan kepala daerah langsung dengan masyarakat yang dulunya sangat terisolasi.
Intan Jaya sebelum pemerkaran dari Kabupaten Paniai,
merupakan daerah yang terisolasi. Saat itu hanya ada satu pemerintahan
administratif yang berada di Sugapa, dan perwakilan di Homeyo.Dalam perkembangannya Pemerintah
kabupaten Paniai kemudian mengesahkan Sugapa dan Homeyo menjadi kecamatan.
Tidak seperti layaknya pemerintahan kecamatan yang sudah mapan, Di atas kertas, tugas dan fungsi utama dua kecamatan ini pada waktu itu hanya menyiapkan data
penduduk, menyiapkan data peta wilayah, membuat program pembangunan kecamatan
dan menyiapkan dan melaporkan kondisi perkembangan masyarakat wilayah tersebut. Kenyataannya, belum banyak program pembangunan fisik apa lagi pembangunan ekonomi masyarakat. Pegawai Negeri
Sipil (PNS) kecamatan pun tidak banyak hanya 2 sampai 4 orang saja.
Seiring bergulirnya waktu, reformasi menghendaki perubahan tatanan pemerintahan kearah yang lebih baik masyarakat. Desentralisasi menjadi kata kunci untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Mulai ada kesadaran bahwa wilayah kabupaten Paniai demikian luas sehingga perlu dilakukan pemekaran.
Tahun 2008 berdirinya kabupaten Intan Jaya sebagai bagian dari upaya pemekaran kabupaten Paniai. Kosekuensi lanjutannya adalah dua kecamatan yang ada itu pun dimekarkan menjadi 8 kecamatan. Penempatan pegawai untuk mengisi kekosongan mulai dilakukan tidak hanya untuk kecamatan tapi juga untuk pemerintahan kabupaten. Struktur pemerintahan kabupaten dibentuk, menghendaki pengisian aparatur pemerintahan.
Bukan hal yang mudah dalam pengisian jabatan untuk menyesuaikan dengan struktur birokrasi yang terbentuk. Masalah ketersediaan pegawai, itu masalah pertama. Jumlah pegawai sangat terbatas kendati bisa didatangkan dari kabupaten induk dan kabupaten tetangga. Dalam keterbatasan jumlah itu pun tidak semua pegawai mau ditempatkan di kabupaten baru dengan medan yang sangat sulit.
Masalah kedua, adalah masalah kapasitas dan kompetensi. Di tengah keterbatasan jumlah pegawai, terdapat juga masalah kompetensi dan kapasitas. Tidak banyak PNS yang bisa ditempatkan pada jabatan-jabatan yang sesuai dengan kompetensi. Karena itu, banyak jabatan diisi oleh birokrat yang tidak sesuai dengan kompetensi. Semuanya dijalankan dengan harapan akan ada perbaikan dan penyempurnaan di kemudian hari.
Saat Intan Jaya sudah memiliki Bupati dan wakil Bupati defenitif, mulai ada pembenahan birokrasi.Banyak pertembangan yang dijadikan dasar penempatan birokrasi yang tidak sekedar kapasitas dan kompetensi. Ada pertimbangan lain, yakni pertimbangan politik dan budaya. Loyalitas aparatur yang dibentuk dari proses politik dukung mendukung dalam pilkada, misalnya juga dijadikan alasan siapa yang pantas menduduki jabatan birokrasi yang ada. Ada pertimbangan budaya yakni soal mengakomodasi keterwakilan kelompok-kelompok masyarakat dalam birokrasi.
Sekalipun penempatan birokrasi tidak seideal seperti yang dibayangkan, kondisi birokrasi di Intan Jaya mulai menunjukkan harapan. Kantor-kantor pemerintahan mulai dibangun, dinas-dinas mulai bekerja, dan di kecamatan atau distrik mulai ada penempatan pegawai. Bagaimana pun selain tuntutan kinerja, penempatan pegawai yang lebih dekat dengan kehidupan
masyarakat dipandang sebagai cara untuk mendekatkan pelayanan publik kepada
masyarakat.
Roda pemerintahan di Kabupaten Intan Jaya mulai berjalan sebagaimana yang terjadi di kabupaten-kabupaten. Program pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten Intan Jaya sendiri mulai memberi warna tersendiri bagi pembangunan kabupaten ini.
Namun demikian, sebagaimana hal yang dikatakan tidak ideal, birokrasi di Intan Jaya masih dibelit persoalan yang kalau tidak diperbaiki akan berdampak pada jalannya roda pemerintahan di Intan Jaya. Dari pembicaraan dengan masyarakat, muncul keluhan bahwa pegawai di Intan Jaya seringkali meninggalkan Intan Jaya dengan alasan yang tidak jelas. Hal ini mengakibatkan banyak urusan masyarakat tertunda atau pun diabaikan. Tidak ada sanksi yang tegas terhdap birokrasi yang memiliki kinerja yang rendah membuat para aparat yang meninggalkan tugas merasa hal yang biasa-biasa saja.
Pemerintah pun dinilai tidak transparan dalam pengelolaan keuangan maupun hal lain yang menyangkut kebijakan, Banyak perencanaan kebijakan yang tidak melibatkan masyarakat. Masyarakat hanya tahu saat implementasi kebijakan itu. Ada kesan usulan-usulan masyarakat tidak didengar oleh aparat pemerintah, yang menyebabkan lambat laun masyarakat menjadi apatis dan partisipasi masyarakat pun menjadi macet.
Sikap apatis dan serba menunggu dari masyarakat lantaran usulan-usulan dari masyarakat selalu tidak ditanggapi membuat masyarakat menjadi pasif. Orang tidak mau berbuat apa-apa kecuali menunggu apa yang dilakukan pemerintah. Sementara apa yang dilakukan pemerintah pun tidak segera dilaksanakan atau didukung, karena orang tidak merasa bagian dari program dan kebijakan yang digulirkan pemerintah.
Pemerintah yang tertutup hanya menyebabkan masyarakat menduga-duga apa yang sedang di
kerjakan pemerintah. Karena soalnya adalah menduga-duga, maka bisa saja masyarakat salah dalam memahami jalannyakebijakan pemerintah. Lebih fatal lagi kalau dugaan disertai dengan kecurigaan. Apapun baiknya sebuah kebijakan yang dilakukan, tetap saja dalam pelaksanaannya selalu mendapat hambatan.
Roda pemerintahan di Kabupaten Intan Jaya mulai berjalan sebagaimana yang terjadi di kabupaten-kabupaten. Program pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten Intan Jaya sendiri mulai memberi warna tersendiri bagi pembangunan kabupaten ini.
Namun demikian, sebagaimana hal yang dikatakan tidak ideal, birokrasi di Intan Jaya masih dibelit persoalan yang kalau tidak diperbaiki akan berdampak pada jalannya roda pemerintahan di Intan Jaya. Dari pembicaraan dengan masyarakat, muncul keluhan bahwa pegawai di Intan Jaya seringkali meninggalkan Intan Jaya dengan alasan yang tidak jelas. Hal ini mengakibatkan banyak urusan masyarakat tertunda atau pun diabaikan. Tidak ada sanksi yang tegas terhdap birokrasi yang memiliki kinerja yang rendah membuat para aparat yang meninggalkan tugas merasa hal yang biasa-biasa saja.
Pemerintah pun dinilai tidak transparan dalam pengelolaan keuangan maupun hal lain yang menyangkut kebijakan, Banyak perencanaan kebijakan yang tidak melibatkan masyarakat. Masyarakat hanya tahu saat implementasi kebijakan itu. Ada kesan usulan-usulan masyarakat tidak didengar oleh aparat pemerintah, yang menyebabkan lambat laun masyarakat menjadi apatis dan partisipasi masyarakat pun menjadi macet.
Sikap apatis dan serba menunggu dari masyarakat lantaran usulan-usulan dari masyarakat selalu tidak ditanggapi membuat masyarakat menjadi pasif. Orang tidak mau berbuat apa-apa kecuali menunggu apa yang dilakukan pemerintah. Sementara apa yang dilakukan pemerintah pun tidak segera dilaksanakan atau didukung, karena orang tidak merasa bagian dari program dan kebijakan yang digulirkan pemerintah.
Pemerintah yang tertutup hanya menyebabkan masyarakat menduga-duga apa yang sedang di
kerjakan pemerintah. Karena soalnya adalah menduga-duga, maka bisa saja masyarakat salah dalam memahami jalannyakebijakan pemerintah. Lebih fatal lagi kalau dugaan disertai dengan kecurigaan. Apapun baiknya sebuah kebijakan yang dilakukan, tetap saja dalam pelaksanaannya selalu mendapat hambatan.
Memang, tidak semua masukan masyarakat dapat terakomidasi
dalam sebuah rumusan kebijakan. Ada begitu banyak pertimbangan yang boleh jadi
membuat masukan sekelompok masyarakat diabaikan. Tapi hal ini pun lagi-lagi harus
disertai dengan keterbukaan menyampaikan alasan mengapa usulan tidak diterima.
Masyarakat harus tahu mengapa usulannya tidak diterima. Dengan mengetahui, ia
akan menerima dan pada gilirannya akan melaksanakan keputusan itu walau bukan
usulannya. Pada tataran yang lebih luas, konflik pun dapat diatasi sedini
mungkin.
Tentu tidak mudah melaksanakan pemerintahan yang baik dengan
mengedepankan pelayanan publik yang maksimal pada masyarakat yang baru belajar politik dan baru mengenal pemerintahan modern. Semuanya harus
dibingkai dalam sebuah proses yang menuntut kesabaran, komitmen dan kamauan
yang kuat.
Sebab, bukan saja soal kemauan pemerintah saja tapi juga kesiapan rakyat. Memang di awal sangatlah sulit karena masyarakat belum terbiasa ikut dalam pengelolaan pemerintahan, tapi lama kelamaan semua itu akan menjadi hal yang biasa dan membawa optisme bahwa pembangunan dapat terlaksana karena ada dukungan masyarakat.
Sebab, bukan saja soal kemauan pemerintah saja tapi juga kesiapan rakyat. Memang di awal sangatlah sulit karena masyarakat belum terbiasa ikut dalam pengelolaan pemerintahan, tapi lama kelamaan semua itu akan menjadi hal yang biasa dan membawa optisme bahwa pembangunan dapat terlaksana karena ada dukungan masyarakat.
PELAYANAN DARI KAMPUNG KE KAMPUNG
Sebagai mana maksud dari buku ini yakni memberikan motivasi,
mengusulkan bagian-bagian mana yang perlu direnovasi, dan merangsang tindakan
inovasi, maka di bawah ini saya ungkapan beberapa catatan saya dalam mendorong
penyelenggaraan pemerintahan yang baik di Intan Jaya.
Saya mengutip pendapat Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng yang mengatakan bahwa keluhan publik tidak akan efektif diatasi tanpa komitmen kuat pemimpin birokrasi, terutama di lingkungan pemerintah daerah. Menurut Robert Endi Jaweng, pemerintah daerah perlu lebih responsif untuk meningkatkan penghargaan terhadap pelayanan publik. (KOMPAS – Selasa, 14 Juni 2016).
Pada tingkat internal, peran pemimpin menjadikan
birokrasi sebagai institusi pelayanan masyarakat yang profesional dan
dipercaya. Ia harus pandai menyeleksi orang-orang yang akan membantunya.
Kepandaian yang dimaksud adalah kemampuan mengenal kompetensi bawahannya
sehingga akan terwujud suatu birokrasi yang profesional yang siap melayani. Pemimpin juga harus memulai memperkenalkan sistem birokrasi yang efektif termasuk sistem
keuangan yang transparan dan efisien. Pemimpin menjunjung tinggi prinsip akuntabel, proporsional dan
berkeadilan, serta menjunjung prinsip organisasi birokrasi yang modern. Dengan
penerapan sistem birokrasi modern maka yang menjadi arah capaian adalah
pelayanan prima yang diberikan oleh birokrasi.
Pada tingkat eksternal, yakni dalam hubungan dengan
masyarakat maka pemimpin harus menunjukkan sikap terbuka dan mau menjumpai masyarakat
untuk mendengar keluhan masyarakat. Ia harus mempelopori berbagai mekanisme
penyampaian aspirasi dan pengaduan masyarakat. Ia juga mempelopori akses
masyarakar atas informasi. Baik tugas internal
maupun eksternal, kehadiran pemimpin diharapkan dapat memberi motivasi pada
tujuan bersama yang hendak dicapai.
Kedua, Penataan Kelembagaan. Dari peran dan komitmen
pemimpin, maka selanjutnya adalah penataan kelembagaan. Penataan kelembagaan
tentu disesuaikan dengan kewenangan pemerintah daerah. Penataan kelembagaan
harus mengedepangkan prinsip : miskin struktur kaya fungsi agar memudahkan
pembiayaan dan penganggaran daerah. Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah
akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan
diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada pemerintah
daerah, dengan pengaturan tersebut, dalam hal ini pada dasarnya pemerintah
menerapkan prinsip ; uang mengikuti fungsi.
Di dalam Undang-Undang mengenai Keuangan Negara, terdapat
penegasan di bidang pengelolaan keuangan, yaitu bahwa kekuasaan pengelolaan
keuangan negara adalah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintah pusat. Dalam
kerangka penghematan maka diperlukan upaya untuk memperpendek rentang kendali
birokrasi. Apa yang bisa dilakukan di
kabupaten, biarlah diurus di kabupaten. Demikian juga apa yang bisa diurus di
kecamatan dan desa biarlah diurus di kecamatan dan desa. Sementara pengawasan
atas kinerja birokrasi dilakukan dengan melibatkan instansi terkait untuk
mengaudit dan melibatkan masyarakat untuk melakukan kontrol.
Ketiga, Penataan Aparat. Penataan kelembagaan pemerintahan
akan berimplikasi terhadap aparat sebagai unsur pelaksana dalam kelembagaan
tersebut. Penataan aparat harus diawali dengan melakukan beberapa hal, antara
lain; analisis pekerjaan (job analysis), spesifikasi pekerjaan (Job
Specifikation), uraian pekerjaan (Job Description). Atas dasar analisis ini
maka akan diketahui kebutuhan aparat, baik jumlah maupun spesifikasinya. Dengan
cara ini maka aparat akan memahami apa yang menjadi tugas, fungsi, kewenangan,
kewajiban, dan haknya.
Penataan aparat berhubungan dengan proses rekrutmen,
seleksi, penempatan jabatan, mutasi jabatan, pengembangan dan pelatihan, dan
kesejahteraan. Penataan yang dimaksud harus dilakukan dengan memperhatikan
beberapa prinsip dasar antara lain; transparan dan terbuka kepada siapa saja,
objektif terhadap apa saja, profesional dan menempatkan aparat berdasarkan
keahlihan.
Dalam rekrutmen dan penempatan jabatan, baiknya dilakukan fit and proper tes . Dengan cara ini maka setiap promosi jabatan hanya bisa dilakukan dengan
penilaian kinerja dan kompetensi secara terbuka. Dalam mewujudkan perubahan
yang diimpikan, penempatan jabatan harus sesuai dengan dasar pendidikan atau
bidang pendidikannya atau ;The Right Man On The Right Place (penempatan jabatan
sesuai keahlian). Selanjutnya, dari seluruh aspek perencanaan, proses dan hasil yang
dijalankan benar dapat diukur dan dievaluasi.
Kelima, Penataan Keuangan. Pemerintah era reformasi telah
bertekad untuk menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah berdasarkan
kepada prinsip luas, nyata dan bertanggung jawab secara proporsional.
Kewenangan pemerintahan daerah dimaksud dalam hal mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat daerah setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat.
Penyerahan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan
mengurus masyarakat setempat seharusnya diikuti dengan penyerahan kewenangan
pengelolaan bidang keuangan. Kewenangan pengelolaan bidang keuangan yang dimaksudkan meliputi; menentukan sumber-sumber keuangan, Penyusunan sampai dengan
pengesahan anggaran dan evaluasi atau pelaporan. Untuk menjamin pelaksanaan
pengelolaan keuangan, maka perlu disusun standar akutansi keuangan daerah.
Namun kenyataan, belanja pegawai yang besar ini menunjukan
minimnya keberpihakan pemerintah terhadap persoalan rakyat. Belum lagi soal
fungsi kontrol yang lemah. Maka mau tidak mau perlu ada kepastian bahwa
anggaran negara benar-benar dibelanjakan untuk kepentingan rakyat dan
mengalokasikan anggaran secara tepat, menentukan prioritas yang kriterianya
demi kepentingan masyarakat. Langkah terbaik adalah efisiensi dengan melakukan
restrukturisasi belanja atau mengurangi belanja-belanja yang tidak perlu,
seperti perjalanan dinas, pembelian kendaraan yang tidak produktif, dan
pengetatan anggaran.
Untuk itu diperlukan penerapkan disiplin anggaran yang dimulai
dari dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi. Dalam seluruh proses ini
diperlukan sensibilitas dan prioritas
anggaran. Artinya, anggaran negara
benar-benar dibelanjakan untuk kepentingan rakyat. Terkait dengan hal ini maka
diperlukan sistem pengadaan barang dan jasa dan reformasi birokrasi di sektor anggaran.
Reformasi birokrasi di sektor anggaran dimaksudkan untuk menjamin penghematan belanja pegawai. Langkah pertama adalah dengan melakukan restrukturisasi belanja atau mengurangi belanja-belanja yang tidak perlu, seperti perjalanan dinas, pembelian kendaraan, pembelajan yang tidak produktif, dan pengetatan anggaran. Perlu disiapkan kerangka hukum yang rinci mengenai pelelangan, menyiapkan sumber daya, iklim kompetisi dan lembaga pemantau.
Keenam, Koordinasi antar Instansi. Koordinasi diantara instansi juga merupakan cara agar sebuah program menjadi program bersama tanpa harus tumpag tindih. Program bersama akan menjamin efektivitas program itu sendiri.
Reformasi birokrasi di sektor anggaran dimaksudkan untuk menjamin penghematan belanja pegawai. Langkah pertama adalah dengan melakukan restrukturisasi belanja atau mengurangi belanja-belanja yang tidak perlu, seperti perjalanan dinas, pembelian kendaraan, pembelajan yang tidak produktif, dan pengetatan anggaran. Perlu disiapkan kerangka hukum yang rinci mengenai pelelangan, menyiapkan sumber daya, iklim kompetisi dan lembaga pemantau.
Keenam, Koordinasi antar Instansi. Koordinasi diantara instansi juga merupakan cara agar sebuah program menjadi program bersama tanpa harus tumpag tindih. Program bersama akan menjamin efektivitas program itu sendiri.
karena itu, menurut pendapat saya, birokrasi menjadi ujung
tombak pelayanan publik mesti dimulai dari birokrasi itu sendiri. Artinya
pandangan bahwa pekerjaan birokrasi hanya untuk melayani masyarakat menjadi
modal awal untuk melaksanakan suatu pemerintah yang baik demi pelayanan
masyarakat.
Konsekuensinya pada tingkat birokrasi harus ada koordinasi
yang baik, harus memahami tugas dan fungsinya dan bersedia turun ke menemui
masyarakat. Birokrasi tidak bisa hanya memikirkan program pelayanan publik
untuk masyarakat tanpa memperhatikan masukan dari masyarakat, dan tanpa pula
memperhatikan kapasitas birokrasi itu sendiri dalam melaksanakan program.
Koordinasi diantara instansi juga merupakan cara agar sebuah program menjadi
program bersama tanpa harus tumpag tindih. Program bersama akan menjamin
efektivitas program itu sendiri.
Menurut pendapat saya, birokrasi menjadi ujung tombak
pelayanan publik mesti dimulai dari aparat birokrasi itu sendiri. Artinya
pandangan bahwa pekerjaan birokrasi hanya untuk melayani masyarakat sudah menjadi
modal awal untuk melaksanakan suatu pemerintah yang baik demi pelayanan
masyarakat. Konsekuensinya pada tingkat birokrasi harus ada koordinasi yang
baik, harus memahami tugas dan fungsinya dan bersedia turun ke menemui
masyarakat. Birokrasi tidak bisa hanya memikirkan program pelayanan publik
untuk masyarakat tanpa memperhatikan masukan dari masyarakat, dan tanpa pula
memperhatikan kapasitas birokrasi itu sendiri dalam melaksanakan program.
Ketujuh. Budaya Birokrasi. Pembaruhan birokrasi akan tidak
lengkap jika tidak menyasar pada budaya birokrasi. Dalam birokrasi modern yang
hendak dimasuki, titik tolak budaya birokrasi menyangkut birokrasi yang
efektif, efisien, profesional dan
berintegritas tinggi. Sudah saatnya kebangaan pada birokrasi di Intan Jaya
bukan pada status dan jabatan, melainkan pada kinerja dan kesungguhan melakukan
pelayanan prima bagi masyarakat. Pengakuan itu datang pada diri sendiri,
atau pun pada atasan tapi datang dari masyarakat sendiri. Itulah birokrasi
modern yang berorientasi pada pelayanan masyarakat.
Sikap mental pelayanan aparat birokrasi pemerintah yang
cenderung dilayani memang perlu disuntikkan mental perubahan. Aparat birokrasi
sudah seharusnya melayani kepentingan umum, sebaliknya mengurangi secara
signifikan mengenai ongkos-ongkos pelayanan yang memberatkan masyarakat.
Birokrasi yang melayani sangat didambakan rakyat. Lebih lagi jika birokrasi
tidak menghabiskan anggaran secara sia-sia.
Saya mengutip apa yang ditulis Kompas 4 Sep 2017 dengan judul “Menemukan Kembali Makna Pelayan
Publik” : Pelatihan menjadi upaya untuk mengatasi rendahnya kualitas kinerja
ASN. Hal ini telah didukung dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No 11 Tahun
2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Dalam peraturan ini PNS wajib
mengikuti pelatihan minimal 20 jam setahun dengan harapan agar kualitasnya
tidak lagi hanya dalam taraf administrasi umum, tetapi sesuai dengan
keahliannya.
Namun, berbeda dengan
pembenahan atas kinerja, pembenahan atas integritas aparat birokrasi adalah
lebih sulit. Kondisi gaji dan fasilitas saat ini sudah jauh lebih baik daripada
beberapa dekade yang lalu. Namun, perilaku mencari keuntungan pribadi tetap
berlangsung. Dalam kaitan ini publik menilai problem utama yang menimpa
birokrasi adalah soal mental, yakni kedisiplinan untuk tidak menerima suap. Dua
kata kunci, yakni pembenahan mentalitas dan pengawasan yang diperkuat,
dipercaya publik akan membenahi wajah birokrasi kita.
Bersamaan dengan itu, dilakukan pula peningkatan kompetensi
birokrasi dan kejelasan dalam sistem regulasi perundangan agar mempersempit
celah untuk melakukan perbuatan tercela.
Hanya dengan langkah nyata untuk membenahi sistem dan sumber daya manusia
birokrasi, maka harapan positif publik yang saat ini telah tumbuh akan terwujud
secara nyata. Selanjutnya, birokrasi akan kembali menemukan maknanya sebagai
pelayan publik dan bukan sekadar penguasa publik.
Kedelapan, Penataan DPRD. Undang_Undang No. 32 Tahun 2004,
tentang Pemerintahan Daerah, telah melegitimasi posisi DPRD sebagai mitra
sejajar pemerintah daerah. DPRD bersama-sama dengan Pemerintah Daerah
diposisikan sebagai pemerintah daerah. Kedudukan ini tentunya akan memberikan
peluang yang lebih besar bagi DPRD untuk melaksanakan fungsi kontrolnya. Jadi
tugas dan fungsi DPRD adalah; Legislasi
, pengesahan dan pengawasan.
Kedudukan DPRD sebagai mitra sejajar pemerintah daerah
(eksekutif), harus diimbangi dengan kemampuannya dalam menimplementasikan
tugas dan fungsi yang diemban. Ketidakmampuan DPRD dalam
mengimplementasikan tugas dan fungsinya
sebagai wakil rakyat, akan mengakibatkan timbulnya konflik terhadap proses
demokratisasi. Kinerja DPRD yang tidak memadai, berdampak negatif terhadap
pelaksanaan fungsi pemerintahan, dalam hal melayani, memperdayakan, dan
membangun masyarakat.
Pengamatan dan analisa saya selama ini tugas dan fungsi DPRD
kabupaten Intan Jaya tidak berjalan sesuai fakta pada tugas dan fungsi
tersebut, di sebabkan karena tidak berprofesional dalam jabatan sebagai DPRD, yang
sering disebut datang, duduk, diam, dengar, duit di sebut DPRD 5 (lima) D.
Sebenarnya DPRD ini datang dari suara rakyat, maka Anda duduk sebagai DPRD
rakyat dan menyuarakan suara rakyat anda kepada pemerintah sebagai wakil dan
aspirasi rakyat anda kepada pemerintah. Dalam legalita demokratisasi DPRD
merupakan wakil rakyat yang akan menyampaikan aspirasi rakyat anda kepada
pemerintah.
Oleh karena itu, maka penataan lembaga DPRD menjadi penting dalam
rangka perbaikan dan peningkatan kinerjanya sebagai lembaga aspirasi rakyat. Anggota DPRD banyak memahami dan pelajari buku petunjuk tata tertib lembaga DPRD yang
tersediah dan dapat di implementasikan di lapangan.
Kepada anggota DPRD sekarang dapat mempelajari pengalaman
yang baik dan benar untuk meningkatkan wibawa dan martabat sebagai wakil rakyat
yang terhormat untuk dapat di sandung oleh banyak orang dan publik di mana anda
bertugas. Untuk ke depan rakyat harus melihat dan memilih para calon anggota DPRD yang
berpengetahuan dan yang memiliki profesi dan cerdik, agar lembaga DPRD berjalan
baik dan bisa bertanggung jawab rakyat.
Kesembilan, Birokrasi Berbasis Ekonomi. Birokrasi perlu
didorong untuk mendatangkan nilai tambah sektor ekonomi. Ditengah keluhan kita
tentang minimnya sumber daya, kita lupa bahwa sumberdaya yang mendekati
kesiapan adalah sumber daya yang ada di birokrasi. Bayangkan, begitu banyak SDM
Intan Jaya lulusan perguruan tinggi kini
berada di birokrasi baik yang telah berstatus pegawai negeri maupun yang masih
honorer. SDM ini hingga kini belum
dimaksimalkan baik ditingkat pelayanan publik maupun mendatangkan nilai tambah
ekonomi.
Untuk menjawab hal itu maka setiap instansi dalam lingkungan
pemerintah perlu didorong untuk ambil bagian sekaligus proaktif mengambil
tanggung jawab dalam mendukung investasi dan pemberdayaan ekonomi. Dalam
kerangka kerja ini perlu memastikan koordinasi dan komunikasi diantara
intstansi terkait.
Sebagai contoh, Intan Jaya adalah salah satu daerah wisata serta bersifat
unik yang sangat berpotensi untuk dijaga, dipelihara dan di rawat untuk menarik
perhatian para wisatawan manca negara, termasuk yang sekarang sedang di
kunjungi oleh wisatawan di gunung cartenz. Semua itu merupakan usaha tempat
pencarian kerja atau membuka lapangan kerja
(kesibukan masyarakat) bagi yang belum berpendidikan.
Ekonomi Intan Jaya juga perlu diperhatikan dari segi belanja
pegawai sendiri. Jika para pegawai negeri sipil di kabupaten ini tidak tinggal
di tempat kerja (pemerintahan berjalan di tempat) artinya pegawai sering
tinggal di luar kabupaten Intan Jaya, siapa yang akan membeli hasil dari
masyarakat? Penyebaran uang di luar Intan Jaya oleh pegawai atau pengusaha yang
berkarya di Intan Jaya, sehingga hasil jualan masyarakat tidak laku atau dari
pada hasil bumi yang jual busuk, antara mereka sendiri lakukan sistem “Bartel”
saling menukar hasil jualan mereka sendiri dari pada bawah pulang kerumah
dibuang atau jadi busuk.
Kesepuluh, Hukum dan HAM. Hal yang dimaksudkan di sini adalah, mengintensifkan penegakan hukum
demi percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial.
Laporan yang dikeluarkan oleh United Nations Development Program (UNDP) pada
tahun 2008 mengakui bahwa upaya penganggulangan kemiskinan dan peningkatan
kesejahteraan tidak mungkin dapat tercapai bila penduduk yang terpinggirkan
tidak terlindungi secara hukum.
Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa ketidakadilan yang
dialami masyarakat miskin juga semakin bertambah karena ketidakmampuan mereka
mengakses lembaga peradilan atau terpinggirkannya mereka dari jalur-jalur
pencapaian keadilan lainnya. Dalam laporan ini disebutkan bahwa perlindungan
dan pemberdayaan hukum adalah salah satu strategi kunci bagi penghapusan
kemiskinan.
Dalam hubungan dengan penegakan HAM, salah satu
konsekuensi dari pembangunan adalah dinamika sosial yang semakin kompleks.
Karena itu tugas pemerintah adalah memastikan ketertiban umum agar setiap
warga tidak saling berkonflik dengan
warga lainnya. Pemerintah hadir untuk melindungi kesejahteraan umum rakyatnya.
Untuk mengintensifkan penegakan hukum demi percepatan
peningkatan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial maka mesti ditempuh
langkah-langkah sebagai berikut :
a. Pelayanan program yang fokus pada rakyat miskin,
rentan atau terpinggirkan. Program
difokuskan pada pemenuhan hak-hak dasar, penyelesaian sengketa dan konflik yang
efektif. Pemberikan perlindungan hak
asasi manusia dan Pemberian bantuan hukum.
b.
b. Pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam
yang berkepastian hukum dan berkeadilan. Peningkatan luas alokasi ruang, tanah
dan sumber daya bagi masyarakat dalam kebijakan perencanaan ruang wilayah dan
perencanaan pembangunan kehutanan,
pertambangan dan pesisir. Dalam
hubungan dengan investasi maka investasi yang ada harus dapat mengakomodir hak
masyarakat adat atas tanah adat.
c. Penataan kependudukan dari Akta lahir, hingga
dokumen kependudukan lainnya seperti KTP dan Kartu Keluarga. Sebab kepemilikan identitas hukum seringkali
mempengaruhi beragam aspek kehidupan, terutama terkait dengan pemenuhan hak-hak
dasar, perlindungan, dan akses terhadap beragam pelayanan dasar, pelayanan
sosial, dan pelayanan hukum.
Mengunjugi warga dalam beberapa kesempatan, bercerita dan
mendengar keluhan rakyat saya bisa memastikan bahwa pembangunan selama ini tidak
sampai memperhitungkan pengalaman, realitas, dan kebutuhan warga miskin.
Padahal, persoalan yang sering dialami baik dibidang ekonomi, kesehatan,
pendidikan, dan lingkungan tidak lain adalah ketiadaan layanan publik yang
menyentu warga miskin. Dalam menjawabi
kebutuhan akan akses layanan publik ini maka perlu memastikan keadilan sosial terintegrasi dengan
keadilan hukum.
Untuk itu perlu ada berbagai kebijakan yang pro kaum miskin.
termasuk kebijakan-kebijakan sebelumnya yang menjamin hak-hak dasar untuk bisa hidup, bekerja, dan mendapatkan
berbagai layanan publik. Kebijakan itu pun disertai dengan sosialiasi
kebijakan, penyadaran hukum, dan keterbukaan informasi. Peningkatan penyediaan
sarana prasarana dan monitoring penyediaan kebutuhan bahan pokok.
Kesebelas, Keterbukaan dan Partisipasi. Dalam hal keterbukaan pun, sebenarnya masyarakat bisa ikut
serta memberi masukan dalam proses pembuatan kebijakan. Sebuah kebijakan harus
mendengar dari pihak yang mendapat manfaat dari kebijakan tersebut. Dengan
memberikan masukan terhadap perumusan sebuah kebijakan, maka dengan sendirinya
masyarakat sudah bersedia untuk melaksanakan kebijakan itu. Kemudahan dalam
melaksanakan kebijakan sudah didapat sejak dari perumusan sebuah kebijakan.
Keterbukaan dan partisipasi masyarakat pada gilirannya membuka dengan leluasa kesediaan masyarakat untuk memantau dan mengawasi jalannya pemerintahan. Pemerintah bukan segala-galanya sehingga tidak pernah berbuat salah. Itulah sebabnya, maka pengawasan masyarakat itu penting demi jalannya suatu pemerintahan.
Mekanisme partisipasi tentu menghendaki dibukanya
kanal-kanal partisipasi yang memungkinkan masyarakat dapat terlibat. Di sini
pun kita bicara tentang akuntabilitas
dimana ada mekanisme tanggung-gugat antara pembuat kebijakan dengan
stakeholder yang dilayani. Masyarakat diberi ruang untuk meminta penjelasan dan
pertanggungjawaban apabila terdapat ketidaksesuaian antara apa yang
direncanakan secara bersama-sama dengan pelaksanaannya.
Keduabelas, Pelembagaan Sistem Pengaduan dan Akses Informasi. Pelayanan publik berhubungan erat dengan mekanisme pengaduan publik. Kurangnya penanganan keluhan masyarakat merupakan cermin pelayanan publik masih bermasalah. Karena itu pemerintah daerah perlu lebih responsif mendengar dan menindaklanjuti setiap pengaduan masyarakat. Oleh karena itu perlu diciptakan instrumen pengaduan. Misalnya, layanan telepon gawat darurat, mekanisme pengaturan lelang, tunjangan berbasis kinerja, penyiapan kotak pengaduan di setiap instansi yang berhubungan dengan pelayanan masyarakat, dan penyiapan informasi.
Keterbukaan dan partisipasi masyarakat pada gilirannya membuka dengan leluasa kesediaan masyarakat untuk memantau dan mengawasi jalannya pemerintahan. Pemerintah bukan segala-galanya sehingga tidak pernah berbuat salah. Itulah sebabnya, maka pengawasan masyarakat itu penting demi jalannya suatu pemerintahan.
Keduabelas, Pelembagaan Sistem Pengaduan dan Akses Informasi. Pelayanan publik berhubungan erat dengan mekanisme pengaduan publik. Kurangnya penanganan keluhan masyarakat merupakan cermin pelayanan publik masih bermasalah. Karena itu pemerintah daerah perlu lebih responsif mendengar dan menindaklanjuti setiap pengaduan masyarakat. Oleh karena itu perlu diciptakan instrumen pengaduan. Misalnya, layanan telepon gawat darurat, mekanisme pengaturan lelang, tunjangan berbasis kinerja, penyiapan kotak pengaduan di setiap instansi yang berhubungan dengan pelayanan masyarakat, dan penyiapan informasi.
Dalam hubungan ini diperlukan penataan informasi daerah.
Manejemen Birokrasi beserta perangkatnya harus mampu menjawabi kebutuhan
masyarakat saat ini yang mengandalkan perkembangan di sektor informasi dan
teknologi. Tentu saja yang dikehendaki adalah penggunaan teknologi informasi
berupa internet, namun saat ini seperti Intan Jaya masih belum bisa
melaksanakan hal itu. Namun demikian dari keterbatasan yang ada pemerintah
dapat membuatkan website agar apa yang menjadi program dan potensi daerah bisa
memancing orang luar datang ke Intan Jaya juga penerbitan berbagai buku,
brosur, pemberitaan media.
Melalui informasi pemerintah dapat melakukan sosialiasi kebijakan, penyadaran hukum, keterbukaan informasi. Efisiensi
Kebijakan Publik : Pengambilan kebijakan
publik dengan mengutamakan pada aspek yang memberikan dampak positif bagi
masyarakat melalui mekanisme mendengarkan aspirasi masyarakat secara
berkesinambungan. - Sistem informasi kebijakan pemerintah (Perda dan Peraturan
Kepala Daerah) yang dapat diakses oleh masyarakat dengan mudah.
PENUTUP
Memang tidak mudah menjadikan pemerintahan sebagai lembaga
yang mengurusi pelayanan publik. Sebab selama ini lebih terkesan publik lah
yang melayani pemerintah. Segalanya tergantung pemerintah dan tak ada tuntutan
apapun jika pemerintah tidak melakukan tugasnya dalam pelayanan publik. Setelah
diketahui bahwa tugas pemerintah melayani kebutuhan warganya, baru dimana-mana
ramai dibicarakan pentingnya pelayanan publik ini.
Perencanaan yang matang membuat hidup kita teratur,
mempunyai prioritas, waktu menjadi efektif, dan fokus kita menjadi lebih
terarah. Sebaliknya, tanpa sebuah perencanaan yang matang, kita kerap menjadi
bingung dengan apa yang hendak kita tuju dan lakukan dalam hidup kita.
Akibatnya, aktifitas berantakan, waktu terbuang sia-sia, dan tanpa fokus yang
berarti.
Dalam membangun sebuah kabupaten, diperlukan perencanaan karena akan menjadi acuan bagi
suatu pembanganuan dalam jangka panjang. Perencanaan tersebut harus disesuaikan
dengan kondisi yang ada, agar tetap realistis saat akan dilaksanakan.
Dengan inovasi maka akan ada cara bekerja baru sebagai
bagian dari peningkatan kinerja. Kinerja yang dimaksud adalah kinerja yang
lebih memperhatikan sisi-sisi transparansi, akuntabel, efektivitas dan
efisiensi. Hal ini dapat meningkatkan keterlibatan dan partisipasi masyarakat
dalam proses pengambilan kebijakan. Semua pihak dalam masyarakat dapat turut
terlibat dalam menciptakan nilai-nilai publik yang baru dalam masyarakat.
Dengan demikian, akan berdampak pula dalam
mengurangi penyalagunaan wewenang yang mengurangi kepentingan publik.
Perubahan ini menuntut semua pemimpin di semua level untuk
mengubah cara dan gaya kepemimpinan. Dalam kaitan itu, maka perlu kerja sama
dengan semua pihak yang berkepentingan dengan mengedepankan partisipatif,
transparansi, dan akuntabel. Bangun data yang akurat dengan berbagai informasi
agar semua mengetahui jalannya pemerintahan dan bisa terlibat di dalamnya
sesuai tugas dan fungsi masing-masing. @
Tidak ada komentar:
Posting Komentar