(Catatan : Artikel menarik tentang komik yang ditulis Nur Hidayati , dimuat di KOMPAS, Minggu
10 Oktober 2015 )
Di Indonesia, komikus tidak cukup sekadar piawai menuangkan
cerita dalam gambar. Mereka juga dituntut paham bisnis dan pintar menjual
karyanya. ”Kerja” tambahan itulah kiat para komikus ini bertahan hidup di
tengah dominasi komik impor.
sumber foto : Kompas, 19 Oktober 2015 |
Meminjam istilah pengamat budaya pop Hikmat Darmawan,
komikus Indonesia adalah orang dengan cinta yang keras kepala. Kecintaan itulah
yang membuat komik Indonesia tetap hidup sampai kini.
Setelah berjaya pada era 19601970, komik Indonesia lama
mati suri. Di tengah dominasi komik impor, komik Indonesia kini menggeliat lagi
dan terus berkembang. Komikus Indonesia juga berkarya merespons tuntutan zaman
digital. Namun, masihbesar tantangan untuk membuatnya kembali jadi tuan di negeri
sendiri.
Dominasi komik impor, tepatnya terjemahan komik impor,
adalah pemandangan kasatmata yang mudah ditemukan di toko buku besar. Data
produksi komik pun membuktikan itu. Dua penerbit besar komik di Indonesia, Elex
Media dan M&C!, menerbitkan sekitar 200 judul buku komik impor per bulan.
Di jaringan Toko Buku Gramedia saja, pada JanuariJuli 2015, dua penerbit ini
sudah menjual 3,83 juta eksemplar komik impor.
Penerbit M&C! sebenarnya memiliki Divisi Koloni (Komik
Lokal Indonesia) yang khusus menerbitkan komik Indonesia. Sayangnya, sampai
kini terbitan utama M&C! tetap terjemahan komik impor. Sekitar 50 judul
komik impor diterbitkan per bulan atau 600 judul per tahun. Sementara Koloni
hanya ditargetkan terbit 12 judul setahun.
Di tengah dominasi komik impor itu, komik Indonesia tetap
hadir. Sebagian besar diterbitkan oleh perusahaan berskala kecil yang memang
khusus menerbitkan karya komikus Indonesia. Bagaimana komikus Indonesia bisa
tetap berkarya dan menghidupi diri dengan komik di tengah arus utama industri
penerbitan yang tak berpihak kepada mereka?
Berkembang
Komikus Indonesia sebenarnya berhadapan dengan beragam
tantangan, mulai dari penerbit yang tak terbiasa dan tak mengalokasikan
anggaran untuk mempromosikan komik, karya yang tak dihargai secara finansial
dengan patut, royalti kecil, dan aturan pajak yang ikut memberatkan. Cinta yang
keras kepala membuat mereka tak putus asa.
Belajar dari kegagalan berulangulang menerbitkan dan
menjual komik, komikus Chris Lie mencari penghidupan dengan cara lain. Ia
bermitra membangun Studio Caravan pada 2008. Kini, Caravan menggarap pesanan
klien dari sejumlah negara berupa komik, karakter gim video, desain mainan,
konsep desain untuk film, juga novel grafis. Marvel Comics, Penguin Books,
Hasbro, dan Mattel termasuk dalam daftar klien Caravan.
Keuntungan finansial Caravan jadi salah satu penopang Chris
meluncurkan Reon, majalah komik yang khusus menyuguhkan kompilasi karya komikus
Indonesia. Sejak Juli 2013, Reon sudah menerbitkan 16 volume majalah dan 2
serial komik yang dibukukan setelah dimuat berseri di majalah.
”Tujuan utama Reon adalah mengupayakan agar komikus
Indonesia bisa hidup dari membuat komik,” ujar komikus penerima beasiswa
Fulbright di Savannah College of Art and Design, Georgia, Amerika Serikat, ini.
Komikus pengisi majalah Reon, yang tersebar di beberapa
kota, ratarata merampungkan 30 halaman komik per bulan. Mereka dibayar dengan
harga karya per halaman. Dari karya mereka, komikus memperoleh penghasilan Rp 6
juta hingga Rp 8 juta per bulan. ”Setidaknya bisa memenuhi kebutuhan dasar
dulu,” ujar Chris.
Komikus juga mendapat royalti ketika serial komik mereka di
majalah dijual terpisah sebagai komik satuan. Tambahan royalti didapatkan pula
dari aksesori (merchandise) karakter komik. Beberapa karakter komik Reon kini
sedang dijajaki untuk digarap jadi film televisi, animasi, dan gim video.
Reon yang dicetak 15.000 eksemplar per edisi didistribusikan
lewat jaringan toko buku dan minimarket. Forumforum komik juga jadi wahana
pemasaran lain. PadaApril 2015, Reon bahkan menguji pasar dengan menggelar
acara sendiri di Depok, Jawa Barat. Dalam acara itu, para komikus Reon
dipertemukan dengan penggemar mereka.
Ternyata acara dua hari itu sukses menarik sekitar 25.000
pengunjung yang mengenali karakter komik Reon. Bank BCA juga menggandeng Reon
untuk menerbitkan kartu ATM bergambar karakter komiknya. Kartu ATM itu terbukti
diminati anak muda sehingga dipertahankan BCA sampai saat ini.
Curhat Anak Bangsa
(CAB) yang sebelumnya dikenal sebagai penerbit komik indiejuga berkembang pesat
setelah bermitra dengan Mizan. Bermula dengan tiga komikus pada 2011, kini CAB
bekerja dengan 20 komikus. Komikus itu bekerja dengan gaji bulanan. Mereka
rutin meluncurkan 10 judul serial komik anak per bulan.
Digital dan cetak
Komikus di Indonesia
adakalanya juga mengambil alih tugas penerbit untuk memasarkan produk. Sweta
Kartika, misalnya, mulamula mengunggah komik Grey & Jingga karyanya secara
berkala di media sosial. Akun komik ini memiliki 14.000 pengikut sebelum
dicetak dan diterbitkan M&C!. Dalam waktu tiga minggu, cetakan pertama
komik ini habis dan dicetak ulang. ”Dengan mencetak komik yang punya penggemar,
penerbit memangkas promosi,” ujar Sweta.
Meski tenar di jagat
digital, Sweta ingin karyanya dicetak penerbit sebagai portofolio. Buku komik
tetap memiliki pencinta tersendiri. Namun, ia tak berharap banyak dari royalti
penerbitan komik. Sweta sempat bereksperimen mencetak sendiri edisi lanjutan
Grey & Jingga sejumlah 500 eksemplar. Komik edisi terbatas itu ia edarkan
lewat pemesanan di media sosial dan dijual langsung pada forumforum komik.
”Ternyata untungnya lebih gede daripada royalti dua kali
cetak ulang di penerbit. Tetapi, penerbit besar, kan, punya jalur distribusi
lebih luas. Lebih banyak orang bisa membaca karya saya,” tuturnya.
Komikus yang mampu mengolah ranah digital sekaligus cetak
memang jadi pemasar yang tangguh bagi karyanya. Faza Meonk pun membuktikan itu
dengan karakter komiknya, Si Juki. Bermula dari blog pribadi, karakter komik
ini sukses diterbitkan oleh Bukune sekaligus digarap untuk strip digital
Webtoon.
Tak berhenti di sana, Faza pun membangun Pionicon,
perusahaan manajemen kekayaan intelektual berbasis karakter. Di perusahaan itu,
Faza juga mengelola karakter karya komikus Indonesia yang lain. Targetnya,
harus ada karakter komik Indonesia yang populer di negeri sendiri dan bisa
mewujud ke format lain, seperti film.
Negeri ini sudah terbukti sebagai pasar komik yang besar,
tetapi menemukan kata komik dalam peta kebijakan pemerintah sungguh tak mudah.
Meski begitu, berhadapan dengan struktur industri dan pasar yang tidak cukup
mendukung mereka berkarya, para komikus ini menolak menyerah. (Nur Hidayati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar