Rabu, 30 Mei 2018

NTT Butuh Politisi, Tapi Siapa yang Pantas Jadi Gubernur?


Oleh : Benjamin Tukan


Kalau saja sempat membaca buku Pater Paul Budi Kleden, “Kampung, Bangsa dan Dunia: Merayakan 50 Tahun NTT”, di sana ditemukan satu refleksi tentang siapa yang diberi tugas menata dan mendorong kesatuan warga NTT?  


Pada halaman 31 buku itu, Pater Budi menulis sebagai berikut :
“NTT adalah sebuah kreasi politis dan sedang bertumbuh menjadi sebuah entitas sosial dari berbagai kelompok etnis dan religius. Tugas penting untuk menata dan mendorong kesatuan justru dipegang oleh para politisi. Tentu saja mereka tidak mungkin dan tidak boleh berusaha sendirian. Kendati demikian, mereka memainkan peran sentral. NTT sulit menemukan tokoh identifikasinya dalam sosok religius, kultural atau intelektual tertentu. Yang dapat mengambil peran seperti ini adalah seorang politisi. Agar para politisi sungguh memainkan perannya yang sentral ini, kontribusi aktif dan kritis seluruh masyarakat diperlukan."



Benjamin Tukan
Relevan dibaca kembali kutipan itu di saat NTT provinsi seribu pulau itu mulai menyiapkan diri memilih pemimpin dalam pilihan gubernur dan wakil gubernur 2018. Menariknya, tanpa berdiskusi terlalu panjang, jelang pilgub sudah muncul nama-nama bakal calon gubernur yang nota bene, semuanya dari politisi.  Benny K Harman (Demokrat), Viktor Laiskodat (Nasdem), Marianus Sae (PKB), dan Eston Fonay (Gerindra). Pertanyaan, apakah keempatnya pantas menjadi gubernur NTT lantaran berlatar belakang politisi?


Persiapan para kandidat menuju hari pemilihan masih cukup banyak waktu. dengan begitu masih juga ada waktu untuk masyarakat mengenal keempat sosok kandidat itu. Awalnya, saat disebut-sebut pasti maju dalam pencalonan, orang begitu terkagum-kagum, tapi oleh proses waktu semuanya akan diuji dalam ketenangan mengambil keputusan.


Agar para politisi sungguh memainkan perannya yang sentral ini, kontribusi aktif dan kritis seluruh masyarakat diperlukan. Ini sebuah ajakan bahwa kendati empat kandidat adalah politisi yang menjawabi kebutuhan NTT, tapi siapa diantara mereka tetap kembali kepada kedaulatan dan kecerdasan rakyat NTT sendiri. Jadi bukan sekadar politisi.

Setelah melewati berbagai pembelajaran politik dari pilkada ke pilkada, entah kabupaten maupun provinsi, ada optimisme bahwa pilkada pilkada ke depan, rakyat semakin lebih cerdas memilih siapa pemimpinnya. Ada kesadaran bahwa uang dan iming-iming yang diberikan calon dalam pilkada ternyata hanya membatasi ruang gerak warga saat kandidat terpilih. Semua sudah dibayar tunai, dan tidak boleh lagi ada permintaan-permintaan.


Kecerdasan untuk tidak tergiur dengan politik uang, politik iming-iming inilah yang kemudian sedikit membawa harapan bahwa pemilihan gubernur NTT nantinya jauh lebih baik dan hasilnya pun akan lebih baik.


Dalam hari-hari selanjutnya dari empat politisi bakal calon gubernur akan mendapat bagian untuk dikritisi oleh rakyat NTT. Dari pengenalan hingga penelusuran siapa politisi itu sebenarnya, itulah yang sering dinamakan penelusuran jejak rekam kandidat. Lagi-lagi inilah tanggung jawab pemilih bila hendak memanen gubernur yang berkualitas dan berintegritas menjawab kebutuhan NTT.  Bahwa tidak semua warga bisa melakukan itu, maka itu tugas para cerdik pandai untuk menjelaskan kepada rakyat.


Boleh saja orang berpandangan bahwa kesalahan masa lalu tidak bisa dijadikan ukuran, karena niat baik selalu ada dalam diri manusia, tapi kenyataan selalu menunjukkan bahwa dominan dalam setiap tindakan manusia adalah kebiasaan. Maka, perlu kiranya mengenal dan menelusuri jejak rekan dan sejarah hidup para kandidat tersebut.


Jika yang dituju adalah integritas diri dari calon-calon yang ada, maka perlu kiranya menelusuri setiap dugaan pelanggaran hukum yang pernah dilakukannya entah pidana, perdata ataupun hak asasi manusia.


Dalam soal gaya hidup calon juga perlu disimak, karena berhubungan sekali dengan kesederhanaan warga, juga kalau dikembangkan maka terbuka dugaan akan patronase bisnis yang mendanai karir sang politisi tersebut. Ini pun perlu serius untuk ditelusuri, karena bukan tidak mungkin di depan mata warga yang sederhana, kandidat menampilkan kesan yang begitu merakyat, tapi setelah jauh dari rakyat ia punya salera untuk memilih hotel-hotel berbintang untuk menjawabi gaya dan saleranya. Termasuk di sini, apakah kandidat tersebut sering terlibat dalam keanggotaan klub-klub tertentu yang elitis dan mahal, seperti klub golf, klub pecinta mobil antik, klub penyayang kuda, klub penggemar arung jeram dll?


Integritas finasial dan sumber pendapatan seorang politisi perlu dicari tahu.  Bisnis apa saja yang dijalankan baik dirinya  dan keluarganya?Apakah usaha bisnis itu dimiliki sebelum atau sesudah menjadi anggota dewan misalnya atau menduduki jabatan tertentu?Apakah bisnis tersebut berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan teknis/praktis tugas dan jabatan, misalnya catering, penyedia jasa peralatan rapat, suplayer barang-barang elektronik, suplayer kebutuhan rumah tangga, suplayer kebutuhan taman, komputer, memuluskan kontraktor untuk dapat proyek,  dll? Bagaimana perbandingan usaha bisnis (dalam hal jumlah dan kapasitas) sebelum dan sesudah menjadi politisi?


Dengan siapa saja kerjasama bisnis pernah dilakukan? Dengan pengusaha besar tertentu, dengan pejabat/lembaga pemerintah, dengan sekretariat DPR/D, dengan anggota DPR/D?Apakah pernah diberitakan menggunakan cara-cara kolusi dalam menjalankan bisnis-bisnis yang ada? Informasi seputar ini pun harus jelas diberitahu.


Tentang Konstituen. Bagaimana politisi itu memperhatikan konstituen? Apakah ia sering datang ke daerah-daerah untuk menemui konstituen? Apakah ia politisi yang menampung dan memperjuangkan aspirasi konstiuent berdasarkan tugas dan fungsinya? Apakah karena tugasnya sebagai politisi membawa program dan proyek pembangunan untuk rakyat, kemudian meminta balas jasa rakyat dengan memberi dukungan kepadanya? Apakah politisi itu asyik melobi sana-sini yang bukan tugasnya hanya demi menaikan citra diri, lalu diam seribu bahasa dalam rapat-rapat dewan yang menjadi tugasnya?


Bagaimana dengan kualitas diri dari calon? Penelusuran pada riwayat pendidikan adalah hal yang sangat penting.  Lalu bagaimana karirnya di partai politik? Bagaimana dia merintis karir di organisasi.


Jejak rekam kemudian berkolerasi dengan visi, misi dan janji kandidat.  Sulit dipercayai kandidat yang menjanjikan pemerintahannya bebas dari korupsi, kalau dari rekam jejaknya ditemukan usaha dalam menapaki karir politik dengan jalan-jalan yang tidak lazim.


Untuk soal visi misi maka tentu dia harus dicek akan pandangan terhadap isu-isu HAM, KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), pandangan terhadap Isu-isu reformasi hukum, isu-isu lingkungan, pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat, perempuan dan anak, akses orang miskin,  lapangan pekerjaan dan perdagangan manusia. Apakah program itu menjawabi kebutuhan dan gampang diaplikasi, atau mengawang dan hanya dia sendiri yang bisa melaksanakan?

Dari ucapan dan tindakan, apakah politisi ini memberdayakan rakyat atau justru membuat warga bergantung pada dirinya? Semuanya bisa ditelusuri dalam ucapan dan tindakan dalam hari-hari kedepan. Saat ini lewat pernyataan di media, maupun saat kampanye nanti.


Apa yang dibuat sebagai pilihan kritis rakyat ini tentu dimaksudkan untuk mencari pemimpin dan politisi yang dapat menjawab kebutuhan rakyat dan  bukan megaloman yang tersanjung dalam riuh reda tepuk tangan penggemar.


Maka, silakan dicermati dari empat sosok politisi yang tampil dalam pilkada NTT, mana sosok yang pantas untuk menjadi gubernur. Jadi kebutuhan akan politisi, tetap saja kembali pada politisi yang mana.

Untuk saat ini hanya satu yang menggembirakan, bahwa tampilnya empat politisi sedikit banyak membawa harapan bahwa isu-isu primordialisme tidak menjadi bahan kampanye dalam politik pilkada NTT. Karena memang tidak punya dasar. Apalagi di rana politik, yang dibicarakan adalah visi, misi dan program untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas, bukan  sukunya sendiri.


Kaluapun akhirnya kandidat dan tim suksesnya memainkan isu-isu primordial, politik uang hanya untuk memenangkan pemilihan, ada baiknya kandidat tersebut kembali ke partai politik belajar ulang untuk menjadi politisi.


Benjamin Tukan, Periset Media, Aktivis Sosial dan Direktur Penerbit Tollelegi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar