Oleh : Benjamin Tukan
Kalau saja sempat membaca buku Pater Paul Budi Kleden,
“Kampung, Bangsa dan Dunia: Merayakan 50 Tahun NTT”, di sana ditemukan satu
refleksi tentang siapa yang diberi tugas menata dan mendorong kesatuan warga
NTT?
Pada halaman 31 buku itu, Pater Budi menulis sebagai berikut
:
“NTT adalah sebuah kreasi politis dan sedang bertumbuh
menjadi sebuah entitas sosial dari berbagai kelompok etnis dan religius. Tugas
penting untuk menata dan mendorong kesatuan justru dipegang oleh para politisi.
Tentu saja mereka tidak mungkin dan tidak boleh berusaha sendirian. Kendati
demikian, mereka memainkan peran sentral. NTT sulit menemukan tokoh
identifikasinya dalam sosok religius, kultural atau intelektual tertentu. Yang
dapat mengambil peran seperti ini adalah seorang politisi. Agar para politisi
sungguh memainkan perannya yang sentral ini, kontribusi aktif dan kritis
seluruh masyarakat diperlukan."
Benjamin Tukan
Relevan dibaca kembali kutipan itu di saat NTT provinsi
seribu pulau itu mulai menyiapkan diri memilih pemimpin dalam pilihan gubernur
dan wakil gubernur 2018. Menariknya, tanpa berdiskusi terlalu panjang, jelang
pilgub sudah muncul nama-nama bakal calon gubernur yang nota bene, semuanya
dari politisi. Benny K Harman
(Demokrat), Viktor Laiskodat (Nasdem), Marianus Sae (PKB), dan Eston Fonay
(Gerindra). Pertanyaan, apakah keempatnya pantas menjadi gubernur NTT lantaran
berlatar belakang politisi?
Persiapan para kandidat menuju hari pemilihan masih cukup
banyak waktu. dengan begitu masih juga ada waktu untuk masyarakat mengenal
keempat sosok kandidat itu. Awalnya, saat disebut-sebut pasti maju dalam
pencalonan, orang begitu terkagum-kagum, tapi oleh proses waktu semuanya akan
diuji dalam ketenangan mengambil keputusan.
Agar para politisi sungguh memainkan perannya yang sentral
ini, kontribusi aktif dan kritis seluruh masyarakat diperlukan. Ini sebuah
ajakan bahwa kendati empat kandidat adalah politisi yang menjawabi kebutuhan
NTT, tapi siapa diantara mereka tetap kembali kepada kedaulatan dan kecerdasan
rakyat NTT sendiri. Jadi bukan sekadar politisi.
Setelah melewati berbagai pembelajaran politik dari pilkada
ke pilkada, entah kabupaten maupun provinsi, ada optimisme bahwa pilkada
pilkada ke depan, rakyat semakin lebih cerdas memilih siapa pemimpinnya. Ada
kesadaran bahwa uang dan iming-iming yang diberikan calon dalam pilkada
ternyata hanya membatasi ruang gerak warga saat kandidat terpilih. Semua sudah
dibayar tunai, dan tidak boleh lagi ada permintaan-permintaan.
Kecerdasan untuk tidak tergiur dengan politik uang, politik
iming-iming inilah yang kemudian sedikit membawa harapan bahwa pemilihan
gubernur NTT nantinya jauh lebih baik dan hasilnya pun akan lebih baik.
Dalam hari-hari selanjutnya dari empat politisi bakal calon
gubernur akan mendapat bagian untuk dikritisi oleh rakyat NTT. Dari pengenalan
hingga penelusuran siapa politisi itu sebenarnya, itulah yang sering dinamakan
penelusuran jejak rekam kandidat. Lagi-lagi inilah tanggung jawab pemilih bila
hendak memanen gubernur yang berkualitas dan berintegritas menjawab kebutuhan
NTT. Bahwa tidak semua warga bisa
melakukan itu, maka itu tugas para cerdik pandai untuk menjelaskan kepada
rakyat.
Boleh saja orang berpandangan bahwa kesalahan masa lalu
tidak bisa dijadikan ukuran, karena niat baik selalu ada dalam diri manusia,
tapi kenyataan selalu menunjukkan bahwa dominan dalam setiap tindakan manusia
adalah kebiasaan. Maka, perlu kiranya mengenal dan menelusuri jejak rekan dan
sejarah hidup para kandidat tersebut.
Jika yang dituju adalah integritas diri dari calon-calon
yang ada, maka perlu kiranya menelusuri setiap dugaan pelanggaran hukum yang
pernah dilakukannya entah pidana, perdata ataupun hak asasi manusia.
Dalam soal gaya hidup calon juga perlu disimak, karena
berhubungan sekali dengan kesederhanaan warga, juga kalau dikembangkan maka
terbuka dugaan akan patronase bisnis yang mendanai karir sang politisi
tersebut. Ini pun perlu serius untuk ditelusuri, karena bukan tidak mungkin di
depan mata warga yang sederhana, kandidat menampilkan kesan yang begitu
merakyat, tapi setelah jauh dari rakyat ia punya salera untuk memilih
hotel-hotel berbintang untuk menjawabi gaya dan saleranya. Termasuk di sini,
apakah kandidat tersebut sering terlibat dalam keanggotaan klub-klub tertentu
yang elitis dan mahal, seperti klub golf, klub pecinta mobil antik, klub
penyayang kuda, klub penggemar arung jeram dll?
Integritas finasial dan sumber pendapatan seorang politisi
perlu dicari tahu. Bisnis apa saja yang
dijalankan baik dirinya dan
keluarganya?Apakah usaha bisnis itu dimiliki sebelum atau sesudah menjadi
anggota dewan misalnya atau menduduki jabatan tertentu?Apakah bisnis tersebut
berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan teknis/praktis tugas dan jabatan, misalnya
catering, penyedia jasa peralatan rapat, suplayer barang-barang elektronik,
suplayer kebutuhan rumah tangga, suplayer kebutuhan taman, komputer, memuluskan
kontraktor untuk dapat proyek, dll? Bagaimana
perbandingan usaha bisnis (dalam hal jumlah dan kapasitas) sebelum dan sesudah
menjadi politisi?
Dengan siapa saja kerjasama bisnis pernah dilakukan? Dengan
pengusaha besar tertentu, dengan pejabat/lembaga pemerintah, dengan sekretariat
DPR/D, dengan anggota DPR/D?Apakah pernah diberitakan menggunakan cara-cara
kolusi dalam menjalankan bisnis-bisnis yang ada? Informasi seputar ini pun
harus jelas diberitahu.
Tentang Konstituen. Bagaimana politisi itu memperhatikan
konstituen? Apakah ia sering datang ke daerah-daerah untuk menemui konstituen?
Apakah ia politisi yang menampung dan memperjuangkan aspirasi konstiuent
berdasarkan tugas dan fungsinya? Apakah karena tugasnya sebagai politisi
membawa program dan proyek pembangunan untuk rakyat, kemudian meminta balas
jasa rakyat dengan memberi dukungan kepadanya? Apakah politisi itu asyik melobi
sana-sini yang bukan tugasnya hanya demi menaikan citra diri, lalu diam seribu
bahasa dalam rapat-rapat dewan yang menjadi tugasnya?
Bagaimana dengan kualitas diri dari calon? Penelusuran pada
riwayat pendidikan adalah hal yang sangat penting. Lalu bagaimana karirnya di partai politik?
Bagaimana dia merintis karir di organisasi.
Jejak rekam kemudian berkolerasi dengan visi, misi dan janji
kandidat. Sulit dipercayai kandidat yang
menjanjikan pemerintahannya bebas dari korupsi, kalau dari rekam jejaknya
ditemukan usaha dalam menapaki karir politik dengan jalan-jalan yang tidak
lazim.
Untuk soal visi misi maka tentu dia harus dicek akan
pandangan terhadap isu-isu HAM, KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), pandangan
terhadap Isu-isu reformasi hukum, isu-isu lingkungan, pendidikan, kesehatan,
ekonomi rakyat, perempuan dan anak, akses orang miskin, lapangan pekerjaan dan perdagangan manusia.
Apakah program itu menjawabi kebutuhan dan gampang diaplikasi, atau mengawang
dan hanya dia sendiri yang bisa melaksanakan?
Dari ucapan dan tindakan, apakah politisi ini memberdayakan
rakyat atau justru membuat warga bergantung pada dirinya? Semuanya bisa
ditelusuri dalam ucapan dan tindakan dalam hari-hari kedepan. Saat ini lewat
pernyataan di media, maupun saat kampanye nanti.
Apa yang dibuat sebagai pilihan kritis rakyat ini tentu
dimaksudkan untuk mencari pemimpin dan politisi yang dapat menjawab kebutuhan
rakyat dan bukan megaloman yang
tersanjung dalam riuh reda tepuk tangan penggemar.
Maka, silakan dicermati dari empat sosok politisi yang
tampil dalam pilkada NTT, mana sosok yang pantas untuk menjadi gubernur. Jadi
kebutuhan akan politisi, tetap saja kembali pada politisi yang mana.
Untuk saat ini hanya satu yang menggembirakan, bahwa
tampilnya empat politisi sedikit banyak membawa harapan bahwa isu-isu
primordialisme tidak menjadi bahan kampanye dalam politik pilkada NTT. Karena
memang tidak punya dasar. Apalagi di rana politik, yang dibicarakan adalah
visi, misi dan program untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas, bukan sukunya sendiri.
Kaluapun akhirnya kandidat dan tim suksesnya memainkan
isu-isu primordial, politik uang hanya untuk memenangkan pemilihan, ada baiknya
kandidat tersebut kembali ke partai politik belajar ulang untuk menjadi
politisi.
Benjamin Tukan, Periset Media, Aktivis Sosial dan Direktur
Penerbit Tollelegi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar