Selasa, 26 Jul 2016 15:42 WIB
Depok - Sri Mulyani Indrawati, mantan Menteri Keuangan di
era pemerintahan SBY yang kini menjadi Managing Director dan Chief Operating
Bank Dunia, hari ini memberikan ceramah kepada para mahasiswa-mahasiswi di
Kampus Universitas Indonesia (UI) Depok.
Sri Mulyani memberikan kuliah umum dengan tema 'Yang Muda
Yang Beraksi: Peranan Pemuda dalam Mensukseskan Pembangunan Berkelanjutan yang
Inklusif' di Auditorium Djokosetono, Fakultas Hukum UI mulai pukul10.30 WIB.
Berikut isi lengkap pidatonya:
Selamat pagi, selamat datang semuanya.
Terima kasih kepada Universitas Indonesia, yang telah
menjadi tuan rumah untuk acara yang menarik ini. Saya senang dapat kembali ke
kampus, ke almamater saya.
Di sinilah saya mulai belajar ilmu ekonomi, sebuah disiplin
ilmu yang telah membekali saya dengan pengetahuan teknis tentang berbagai masalah
pembangunan dan ekonomi. Di Universitas Indonesia jugalah idealisme dan
pemikiran saya mengenai hal-hal politik mulai tumbuh dan berkembang.
Selama belajar, mengajar dan melakukan penelitian di UI,
saya melihat dan terlibat dengan proses transisi Indonesia menuju demokrasi dan
menerapkan desentralisasi dan otonomi daerah. Saya juga melihat bagaimana
Indonesia menangani krisis ekonomi 1997/1998.
Pengetahuan teknis yang saya pelajari sangat membantu
memahami masalah dengan objektif dan akurat, yang menghasilkan pemikiran,
solusi kebijakan yang kredibel yang sangat bermanfaat pada saat saya mengemban
tugas sebagai pejabat negara. Kini, saya menjabat sebagai Managing Director dan
Chief Operating Officer Bank Dunia.
Di Bank Dunia, kami memiliki 2 tujuan. Pertama, mengentaskan
kemiskinan ekstrem di negara-negara berkembang. Kedua, memastikan meratanya
kesejahteraan masyarakat.
Pengetahuan dan pengalaman saya di Universitas Indonesia,
maupun sebagai mantan Menteri Keuangan, sangat relevan dalam memahami masalah
pembangunan negara-negara berkembang.
Setiap saya bertemu dan membahas masalah pembangunan di
negara-negara klien World Bank, dan mengevaluasi opsi-opsi kebijakan dalam
konteks politik yang mereka miliki, saya selalu teringat kembali akan berbagai
hal yang telah saya pelajari di sini.
Di Washington DC, saya sering menerima kunjungan kelompok
pelajar dan mahasiswa Indonesia yang memiliki keingintahuan yang begitu tinggi.
Salah satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan adalah,
apa yang dapat dilakukan kaum muda Indonesia agar bisa meraih kesuksesan di
dalam negeri maupun arena global?
Pertanyaan ini sangat penting. Kini, anak muda merupakan
sepertiga dari jumlah penduduk Indonesia, jumlah mereka melebihi 65 juta warga.
Di tangan generasi muda inilah terletak kunci keberhasilan negeri ini.
Pada saat yang sama tantangan lingkungan semakin sulit.
Contohnya, saat ini di Bank Dunia, kami mengkhawatirkan mengenai rapuhnya
pertumbuhan ekonomi dunia yang sering disertai gejolak. Pada bulan Juni, kami
merevisi proyeksi pertumbuhan dunia ke 2,4%, turun dari proyeksi kami pada
bulan Januari yang sebesar 2,9%.
Melambatnya pertumbuhan ekonomi di Tiongkok dan perubahan
strukturan ekonomi di Tiongkok sangat berpengaruh di seluruh dunia. Saya baru
kembali dari Argentina minggu lalu, di mana melemahnya ekspor ke Tiongkok telah
melemahkan ekonomi di Argentina, yang memiliki 35% ekspor ke Tiongkok.
Kondisi yang sama dialami negara-negara di Amerika Latin,
Afrika, Asia Tengah, serta Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Tiongkok menerima
11% barang ekspor Indonesia.
Negara-negara berkembang yang selama dua dekade terakhir
menjadi mesin pertumbuhan dunia, saat ini menghadapi tantangan berat, ibarat
badai yang datang bersamaan secara sempurna, atau 'perfect storm'.
'Perfect storm' ini berupa melemahnya ekonomi dan
perdagangan dunia, perlambatan dan perubahan struktural ekonomi Tiongkok,
rendahnya harga-harga komoditas, menurunnya aliran modal ke negara berkembang,
meluasnya konflik dan serangan terorisme, serta perubahan iklim global.
Negara-negara pengekspor komoditas, dengan jutaan penduduk
miskin, mengalami pukulan paling keras. Sebanyak 40% revisi penurunan ekonomi
dunia berasal dari kelompok negara-negara ini.
Kondisi seperti ini memerlukan kerja sama yang semakin erat
dan kuat dan koordinasi kebijakan antar negara. Kerja sama ini dapat membangun
kembali kepercayaan, dan menghilangkan halangan perdagangan dan investasi untuk
menunjang produktivitas dan memulihkan pertumbuhan ekonomi.
Namun yang terjadi di dunia adalah sebaliknya.
Di berbagai belahan dunia, populisme tengah bangkit dan
bahkan meluas. Kesediaan untuk bekerja sama antar negara berada pada titik
terendah sepanjang sejarah. Apa yang terjadi di Inggris dengan keputusan untuk
keluar dari Uni Eropa (Brexit) adalah salah satu contoh.
Bagaimana Indonesia harus menyikapi lingkungan dan
kecenderungan global tersebut?
Hadirin yang terhormat,
Indonesia memiliki potensi besar dan dapat menjadi pelaku
global yang disegani. Namun potensi ini harus diwujudkan menjadi kinerja dan
prestasi.
Untuk itu diperlukan generasi muda yang percaya diri, dengan
visi luas dan ambisi dan kreativitas yang kuat untuk menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi yang diperlukan guna menciptakan kemakmuran, kemajuan peradaban,
dan keadilan sosial.
Berbagai data memberikan optimisme, namun juga mengingatkan
kita akan besarnya tantangan untuk memajukan Indonesia. Bagaimana kita bisa
melangkah maju bersama untuk masa depan lebih baik?
Pertama, jadilah bagian dunia yang berperan aktif.
Dengan globalisasi, dunia menjadi 'lebih kecil'. Ibaratnya
seperti sebuah kampung, atau 'global village' yang menyatukan umat manusia,
bisnis, modal, teknologi, informasi, dan pengetahuan yang terus tersebar tanpa
mengenal zona waktu ataupun perbatasan negara.
Globalisasi memberikan peluang untuk menciptakan peluang
untuk menciptakan kemajuan perekonomian semua negara di dunia.
Negara-negara yang sukses mengentaskan kemiskinan dan
mencapai kemakmuran adalah mereka yang mampu memanfaatkan globalisasi, serta
membangun ketahanan dan menjaga diri dari gejolak globalisasi.
Indonesia tidak terkecuali dalam konteks ini. Bagi bangsa
Indonesia, visi global dan cita-cita untuk mendunia sudah lama ditanamkan oleh
pendiri bangsa ini.
Dalam kurun waktu lebih dari 50 tahun terakhir, Indonesia
telah memanfaatkan perdagangan dan investasi global untuk mengatasi kemiskinan
dan memajukan pembangunan.
Meningkatnya integrasi ASEAN merupakan peluang besar bagi
Indonesia. Perdagangan intra-ASEAN mencapai lebih dari US$ 600 miliar per
tahun, dan perdagangan dengan negara di luar ASEAN mencapai di atas US$ 1,9
triliun per tahun.
Integrasi ASEAN yang lebih mendalam dapat menjadi katalis
dalam mentransformasi produktivitas tenaga kerja Indonesia.
Indonesia memiliki rata-rata upah di bidang manufaktur
terendah. Namun biaya per unit tenaga kerjanya relatif tinggi, mencerminkan
produktivitas tenaga kerja yang belum baik. Ini tantangan besar.
Integrasi pasar global juga menghendaki dukungan
infrastruktur untuk konektivitas yang efisien dan kompetitif. Biaya perdagangan
di Indonesia saat ini relatif tinggi, sekitar 130% dibandingkan 90-110% bagi
Malaysia, Vietnam, dan Thailand.
Baru-baru ini, Indonesia melakukan paket kebijakan
perdagangan yang cukup signifikan, untuk mengurangi hambatan perdagangan dan
investasi. Ini perkembangan yang baik, karena sebelumnya, menurut laporan
Global Alert, Indonesia termasuk salah satu negara yang paling sering
menerapkan hambatan perdagangan.
Fokus pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur
di seluruh Kepulauan Indonesia merupakan langkah yang tepat.
Saya berharap ke depan, Indonesia akan terus memelihara dan
memiliki kebijakan keterbukaan, yang harus disertai upaya memperkuat kualitas
sumber daya manusia dan kualitas kelembagaan. Ini penting untuk menopang peran
dan kepemimpinan Indonesia di kawasan Asia maupun di arena global.
Kepemimpinan Indonesia tidak saja baik untuk bangsa
Indonesia, tetapi juga baik dan diperlukan di kawasan dan di dunia.
Dan ini membawa saya pada rekomendasi kedua: Jangan
melupakan mereka yang tertinggal.
Salah satu kekhawatiran terbesar saya adalah meningkatnya
ketimpangan di antara masyarakat. Indikator kesenjangan (koefisien gini)
Indonesia meningkat tajam dari 30 pada tahun 2003, ke 41 pada tahun 2014.
Ketimpangan yang sangat tajam bisa menghambat potensi pertumbuhan jangka
panjang Indonesia.
Masalahnya, ketimpangan di Indonesia banyak ditentukan oleh
hal-hal yang di luar kendali penderita.
Sepertiga dari ketimpangan di Indonesia disebabkan oleh
empat faktor pada saat seseorang lahir: provinsi di mana mereka lahir, apakah
tempat lahir itu desa atau kota, apakah kepala rumah tangga perempuan, dan
tingkat pendidikan orang tua.
Dengan kata lain, kesenjangan pendapatan bukan sekedar
dampak dari ketimpangan semata, tetapi akibat adanya ketimpangan peluang.
Anak-anak Indonesia yang lahir dengan ketimpangan tersebut
akan sulit mengatasi ketimpangan di masa depannya. Ketidakadilan ini harus
diatasi segera.
Faktor pertama yang menentukan adalah layanan kesehatan.
Sekitar 37% balita Indonesia mengalami stunting, atau tidak
menerima nutrisi yang cukup, mulai dari kandungan hingga usia 2 tahun. Stunting
mengakibatkan otak seorang anak kurang berkembang. Ini berarti 1 dari 3 anak
Indonesia akan kehilangan peluang lebih baik dalam hal pendidikan dan pekerjaan
dalam sisa hidup mereka.
Ini adalah musibah bagi Indonesia. Tingkat stunting di
Indonesia sangat tinggi dibanding negara tetangga. Misalnya, tingkat stunting
di Thailand adalah 16%, dan di Vietnam 23%.
Belum lama ini saya menerima kunjungan pejabat departemen
kesehatan Indonesia yang menjelaskan bahwa pemerintah mulai menangani kasus
stunting secara serius. Ini upaya bagus yang perlu ditingkatkan dan dipantau
hasilnya.
Saya berharap program memerangi stunting dapat berhasil,
karena beberapa negara, seperti Peru, telah berhasil menurunkan stunting secara
kredibel dalam waktu cukup singkat.
Masalah kesehatan berkaitan baik dengan ketersediaan
anggaran maupun kualitas penggunaan anggaran. Tingkat belanja kesehatan terhadap
PDB di Indonesia adalah terendah kelima di dunia, yaitu 1,2% pada tahun 2014.
Angka ini termasuk belanja untuk sistem jaminan kesehatan nasional. Selain
masalah jumlah anggaran, masalah cara membelanjakan anggaran juga sangat
penting.
Saat ini akses layanan kesehatan di desa-desa mengalami
penurunan, dan lebih dari 40% penduduk di Kalimantan Barat, Maluku, dan
Sulawesi Barat memerlukan lebih dari satu jam untuk mencapai rumah sakit umum,
dibanding 18% secara nasional.
Hanya tiga provinsi yang memenuhi rekomendasi World Health
Organization (WHO) dengan adanya satu dokter untuk tiap 1.000 orang penduduk.
Upaya Indonesia untuk meratakan akses layanan kesehatan yang
layak perlu ditingkatkan, bila kita ingin memiliki generasi masa depan yang
lebih baik.
Faktor kedua yang berperan dalam ketimpangan peluang adalah
belum meratanya kualitas pendidikan di Indonesia.
Sekolah di desa berpeluang lebih kecil untuk memiliki guru
terlatih dan fasilitas yang baik. Ketidakhadiran guru pun menjadi masalah.
Akibatnya, capaian pendidikan sangat bervariasi antara
kabupaten dengan kota, dan antar provinsi. Sebagai contoh, anak kelas 3 SD di
Jawa bisa membaca 26 huruf lebih cepat per menit dibanding anak di Nusa
Tenggara, Papua, atau Maluku.
Angka partisipasi juga belum ideal.
Pada tingkat SMA, angka partisipasi sekolah turun drastis
bagi penduduk miskin. Hanya 33% anak-anak dari kelompok 20% termiskin tetap
sekolah pada tingkat SMA, dibandingkan dengan 76% untuk kelompok dua puluh
persen terkaya.
Kualitas siswa Indonesia juga dapat diukur dari peringkat
test PISA, di mana posisi Indonesia adalah di urutan ke 64 dari 65 negara. Tes
ini menilai kemampuan siswa dalam bidang matematika dan pemahaman membaca.
Anggaran pendidikan pemerintah mengalami kenaikan besar
sejak reformasi. Fokus sekarang adalah pada peningkatan kualitas dan hasil
pendidikan.
Ada lebih dari 50 juta pengguna Twitter di Indonesia, dan
Jakarta disebut sebagai kota pengguna Twitter teraktif di dunia.
Bagaimana kita dapat memanfaatkan dunia teknologi yang kita
kagumi ini?
Bagaimana kita tidak hanya menjadi penerima teknologi dan
informasi namun juga produktif sebagai pencipta?
Saya lihat perkembangan positif akhir-akhir ini dalam
inovasi aplikasi teknologi yang telah menciptakan bisnis seperti Go-Jek, yang
memberikan inspirasi peluang bisnis, terutama bagi generasi muda. Indonesia
mampu memanfaatkan teknologi untuk aktivitas kreatif dan produktif.
Jangan lupa, generasi muda saat ini adalah generasi yang
hidup pada masa demokratisasi pengetahuan. Saat ini, kita semua memiliki akses
informasi yang instan melalui smartphone. Saya juga melihat banyak kampus
memiliki fasilitas wi-fi, sehingga mahasiswa setiap saat mampu terkoneksi
dengan informasi dan data.
Sewaktu saya belajar di UI 35 tahun yang lalu, teknologi
komputer belum secanggih seperti saat ini, dan data statistik masih sangat
terbatas.
Bayangkan, untuk membuat model regresi ekonomi, data Produk
Domestik Bruto Indonesia hanya tersedia 20 tahun sejak 1970. Fasilitas buku dan
perpustakaan tidak semegah seperti sekarang.
Hari ini, hanya perlu satu klik untuk mendapatkan informasi
dan data yang dicari. Ironisnya, melimpahnya informasi ini tidak otomatis
membuka pikiran dan wawasan kita.
Bahkan ada kecenderungan wawasan masyarakat menjadi
menyempit. Saat ini seseorang semakin mudah melakukan justifikasi asumsi dan
stereotype dalam menilai suatu masalah atau pihak lain.
Tidak suka? Ya tidak usah dibaca atau didengarkan. Sangat
mudah bagi kita menghilangkan sisi lain yang berseberangan dengan kita. Kita
hanya membaca berita dan informasi yang sesuai dengan kecenderungan pandangan
kita.
Diskusi hanya satu versi dan semakin sedikit diskusi yang seimbang
dan melihat perbedaan pandangan. Polarisasi menjadi semakin tajam dan jauh.
Kita harus terus berupaya untuk membangun jembatan antar
perbedaan pandangan apabila kita ingin mempertahankan kebhinekaan Indonesia.
Selalu bersedia mendengar dan memahami mereka yang tidak
sependapat dengan kita memang tidak mudah.
Para populis sering bersuara lebih keras, dengan pandangan
hitam putih dan memanfaatkan ketakutan dan kekhawatiran masyarakat. Mereka
sering menawarkan solusi magis dan mudah untuk berbagai masalah yang teramat
kompleks. Mereka banyak yang menjual ilusi yang sering laku dibeli masyarakat
yang haus solusi cepat.
Dunia pendidikan seperti Universitas Indonesia harus mampu
memelihara lingkungan saling mendengar perbedaan dan saling berargumentasi yang
sehat dan saling menghormati untuk terus memperbaiki kualitas peradaban kita.
Hal lain yang membesarkan hati adalah semakin banyak
generasi muda yang semangat belajar di tingkat pasca sarjana.
Tahun lalu, sekitar 4.500 mahasiswa sarjana dan pasca
sarjana mendapat beasiswa LPDP untuk belajar di luar negeri dan di Indonesia.
Saya senang melihat adanya peningkatan jumlah penerima
beasiswa tersebut, apalagi pemerintah secara aktif berupaya menarik penerima
beasiswa dari daerah-daerah kurang berkembang.
Saya sendiri merasakan manfaat beasiswa di masa lalu. Selain
merupakan peluang emas untuk membuka diri mendalami pengetahuan, kesempatan
tersebut memberikan pengalaman untuk memahami negara dan masyarakatnya yang berbeda.
Hal ini membantu kita menghargai perbedaan dan kemajemukan.
Meningkatnya kualitas hasil pendidikan tidaklah mudah,
terutama bagi kelompok masyarakat miskin. Banyak negara anggota Bank Dunia
menghadapi tantangan yang sama, dan juga sulitnya menciptakan lapangan kerja
bagi lulusan pendidikan.
Indonesia dapat belajar dari pengalaman historis sendiri,
maupun belajar dari negara lain, untuk mencapai kemajuan di bidang yang sangat
strategis dan penting ini.
Selain ketimpangan di bidang kesehatan dan pendidikan,
terdapat ketimpangan lain yang juga sangat penting yaitu yang dialami perempuan
dan anak perempuan.
Menurut laporan terkini Global Gender Gap oleh World
Economic Forum, Indonesia berada pada peringkat 114 dari 145 negara terkait
partisipasi peluang ekonomi perempuan.
Penting bagi Indonesia untuk mencapai peringkat yang lebih
baik. Ketimpangan peluang bagi perempuan dan anak perempuan berdampak langsung
pada peluang ekonomi mereka, dan secara tidak langsung, kemampuan untuk
mengambil keputusan yang bisa mempengaruhi kehidupan mereka dan keluarga
mereka.
Bagaimana dengan persentase perempuan yang bekerja di luar
rumah? Hanya 51% perempuan Indonesia berusia 15 tahun ke atas menjadi bagian
tenaga kerja.
Rasio ini tidak banyak berubah sejak tahun 1990, dan lebih
rendah dari rata-rata Asia Timur dan Pasifik, yaitu 63%. Sebagai perbandingan,
partisipasi tenaga kerja laki-laki lebih dari 80%.
Indonesia belum memanfaatkan secara optimal potensinya
terkait ketenagakerjaan yang melibatkan semua penduduk, baik perempuan maupun
laki-laki.
Ajakan terakhir yang ingin saya sampaikan terutama kepada
generasi muda adalah selalu lakukan yang terbaik dan berikan yang terbaik bagi
orang lain.
Tuntutlah ilmu dan kuasai kemampuan teknis yang terbaik.
Jangan pernah berhenti belajar.
Carilah ilmu yang bermanfaat bukan hanya untuk kita sendiri
namun juga bagi tim anda. Mudah untuk mencapai sukses sendiri. Lebih sulit
untuk membangun sukses bersama dan membangun institusi. Reformasi di institusi
publik dan swasta harus terus dilakukan guna meletakkan dan membangun tata
kelola yang baik, efisien, dan akuntabel.
Banyak negara berkembang tidak mampu lepas dari middle
income trap, pada intinya karena mereka gagal membangun institusi modern dan
sistem yang berdasarkan meritokrasi dan tata kelola yang baik untuk menopang
perubahan sosial, ekonomi, hukum, dan politik yang dinamis.
Tetaplah melatih dan mengembangkan pemikiran kritis dengan
melakukan analisa yang jernih. Mampu membedakan antara fakta dan bukti di satu
sisi, dengan bias dan subjektivitas di sisi yang lain.
Hal ini akan mendorong pengambilan pilihan, keputusan dan
tindakan yang bijak dan bertanggung jawab.
Tidak kalah penting, tunjukkan empati kita. Perhatikan dan
jaga perasaan, harga diri dan pikiran orang-orang yang berinteraksi dengan
kita, terutama mereka yang tidak sepaham dan sehaluan. Ini terutama penting
pada saat kita memiliki misi untuk melakukan perubahan guna mencapai perbaikan.
Kepemimpinan yang inklusif dan berlandaskan empati dan
integritas yang bersih akan menghasilkan proses perubahan yang baik dan hasil
yang lebih langgeng.
Ini bukan berarti kita harus menyenangkan semua pihak dan
tidak memiliki pendirian.
Dalam lingkungan kebijakan publik, sering kita dihadapkan
pada pilihan sulit. Pilihan yang tersedia seringkali tidak populer, yang bahkan
bukan alternatif terbaik.
Dengan analisa yang cermat dan teliti, buatlah keputusan
yang hanya bertujuan untuk kebaikan masyarakat dan tidak mengandung konflik
kepentingan.
Yakini bahwa pilihan sulit yang anda ambil tetap merupakan
keputusan yang terbaik bagi masyarakat dan institusi.
Kadang tidak semua orang akan mengapresiasi keputusan yang
kita buat. Bisa jadi ada orang yang salah paham terhadap tindakan kita. Dan
bahkan keberhasilan sering datang lama setelah kita meninggalkan jabatan kita.
Jangan putus asa. Tetap bertindak dengan integritas, jujur,
adil, rendah hati, dan selalu menghormati martabat orang lain. Sikap itu akan
membawa kepada ketentraman abadi.
Di mana pun anda nantinya berkarya, baik di pemerintahan,
perusahaan swasta, atau LSM, dan apakah kita berada di tingkat pemula,
profesional menengah, atau posisi eksekutif, tidak ada kompromi dalam menjaga
integritas dan harga diri kita.
Setelah enam tahun saya bekerja di lembaga internasional
Bank Dunia dan berkeliling dunia mengunjungi negara-negara berkembang maupun
negara maju, saya merasa optimis melihat generasi muda Indonesia.
Indonesia dapat menjadi negara maju yang dibanggakan
rakyatnya dan disegani bangsa lain. Karena Indonesia memiliki generasi muda
yang selalu ingin belajar dan ingin maju, yang haus akan prestasi, dan memiliki
daya juang yang tidak pernah luntur. Indonesia memiliki 65 juta generasi muda
yang tidak pernah berputus asa mencintai negerinya.
Terima kasih.
Sumber : https://finance.detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar