Sosiolog Ignas Kleden saat berbicara dalam Diskusi Panel
Musyawarah Nasional Sastra Indonesia, di Jakarta, Selasa (18/7/2017) Foto : JurnalTimur
|
Penulis : Benjamin Tukan
JURNALTIMUR.COM,- Sastra dan Kebhinekaan menjadi topik yang
diangkat untuk dibicarakan dalam Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia
(Munsi) ke-2 yang dilaksanakan di Jakarta, sejak Selasa hingga Kamis, 18-20 Juli 2017.
Terkait dengan hal ini pertanyaannya, apakah ada sifat-sifat
intrinsik dalam sastra, khususnya sastra tertulis yang memungkinkan pengalaman
tentang kebhinekaan bagi orang yang membacanya?
Sosiolog Ignas Kleden, yang menjadi nara sumber Panel diskusi I bertajuk “Sastra dan
Kebhinekaan", dalam Musyawarah
Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi) ke-2, Selasa (18/7/2017) mengatakan bahwa
dalam sastra, kebhinekaan bukan saja dimungkinkan tetapi dirayakan.
Ignas mengawali paparannya dengan menjelaskan duduk soal
tentang sastra dalam berhubungan dengan kebhinekaan, Ignas Kleden menunjukkan
ada tiga tema yang menjadi perhatian dalam pembicaraan sastra dan kebinekaan,
diantaranya pertama, analisa hubungan sastra dan kebinekaan, kedua, kebijakan
pemerintah terhadap sastra dalam hubungan dengan kebhinekaan dan ketiga,
advokasi peran sastra dalam mendukung atau memperkuat kebhinekaan.
“ Masalah pertama adalah persoalan teori sastra dan teori
tentang kebhinekaan, yang kedua merupakan politik kebudayaan yang berkaitan
dengan kesadaran dan ketetapan pemerintah tentang sastra dan kaitannya dengan
kebhinekaan, dan yang ketiga adalah perjuangan kelompok-kelompok masyarakat
yang melakukan affirmative action untuk memperkuat peran sastra dalam mendukung
dan memperkuat kebhinekaan sebagai sasarannya,” jelas Ignas Kleden.
Berbicara pada pokok soal mengenai kebhinekaan dalam sastra,
menurut Ignas dapat ditinjau dalam beberapa segi, yaitu dari segi pengarang,
dari segi pembaca, dari segi proses penciptaan, dari segi teks dan dari segi
genre sastra yang digunakan pengarang.
Ignas mengakui, dalam sastra, kebhinekaan bukan saja dimungkinkan tetapi
dirayakan.
Dari segi pengarang, menurut Ignas, pemgarang patut disebut
pada tempat pertama karena kalau karya sastra dapat dianggap sebagai sebuah
produk kebudayaan yang penting, maka pengarang adalah produsen yang utama,
disamping editor dan penerbit.
“Pengarang selalu ditantang oleh dua hal yaitu orisinalitas
dalam pesan yang hendak disampaikannya, dan otentisitas dalam bentuk yang
digunakannya. Tantangan terhadap pengarang yang datang dari tuntutan untuk
otentisitas dan orisinalitas menyebabkan tiap pengarang akan memberikan sesuatu
yang diusahakan seunik mungkin dan membuat ceritra dan novel dengan kebhinekaan
isi dan bentuk,” jelas Ignas.
Dari segi pembaca dalam hubungan dengan kebhinekaan. Menurut
Ignas, kalau pengarang adalah produsen karya sastra, maka pembaca adalah
konsumennya. Namun kata Ignas, seorang konsumen karya sastra berbeda fungsinya
dari konsumen makanan restoran atau konsumen toko pakaian.
“Pembaca karya sastra tidak selalu menyesuaikan dengan pesan
yang ditulis pengarang dalam karya sastranya, tetapi pembaca dapat memberi
makna sendiri terhadap karya itu berdasarkan tafsir pribadi yang dilakukannya
berdasarkan pengalaman hidup dan berdasarkan pengalamannya membaca karya-karya
sebelumnya. Pembaca karya sastra bertindak sebagai ko-korektor untuk penciptaan
makna suatu karya sastra dan dengan
demikian ada aneka makna yang diperoleh pembaca dari karya sastra yang dibaca
oleh mereka.
Dalam proses penciptaan, kata Ignas, proses psikologis dan
sosiologis pada masing-masing pengarang sastra amat berbeda-beda. Menurutnya,
ada berbagai sebab yang berbeda-beda yang mendorong seorang menulis, dan
berbagai keadaan yang seakan-akan
memaksa untuk menulis.
“Menurut pendapat saya, berbagai cerita mengenai proses
penciptaan dalam sastra banyak gunanya untuk pendidikan sastra, khususnya dalam
memotivasi para calon pengarang atau pengarang pemula, bahwa menulis dapat
mereka lakukan dalam keadaan apapun dengan motif apa pun, asal saja dilakukan
dengan kesungguhan,"urai Ignas.
Untuk masalah genre yang merupakan bentuk yang tersedia
dalam sastra, lanjut Ignas dapat
dipergunakan oleh masing-masing pengarang sesuai dengan kebutuhan dan bakatnya.
Dengan mencontohkan genre yang berbeda dari para sastrawan seperti Sutan Takdir Alisyabana, Asrul Sani, Goenawan
Mohamad, Hamsad Rangkuti, dan NH Dini,
Ignas kemudian menyimpulan bahwa tidak setiap pengarang
dapat menjadi penyair yang menulis puisi, dan tidak setiap penyair dapat
menulis novel dan tidak setiap penyair atau novelis dapat menulis esai yang
baik, namun ada juga yang dapat memanfaatkan semua bentuk yang ada.
"Usaha membaca karya sastra dalam berbagai bentuk itu
memberikan aneka pengalaman yang berbeda," ujar Ignas
Sementara pada karya sastra sebagai wacana tertulis, kata
Ignas telah menunjukan sudah terbebas dari pengarangnya. "Setiap karya
sastra lahir dari konteks tertentu dan karya sastra yang pada mulanya mempunyai
kelompok atau orang tertentu yang menjadi sasarannya. Akan tetapi setelah
selesai ditulis , karya itu dibebaskan juga dari sasarannya semula," jelas
Ignas.
Ignas mencontohkan, surat-surat Bung Hatta kepada para
sahabatnya, yang kini diterbitkan untuk umum memungkinkan setiap pembaca
mempunya akses ke surat-surat itu dan dapat menafsirkan sendiri makna
surat-surat itu. Hal yang sama juga, kata Ignas, juga terdapat pada catatan
Ahmad wahid yang ditulis untuk dirinya sendiri, namun kini telah dibukukan dan
dibaca dan didiskusi banyak kalangan.
“Karya tulis itu mengalamai berbagai tafsiran yang
berbeda-beda, karena tidak terikat lagi pada kelompk atau orang tertentu yang
semula menjadi sasaran karya itu. Ini pula sebabnya, bahwa karya tulis dan
khususnya sastra tertulis, selalu ditafsirkan secara berbeda-beda oleh sasaran
baru yang ditemui oleh karya itu, sehingga selalu mempunyai makna yang bineka,”
jelasnya.
Ignas menympulkan bahwa berkenalan dengan karya sastra
selalu berarti mengalami kebhinekaan dalam bentuk dan isi, dalam tafsir dan
makna, dan dalam konteks yang selalu dinamis sifatnya. "Sastra adalah
suatu dunia pluralitas. Dalam sastra,
kebhinekaan bukan saja dimungkinkan tetapi dirayakan," tutup Ignas.
Pada Panel I, selain Ignas Kleden, pembicara lain dalam
panel diskusi itu Janet de Neefe dari Ubud Writter dan Budayawan Radhar Panca Dahana. (Ben)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar