Oleh : Benjamin Tukan
Larantuka, nama sebuah kota di ujung timur pulau Flores.
Sebelum kota ini menjadi ibukota Kabupaten Flores Timur tahun 1958, kota ini
sudah menjadi tempat pesinggahan orang-orang yang melintasi pulau Flores.
Larantuka pun identik dengan kerajaan Larantuka, tempat tinggal raja Larantuka.
Dalam hubungan dengan perayaan, ada yang menarik dari kota
kecil ini. Bukan berlebihan jika dikatakan bahwa di Larantuka, tidak ada hari
tanpa pesta. Memang betul itu yang terjadi. Perayaan keagaamaan yang sudah
menjadi tradisi bertahun-tahun mewariskan tindak laku masyarakatnya untuk
merayakan setiap hari perayaan-perayaan kegerejaan. Jangankan Natal dan Paskah,
pesta santo-santa bahkan pentabisan imam hingga perayaan perak emas imamat
selalu dirayakan. Sembayang dan mengaji barangkali itu yang dilakukan, tapi di
luar itu selalu ada yang bernuansa pesta.
Dari perayaan yang bernuansa kegerejaan, warga Larantuka dan
sekitarnya memang terbiasa dengan kegiatan pesta-pesta. Jangankan pesta
perkawinan dan sambut baru atau komuni pertama, untuk kegiatan seperti
mendirikan rumah saja selalu disertai
dengan pesta. Bukan sekali, tapi beberapa kali. Misalnya, peletakan batu
pertama dibuatkan pesta. Saat fondasi selesai diadakan pesta, lalu saat
membangun atap dibuatkan pesta yang lebih lagi.Saat menempati rumah dibuat lagi
pesta. Singkat ceritra setiap tahapan
pembangunan rumah selalu ada pesta.
Hal yang serupa juga bisa ditemukan dalam tradisi orang
lamaholot suku terbesar di wilayah ini. Para penggarap ladang-ladang atau
petani agraris terbiasa dengan pesta-pesta. Hampir setiap tahapan dari
pembukaan kebun, menanam, menyiangi dan memanen dilalui dengan pesta.
Jika melaut dan sekali waktu memperoleh banyak ikan, maka di
sana juga ada pesta. Nelayan yang lama tidak mendapatkan ikan yang banyak,
sekali waktu m memperoleh kelimpahan ikan,akan dibuatkan pesta. Yang biasa mendapatkan ikan kecil, sekali
waktu mendapatkan ikan yang besar juga selalu dibuatkan pesta.
Benjamin Tukan
Dalam siklus hidup manusia pun tidak lepas dari pesta. Sejak
dalam kandungan sudah dibuatkan pesta. Hari lahir, saat mulai bisa berjalan,
hingga kematian diusia tua selalu ada waktu untuk dibuatkan pesta.
Waktu pertama anak masuk sekolah dibuatkan pesta, lalu
wisuda juga dibuatkan pesta. Sembuh dari sakit dibuat pesta. Pergi merantau dan
pulang merantau juga dibuatkan pesta. Berhasil di perantauan pulang harus buat
pesta. Pesta, pesta dan pesta hingga
orang berkelakar bahwa di Larantuka semua peristiwa bisa dipestakan, bahkan
kucing mati atau lahir pun dipestakan.
Untuk soal bentuk pesta bisa bermacam-macam. Pesta besar
melibatkan seluruh warga kampung, dan sanak keluarga di Larantuka maupun di
luar Larantuka yang datang saat pesta. Ada juga yang pesta-pesta kecil yang
cuma dalam keluarga dan pertemanan terbatas. Hal yang ditekankan lebih pada
suasana yang berbeda, ada yang diundang, makanan disiapkan lebih, dan ada
kegembiraan yang terbantu oleh musik dan tari-tarian.
Apa yang ada dibalik tradisi pesta ini. Tidak lain adalah
sikap untuk mensyukuri dan kesediaan untuk berbagi dari apa yang diperoleh.
Walau demikian, kesediaan dan kerelaan berbagai ini lama-lama menjadi
kewajiban. Tidak buat pesta, ketahuan tidak punya uang. Yang tak ada hubungan
dengan peristiwa pun terlanjur mengharapkan dibuatkan pesta.
Pesta yang mentradisi itu, kemudian tak luput dari
persaingan. Orang yang datang ke pesta, mudah tersinggung dan berkelahi. Nyawa
manusia mati sia-sia dalam pesta. Orang mabuk yang membuat orang lain pergi
pulang pesta selalu waspada ditabrak atau menabrak orang mabuk. Dalam pesta
seringkali ada keributan dan percecokan. Sesama penyelenggara yang juga sesama
saudara, sesama teman bisa jadi biang
keributan. Tamu yang datang pun tak luput untuk mencari keributan di tempat
pesta. Tak jarang pesta diakhiri dengan konflik.
Dalam hal biaya pesta, juga sering menjadi sorotan.
Sekalipun biaya pesta untuk beberapa kalangan terkesan mandiri, namun beberapa
kalangan lain sering dikesankan sebagai besar pasak dari tiang, sering
diungkapkan orang untuk memberi kesan pada sebuah pesta. Hidup keseharian boleh
apa adanya, tapi pesta kalau boleh dibuatkan besar. Hutang dan pinjam sudah
biasa yang penting bisa ramai semalam suntuk sampai matahari terbit.
Banyak yang bicara tentang ekses negatif dari pesta dan
melupakan hal yang penting yakni perayaan syukur dan kerelaan berbagi. Padahal
yang disebutkan terakhir inilah yang telah menyatu dalam hidup pribadi
orang-orang Larantuka dan orang Lamaholot. Ada kebanggan di sana, juga ada
"kesombongan" bagi mereka yang bisa merayakan pesta.
Jika perayaan itu perayaan kampung atau perayaan keluarga,
maka tidak saja kerelaan membagikan kegembiraan pesta, tapi juga kesediaan
semua pihak untuk iklas membantu biaya pesta. Tidak ada keluh kesah dalam
memberi, walau kadang ada rasa kewajiban dengan waktu yang salah karena saat
penyelenggaraan pesta "panen" belum juga datang,
Kalau demikian adanya, sebenarnya dalam hidup orang
Larantuka dan orang Lamaholot sangat
merindukan untuk merayakan kegembiraan dalam kebersamaan dan punya kerendahan
hati untuk selalu mensyukuri. Jauh dari
itu, dalam pesta, orang pun terlibat
untuk menghargai sebuah capaian. Sebab, pesta yang diselenggarakan tidak
sekedar mengundang orang dengan menyediakan makanan yang berlebihan, tapi
capaian itulah yang hendak dirayakan.
Di antara kegembiraan dan capaian, berhubungan dengan pesta
sebenarnya masyarakat di wilayah ini bisa digolongkan masyarakat yang sangat
menghargai nilai prestasi, kerja keras dan kebersamaan. Setiap capaian apa itu
dilalui dengan kerja keras dan pengorbanan maka pesta adalah jawaban untuk
berbagi dan mensyukuri.
Lain soal kalau sebagian masyarakat tidak memperhitungkan
capaian dan hanya ikut-ikutan membuat pesta. Prestasi yang biasa-biasa saja
dibuatkan pesta. Mengadakan pesta untuk bisa mendapatkan bantuan dan sumbangan.
Pesta dibuat hanya untuk bersaing dan meninggalkan kebersamaan. Kemungkinan ini
pun bisa terjadi dan di sini pesta hanya sekedar persoalan bisa makan enak
untuk lari dari penderitaan karena
kemiskinan.
Di Larantuka, tidak ada hari tanpa pesta. Ini pun sebenarnya
potensi awal bahwa merayakan pesta dan even bukan hal baru untuk masyarakat di
sini. Inovasi yang sekarang banyak dibicarakan, ditambah terobosan-terobosan
dalam penyelenggaran berbagai festival sebenarnya dapat dimulai dari tradisi
masyarakat seperti ini. Sayangnya, begitu banyak pesta yang diadakan belum mampu membuat pemerintahan wilayah ini
menyusun suatu agenda tahunan tentang pesta. Untuk pesta-pesta yang tergolong
besar karena melibatkan banyak orang pun, belum ada terobosan yang berarti.
Di bidang kuliner misalnya, belum ada yang baru. Di bidang
musik, masih banyak kelompok musik yang membutuhkan pelibatan dalam pesta.
Sulit meyakinkan orang bahwa grup musik yang ada memang telah menyatu dalam
kehidupan masyarakat yang punya tradisi pesta ini. Belum lagi beberapa soal
yang berhubungan dengan pesta dan festival seperti panggung, promosi dan
lain-lain masih jauh dari yang diharapkan.
Ada soal lain, bahwa beberapa perayaan yang tergolong besar
yang menyedot dan melibatkan banyak orang, belum banyak yang mampu menyesuaikan
dengan kebutuhan kekinian. Pihak-pihak
yang menyelenggarakan kegiatan itu lebih memilih bernostalgia ke masa lampau,
dari pada membuka diri pada perbincangan tuntutan kebutuhan hari ini. Sangat
minim diskusi, sangat miskin kreasi.
Pesta-pesta besar belum ditata secara baik untuk menjadi
perayaan bersama yang lebih menarik dan menggembirakan. Pihak yang terlibat
dalam penyelenggaran pun, masih berurusan dengan dirinya sendiri, untuk tidak
mengatakan sibuk meminta pengakuan.
Perayaan-perayaan besar pun tetap saja menjadi kesibukan
para penyelenggara tanpa melibatkan pihak lain. Tetap saja dalam keramaian
pesta, hanya orang-orang tertentu saja yang menikmati. Orang luar hanya sekedar
penonton, yang barangkali tidak boleh dan tidak mau diajak terlibat.
Di Larantuka, tidak ada hari tanpa pesta. Tapi ini juga
pardoksnya, karena berkunjung ke Larantuka, memang selalu menemukan kota yang
sepi. Melewati jalan-jalan di sore hari atau malam hari memang dijumpai sedikit
keramaian pada tempat-tempat tertentu, tapi entalah keramaian itu tentang apa.
Bagi yang baru datang berkunjng ke Larantuka, mereka tak pernah
diberitahukan tentang tradisi masyarakat yang demikian.
Di Larantuka, tidak ada hari tanpa pesta. Potensi kreatif
yang dapat mengundang hadirnya berbagai peluang tumbuhnya ekonomi kreatif belum
banyak mendapatkan perhatian. Apalagi kalau para pengambil kebijakan memilih
jalan aman untuk tidak membicarakan di tengah rumitnya persoalan antara tradisi
dan komersialisasi.Bahkan potensi ini dibiarkan merana, kecuali mengharapkan
ada bantuan seperti yang terjadi dibidang pengadaan infrastruktur jalan,
bandara, dan sekolah,
Tentu saja, masih banyak yang perlu dibicarakan dari
pesta-pesta yang menjadi bagian dalam tradisi masyarakat ini, untuk memacu
perkembangan kota ini. Termasuk di sini, inisiatif-inisiatif baru dari generasi
baru masih tetap ditunggu dan keiklasan generasi tua untuk membuka ruang dialog
sangat diharapkan.
Semua ini perlu ditata, dikemas untuk kepentingan banyak
hal. Namun untuk kepentingan jangka pendek, Larantuka yang menjadi kota
persinggahan itu, hendaknya tetap selalu menyuguhkan hal yang terbaik dan
terindah bagi siapa saja, kendati cuma semalam.
Benjamin Tukan, Kreator dan Periset Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar