Rabu, 30 Mei 2018

Di Larantuka, Tak Ada Hari Tanpa Pesta

Oleh : Benjamin Tukan


Larantuka, nama sebuah kota di ujung timur pulau Flores. Sebelum kota ini menjadi ibukota Kabupaten Flores Timur tahun 1958, kota ini sudah menjadi tempat pesinggahan orang-orang yang melintasi pulau Flores. Larantuka pun identik dengan kerajaan Larantuka, tempat tinggal raja Larantuka.


Dalam hubungan dengan perayaan, ada yang menarik dari kota kecil ini. Bukan berlebihan jika dikatakan bahwa di Larantuka, tidak ada hari tanpa pesta. Memang betul itu yang terjadi. Perayaan keagaamaan yang sudah menjadi tradisi bertahun-tahun mewariskan tindak laku masyarakatnya untuk merayakan setiap hari perayaan-perayaan kegerejaan. Jangankan Natal dan Paskah, pesta santo-santa bahkan pentabisan imam hingga perayaan perak emas imamat selalu dirayakan. Sembayang dan mengaji barangkali itu yang dilakukan, tapi di luar itu selalu ada yang bernuansa pesta.


Dari perayaan yang bernuansa kegerejaan, warga Larantuka dan sekitarnya memang terbiasa dengan kegiatan pesta-pesta. Jangankan pesta perkawinan dan sambut baru atau komuni pertama, untuk kegiatan seperti mendirikan rumah saja  selalu disertai dengan pesta. Bukan sekali, tapi beberapa kali. Misalnya, peletakan batu pertama dibuatkan pesta. Saat fondasi selesai diadakan pesta, lalu saat membangun atap dibuatkan pesta yang lebih lagi.Saat menempati rumah dibuat lagi pesta.  Singkat ceritra setiap tahapan pembangunan rumah selalu ada pesta.


Hal yang serupa juga bisa ditemukan dalam tradisi orang lamaholot suku terbesar di wilayah ini. Para penggarap ladang-ladang atau petani agraris terbiasa dengan pesta-pesta. Hampir setiap tahapan dari pembukaan kebun, menanam, menyiangi dan memanen dilalui dengan pesta.


Jika melaut dan sekali waktu memperoleh banyak ikan, maka di sana juga ada pesta. Nelayan yang lama tidak mendapatkan ikan yang banyak, sekali waktu m memperoleh kelimpahan ikan,akan dibuatkan pesta.  Yang biasa mendapatkan ikan kecil, sekali waktu mendapatkan ikan yang besar juga selalu dibuatkan pesta.



Benjamin Tukan
Dalam siklus hidup manusia pun tidak lepas dari pesta. Sejak dalam kandungan sudah dibuatkan pesta. Hari lahir, saat mulai bisa berjalan, hingga kematian diusia tua selalu ada waktu untuk dibuatkan pesta.

Waktu pertama anak masuk sekolah dibuatkan pesta, lalu wisuda juga dibuatkan pesta. Sembuh dari sakit dibuat pesta. Pergi merantau dan pulang merantau juga dibuatkan pesta. Berhasil di perantauan pulang harus buat pesta.  Pesta, pesta dan pesta hingga orang berkelakar bahwa di Larantuka semua peristiwa bisa dipestakan, bahkan kucing mati atau lahir pun dipestakan.


Untuk soal bentuk pesta bisa bermacam-macam. Pesta besar melibatkan seluruh warga kampung, dan sanak keluarga di Larantuka maupun di luar Larantuka yang datang saat pesta. Ada juga yang pesta-pesta kecil yang cuma dalam keluarga dan pertemanan terbatas. Hal yang ditekankan lebih pada suasana yang berbeda, ada yang diundang, makanan disiapkan lebih, dan ada kegembiraan yang terbantu oleh musik dan tari-tarian.


Apa yang ada dibalik tradisi pesta ini. Tidak lain adalah sikap untuk mensyukuri dan kesediaan untuk berbagi dari apa yang diperoleh. Walau demikian, kesediaan dan kerelaan berbagai ini lama-lama menjadi kewajiban. Tidak buat pesta, ketahuan tidak punya uang. Yang tak ada hubungan dengan peristiwa pun terlanjur mengharapkan dibuatkan pesta.


Pesta yang mentradisi itu, kemudian tak luput dari persaingan. Orang yang datang ke pesta, mudah tersinggung dan berkelahi. Nyawa manusia mati sia-sia dalam pesta. Orang mabuk yang membuat orang lain pergi pulang pesta selalu waspada ditabrak atau menabrak orang mabuk. Dalam pesta seringkali ada keributan dan percecokan. Sesama penyelenggara yang juga sesama saudara, sesama teman  bisa jadi biang keributan. Tamu yang datang pun tak luput untuk mencari keributan di tempat pesta. Tak jarang pesta diakhiri dengan konflik.


Dalam hal biaya pesta, juga sering menjadi sorotan. Sekalipun biaya pesta untuk beberapa kalangan terkesan mandiri, namun beberapa kalangan lain sering dikesankan sebagai besar pasak dari tiang, sering diungkapkan orang untuk memberi kesan pada sebuah pesta. Hidup keseharian boleh apa adanya, tapi pesta kalau boleh dibuatkan besar. Hutang dan pinjam sudah biasa yang penting bisa ramai semalam suntuk sampai matahari terbit.


Banyak yang bicara tentang ekses negatif dari pesta dan melupakan hal yang penting yakni perayaan syukur dan kerelaan berbagi. Padahal yang disebutkan terakhir inilah yang telah menyatu dalam hidup pribadi orang-orang Larantuka dan orang Lamaholot. Ada kebanggan di sana, juga ada "kesombongan" bagi mereka yang bisa merayakan pesta.


Jika perayaan itu perayaan kampung atau perayaan keluarga, maka tidak saja kerelaan membagikan kegembiraan pesta, tapi juga kesediaan semua pihak untuk iklas membantu biaya pesta. Tidak ada keluh kesah dalam memberi, walau kadang ada rasa kewajiban dengan waktu yang salah karena saat penyelenggaraan pesta "panen" belum juga datang,


Kalau demikian adanya, sebenarnya dalam hidup orang Larantuka dan orang Lamaholot  sangat merindukan untuk merayakan kegembiraan dalam kebersamaan dan punya kerendahan hati untuk selalu mensyukuri.  Jauh dari itu,  dalam pesta, orang pun terlibat untuk menghargai sebuah capaian. Sebab, pesta yang diselenggarakan tidak sekedar mengundang orang dengan menyediakan makanan yang berlebihan, tapi capaian itulah yang hendak dirayakan.


Di antara kegembiraan dan capaian, berhubungan dengan pesta sebenarnya masyarakat di wilayah ini bisa digolongkan masyarakat yang sangat menghargai nilai prestasi, kerja keras dan kebersamaan. Setiap capaian apa itu dilalui dengan kerja keras dan pengorbanan maka pesta adalah jawaban untuk berbagi dan mensyukuri.


Lain soal kalau sebagian masyarakat tidak memperhitungkan capaian dan hanya ikut-ikutan membuat pesta. Prestasi yang biasa-biasa saja dibuatkan pesta. Mengadakan pesta untuk bisa mendapatkan bantuan dan sumbangan. Pesta dibuat hanya untuk bersaing dan meninggalkan kebersamaan. Kemungkinan ini pun bisa terjadi dan di sini pesta hanya sekedar persoalan bisa makan enak untuk lari dari penderitaan karena  kemiskinan.


Di Larantuka, tidak ada hari tanpa pesta. Ini pun sebenarnya potensi awal bahwa merayakan pesta dan even bukan hal baru untuk masyarakat di sini. Inovasi yang sekarang banyak dibicarakan, ditambah terobosan-terobosan dalam penyelenggaran berbagai festival sebenarnya dapat dimulai dari tradisi masyarakat seperti ini. Sayangnya, begitu banyak pesta yang diadakan  belum mampu membuat pemerintahan wilayah ini menyusun suatu agenda tahunan tentang pesta. Untuk pesta-pesta yang tergolong besar karena melibatkan banyak orang pun, belum ada  terobosan yang berarti.


Di bidang kuliner misalnya, belum ada yang baru. Di bidang musik, masih banyak kelompok musik yang membutuhkan pelibatan dalam pesta. Sulit meyakinkan orang bahwa grup musik yang ada memang telah menyatu dalam kehidupan masyarakat yang punya tradisi pesta ini. Belum lagi beberapa soal yang berhubungan dengan pesta dan festival seperti panggung, promosi dan lain-lain masih jauh dari yang diharapkan.






Ada soal lain, bahwa beberapa perayaan yang tergolong besar yang menyedot dan melibatkan banyak orang, belum banyak yang mampu menyesuaikan dengan kebutuhan  kekinian. Pihak-pihak yang menyelenggarakan kegiatan itu lebih memilih bernostalgia ke masa lampau, dari pada membuka diri pada perbincangan tuntutan kebutuhan hari ini. Sangat minim diskusi, sangat miskin kreasi.


Pesta-pesta besar belum ditata secara baik untuk menjadi perayaan bersama yang lebih menarik dan menggembirakan. Pihak yang terlibat dalam penyelenggaran pun, masih berurusan dengan dirinya sendiri, untuk tidak mengatakan sibuk meminta pengakuan.


Perayaan-perayaan besar pun tetap saja menjadi kesibukan para penyelenggara tanpa melibatkan pihak lain. Tetap saja dalam keramaian pesta, hanya orang-orang tertentu saja yang menikmati. Orang luar hanya sekedar penonton, yang barangkali tidak boleh dan tidak mau diajak terlibat.


Di Larantuka, tidak ada hari tanpa pesta. Tapi ini juga pardoksnya, karena berkunjung ke Larantuka, memang selalu menemukan kota yang sepi. Melewati jalan-jalan di sore hari atau malam hari memang dijumpai sedikit keramaian pada tempat-tempat tertentu, tapi entalah keramaian itu tentang apa. Bagi yang baru  datang  berkunjng ke Larantuka, mereka tak pernah diberitahukan tentang tradisi masyarakat yang demikian.


Di Larantuka, tidak ada hari tanpa pesta. Potensi kreatif yang dapat mengundang hadirnya berbagai peluang tumbuhnya ekonomi kreatif belum banyak mendapatkan perhatian. Apalagi kalau para pengambil kebijakan memilih jalan aman untuk tidak membicarakan di tengah rumitnya persoalan antara tradisi dan komersialisasi.Bahkan potensi ini dibiarkan merana, kecuali mengharapkan ada bantuan seperti yang terjadi dibidang pengadaan infrastruktur jalan, bandara, dan sekolah,  


Tentu saja, masih banyak yang perlu dibicarakan dari pesta-pesta yang menjadi bagian dalam tradisi masyarakat ini, untuk memacu perkembangan kota ini. Termasuk di sini, inisiatif-inisiatif baru dari generasi baru masih tetap ditunggu dan keiklasan generasi tua untuk membuka ruang dialog sangat diharapkan.

Semua ini perlu ditata, dikemas untuk kepentingan banyak hal. Namun untuk kepentingan jangka pendek, Larantuka yang menjadi kota persinggahan itu, hendaknya tetap selalu menyuguhkan hal yang terbaik dan terindah bagi siapa saja, kendati cuma semalam.



Benjamin Tukan, Kreator dan Periset Media.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar