|
Pengunjung melihat buku-buku
yang dipamerkan di Paviliun Indonesia menjelang pembukaan Pameran Buku
Frankfurt 2015 di Frankfurt, Jerman, Selasa (13/10). Indonesia menjadi tamu
kehormatan dalam gelaran bertajuk "17.000 Islands of Imagination"
itu, dengan menampilkan 75 pengarang Indonesia, yang berlangsung 14-18 Oktober
2015.
|
FRANKFURT, Kompas
Dengan mengenakan
kebaya merah dan kain panjang, sinden Endah Laras menaiki podium Congress
Center Messe Frankfurt, Jerman. Di layar, terbentang puisi Jawa abad ke-19,
"Malang Sumirang", berganti-ganti dalam bahasa Jawa, Jerman, dan
Inggris.
Latarnya seorang bocah
perempuan bermain ayunan dalam tempo perlahan. Endah, dengan suara tinggi
berbobot, membaca dan menembangkan puisi mengenai seorang yang dihukum bakar di
sebuah alun-alun Jawa pada abad ke-15, tetapi di tengah nyala api, ia sempat
menulis-mungkin-sebuah puisi. Orang itu dianggap melanggar hukum dan ajaran
agama. Malang Sumirang namanya.
Ketika Endah hendak
turun, dengan setengah berlari penyair Goenawan Mohamad menghampirinya, mencium
keningnya, lalu mengambil posisi untuk sebuah pidato selaku ketua Komite
Nasional Pelaksana bagi Indonesia sebagai Tamu Kehormatan dalam Pameran Buku
Frankfurt (14-18 Oktober) 2015. Demikian laporan wartawan Kompas,Salomo
Simanungkalit, dari Frankfurt, Jerman, awal pekan ini.
Pada pembukaan pameran
buku terbesar di dunia itu, yang berlangsung pada Selasa, 13 Oktober petang,
Goenawan dalam bahasa Indonesia yang puitis menjelaskan ihwal "Malang
Sumirang". Pendengarnya, sekitar 2.400 orang yang hadir-termasuk kira-kira
320 orang Indonesia yang ambil bagian dalam pameran dan acara-acara yang
digelar dalam kaitan itu-dan kelindannya dengan peran Indonesia sebagai tamu
kehormatan.
"Kami sadar,
Indonesia sebuah negeri yang amat jauh dan umumnya tak dikenal di sini. Namun,
sambil mendengarkan Endah Laras menembang dan mengisahkan riwayat Malang
Sumirang, saya berharap Anda bisa mengenal beberapa lapis alegori di dalamnya,"
kata Goenawan. "Saya percaya banyak hal yang bisa membangun percakapan
antara kita meskipun kita datang dari benua yang berjauhan; misalnya dalam
menampik kekejaman, merasakan sakitnya penindasan, dan mengalami paradoks
kekuasaan."
Tentang penindasan itu
sendiri, seperti ada perasaan bersama dengan pidato-pidato sebelumnya pada
pembukaan pameran itu seperti dari Direktur Pameran Buku Frankfurt Juergen
Boos, Menteri Kebudayaan dan Media Republik Federasi Jerman Monika Grutters,
dan Wali Kota Frankfurt am Maim Peter Fieldmann. Mereka menyinggung migrasi
dari Timur Tengah di Jerman yang sedang mengalami kesulitan di negerinya.
Bahkan, dengan pidato pengarang Salman Rushdie dari Iran pada konferensi pers
siang sebelumnya yang menyinggung pengarang dan kebebasan berekspresi, yang di
beberapa negara mengalami hambatan atas nama kekuasaan: negara dan agama.
"Saya bisa bicara
bebas kepada Anda saat ini adalah hasil perjuangan untuk kebebasan melawan
kekuasaan Gereja 200 tahun lalu," kata Salman Rushdie yang memamerkan
roman terbarunya (2015), Two Years Eight Months and Twenty Eight Nights,
dalam pameran ini.
Budaya
Pidato penutup dalam
pembukaan itu datang dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan.
"Saya ingin agar Indonesia, dengan hadir di Pekan Raya Buku ini, juga
memandang ke era beyond books, era yang tak lagi mengandalkan buku
dalam bentuknya yang sudah berumur ratusan tahun sejak mesin cetak ditemukan di
Korea dan juga di Guttenberg, Jerman," katanya. "Sebab itu kami
(dalam pameran ini) hadir dalam karya seni rupa, arsitektur, fotografi, film,
kuliner, seni pertunjukan," ujarnya.
Paviliun Indonesia
menempati 2.400 meter persegi area pameran. Tak kalah dengan pidato Goenawan
yang puitis, paviliun yang ditata artistik oleh arsitek Muhammad Thamrin dan
kawan-kawan dari Bandung itu menyambut pengunjung dengan teks di sekitar pintu
masuk: Words, Images, Myths, Movements-and Indonesia, 17.000 islands of
Imagination Pavilion.
Paviliun Indonesia
terdiri dari tujuh gugus pulau yang melambangkan ragam kegiatan dan satu sama
lain dihubungkan "laut" sebagai watas imajinatif yang siap
dieksplorasi: misterius dan kuyup kejutan. Ketujuh pulau itu masing-masing
dengan subtema: Spice Island, Island of Tales, Island of Scenes, Island
of Illumination, Island of Words, Island of Inquiry, danIsland of
Images.
Spice Island,
misalnya, memamerkan beragam rempah, baik dalam rupa mentah maupun olahan yang
aromanya langsung dapat dirasakan pengunjung. Buku kuliner dan resep masakan
dari nama-nama terpandang di Indonesia dan meluas berkat program televisi,
dipajang.
Manuskrip tua dalam
replika yang apik di satu pulau ditata dalam kotak-kotak kaca, antara lain Buku
Parhalaan berupa almanak atau kalender Batak, Pustaha Laklak yang berasal dari
tradisi literer Batak untuk obat-obatan dan pengobatan, Bomakawya dari Hindu
Bali, Negara Kartagama oleh Empu Prapanca (1365), La Galigo beraksara dan
berbahasa Bugis, dan Babad Balambangan.
Buku cerita bergambar
untuk anak-anak berupa dongeng dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris) yang
dikarang penulis Indonesia ataupun yang bertema agama mendapat tempat strategis
di Island of Tales.
Pemerintah Indonesia
mengeluarkan dana Rp 150 miliar dalam perannya sebagai Tamu Kehormatan pameran
itu. Seperti yang dikemukakan Goenawan, hanya ada waktu dua tahun untuk
persiapan, termasuk untuk menerjemahkan karya-karya sastra Indonesia ke dalam
bahasa Jerman yang diminta panitia sebanyak 300 judul. "Kita baru bisa
mencapai hampir 300 judul, tapi jumlah itu dalam bahasa Jerman dan
Inggris," katanya.
Dalam penutup
pidatonya, Goenawan menekankan bahwa menyambut kelahiran buku tak hanya berarti
memamerkan kekenesan para pengarang. Juga tak hanya berarti memajang sejumlah
besar komoditas di sebuah pasar yang ramai.
"Yang saya
harapkan ialah bahwa kita semua bersedia mengingat kembali apa yang dilakukan
Malang Sumirang: kita menulis untuk menegaskan kesetaraan manusia. Kita menulis
untuk menghidupkan percakapannya. Dan, dengan demikian, kita menulis juga untuk
menumbuhkan kemerdekaannya," kata Goenawan.
___
Versi cetak artikel
ini terbit di harian Kompas edisi 15 Oktober 2015, di halaman 11 dengan judul
"Roh Indonesia di Pameran Buku Frankfurt".