Kualitas Layanan dan Senyum Pelanggan
Oleh: Alfons Taryadi
NEGERI ini memerlukan revolusi kepuasan pelanggan, kata Handi
Irawan, pencetus ide Hari Pelanggan Nasional, yang dicanangkan Presiden pada 4
September lalu (Iklan Senyum Pelanggan Indonesia, Kompas, 1/9/2003). Karena
pelanggan hanya puas bila mendapat layanan yang baik, ucapan Chairman Frontier
itu perlu dimaknai, yang diperlukan ialah perubahan radikal dalam sikap orang Indonesia
terhadap pelanggan.
DI sini, pengertian pelanggan dan layanan tidak dipahami
semata-mata dalam konteks transaksi bisnis, tetapi dalam konteks transaksi
sosial yang lebih luas dan fundamental. Dalam konteks inilah tanggapan kritis
Medelina K Hendyto terhadap pencanangan Hari Pelanggan Nasional dengan artikel
Tiada Hari Tanpa Hari Pelanggan, (Kompas, 16/9/2003), yang memosisikan pemimpin
negeri ini sebagai pihak yang wajib mengupayakan perbaikan layanan publik
setiap hari sebagai ungkapan terima kasih kepada masyarakat yang memberinya
mandat untuk mengemban kekuasaan politik.
Siapa pelangganku?
Akan tetapi, hanya sejumlah orang tertentu yang mengemban
kekuasaan politik, sementara warga negara yang lain mempunyai peran masing-masing
dalam tata kehidupan bermasyarakat. Karena itu, pertanyaan pokok yang perlu
diajukan oleh setiap orang ialah apa dan bagaimana layanan yang harus ia
berikan menurut peran yang sedang ia jalankan? Sehubungan dengan hal itu, ia
perlu memahami siapa pelanggannya sebab dari pelangganlah ia bisa tahu, apakah
layanannya sesuai atau tidak dengan harapan mereka. Pertanyaan-pertanyaan
semacam itu perlu diajukan oleh siapa saja, entah itu presiden, menteri, sopir
taksi, politikus, loper koran, bankir, petani cengkeh, nelayan, atau siapa
saja. Jawaban-jawaban jujur atas pertanyaan-pertanyaan itu mengandaikan
kesediaan penanya untuk mengarungi jarak antara kenyataan dirinya secara de
facto kini dan ekspektasi yang wajar dari masyarakat terhadap peran yang sedang
diembannya.
Yang masih perlu dicermati ialah hubungan antara pihak pemberi
layanan dan pelanggan tidak bersifat satu arah, tetapi resiprokal. Selain itu,
kita perlu awas terhadap kandungan ambivalensi dalam apa yang disebut
"kepuasan pelanggan", terutama dalam dunia budaya massa yang
didominasi ideologi neoliberalisme, tempat setiap individu diperlakukan bukan
sebagai seorang warga negara, melainkan sebagai konsumen semata-mata (Benjamin
R Barber, 1995, 8).
Selamat datang keluhan
Kepedulian yang tulus untuk memuaskan pelanggan tentu membuat kita
haus akan informasi tentang harapan atau keluhan pelanggan terhadap produk
dan/atau layanan kita. Bila kita penerbit koran pagi, misalnya, kita akan
berterima kasih kepada pelanggan yang mengeluh bahwa korannya hampir selalu
datang kesiangan. Keluhan itu melecut kita untuk mengusut sebab-musabab
keterlambatan lalu mengatasinya. Sebaliknya, bila kita pelanggan koran,
listrik, atau air leding, kita akan menjaga agar uang abonemen terkirim tepat
waktu.
Bagi politisi, tekad untuk memuaskan pelanggan akan menjadi
pendorong untuk, misalnya, tidak menganut "tradisi tidur dalam sidang di
DPR/MPR", tetapi sebaliknya tekun mendalami persoalan kepentingan umum dan
berjuang mengatasinya. Untuk kalangan yudikatif, bayangan senyum pelanggan
adalah stimulans untuk cepat merampungkan perkara yang menumpuk dan secara
nyata mengikis indikasi "mafia peradilan" yang ditudingkan oleh
masyarakat ke arah mereka.
Bila kepuasan pelanggan menjadi keprihatinan utama kalangan
pendidik, mereka akan menggembleng anak didik untuk menuntut ilmu bukan sebagai
komoditas penghasil uang, tetapi, seperti diserukan Prof Dr Sangkot Marzuki,
sebagai modal untuk membangun budaya ilmiah. Menurut Wakil Ketua Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia itu, Indonesia
terpuruk di segala bidang karena tidak berbudaya ilmiah. Budaya ilmiah yang
kokoh membuat suatu bangsa selamat menghadapi perubahan dan krisis dunia. Hal
ini antara lain ditunjukkan oleh Cina yang pernah terpuruk pada masa revolusi
kebudayaan, namun tetap selamat berkat budaya ilmiah yang mengakar (Kompas,
13/9/2003). Dari pihak anak didik, hasrat untuk memenuhi peran sebagai pelajar
akan memicu upaya mengembangkan talenta mereka sejauh mungkin.
Para penggiat
industri kultural pun akan memberi sumbangan penting ke arah pengembangan
budaya ilmiah bila mereka mencermati suara warga yang mewaspadai ideologi
neoliberalisme dengan hiburan yang menjebak ke arah kesesatan materialisme.
Seminar Industri Kultural 1994 di Jakarta mengingatkan perlunya panduan bagi
anak-anak untuk bisa menarik manfaat dari sajian media cetak, audiovisual,
maupun elektronik tanpa terlumuri produk pop yang beraroma kekerasan, sikap
hedonistis, dan orientasi sukses lewat jalan pintas.
Bila menyepakati tujuan mulia pencanangan Hari Pelanggan Nasional,
para penyelenggara siaran televisi tentu akan terbuka terhadap sentilan
segolongan pemirsa yang khawatir jangan-jangan banyak tayangan tentang alam
gaib tidak berefek menyadarkan masyarakat untuk berakrab dengan Sang Pencipta,
seperti dilakukan para mistisi sejati, tetapi cenderung mendorong orang ke arah
klenik sebagai pemecahan instan atas persoalan hidup. Di sini, menarik untuk
dicermati tulisan Victor Menayang, Moratorium Program Pembodohan Bangsa, dan
Budiarto Danujaya, Pembodohan Publik (Kompas, 15/9/2003).
Memacu profesionalisme
Tekad membangkitkan senyum pelanggan jelas akan memacu
profesionalisme. Bila profesionalisme terus ditingkatkan, diharapkan akan kian
berkurang banyaknya kalimat-kalimat rancu atau pilihan kata yang tidak tepat,
yang sering terbaca di media cetak atau terdengar lewat media audiovisual atau
elektronik. Begitu juga diharapkan akan kian menyusut jumlah buku asing yang
dalam beberapa tahun terakhir hadir dalam terjemahan yang rendah kualitasnya
sehingga membuat jengkel pembaca karena kalimat-kalimat janggal, aneh, dan
tidak berjalan. Seorang rekan pernah menanggapi gejala maraknya keberanian
penerbit mengedarkan buku terjemahan semacam itu "sudah mengarah ke
tindakan kriminal".
Dalam semangat untuk memberi kepuasan kepada pelanggan, seorang
penerbit pasti akan gembira bila ada masukan kritis tentang produknya, apalagi
bila itu menyangkut produk best-seller. Sebut, misalnya, sebuah kamus
Inggris-Indonesia yang mengalami cetak ulang puluhan kali, ternyata tidak
memuat cukup banyak kata yang selayaknya tercantum di dalamnya. Kata-kata itu
antara lain abuzz; amend; beholden; beholder; camp; encamp; campaign;
governance; give away; human-kind; opt; replicate; set out. Juga ada banyak
kata yang penjelasan artinya terlalu sempit, misalnya kata-kata brash;
charlatan; cringe; discursive; ominous; on the side; scramble; upbeat.
Atas dasar asumsi yang sama, para penyusun Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) pasti akan gembira menerima masukan tentang karya mereka.
Masukan itu, misalnya, dalam KBBI (1995, Balai Pustaka, Edisi II, Cetakan IV)
pada halaman 1038 terbaca sebuah contoh kalimat dengan kata kerja
"menemui" yang berbunyi: "polisi menemui mayat itu di semak
dekat kebun". Ketika mendengar hal itu, Prof Dr Apsanti Djokosuyatno
spontan berucap, "Wah, itu perlu ditulis!"